Showing posts with label stoikisme. Show all posts
Showing posts with label stoikisme. Show all posts

Thursday, 27 July 2023

Membaca Que Será, Será

 

Que sera sera (2022) by Chantal Proulx

When I was just a little girlI asked my mother, what will I beWill I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me
Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be
Frasa qué será, será (apa yang akan terjadi, terjadilah)—yang cukup terdengar stoik dan berbau deterministik sekaligus fatalistik ini—mencapai kepopulerannya setelah dinyanyikan Josephine Conway McKenna (diperankan Doris Day) dalam film Alfred Hitchcock berjudul The Man Who Knew Too Much (1956). Lagu yang ditulis Jay Livingston dan Ray Evans ini pada dasarnya menyiratkan kekhawatiran seorang anak terhadap masa depannya. Akan tetapi, saya pikir, manusia dewasa pun turut merasakannya. Sebab, ketakpastian melekat erat dalam diri kita dan tak mengenal usia. Dengan kata lain, kalau boleh pesimistis, ketakpastian adalah sesuatu yang barangkali kekal. Oleh karenanya, ketika saya yang tua bangka ini meresapi lirik demi lirik lagu tersebut, saya merasai ada semacam ke-relate-an yang tak terhindarkan.

Saya menilai, manusia adalah budak kepastian. Semenjak zaman Neanderthal berburu mammoth dengan tombak berujung batu atau sejak seorang bocah akamsi Mesopotamia bermain dengan kecipak air di sungai Efrat dan Tigris, kita memiliki semacam kerinduan puitis akan kepastian (dan keajegan) dalam kehidupan. Hal tersebut terepresentasikan secara gamblang (khususnya, pascarevolusi agrikultur) dalam penciptaan konsep-konsep ideal: masyarakat, hukum, perbankan, tata bahasa, negara, agama, dan sebagainya. Filosofi subtil yang ditawarkan Qué Será, Será adalah mengafirmasi ketakpastian, bahwa ketakmenentuan merupakan sesuatu yang tak terelakkan—dan masa depan tak dapat ditebak-diprediksi, sehingga seseorang mesti menerima-merangkul apa pun yang terjadi. 

Takdir, sebagai konsep metafisik yang arkaik, yang tiada habisnya dinarasikan, menekankan bahwa “hasil” dan “peristiwa” dalam hidup kita telah ditentukan sebelumnya (predestinated) dan berada di luar koridor kendali kita. Lauhulmahfuz dalam Islam, Akashic Records dalam Teosofi, Niyati dalam Buddhisme hanyalah salah tiga contoh konsep yang mendedahkan bagaimana takdir menurut hard determinism bekerja. Ketiganya secara langsung menantang ide-ide kehendak bebas (yang cenderung dikandung banyak -isme filsafat Barat, katakanlah eksistensialisme) dan menegaskan bahwa ada kekuatan yang lebih mahakuasa, yang membentuk pengalaman kita. Qué será, será besar kemungkinan berangkat dari premis dasar ini, dan mendorong individu untuk melepaskan nafsu atau keinginan terbesar manusia: kendali mutlak atas hidup mereka.

When I grew up and fell in loveI asked my sweetheart what lies ahead?Will we have rainbows day after day?Here's what my sweetheart said

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be

Lebih lanjut, secara interpretatif, frasa qué será, será seakan mengajak kita untuk mencari penghiburan dalam penerimaan total akan apa yang ditakdirkan. Menariknya, merangkul takdir memungkinkan kita untuk terbiasa beradaptasi dengan keadaan yang tak terduga, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan kekuatan tak terkalahkan dalam kemampuan kita untuk mengatasi setiap badai masalah yang (mungkin) tak berkesudahan. Qué será, será juga memberi pelajaran berharga dalam upaya mendaki puncak kebahagiaan. Dengan kata lain, frasa ini mendorong individu untuk menemukan kepuasan pada saat ini, momen ini, ketimbang terobsesi dengan “hasil” di masa yang akan datang.

Dengan menganut gagasan bahwa kita tak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, kita mengalihkan fokus dari keadaan eksternal pada pemenuhan internal. Pergeseran perspektif ini membebaskan kita dari pengejaran validasi eksternal yang terus-menerus dan memungkinkan kita menemukan kegembiraan dalam kesenangan hidup yang sederhana serta apa adanya.

Pada gilirannya, Qué será, será seakan mengajak kita untuk memikirkan apa yang bisa dan apa yang tak bisa (iya, seperti salah satu judul lagu Rumahsakit). Apa yang tak bisa… Kau raih walau kau t’lah berupaya… Itu hanya tanda… Kau tak membutuhkannya… Apa yang tak bisa… Kau miliki meski kau t’lah temui… Itu hanya tanda… Kau lebih baik tanpanya.

Qué será, será bertopang pada asumsi bahwa, jangan-jangan, kendala ada pada kendali. Artinya, ini adalah soal mengetahui mana yang di dalam kendali, mana yang di luar kendali. Penerimaan total akan takdir ini barangkali akan sedikit mengingatkan kita pada frasa amor fati yang juga merupakan salah satu kredo stoikisme—seakan dengan cara musikal melengkapi puzzle yang ditawarkan -isme tersebut dalam konsep dikotomi kendali. Dengan demikian, ketimbang terus-menerus berjuang untuk mengubah yang tak bisa diubah—yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang tak perlu—lebih baik kita mengakui ketakberdayaan manusia sebagai spesies insignifikan nan super mungil dan hampir nihil dalam alam semesta yang terus mengembang ini.

