Showing posts with label sartre. Show all posts
Showing posts with label sartre. Show all posts

Wednesday, 7 December 2022

Heidegger dan Konsepsi-Dikotomis Sartre tentang Kematian (Paper Translasi)

Still Life (1657) by Pieter Claesz

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Meskipun pertanyaan tentang “kehidupan” pascakematian adalah salah satu yang sangat diperdebatkan, premis bahwa kematian adalah takdir definitif bagi semua manusia diterima secara universal. Karena sifat-sifat dari keterbatasan manusia, filsuf Jerman, Martin Heidegger—memandang kematian sebagai takdir yang memungkinkan seseorang menemukan makna, dan dengan demikian menjadi versi paling otentik dari dirinya. Heidegger menggambarkan kematian sebagai penghubung erat dengan otentisitas personal—sebab “faktis” dari ‘kedirian’. Menjadi otentik dalam terma Heideggerian berarti hidup “sejati” untuk diri sendiri. Heidegger menegaskan bahwa kebenaran dapat dijalani, dan seseorang mungkin kemudian gagal untuk menjalankan kebenarannya, oleh karenanya dia menegaskan ada cara fundamental untuk ada, atau mengada. Maka, ia mengklaim “esensi manusia terletak pada keberadaannya” (42).

Heidegger menggunakan istilah ‘Dasein’ (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman “mengada” yang khas manusia. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka. (Ini juga dapat ditafsirkan sebagai istilah teknis Heidegger yang mengacu pada kita—bukan sebagai individu manusia—tetapi, mengacu pada cara mengada semua manusia). Dia secara tidak langsung mendedahkan gagasan antara mengada sebagai diri (yang otentik) dan menjalani hidup—sebagai dikotomi yang mendiferensiasi pengalaman-pengalaman manusia. Heidegger menegaskan bahwa ada kualitas-kualitas, sifat-sifat, dan aktivitas-aktivitas tertentu yang lebih “mewakili” dari sekadar apa yang hanya kita lakukan dan nikmati. Oleh karenanya, ketika kita terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan “esensi” kita, kita menjalani kehidupan yang secara intrinsik tidaklah otentik. Sebagai Dasein, kehidupan memiliki struktur pencapaian, atau “keutuhan”, yang ada karena adanya kematian. Melalui pemahaman ini, Heidegger membedakan antara menjalani hidup dengan menjadi diri yang otentik.

Untuk lebih memahami teori Heidegger, seseorang dapat membayangkan skenario di mana waktunya untuk hidup tinggal beberapa hari lagi. Melalui penyelidikan ini, jika seseorang tersebut merasa sangat menyesal atas proyeksi kehidupannya, maka ia menjalani kehidupan yang tidak otentik sama sekali. Sebaliknya, jika ia mengungkapkan kepuasan murni terhadap arah hidupnya, terlepas dari kemungkinan kematian di tikungan sana, maka ia telah menjalani hidupnya dengan sejati. Bagi Heidegger, proyeksi imajinatif mengenai kematian sangatlah penting dalam menentukan siapa diri kita. Setelah menyadari kematian sebagai hal yang tidak terelakkan sama sekali, “seseorang dibebaskan sedemikian rupa, sehingga untuk pertama kalinya ia dapat secara otentik memahami dan memilih di antara kemungkinan-kemungkinan faktikal yang terbentang di depan” (308). Manusia memasuki keadaan kecemasan di mana kemungkinan hidup yang tidak terbatas menjadi jelas, maka pilihan-pilihan kita secara faktual dipandu dengan membuat kemungkinan-kemungkinan ini. Pada gilirannya, pilihan yang kita buat menentukan kita, memberi makna pada hidup kita, dan pada akhirnya mendorong kita pada “keotentikan”.

Meskipun Jean-Paul Sartre mengikuti garis filosofis yang cenderung indentik dengan Heidegger, dia memiliki persepsi yang sedikit berbeda terkait arti kematian. Baik Sartre maupun Heidegger, keduanya menegaskan bahwa pilihan-pilihan yang kita buat menentukan (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana) kita. Karya Sartre menggemakan karya Heidegger ketika dia mengklaim “manusia tidak lain adalah apa yang dia bangun dari dirinya sendiri” (28). Maka dari itu, karya-karyanya mewakili pandangan tegas bahwa eksistensi-mendahului-esensi. Tindakan dan keputusan kolektif kita menggambarkan siapa kita sebagai manusia, dan dengan demikian kita pada akhirnya sepenuhnya bertanggung jawab atas bagaimana kita berperilaku di dunia ini. Mengakui kebebasan-untuk-memilih—dan menghadapi konsekuensi dari tanggung jawab kita sendiri—merupakan sebuah seni untuk menjalani kehidupan yang otentik. Akan tetapi, Sartre berpendapat bahwa pandangan Heidegger memberikan terlalu banyak kekuatan untuk “mati” dalam membentuk arah hidup seseorang.

Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Berbeda dari premis Heidegger bahwa kematian memungkinkan makna, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru mengambil makna ini. Mirip dengan Sartre, Simone de Beauvoir memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tidak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tidak adil” (106). Setelah kematian, Sartre percaya bahwa makna hidup seseorang hanyalah berasal dari apa yang orang lain coba pikirkan—oleh karena kita tidak memiliki kendali untuk memengaruhi makna tersebut. Maka dari itu, kita tidak boleh sekadar menunggu kematian terjadi “bukan karena kematian tidak membatasi kebebasanku, tetapi karena kebebasan tidak pernah menemui batasan ini” (Sartre, 700). Sartre merasa kematian bukanlah peristiwa yang mesti ditakuti dan direnungi—karena kematian dianggap tidak terlalu berarti selama seseorang masihlah hidup. Dengan demikian, setelah analisis lebih lanjut dari teks-teks Sartre ini—dikotomi antara Heidegger dan Sartre menjadi semakin jelas.

Pada akhirnya, peneliti akan berargumen bahwa Sartre mengabaikan pentingnya kematian dalam mewujudkan makna hidup. Sartre menggambarkan kematian sebagai peristiwa yang sepenuhnya independen—yang tidak memiliki dampak eksistensial tentang bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan. Secara kontras, Heidegger mengklaim bahwa kita ada-menuju-kematian sebagai ‘kemungkinan yang paling mungkin bagi manusia’. Kita mengada sebagai agen yang mampu mengenali dan berjuang menciptakan makna dengan mengindentifikasi kesementaraan kita yang tidak terbantahkan. Oleh karena itu, Dasein dihadapkan dengan kematian sebagai kemungkinan eksistensi, dan ia “berdiri di hadapan dirinya sendiri dalam potensi keberadaan yang paling dirinya sendiri” (Heidegger, 232). Dengan mengenali potensi kematian, kita “mengekspos” makna dari kemungkinan-kemungkinan alternatif karena makna-makna ada dalam batasan-batasan kita.

