Sunday, 17 September 2023
Monday, 8 May 2023
Modal Kultural à la Bourdieu (Esai Translasi)
Artikel ditulis oleh Nicki Lisa Cole, Ph.D. dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
Modal kultural, singkatnya, merupakan akumulasi pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan kompetensi budaya dan status sosialnya. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menciptakan istilah ini dalam makalahnya yang berjudul “Cultural Reproduction and Social Reproduction”—ditulis bersama Jean-Claude Passeron—pada tahun 1973. Bourdieu kemudian mengembangkan karya itu menjadi konsep teoretis dan pisau analitis dalam bukunya yang mengudara di tahun 1979: Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste.
Bourdieu dan Passeron menegaskan bahwa akumulasi pengetahuan digunakan untuk memperlebar jurang perbedaan kelas. Itu karena variabel-varibel seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama cenderung menentukan siapa yang memiliki akses lebih ke berbagai bentuk pengetahuan. Status sosial juga membingkai beberapa bentuk pengetahuan yang berujung pada superioritas-inferioritas; yang satu lebih “oke banget” ketimbang yang lain.
Modal Kultural dalam Keadaan yang Diwujudkan
Dalam esainya yang terbit pada tahun 1986, “The Forms of Capital”, Bourdieu memecah konsep modal kultural menjadi tiga bagian. Pertama, ia menyatakan bahwa modal kultural ada dalam keadaan yang diwujudkan—artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu, melalui sosialisasi dan pendidikan, ada di dalam diri mereka. Semakin mereka memperoleh bentuk tertentu dari modal kultural yang terkandung, katakanlah pengetahuan tentang musik klasik atau film artistik, semakin mereka “siap” untuk menemukannya. Norma, adat istiadat, dan keterampilan seperti table manners, bahasa, dan perilaku gender, yang terkandung dalam modal kultural dari setiap individu seringkali tercerminkan ketika dirinya berinteraksi dengan individu lainnya.
Modal Kultural dalam Keadaan Terobjektifikasi
Modal kultural juga ada dalam keadaan yang diobyektifikasikan. Hal ini mengacu pada objek material yang dimiliki individu yang mungkin berhubungan dengan pendidikan mereka (buku dan laptop), pekerjaan (alat dan perlengkapan), pakaian dan aksesoris, barang tahan lama di rumah mereka (furnitur dan barang dekoratif seperti lukisan), dan bahkan makanan yang mereka beli dan siapkan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk modal kultural yang diobyektifikasi ini cenderung menandakan kelas ekonomi seseorang.
Modal Kultural dalam Keadaan yang Terlembagakan
Puncaknya, modal kultural ada dalam keadaan terlembagakan. Ini mengacu pada cara-cara di mana modal kultural diukur, disertifikasi, dan diberi peringkat. Kualifikasi dan gelar akademik adalah contoh utama dari hal ini, begitu pula jabatan di kantor, jabatan politik, dan peran sosial seperti suami, istri, ibu, dan ayah.
Yang terpenting, yang mesti digarisbawahi, Bourdieu menekankan bahwa modal kultural ada dalam sistem pertukaran dengan modal finansial dan modal sosial. Modal finansial, tentu saja, mengacu pada uang dan kekayaan materialistik. Modal sosial mengacu pada hubungan sosial yang dimiliki seorang individu dengan teman sebayanya, keluarganya, koleganya, tetangganya, dan lain sebagainya. Modal finansial dan modal sosial, dalam titik tertentu, dapat dipertukarkan satu sama lainnya.
Dengan modal finansial, seseorang dapat membeli kunci untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi yang kemudian akan “menghadiahinya” dengan modal sosial berharga. Pada gilirannya, modal sosial dan modal kultural yang terakumulasi di sekolah atau perguruan tinggi elit dapat dikonversi menjadi modal finansial melalui jaringan sosial (koneksi “orang dalam” berprivilese, misalnya), keterampilan, nilai, dan perilaku yang mengarahkan seseorang pada pekerjaan bergaji tinggi. Untuk alasan ini, Bourdieu mengamati bahwa modal kultural berpotensi tinggi digunakan untuk memfasilitasi dan menegakkan stratifikasi sosial, hierarki, dan ketidaksetaraan secara struktural.
Inilah mengapa penting untuk mengakui dan menghargai modal kultural yang tidak tergolong elit (low culture). Penting juga untuk menyadari bahwa cara memperoleh dan menampilkan pengetahuan sangatlah bervariasi di antara kelompok sosial. Renungkanlah tentang betapa pentingnya sejarah lisan dan kata yang diucapkan dalam banyak kebudayaan tertentu. Di lingkungan perkotaan, misalnya, seorang individu harus belajar dan mematuhi “bahasa” yang ada di sana untuk sekadar “bertahan hidup”.
Setiap individu memiliki modal kultural dan menyebarkannya setiap hari untuk menavigasi masyarakat. Semua bentuknya valid, tetapi kebenaran yang sulit adalah bahwa mereka tak dihargai secara setara oleh institusi masyarakat. Ini menimbulkan konsekuensi ekonomi dan politik yang nyata; yang memperdalam perpecahan sosial dan memperparah perundungan sosial.
Sumber Literatur:
What Is Cultural Capital? Do I Have It?, Nicki Lisa Cole, Ph.D.:
https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374