Showing posts with label sosiologi. Show all posts
Showing posts with label sosiologi. Show all posts

Sunday, 17 September 2023

Mokondo-Momekdo dan Teori Modal Bourdieu

 

Jujurly, kegatalan tak bernama adalah bahan bakar utama saya dalam menulis opini jelek ini. Pada mulanya, begini, saya sedang berselancar di aplikasi X lalu saya menemukan sebuah utas berisi seseorang yang tengah dirujak berjemaah oleh orang-orang dari mazhab al-alteriyyah (baca: akun alter) karena ia katanya “tidak modal“ ketika berpacaran.
“Najis! Dasar mokondo!“—adalah komentar paling dominan yang menguasai perujakan duniawi tersebut. Di sisi lain, counter-attack pun datang, “Yeu elu juga sama aja, momekdo!“—dan karena penasaran terhadap apa yang sebenarnya mereka bicarakan, saya pun mencari tahu dua istilah yang terdengar cukup alien di telinga saya itu. Ibu jari saya bermigrasi ke aplikasi Google Chrome. Lantas dengan lekas mengunyah artikel-artikel yang bertebaran di sana.
Sependek pembacaan saya, 'Mokondo' dan 'Momekdo', merupakan singkatan dari “modal k*nt*l doang” dan “modal m*m*k doang”. Gak bahaya ta, batin saya, saat mengetahui arti dari dua akronim itu.
Kemudian wajah Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis dan tokoh strukturalis yang gigan itu, adalah yang pertama kali mencuat di kesadaran saya. Tak berselang lama, pikiran saya yang jahil memisalkan Bourdieu masih hidup, suka jb jb, dan kebetulan menemukan utas tersebut—sehingga besar kemungkinan ia akan berkomentar begini: “Sorry to say this, but, Nder.. gak ada mokondo-momekdo, masing-masing dari diri kita adalah akumulasi dari modal-modal; economic capital, cultural capital, social capital, symbolic capital. Ketika seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ada capital conversion di situ.“
Yang terjadi setelahnya, barangkali, akan ada seseorang yang menanggapi, “Aku mah masih pemula. Ajarin dong puh sepuh.”
Idih si paling pemula. Bacot lu Mesopotamia. Lu pilih diem apa tirai no 3?