Serupa dengan Heidegger, peneliti menegaskan bahwa kematian kitalah yang mampu memungkinkan makna seperti itu. Kemungkinan kematian, yang bertahan tanpa batas sepanjang hidup kita—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan yang kita buat. Sartre gagal membahas pentingnya kematian karena dia memandangnya sebagai fenomena yang tidak pasti, sementara Heidegger menyibak alasan mendasar mengapa kebebasan kita penting bagi kita. Makna penting yang Heidegger tempatkan pada kematian adalah valid, sebab waktu kita di Bumi terbatas dan pilihan yang kita buat sepenuhnya merupakan tanggung jawab kita sendiri. Melalui kesadaran akan kematian, Heidegger mengklaim bahwa ada-menuju-kematian mendasari temporalitas Dasein. Sehingga, temporalitas ini sangatlah fundamental bagi makna yang kita berikan pada hidup. Kita dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tidak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di Bumi tidak terbatas. Manusia yang fana tidak mampu melakukannya. Dengan demikian, dengan mengakui kesementaraan kita—di mana seseorang dapat memahami kesementaraan keberadaan mereka—keputusan-keputusan kita mengandung semacam “beban-beban” tertentu.

Setelah mengalami semacam konfrontasi personal dengan kematian, peneliti sangat memahami betapa rapuhnya “eksistensi”. Gagasan Heidegger tentang ada-menuju-kematian menguraikan kehidupan yang peneliti jalani setelah perjalanan terakhir ke “kosmos”. Meskipun pada awalnya penekanan Sartre terhadap tanggung jawab pribadi dan kebebasan dianggap berhasil, namun hal tersebut hanyalah keterbatasan kematian itu sendiri—yang mendasari kondisi yang diperlukan untuk makna. Waktu terbatas yang kita miliki di planet ini “mendikte” pilihan-pilihan yang dibuat, dan kehidupan macam apa yang akan kita pilih untuk diwujudkan. Karena kematian adalah “kemungkinan terbesar” yang telah final, menjadi jelas bahwa cara paling tepat untuk menjalani hidup adalah dengan membuat keputusan berdasarkan keinginan pribadi, bukan berdasarkan keinginan orang lain di sekitar. Masa muda kita mencontohkan keinginan yang sangat kompleks untuk penerimaan—kita segera menyadari kepuasan diri kita sendiri dengan hidup yang dimanifestasikan dari dalam ‘Diri’, dan bukan melalui penerimaan ‘Yang Lain’.

Dengan bertatap muka langsung dengan kematian, kita memahami keterbatasan eksistensi dan fakta bahwa semua kemungkinan hidup tidak akan pernah sepenuhnya terwujud. Ada sesuatu yang luar biasa di luar eksistensi kita. Potensi kematian memungkinkan seseorang untuk memahami keberadaan dalam totalitasnya dan dengan demikian memfokuskan keberadaannya sebagai miliknya (individu)—alih-alih jenis keberadaan yang tidak otentik, yang bukan berasal dari diri kita (yang lain). Meskipun kematian kakek kita adalah keluhan yang sangat pribadi, yang sangat berpotensi mengubah hidup kita—hal tersebut merupakan kematian “manusia lain”. Kendati mengalami kematiannya adalah suatu pengalaman yang menyakitkan dan menyiksa, itu masihlah ‘objektif’ dalam artian bahwa kita masih menghindari konfrontasi dengan kematian kita sendiri.

Heidegger mengklaim ketika kematian dihadapi sebagai individu—kita mengakui kemungkinan yang dimiliki Dasein. Jika dunia eksternal, yang memperoleh makna berdasarkan ‘Yang Lain’ tertutupi—seseorang mungkin gagal menghayati pengalaman ke dalam ‘Yang Lain’. Dengan demikian, menghadapi kematian memungkinkan eksistensi manusia untuk fokus sepenuhnya pada dirinya sebagai Diri-nya sendiri. Karya Martin Heidegger telah menjadi analogi untuk konfrontasi pribadi peneliti dengan temporalitas kehidupan yang “rapuh” ini. Karyanya telah berfungsi sebagai kebangkitan eksistensial—meningkatkan lonjakan keinginan akan makna di dunia yang pada dasarnya “hampa”.

*****

Referensi:

Beauvoir, Simone de. 1965. A Very Easy Death. Trans. Patrick O’Brian. Pantheon 102 Books: New York.

Heidegger, Martin. 1996. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. State University of New York Press: Albany.

Sartre, Jean-Paul. 1956. Being and Nothingness. Trans. Hazel E. Barnes. Washington Square Press: New York.

Sigrist, Michael J. Death and the meaning of life. Philosophical Papers 44.1 (2015): 83-102.

Sumber Literatur:

Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2021/09/19/heidegger-and-sartres-dichotomous-conceptions-of-death/

Friday, 25 November 2022

Eksistensialisme-Teistik Kierkegaard dan Eksistensialisme-Ateistik Sartre

Stańczyk (1862) by Matejko

“Kecemasan adalah kepusingan yang diakibatkan oleh kebebasan.”

—Kierkegaard, The Concept of Anxiety: A Simple Psychologically Orienting Deliberation on the Dogmatic Issue of Hereditary Sin (2014)


Kutipan Kierkegaard (yang lazim disebut Bapak Eksistensialisme) di atas, boleh jadi adalah lanjutan dari proyek filsafatnya pasca peluncuran bukunya yang berjudul Enten – Eller (Either/Or); yang liris dan secara simultan mengeksplorasi konflik tak terhindarkan antara estetika dan etika. Bagaimana jika segala sesuatu di dunia adalah kesalahpahaman, bagaimana jika tawa-gembira ternyata adalah air-mata—tulis Kierkegaard dalam Either/Or (1992). Secara sekilas, bertolak dari pembacaan intens atas karya-karyanya—ketimbang seorang filsuf yang puitis, Kierkegaard lebih terlihat seperti penyair yang filosofis. Dalam sejarah Filsafat Barat, dia juga bisa dikatakan salah satu filsuf paling melankolis dan berjiwa puitis. 


Tapi apakah kebebasan memungkinkan kecemasan? Mungkin iya, mungkin sangat iya. Manusia dikutuk untuk bebas; karena segera setelah terlempar ke dunia, ia bertanggung jawab atas semua yang ia lakukan—katanya Sartre, seorang eksistensialis gigan, seolah menjustifikasi-melengkapi apa yang telah dikatakan oleh Kierkegaard di atas—sekaligus mengadvokasi ungkapan hiperklise yang terdengar cukup eksistensialis bahwa “hidup adalah pilihan”. Akan tetapi, kebebasan itu tak gratis—oleh karena manusia adalah makhluk yang bebas menentukan hidupnya sendiri, pilihan-keputusan yang telah/akan diambil mengandung semacam “beban” berat—misalnya, ketakutan akan beban penyesalan yang berpuncak pada penderitaan konstan.


Apa yang diungkapkan oleh Kierkegaard dan Sartre sedikit banyak merangkum kira-kira kemumetan-keruwetan macam apa yang ada di kepala seorang eksistensialis. Kecemasan, kebebasan, pilihan-pilihan, individualitas, subjektivitas, otentisitas, dan sifat-sifat eksistensi adalah hal-perihal yang lekat dengan Eksistensialisme—sebuah aliran filsafat yang menempatkan manusia pada titik sentral dari segala relasi kemanusiaan. Berakar dari semacam upaya untuk bangkit dari segala hegemoni demi menemukan eksistensi dan esensi diri. Eksistensialisme, juga seringkali dimaknai sebagai kecenderungan, karakteristik, dan tren.


Secara singkat, Eksistensialisme, berangkat dari pertanyaan mengenai eksistensi manusia dan perasaan bahwa tak ada tujuan atau penjelasan mutlak mengenai inti keberadaan subjek-objek yang ada. Eksistensialisme, memandang bahwa hidup itu tak bermakna—kecuali seseorang mendefinisikan-memaknai kehidupan. Oleh sebab itu, masing-masing manusia mesti mendefinisikan-memaknai hidupnya secara personal dan sendiri-sendiri.


Perbedaan Kierkegaard dan Sartre


Meskipun keduanya sama-sama seorang eksistensialis, tetapi Kierkegaard adalah seseorang yang religius dan Sartre adalah seseorang yang tak-religius. Eksistensialisme Kierkegaard, adalah eksistensialisme teis (baca: eksistensialisme agama), atau khususnya eksistensialisme Kristen; sebuah gerakan eksistensialis teo-filosofis yang menggunakan pendekatan  agama, pada teologi Kristen—tepatnya. Sedangkan Eksistensialisme Sartre, adalah eksistensialisme ateis; sebuah gerakan antropo-filosofis yang memiliki pendekatan skeptis bahwa eksistensi manusia mungkin adalah gairah tanpa makna. Perbedaan posisi dan perspektif metafisik ini menjadi pembatas filosofis-interpretatif bagaimana keduanya memaknai eksistensi manusia.


Kierkegaard adalah seorang spiritualis yang beriman kepada Tuhan, dan percaya bahwa hubungan manusia dengan Tuhan akan  membantu mengungkapkan tabir makna dan menentukan arah-tujuan hidupnya. Dalam eksistensialisme, ada “ketakpastian objektif”, oleh karenanya kredo Kierkegaard mengandung leap of faith (lompatan iman/lompatan keyakinan); sebuah tindakan penuh risiko yang dilakukan meskipun dengan menyadari bahwa apa yang dilakukannya belum terbukti secara objektif validitasnya. Kierkegaard percaya bahwa “lompatan” ini harus dilakukan agar manusia mampu secara paripurna percaya dan mengimani Tuhan—bertaklid penuh pada apa-apa yang telah Dia wahyukan kepada manusia—menerima dengan cinta apa-apa yang telah diberikan oleh Tuhan—agar secara intens Habluminallah—agar manusia dapat hidup dalam hubungan-vertikal-transenden yang erat dan kuat dengan Tuhan. Singkatnya, agar manusia mampu menciptakan esensi bagi eksistensinya dengan muatan nilai-nilai ketuhanan.


Di bawah nama pseudonimnya, Victor Eremita, beberapa karya berpengaruh ditulis Kierkegaard—misalnya, Frygt og Bæven (Fear and Trembling) dan Gjentagelsen (Repetition and Philosophical Crumbs)—dan dalam kedua buku itu dia menciptakan istilah teknis yang heroik: Troens Ridder (ksatria iman); individu yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada dirinya sendiri, kepada Tuhan, dan dapat bertindak bebas sekaligus mandiri dengan kesadaran akan keberadaan Tuhan.


Secara kontras, berangkat dari pembacaan ketat di bawah teks-teks atas pemikirannya, Sartre besar kemungkinan adalah seorang ateis. Pria introvert itu percaya akan ketiadaan Tuhan—keateisannya itu adalah implikasi logis dari ungkapannya monumentalnya: l'existence précède l'essence (eksistensi mendahului esensi). Dengan kata lain, menurutnya, manusia berbeda dengan objek-objek lain, misalnya—pencipta kursi niscaya telah memikirkan fungsi-tujuan-esensi kursi sebelum secara eksistensi kursi tersebut diciptakan-ditemukan—tetapi tak dengan manusia yang mesti secara personal menciptakan-menentukan fungsi-tujuan-esensi bagi dirinya sendiri. Kodrat manusia tak dapat didefinisikan, sebab tak ada entitas yang lebih tinggi, yang Mahamengetahui, yang menciptakan umat manusia. Sartre bertopang pada pemikiran bahwa nature manusia itu tak pasti, bahwa makna hidup setiap orang ditemukan oleh manusia bukan diwariskan oleh Tuhan—dan setiap orang menempa nasib-takdirnya sendiri-sendiri.


“Pikiranku adalah diriku: itulah sebabnya aku tak bisa berhenti berpikir. Aku ada karena aku berpikir … dan aku tak dapat menahan diri untuk tak berpikir. Saat ini—ini menakutkan—jika aku ada, itu karena aku merasa ngeri pada keberadaan. Akulah yang menarik diriku dari ketiadaan yang aku cita-citakan.”