Teori Modal Bourdieu

zoom-in-whitePerbesar
Terdapat semacam postulat umum bahwa modal/kapital mengarah pada terma ekonomi yang diukur oleh uang. Anggapan dasar ini tidak sepenuhnya salah bila mengingat manusia sebagai homo economicus (makhluk ekonomi). Namun akan “kurang tepat” kalau melupakan prototipenya sebagai homo culturalis (makhluk budaya), homo socius (makhluk sosial), dan semiovora (makhluk pemakan “tanda”).
Dengan kata lain, selain sebagai makhluk yang ngarti duit dan percuanan, plus transaksional—manusia juga aktif mencipta-terekspos budaya (mengkalcerkan/terkalcerkan), bersosial (nongkrong gitu lah, ya), dan memakan-bermain tanda (oh, penanda ini adalah petanda itu) tertentu dari suatu subjek, hal, atau benda. Oleh karenanya, jika berangkat dari argumen ini, maka menganggap modal/kapital hanya sebatas fulus merupakan kenaifan yang gegabah. Magsoed loe gimane?
Modal tidak selalu bersifat ekonomi, dan tidak melulu soal uang. Setidaknya begitulah yang berulang kali saya tangkap dari pemikiran-pemikiran Bourdieu, khususnya dalam karyanya yang berjudul Forms of Capital, Distinction, dan On the Theory of Action.
Di buku-bukunya itu, ia memfafifuwasweswoskan mengenai relasi serta konversi antara berbagai jenis modal: Modal Finansial (duit, aset materialistik seperti kendaraan pribadi dan properti), Modal Kultural (pendidikan, pengetahuan, selera, eksposur produk-produk budaya), Modal Sosial (keluarga, koneksi, jaringan), dan Modal Simbolik (penghargaan, pengakuan, prestise, publisitas).
Sebagai gambaran, seseorang yang punya Modal Kultural (pengetahuan) dapat mengonversinya menjadi Modal Simbolik (pengakuan), atau seseorang yang punya Modal Finansial (uang) dapat mengonversinya menjadi Modal Sosial (koneksi).
Menurut saya, sesampah-sampah seseorang pastilah ia tidak benar-benar punya modal yang nol besar. Dengan demikian, jika saya coba sambungkan ke dalam fenomena mokondo-momekdo—ketika dua individu menjalani suatu hubungan, katakanlah berpacaran—saya menilai, tidak mungkin keduanya “tidak bermodal”. Masing-masing dari mereka pastilah mempunyai modal-modal tertentu.
Entah dalam bentuk kecantikan-ketampanan, gelar dari universitas bergengsi, karya kreatif/intelektual, bahasa tertentu, popularitas, atau selera humor, musik, buku, sinema, dan seni yang terbilang “ok banget”—(tanpa bermaksud mendiskriminasi selera-selera tertentu dan memperlebar jurang antara low culture dan high culture).
Maka mokondo-momekdo pada titik ini, saya pikir, dapat dikatakan tidak logis bila dipandang dari kacamata Teori Modal Bourdieu. Yang membuatnya cacat, secara logika bahasa, adalah penggunaan kata “doang”—karena dalam setiap individu terdapat setidaknya 4 buah modal à la Bourdieu, sehingga mengatakan “doang” sama dengan menutup mata atas fakta-fakta sosiologis yang nyata adanya.
Tapi perlu digarisbawahi, sebagai catatan, saya tidak sedang berusaha menjustifikasi konsep kencan hanya “membawa badan” dan berharap sang pasangan akan dengan senang hati membayarkan makan di restoran all you can it, mentraktir es krim mcflurry di suatu mcd, membelikan tiket untuk menonton film teranyar di sebuah bioskop, dan seterusnya.
Tidak sama sekali. Saya secara pribadi justru menentang seseorang bermental pengemis semacam itu dan mungkin punya kecenderungan cinderella complex—dalam konteks, financial support—terlepas dari apapun gendernya. Di lain sisi, saya mafhum bahwa menjadi “donatur” ataupun “gold-digger” adalah hak setiap individu dalam “arena” cinta luring, atau daring, seperti misalnya Tinder atau Bumble.
Tapi teman saya, sebut saja si N—yang borju, julid, tengil kayak duit bapaknya halal aja, dan tentu tidak akan memahami kesuraman struktural pernah mengatakan ini kepada saya, “Ngapain sih para pengangguran sok-sokan pacaran? Mending mereka gawe, buka bisnis kek. Ngamen kek. Mulung kek.”
Sejak pertama kali mengenalnya sampai sekarang, saya masih percaya bahwa kata-katanya setajam rambut yang dibelah tujuh. Apa yang dikatakannya jelas terdengar kejam dan brutal. Seakan-akan orang miskin tidak boleh bucin. Sayangnya, fakta pahitnya, lambat laun saya menyadari memang tidak ada yang gratis di dunia ini. There's No Such Thing As a Free Lunch, kalau kata judul bukunya Friedman, ekonom Amerika Serikat yang pernah diganjar Nobel Ekonomi.
Sederhananya begini, kalau parkir bayar, ingin kencing bayar, mengisi daya ponsel bayar—apalagi pacaran? Ya, tentu, butuh modal finansial yang terbilang “cukup besar”—atau minimal ada pengaggaran. Sebab berkencan memang butuh dana, tidak bisa hanya bermodalkan pemikiran. “Lu punya duit, lu punya kuasa... dan bisa punya pacar!” kata Foucault setelah terpapar Adam Smith dan kemudian mengutip kata serta logat Bayem Sore, sang filsuf kontemporer.
Pada gilirannya, saya mengandaikan kalau saja si N bisa lebih membumi, “menyentuh rumput”, dan sekali saja mencoba memahami disparitas antar kelas borjuis dan proletar—mungkin ia bisa duduk ngopi sambil cosplay maba-aktivis-kiri yang hampir selalu bermimpi mengorganisir massa demi meruntuhkan kapitalisma—yang dalam konteks ini, merugikan para pembucin.
Meskipun saya dan N telah bersepakat, lebih mudah membayangkan dunia ini kiamat ketimbang kapitalisma rungkad—seperti bacotan Žižek, yang gemar sekali menggosok hidungnya.

Epilog

Dengan adanya fenomena mokondo-momekdo, mata saya sekali lagi terbuka dan memahami betapa pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan—khususnya, hubungan romansa—demi meminimalisir potensi kekecewaan-kekecewaan yang sebenarnya dapat dicegah. Misalnya, dengan membikin perjanjian-perjanjian tertentu atau sekurang-kurangnya berdiskusi untuk mencapai konvensi kencan, katakanlah, split bill (baca: patungan), dan sebagainya.
Pada akhirnya, saya akan tetap mengambil posisi duduk favorit saya sambil mengatakan sesuatu yang cukup berwarna Sartrean, “Do whatever you want. But remember this, consider that, every choice you make and every deed you take, has the complex consequence that you may forget to calculate.”

Monday, 8 May 2023

Modal Kultural à la Bourdieu (Esai Translasi)

A Panel of Experts (1982) by Basquiat

Artikel ditulis oleh Nicki Lisa Cole, Ph.D. dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Modal kultural, singkatnya, merupakan akumulasi pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan kompetensi budaya dan status sosialnya. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menciptakan istilah ini dalam makalahnya⁠ yang berjudul “Cultural Reproduction and Social Reproduction”—ditulis bersama Jean-Claude Passeron—pada tahun 1973. Bourdieu kemudian mengembangkan karya itu menjadi konsep teoretis dan pisau analitis dalam bukunya yang mengudara di tahun 1979: Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste.