—Sartre, Nausea (2000)


Setiap orang memiliki beban-beban individu yang memengaruhi semuanya, memengaruhi orang-orang lain. Tanggung jawab kita jauh lebih besar daripada yang kita duga, karena itu melibatkan seluruh umat manusia—tulis Sartre dengan tegas. Seakan dengan tebal mencerminkan aspek kebebasan dan konsekuensi yang dihadapi seorang manusia. Ketakpercayaan Sarte pada kodrat manusia, juga berhubungan langsung dengan anggapnnya bahwa tak ada landasan kolektif yang menghubungkan satu individu dengan individu lainnya. Ungkapan L'enfer, c'est les autres (neraka adalah orang lain), dalam Huis clos (No Exit)—sebuah karya drama Prancis—yang dipentaskan di Théâtre du Vieux-Colombier pada Mei 1944—adalah frasa yang diciptakan dan digunakan Sartre untuk menjelaskan kondisi ini.


Persamaan Kierkegaard dan Sartre 


“Pemikir subjektif bukanlah seorang ilmuwan, tetapi seorang seniman. Mengada adalah seni. Pemikir subjektif cukup estetis untuk memberikan muatan estetika pada hidupnya, cukup etis untuk mengaturnya, dan cukup dialektis untuk menembusnya dengan pemikirannya.”

—Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript (2009)


Kebenaran adalah subjektivitas—tambah Kierkegaard. Dengan kata lain, setiap manusia, setiap individu adalah penentu akhir dalam apa yang benar-benar nyata. Sehingga manusia harus mampu “mentransfigurasikan eksistensinya”. Kierkegaard juga menilai bahwa manusia adalah proyeksi tuhan dan manusia harus mampu memikirkan keberadaan dan relasinya dengan penciptanya (Tuhan). Dengan demikian, dia menekankan manusia sebagai ‘aktor’ bukan ‘spektator’ yang seharusnya mampu dengan subjektivitasnya—untuk berpikir, sadar, dan menghayati secara mendalam hal-hal eksistensial di sekelilingnya. Sekilas mirip dengan manifestasi kehendak bebas à la Sartre yang menekankan pada kemandirian eksistensi. Akan tetapi, ada distingsi subtil dalam pandangan Sartre, khususnya dalam konteks kodrat manusia—sebab makhluk subjektif versi Sartre lebih berfokus pada otentisitas eksistensi,  pada perbedaan-keunikan, yang mesti terbuka secara lebar untuk ditafsir-diinterpretasi.


Kemiripan lain antara eksistensialisme-teistik Kierkegaard dengan eksistensialisme-ateistik Sartre adalah bahwa keduanya melihat eksistensi manusia tak statis, melainkan sebuab proses ‘becoming’ (kemenjadian), yang bermetamorfosis dan bergerak dari kemungkinan-kemungkinan ke tingkat realitas kesadaran yang lebih tinggi. 


Kierkegaard merumuskan aktualisasi-eksistensi bahwa manusia memiliki tiga tahapan menuju diri yang autentik dan sejati: estetik, etik, dan religius—secara singkat: estetik, pengejaran kesenangan duniawi; etik, asumsi tugas kepada masyarakat, negara, dlsb; religius, taat dan mengabdi kepada Tuhan. Di sisi lain, Sartre memformulasikan tiga jenis keberadaan: L'être-en-soi (ada-dalam-dirinya sendiri); L'être-pour-soi (ada-bagi-dirinya); dan L'être-pour-autrui (ada-bagi-orang lain). Sejatinya, Sartre dan Kierkegaard tak memiliki banyak perbedaan-perbedaan signifikan—sebab keduanya adalah eksistensialis yang secara garis besar sepakat dalam banyak hal-perihal.


“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat: semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”

—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (1989)


“Dalam hidup, manusia berkomitmen pada dirinya dan menggambar potretnya sendiri, di luar dari itu tak ada apa-apa. Tak diragukan lagi, pemikiran ini mungkin tampak kasar bagi seseorang yang belum berhasil dalam hidupnya. Tapi di sisi lain, ini membantu seseorang untuk memahami bahwa hanya kenyataan saja yang diperhitungkan-dinilai, dan bahwa mimpi, ekspektasi, dan harapan hanya berfungsi untuk mendefinisikan seorang manusia sebagai mimpi yang hancur, ekspektasi yang gugur, dan harapan yang sia-sia.”

—Sartre, Existentialism is a Humanism (2007)


Bagaimana jika melanjutkan hidup-kehidupan ternyata adalah melanjutkan mati-kematian lainnya? Semoga semua keberadaan berbahagia dan terampuni dosa-dosanya oleh Tuhan yang Mahaesa.


Referensi: 


Adha, Mochammad Aldy Maulana, 2022, “Pengantar Singkat Eksistensialisme”, dalam Genrifinaldy.com, 04 Oktober 2022.


Kierkegaard, Søren, 2014, The Concept of Anxiety: A Simple Psychologically Oriented Deliberation in View of the Dogmatic Problem of Hereditary Sin, New York: Liveright.


Kierkegaard, Søren, 1992, Either/Or: A Fragment of Life, London: Penguin Classics.


Kierkegaard, Søren, 2006, Fear and Trembling, London: Penguin Books.


Kierkegaard, Søren, 2009, Repetition and Philosophical Crumbs, Oxford: Oxford University Press.


Kierkegaard, Søren, 1989, The Sickness unto Death, London: Penguin Classics.


Kierkegaard, Søren, 2009, Concluding Unscientific Postscript, Cambridge: Cambridge University.


Sartre, Jean-Paul, 2000, Nausea, London: Penguin Books.


Sartre, Jean-Paul, 2010, No Exit, New York: Samuel French, Inc.


Sartre, Jean-Paul, 2003, Being and Nothingness, London: Routledge.


Sartre, Jean-Paul, 2001, The Age of Reason, London: Penguin Classics.


Sartre, Jean-Paul, 2000, Essays in Existentialism, New York: Citadel.


Sartre, Jean-Paul, 2007, Existentialism is a Humanism, Connecticut: Yale University Press.


Monday, 5 September 2022

ABCD Eksistensi Mendahului Esensi (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Berasal dari Jean-Paul Sartre (cara mengucapnya dalam Bahasa Inggris: zhon pawl saa·truh), frasa "l'existence précède l'essence/existence precedes essence/eksistensi mendahului esensi" telah dianggap sebagai formulasi klasik, bahkan mendefinisikan jantung filsafat eksistensialisme. Frasa ini adalah ide besar dan radikal yang mengubah metafisika tradisional.

Pemikiran filosofis Barat berpendapat bahwa "esensi" atau "sifat" dari suatu hal lebih fundamental dan abadi daripada sekadar "keberadaannya". Sehingga, jika kita ingin memahami suatu hal, yang harus kita lakukan adalah belajar lebih banyak tentang “esensi”-nya. Sartre tidak setuju, meskipun harus dikatakan bahwa dia tidak menerapkan prinsipnya secara universal, tetapi hanya untuk kemanusiaan.

Sifat yang Pasti vs. Sifat yang Tergantung

Sartre beranggapan bahwa ada dua jenis keberadaan. Yang pertama adalah "ada-dalam-dirinya" (l'en-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang pasti, tetap, lengkap, dan tidak memiliki alasan untuk keberadaannya—apa adanya. Ini menggambarkan dunia eksternal dari objek-objek. Ketika kita mempertimbangkan, misalnya, sebuah palu, kita dapat memahami sifatnya dengan mencatat sifat-sifatnya dan mencari tahu tujuan pembuatannya. Palu dibuat oleh orang-orang untuk alasan tertentu—dalam artian, “esensi” atau “sifat” palu sudah ada di benak penciptanya sebelum palu yang sebenarnya ada di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika menyangkut objek-objek seperti palu, esensi mendahului eksistensi (yang merupakan metafisika klasik).

Tipe kedua dari keberadaan menurut Sartre adalah "ada-untuk-dirinya" (le pour-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang bergantung pada asal-muasal untuk keberadaannya. Ia tidak memiliki sifat yang mutlak, pasti, tetap, atau abadi. Bagi Sartre, ini menggambarkan keadaan manusia dengan sempurna.

Manusia Sebagai Makhluk yang Bergantung

Keyakinan Sartre bertentangan dengan metafisika tradisional—atau, lebih tepatnya, metafisika yang dipengaruhi oleh Kekristenan—yang memersepsikan manusia sebagai palu. Ini karena, menurut kaum teis, manusia diciptakan oleh tuhan sebagai tindakan-kehendak yang disengaja dan dengan pemikiran atau tujuan tertentu—tuhan tahu apa/di mana/kapan/siapa/mengapa/bagaimana membuat manusia sebelum manusia secara eksistensi benar-benar ada. Maka, dalam konteks Kekristenan, manusia bagaikan palu karena sifat dan karakteristik—"esensi"—manusia sudah ada dalam pikiran abadi tuhan sebelum manusia nyata ada di dunia.

Bahkan banyak ateis yang mempertahankan premis dasar ini—meskipun faktanya mereka mengabaikan premis yang menyangkut tentang tuhan. Mereka berasumsi bahwa keberadaan manusia memiliki "sifat manusia" yang khusus, yang membatasi apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan manusia—pada dasarnya, kita semua memiliki "esensi" yang mendahului "eksistensi" kita.

Sartre percaya bahwa ketika kita memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan objek-objek eksternal (seperti palu) adalah suatu kesalahan yang tidak perlu. Sebaliknya, sifat manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada keberadaan orang lain. Maka, bagi manusia, eksistensi mereka mendahului esensinya.

Tiadanya Tuhan

Keteguhan Sartre, menantang prinsip ateisme yang sejalan dengan metafisika tradisional. Tidaklah cukup dengan begitu saja meninggalkan konsep tentang tuhan, katanya, tetapi kita juga harus meninggalkan konsep apa pun yang berasal dari dan bergantung pada gagasan tentang tuhan, tidak peduli seberapa nyaman dan akrabnya kita dengan konsep tersebut selama berabad-abad.

Sartre menarik dua kesimpulan penting dari ini. Pertama, dia berargumen bahwa tidak ada sifat manusia yang umum bagi semua orang karena tidak ada tuhan yang memberikannya sejak awal. Manusia ada, itu sudah jelas, tetapi hanya setelah adanya beberapa "esensi" yang bisa disebut sebagai "sifat-sifat manusia" tersebut bisa dikembangkan. Manusia harus mengembangkan, mendefinisikan, dan memutuskan seperti apa "sifat" mereka melalui keterlibatan dengan diri mereka sendiri, masyarakat mereka, dan realitas-dunia di sekitar mereka.

Individual namun Bertanggung Jawab

Lebih lanjut, Sartre berargumen, meskipun "sifat" setiap manusia tergantung pada bagaimana mendefinisikan diri sendiri, kebebasan radikal ini disertai dengan tanggung jawab yang sama radikalnya. Tidak ada yang bisa begitu saja mengatakan "itu adalah sifatku" sebagai dalih untuk perilaku mereka. Apa pun yang dilakukan seseorang sepenuhnya bergantung pada pilihan dan komitmen mereka sendiri—tidak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran. Orang-orang tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan (atau dipuji) selain diri mereka sendiri.

Sartre lantas mengingatkan bahwa kita bukanlah individu yang terisolasi, melainkan anggota komunitas dan umat manusia. Mungkin tidak ada sifat manusia yang universal, tetapi pasti ada kondisi manusia yang sama—kita semua bersama-sama, kita semua hidup dalam masyarakat-manusia, dan kita semua dihadapkan pada jenis keputusan yang sama.

Setiap kali kita membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan membuat komitmen tentang bagaimana hidup, kita juga membuat pernyataan bahwa perilaku dan komitmen ini adalah sesuatu yang bernilai dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada otoritas objektif yang memberi tahu kita bagaimana seharusnya berperilaku, kita harus tetap berusaha untuk menyadari bahwa pilihan kita memengaruhi orang lain. 

Jauh dari individualis penyendiri, manusia, menurut Sartre, bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, ya, tetapi mereka juga memikul tanggung jawab atas apa yang dipilih orang lain dan apa yang mereka lakukan. Ini akan menjadi tindakan menipu diri sendiri untuk membuat pilihan dan kemudian pada saat yang sama berharap bahwa orang lain tidak akan membuat pilihan yang sama (misalnya, kita memiliki kebebasan untuk menonjok muka kawan kita yang menyebalkan—dan kita benar-benar menonjoknya—maka kita harus siap untuk bertanggung jawab semisal dia melakukan visum dan melaporkan kita ke pihak berwajib—atau jika dia memilih untuk menonjok balik muka kita). Menerima beberapa tanggung jawab untuk orang lain yang mengambil pilihan yang sama dengan kita adalah satu-satunya alternatif.

*****

Sedikit Catatan

Tulisan ini memiliki judul asli "Existence Precedes Essence: Existentialist Thought"—namun karena beberapa faktor tertentu dan pertimbangan diseminasi, penerjemah menerbitkannya dengan judul "ABCD Eksistensialisme".