Bourdieu dan Passeron menegaskan bahwa akumulasi pengetahuan digunakan untuk memperlebar jurang perbedaan kelas. Itu karena variabel-varibel seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama cenderung menentukan siapa yang memiliki akses lebih ke berbagai bentuk pengetahuan. Status sosial juga membingkai beberapa bentuk pengetahuan yang berujung pada superioritas-inferioritas; yang satu lebih “oke banget” ketimbang yang lain.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Diwujudkan

Dalam esainya yang terbit pada tahun 1986, “The Forms of Capital”, Bourdieu memecah konsep modal kultural menjadi tiga bagian. Pertama, ia menyatakan bahwa modal kultural ada dalam keadaan yang diwujudkan—artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu, melalui sosialisasi dan pendidikan, ada di dalam diri mereka. Semakin mereka memperoleh bentuk tertentu dari modal kultural yang terkandung, katakanlah pengetahuan tentang musik klasik atau film artistik, semakin mereka “siap” untuk menemukannya. Norma, adat istiadat, dan keterampilan seperti table manners, bahasa, dan perilaku gender, yang terkandung dalam modal kultural dari setiap individu seringkali tercerminkan ketika dirinya berinteraksi dengan individu lainnya.

Modal Kultural dalam Keadaan Terobjektifikasi

Modal kultural juga ada dalam keadaan yang diobyektifikasikan. Hal ini mengacu pada objek material yang dimiliki individu yang mungkin berhubungan dengan pendidikan mereka (buku dan laptop), pekerjaan (alat dan perlengkapan), pakaian dan aksesoris, barang tahan lama di rumah mereka (furnitur dan barang dekoratif seperti lukisan), dan bahkan makanan yang mereka beli dan siapkan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk modal kultural yang diobyektifikasi ini cenderung menandakan kelas ekonomi seseorang.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Terlembagakan

Puncaknya, modal kultural ada dalam keadaan terlembagakan. Ini mengacu pada cara-cara di mana modal kultural diukur, disertifikasi, dan diberi peringkat. Kualifikasi dan gelar akademik adalah contoh utama dari hal ini, begitu pula jabatan di kantor, jabatan politik, dan peran sosial seperti suami, istri, ibu, dan ayah.

Yang terpenting, yang mesti digarisbawahi, Bourdieu menekankan bahwa modal kultural ada dalam sistem pertukaran dengan modal finansial dan modal sosial. Modal finansial, tentu saja, mengacu pada uang dan kekayaan materialistik. Modal sosial mengacu pada hubungan sosial yang dimiliki seorang individu dengan teman sebayanya, keluarganya, koleganya, tetangganya, dan lain sebagainya. Modal finansial dan modal sosial, dalam titik tertentu, dapat dipertukarkan satu sama lainnya.

Dengan modal finansial, seseorang dapat membeli kunci untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi yang kemudian akan “menghadiahinya” dengan modal sosial berharga. Pada gilirannya, modal sosial dan modal kultural yang terakumulasi di sekolah atau perguruan tinggi elit dapat dikonversi menjadi modal finansial melalui jaringan sosial (koneksi “orang dalam” berprivilese, misalnya), keterampilan, nilai, dan perilaku yang mengarahkan seseorang pada pekerjaan bergaji tinggi. Untuk alasan ini, Bourdieu mengamati bahwa modal kultural berpotensi tinggi digunakan untuk memfasilitasi dan menegakkan stratifikasi sosial, hierarki, dan ketidaksetaraan secara struktural.

Inilah mengapa penting untuk mengakui dan menghargai modal kultural yang tidak tergolong elit (low culture). Penting juga untuk menyadari bahwa cara memperoleh dan menampilkan pengetahuan sangatlah bervariasi di antara kelompok sosial. Renungkanlah tentang betapa pentingnya sejarah lisan dan kata yang diucapkan dalam banyak kebudayaan tertentu. Di lingkungan perkotaan, misalnya, seorang individu harus belajar dan mematuhi “bahasa” yang ada di sana untuk sekadar “bertahan hidup”.

Setiap individu memiliki modal kultural dan menyebarkannya setiap hari untuk menavigasi masyarakat. Semua bentuknya valid, tetapi kebenaran yang sulit adalah bahwa mereka tak dihargai secara setara oleh institusi masyarakat. Ini menimbulkan konsekuensi ekonomi dan politik yang nyata; yang memperdalam perpecahan sosial dan memperparah perundungan sosial.

Sumber Literatur:

What Is Cultural Capital? Do I Have It?, Nicki Lisa Cole, Ph.D.:

https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374