Sumber Literatur

Existence Precedes Essence: Existentialist Thought – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/existence-precedes-essence-existentialist-thought-249956

Thursday, 4 August 2022

Analisis Cerpen “The Wall” - Sartre (Esai Translasi)

Gulag (2018) by Claiborne Coyle

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sinopsis

Narator "The Wall", Pablo Ibbieta, adalah seorang anggota Brigade Internasional, sukarelawan dengan pemikiran progresif dari negara lain yang pergi ke Spanyol demi berperang melawan Fasisme Francisco Franco dalam upaya mempertahankan Spanyol sebagai negara republik. Bersama dua orang lainnya, Tom dan Juan, dia ditangkap oleh tentara Franco. Tom aktif dalam perjuangan, seperti Pablo; tetapi Juan hanyalah seorang pemuda yang kebetulan adalah saudara dari seorang anarkis yang giat memerangi fasis.

Interogator Tidak Bertanya Apa-apa

Dalam adegan pertama, mereka diwawancarai dengan cara yang sangat ringkas. Mereka hampir tidak ditanya apa-apa, meskipun sang interogator tampaknya menulis banyak tentang mereka. Pablo ditanya apakah dia tahu keberadaan Ramon Gris, seorang pemimpin anarkis lokal. Dia berkata, tidak mengetahuinya. Mereka kemudian dibawa ke dalam sel. Pada pukul 8:00 malam, seorang petugas datang untuk memberi tahu mereka, dengan cara yang sejujur-jujurnya, bahwa mereka telah dijatuhi hukuman mati dan akan ditembak mati keesokan paginya.

Pengetahuan tentang Kematian yang akan Datang

Secara alami, mereka menghabiskan malam dengan rasa tertekan oleh pengetahuan tentang kematian mereka yang akan datang. Juan tidak berdaya ketika mengasihani dirinya sendiri. Seorang dokter Belgia menemani mereka agar saat-saat terakhir mereka "tidak terlalu sulit". Pablo dan Tom berjuang untuk menerima gagasan kematian pada tingkat intelektual, sementara tubuh mereka mengungkapkan rasa takut yang secara alami memang mereka takuti. Pablo mendapati dirinya basah kuyup oleh keringatnya sendiri; Tom tidak bisa mengontrol kandung kemihnya (dia mengompol).

Semuanya Berubah

Pablo mengamati bagaimana dihadapkan dengan kematian secara radikal mengubah cara pandang tentang segala sesuatu—benda-benda yang dikenal, orang-orang, teman-teman, orang-orang asing, kenangan-kenangan, hasrat-hasrat—merupa padanya dan sikapnya terhadap itu semua berubah total. Dia merenungkan hidupnya pada titik ini:

Pada saat itu aku merasa bahwa aku mendapati seluruh hidupku berada di depanku dan aku berpikir, "Ini adalah omong kosong yang terkutuk". Tidak ada gunanya, sebab semuanya telah selesai. Aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan, tertawa bersama gadis-gadis: aku tidak akan bergerak selincah jari kelingkingku jika aku hanya membayangkan aku akan mati seperti ini. Hidupku berada di depanku, terkunci, tertutup, seperti tas, namun semua yang ada di dalamnya belumlah selesai. Untuk sesaat aku mencoba menilainya. Aku ingin mengatakan pada diriku sendiri, ini adalah kehidupan yang indah. Tapi aku tidak bisa menilainya; itu hanyalah sketsa; aku telah menghabiskan waktuku memalsukan keabadian, aku tidak mengerti apa-apa. Aku tidak melewatkan apa pun: ada begitu banyak hal yang bisa kulewatkan, rasa manzanilla atau mandi yang kulakukan di musim panas di sungai kecil dekat Cadiz; tetapi kematian telah mengecewakan semuanya.

Dikeluarkan dari Sel untuk Ditembak Mati

Pagi tiba, Tom dan Juan dibawa ke luar untuk ditembak mati. Pablo diinterogasi lagi, dan diberitahu bahwa jika dia membeberkan di mana keberadaan Ramon Gris, dia akan dibebaskan dari hukuman mati. Dia dikunci di ruang cuci untuk memikirkannya selama 15 menit ke depan. Sewaktu itu Pablo bertanya-tanya mengapa dia rela mengorbankan hidupnya untuk Gris, dan tidak bisa memberikan jawaban selain bahwa dia harus menjadi "orang yang keras kepala". Ketidakrasionalan dari tindakannya itu menghibur dirinya sendiri.

Melawak

Ditanya sekali lagi untuk mengungkapkan di mana Ramon Gris bersembunyi, Pablo memutuskan untuk bergurau dan menyampaikan jawaban, memberi tahu interogatornya bahwa Gris bersembunyi di pekuburan lokal. Tentara segera dikirim, Pablo pun menunggu kepulangan mereka dan eksekusinya. Namun, beberapa saat kemudian, dia diizinkan bergabung dengan kumpulan tahanan di halaman yang tidak menunggu eksekusi mati, dan diberitahu bahwa dia tidak akan ditembak—setidaknya untuk saat ini. Pablo tidak mengerti mengapa dia dipindahkan dan eksekusi matinya ditunda, sampai salah satu tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa Ramon Gris, pagi itu ditemukan dan dibunuh setelah pindah dari tempat persembunyiannya yang lama ke pekuburan lokal. Pablo bereaksi dengan "tertawa keras, sangat keras sampai dia menangis".

Analisis Tema Utama

Elemen penting dari cerita Sartre membantu menghidupkan beberapa konsep sentral eksistensialisme. Tema utama ini meliputi:

Hidup Dihadirkan sebagai Sesuatu yang Dialami

Seperti kebanyakan literatur eksistensialis lainnya, cerita ditulis dari sudut pandang orang pertama, dan narator tidak memiliki pengetahuan di luar masa kini. Dia tahu apa yang dia alami; tetapi dia tidak bisa masuk ke dalam pikiran orang lain; tidak pula dia mengatakan sesuatu seperti, "Kemudian aku menyadari bahwa ..."—yang tentu bermakna melihat kembali masa kini dari masa depan.

Intensitas Sensasi

Pablo mengalami-mengindrai kedinginan, kehangatan, kelaparan, kegelapan, cahaya terang, bebauan, bersimpati (dengan hal-hal kiri, komunisme), dan kenestapaan. Orang-orang menggigil, berkeringat, dan mengompol. Sementara para filsuf seperti Plato melihat sensasi sebagai penghambat pengetahuan, di cerpen ini, sensasi disajikan sebagai jalan dari pemahaman akan sesuatu.

Tidak Ada Ilusi

Pablo dan Tom mendiskusikan sifat kematian mereka yang akan datang sebrutal dan sejujur ​​mungkin, bahkan membayangkan peluru-peluru tenggelam ke dalam daging mereka. Pablo mengakui kepada dirinya sendiri bagaimana ekspektasinya akan kematian telah membuatnya tidak peduli kepada orang lain dan kepada tujuan yang dia perjuangkan.

Kesadaran vs. Hal-hal Material

Tom mengatakan bahwa dia dapat membayangkan tubuhnya terbaring lemah dilubangi peluru; tetapi dia tidak dapat membayangkan ketika dirinya tidak mengada—sebab "diri" yang dia identifikasi adalah kesadarannya, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Seperti yang Sartre katakan, "kita tidak dibuat untuk berpikir seperti itu."

Semua Orang Mati Seorang Diri

Kematian memisahkan yang hidup dari yang mati; tetapi mereka yang akan mati juga terpisah dari yang hidup—sebab hanya mereka (yang akan mati) yang dapat mengalami apa yang akan terjadi pada mereka sendiri. Kesadaran yang kuat dan intens akan hal ini menempatkan batas-batas antara mereka (yang akan mati) dan setiap orang.

Kondisi Manusia Diintensifkan

Seperti yang diamati Pablo, para sipirnya juga akan segera mati, hanya sedikit lebih lambat dari dirinya. Hidup di bawah hukuman mati adalah kondisi manusia. Tapi, sewaktu hukuman itu akan segera dilaksanakan, kesadaran yang kuat akan kehidupan meningkat pesat.

Simbolisme Judul

"The Wall" atau Dinding adalah simbol penting dalam cerita pendek ini, dan mengacu pada beberapa dinding atau penghalang.

• Dinding tempat mereka akan ditembak mati.

• Tembok yang memisahkan kehidupan dari kematian.

• Tembok yang memisahkan yang hidup dari yang terpidana mati.

• Dinding yang memisahkan satu individu dengan individu lainnya.

• Dinding yang mencegah kita mencapai pemahaman yang jelas tentang apa itu kematian.

• Dinding yang mewakili materi kasar, yang kontras dengan kesadaran, dan di mana kesadaran manusia akan terhapus saat ditembak mati.

*****

Sumber Literatur:

Understanding Sartre's "The Wall" – ThoughtCo.


Saturday, 30 July 2022

Sartre versus Camus (Esai Translasi)

SFJ
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus adalah dua ikon utama kehidupan intelektual Prancis abad ke-20, khususnya pada tahun 1940—1960. Karya dan komitmen mereka bersinggungan dan saling merespon begitu banyak tantangan bagi dunia.

Pengantar Sartre versus Camus: Perang dan Filsafat: Latar Belakang Sejarah

Hubungan Sartre-Camus telah memodelkan filsafat Prancis pasca-Perang Dunia II.

Sejak tahun 1943, Sartre dan Camus, berkawan baik, keduanya di mana-mana bersama. Publik, tanpa detail yang jelas, bahkan mencantumkan penulis Nausea dan The Stranger itu di bawah label yang sama: “Eksistensialis”.

Setelah pembebasan Prancis yang dimulai pada 6 Juni 1944, eksistensialisme lebih dari sekadar filsafat yang sedang digemari, ini adalah gaya hidup dan tempat: Saint-Germain-des-Prés (wilayah Paris).  The Existentialism Is a Humanism merangkum filsafat ini dengan baik.

Bagi khalayak banyak dapat diringkas dalam satu kalimat: “eksistensi mendahului esensi”.

Eksistensialisme Sartre dirancang pertama sebagai filsafat kebebasan dan tanggung jawab: kita adalah apa yang kita lakukan, bukan makhluk yang takdirnya telah ditentukan sebelumnya. Menurut kata kunci hari ini, tentang 'komitmen'.

Camus tentu tidak menolak untuk terlibat, tetapi ia menolak label “eksistensialis” dan bahkan seorang filsuf. Sejak tahun 1947, ketidak sepakatan politik antara Sartre dan Camus memperdalam Camus untuk mencela kubu Stalin, bagian dari "rumah tangga" Sartre yang Komunis.

Pada tahun 1952, Jeanson (teman Sartre) diterbitkan dalam jurnal Sartre, “Modern Times”, sebuah laporan yang sangat kritis terhadap The Rebel. Buku terakhir Camus dianggap reaksioner, dan penuh penilaian yang keliru. Camus, tidak memedulikan Jeanson, merespon langsung ke Sartre. Edisi berikutnya dari “Modern Times” diterbitkan di sebelah surat dar itanggapan keras Camus kepada Sartre:

“Campuran gelap antara rasa puas diri dan kerentanan selalu memperkecil hati untuk mengatakan seluruh kebenaran … Mungkin Anda miskin, tetapi Anda tidak lagi miskin. Anda adalah warga negara dan seperti Jeanson yang seperti saya … moral Anda pertama kali diubah menjadi moralisme, hari ini lebih dari sekadar sastra, besok mungkin menjadi tidak bermoral.”

Camus dan Sartre tidak akan pernah bertemu. Namun, empat tahun kemudian, ketika Tentara Merah menumpas pemberontakan di Budapest, Sartre pada gilirannya (diikuti oleh sejumlah besar intelektual) memutuskan hubungan dengan Partai Komunis. Akan tetapi, perang di Aljazair antara Sartre dengan seorang pendukung kemerdekaan, Camus, yang masih ingin percaya pada jalan penyelesaian yang damai, kembali pecah.

Camus dan Eksistensialisme

Albert Camus (1913—1960), yang dianugerahi Penghargaan Nobel pada tahun 1957, adalah kawan pertama Jean-Paul Sartre yang kemudian menjadi lawannya. Tidak seperti Sartre, yang seorang laki-laki borjuis, Camus adalah laki-laki pinggiran kota yang miskin. Camus merasa mewakili pemikiran Mediterania, dengan kata lain, kemurnian dari (Yunani, Latin, klasik). Kemurnian antara instrumental dalam desain absurd dan manusia absurd adalah segalanya, di atas semua yang memikirkan dengan jernih perihal kehidupan. Sikap “Hellenik” atau “Hellenistik” ini bahkan lebih menonjol meskipun bersentuhan dengan budaya Arab atau Spanyol, tetapi Camus sama sekali tidak dipengaruhi dan terpengaruh Islam (meskipun bersentuhan langsung dengan budaya Arab).

Eksistensialisme Camus adalah eksistensialis yang putus asa, tetapi tanpa nausea dan disgust ala Sartrean. Eksistensialisme Camus adalah peramal putus asa, pendiri kebesaran manusia dan humanisme Camusian.

Manusia absurd adalah pusat pemikiran Camus. Seperti para filsuf eksistensialis lainnya, perasaan absurditas adalah konsekuensi dari sifat dasar keberadaan manusia—tidak terbatas pada wajah absolut yang dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Camus, absurditas tidak terletak pada manusia ataupun alam semesta: ini adalah hasil dari pengamatannya dan realisasi paradoks itu. Beberapa sikap dimungkinkan. Camus menolak sikap eskapis (melarikan diri): bunuh diri, yang ditarik kembali dengan menghapusnya, salah satu istilah dari kontradiksi (penekanan kesadaran). Ia juga menolak doktrin-doktrin bahwa dunia ini terletak di luar dasarnya dan harapan yang akan memberi makna pada kehidupan, keyakinan agama, pemikiran bunuh diri filosofis (Kierkegaard, Jaspers, Shestov).

Manusia absurd adalah seseorang yang menerima tantangan dengan lugas, ini adalah dasar dari pemberontakannya yang membawanya untuk mengambil baik kebebasannya, tetapi juga kontradiksinya sendiri dengan memutuskan untuk hidup dengan hasrat dan hanya dengan apa yang ia ketahui.

Karya Camus:

The Myth of Sisyphus (1942)

The Rebel (1951)

The Stranger (1944)

The Plague (1947)

The Fall (1956)

Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme: 1946

Ketika mempertimbangkan objek yang diproduksi seperti buku atau pemotong kertas, objek ini dibuat oleh seorang pengrajin yang terinspirasi oleh konsep yang diamaksud dengan konsep potong kertas, dan juga teknik bagian pra-produksi dari konsep tersebut, yang pada dasarnya adalahr esep. Jadi, pembuka adalah objek yang bekerja dengan cara tertentu dan, di sisi lain, juga memiliki manfaat yang pasti, dan kita tidak dapat mengasumsikan seorang manusia yang akan menghasilkan pisau kertas tanpa mengetahui apa yang akan melayani tujuannya. Mari kita katakan bahwa untuk pemotong, bensin—yaitu semua resep dan kualitas yang dapat memproduksi dan mendefinisikannya—mendahului eksistensi, dan kehadiran di depan saya, seperti pembuka surat atau buku semacam itu ditentukan. Di sini kita memiliki penglihatan teknis tentang dunia di mana kita dapat mengatakan bahwa tahap-tahap produksi itu mendahului eksistensi.

Eksistensialisme ateistik, yang saya wakili, […] mengatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada makhluk yang eksistensinya mendahului esensi, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsep apa pun dan makhluk ini adalah manusia atau, seperti yang dikatakan Heidegger, realitas-manusia1. Apa yang dimaksud di sini bahwa eksistensi mendahului esensi? Ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada, terjadi, muncul di dunia, dan itu ditentukan kemudian. Manusia, sebagai mana dikandung oleh eksistensialisme, tidak dapat didefinisikan, adalah bahwa ia bukan yang pertama. Itu akan terjadi, dan itu akan menjadi seperti yang telah terjadi. Jadi, tidak ada kodrat manusia, karena tidak ada sosok Adikodrati yang memikirkannya. Manusia tidak hanya seperti yang berkembang, tetapi seperti yang diinginkannya, dan ketika ia berkembang dari sana, seperti yang ia inginkan setelah momentum keberadaan ini, manusia tidak lain adalah apa adanya. Ini adalah prinsip pertama eksistensialisme.  […]

Maksudnya manusia pertama-tama ada, artinya manusia terutama adalah apa yang dilemparkan ke masa depan, dan apa yang secara sadar melihat ke masa depan. Manusia pada dasarnya adalah sebuah proyek yang dihayati secara subjektif, dari pada buih, pembusukan atau kembang kol, tidak ada yang ada sebelum proyek ini, tidak ada yang di surga yang dapat dipahami2, dan manusia apa yang pertama kali harus diproyeksikan.

 1 – realitas manusia: dalam bahasa Jerman, diterjemahkan Dasein (secara harfiah "berada di sana"), yang berarti cara keberadaan manusia, karena ia masih direncanakan.

 2 - Di surga dapat dipahami: di langit ide, rumah, menurut Plato, esensi dari semua hal.

Jean-Paul Sartre versus Albert Camus

Sartre dan Camus telah menulis karya tanpa pernah mengetahui bahwa karya-karya itu akan membuat mereka terkenal. Sartre menghargai The Stranger, sementara Camus tertarik pada Nausea dan The Wall. Akan tetapi, kita tidak bisa membayangkan pandangan dunia yang lebih berlawanan dari pada Sartre, dibayangi oleh kengerian alam yang mendalam, dan Camus, oleh cinta Mediterania yang terang. Persahabatan sulit bergabung dengan kedua penulis itu setelah Pembebasan Prancis, Camus tidak pernah berhenti untuk menjauhkan vis-à-vis eksistensialisme Sartre. Pecahnya mereka, yang menyebabkan kegemparan besar pada tahun 1952 mungkin menandai perbedaan politik, Sartre mengalami lebih banyak simpati dan Camus tumbuh dan mengalami kengerian dari komunisme Soviet. Namun, ia menghabiskan sebagian besar perceraian antara dua konsepsi kehidupan dan sastra: humanisme, pemberontakan, cinta kebahagiaan, cinta "bentuk yang baik" Camus, komitmen politik, revolusi, obsesi dengan rasa bersalah, jijik dengan "sastra" di Sartre. Jika di luar semua perbedaan ini ada suatu kesatuan tertentu antara karya mereka masing-masing, itu ada di cakrawala tahun yang sama, yang umum bagi mereka dan mereka membantu membentuknya bersama. Dapat dijelaskan bahwa eksistensialis mememiliki sedikit melampaui cakupan sebuah generasi, dan ia tidak memiliki literatur yang subur yang telah menunjukkan dua puluh tahun sebelumnya, surealisme. Mentor pembelajar ini memiliki, tetapi tidak banyak.

*****

Sumber Literatur: Tim, "Sartre vs. Camus: The battle of french philosophers, February 17, 2022, " in Philosophy & Philosophers, February 17, 2022, https://www.the-philosophy.com/sartre-vs-camus.