Meskipun filosofi qué será, será menyajikan perspektif yang cukup meyakinkan—ia tak hadir tanpa kritik. Para kritikus, khususnya dari para penganut kehendak bebas, berpendapat bahwa kehendak bebas itu nyata adanya—sehingga menerima takdir secara total dapat menyebabkan kepasifan, kestagnanan, menghambat kemajuan, bahkan mempunyai tendensi dekadensi. Namun, para determinis yang mengamini qué será, será berpendapat bahwa merangkul takdir tak berarti meninggalkan pilihan-pilihan pribadi yang dapat diambil, melainkan mengakui batas-batas kendali dan menemukan kedamaian dalam pemahaman itu.

Meskipun belum ada yang mengetahui secara pasti kapan polemik soal kehendak bebas bermula, aliran pemikiran yang dari lahir dari diskursus ini—determinisme, libertarianisme, dan kompatibilisme—telah terbentuk selama lebih dari 2000 tahun. Secara kesejarahan,  Islam memiliki semacam perdebatan yang hampir sama: antara kaum Qadariyah (yang mengamini kehendak bebas) dan Jabariyah (yang deterministik). Perdebatan yang terkini, sependek pengetahuan saya, adalah ketika Sam Harris dalam bukunya, Free Will (2012), mengawinkan neurosains dan psikologi, lalu secara gagah berani mencetuskan bahwa kehendak bebas pada dasarnya adalah konsep yang cacat dan tak koheren. Kehendak bebas baginya tak lebih dari sekadar ilusi yang dikonstruksikan sedemikian meyakinkan sehingga banyak dari kita akan menganggap jika ketiadaan konsep abstrak ini akan menyebabkan mimpi buruk berupa nihilisme dan keputusasaan total.

Now I have children of my ownThey ask their mother, what will I beWill I be handsome? Will I be rich?I tell them tenderly

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will beQué será, será

Pada titik tertentu, Doris Day seakan merayu kita untuk merenungkan kembali perihal kehendak bebas dan kemampuan kita untuk menemukan kepuasan batin di tengah ketakpastian hidup yang mahadingin. Saya kira, menerapkan filosofi q será, será dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan kita untuk menavigasi pasang surut “harapan” dengan lebih elegan. Plus, menemukan pelipur lara dalam pengetahuan bahwa apapun yang akan terjadi, akan terjadi. Dengan atau tanpa persetujuan kita sama sekali.

Thursday, 16 February 2023

Amor Fati: Nietzsche dan Stoikisme

L'éternel Retour by Raymond Douillet

“Formulaku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah Amor Fati: bahwa seseorang tak ingin sesuatu yang berbeda, tak masa depan, tak masa lalu, tak pula semua kekekalan. Tak hanya menanggung apa pun yang diperlukan—tetapi mencintai semua itu.”

—Nietzsche, Ecce Homo (1992)

Begitulah, sabda si Dinamit-Nietzsche di buku otobiografinya, Ecce Homo—sebelum jatuh ke dalam penyakit kejiwaan pada bulan Januari 1889 dan kemudian, tak berselang lama dari itu—meninggal pada 25 Agustus 1900 karena pneumonia (infeksi/radang paru-paru). Meski dikarang pada tahun 1888, namun terbitan pertama buku tersebut mengudara pada 1908—sekitar 20 tahun setelah bukunya selesai ditulis, atau 8 tahun pasca Nietzsche wafat.

Lantas apa yang Nietzsche sebut sebagai formula bernama “Amor Fati” itu? Apakah itu semacam mantra ajaib penolak bala?

Pendek kata, Amor Fati adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika diterjemahkan secara kasar berarti: “Mencintai Takdir”. Amor Fati mempunyai bentuk yang lebih lengkap, puitis, dan monumental: yakni, 'Fatum Brutum Amor Fati'; yang kira-kira jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti: “Mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal”. Mengutip dari merriam-webster.com, Amor Fati (amor fa·ti; ˈä-ˌmȯr-ˈfä-tē) bermakna: mencintai takdir; menyambut semua pengalaman hidup dengan baik. Jika mengutip dari urbandictionary.com, Amor Fati memiliki makna: menggambarkan suatu sikap yang melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup seseorang; cara bersikap pada segala sesuatu.

Dengan kata lain, Amor Fati adalah suatu sikap penerimaan yang tegas dan antusias atas segala sesuatu—berpuncak pada kemampuan memaknai past/present/future dalam tenses hidup kita—agar kita mampu menjalani hidup dengan energik, tanpa kecemasan, dan mampu vis a vis menatap mata kematian tanpa satu pun penyesalan.

Secara literal, frasa Amor Fati justru bukan ingin menolak bala, tetapi mengajak kita untuk menerimanya secara brutal. Maka tak heran, frasa ini keluar dari mulut Nietzsche, sebab ia pernah mengungkapkan bahwa “inti dari realitas adalah kekacauan, adalah kaotis”—sehingga hal paling waras dan logis yang dapat kita lakukan, pertama-tama, adalah menerima kehidupan lengkap dengan seluruh keruwetan problemanya, kebudugan dunianya, dan tentu takdirnya yang sering luar biasa kejamnya.

Sejatinya, frasa Amor Fati telah hadir jauh sebelum Ecce Homo, misalnya dalam Die fröhliche Wissenschaft (La Gaya Scienza/The Gay Science/The Joyful Wisdom/The Joyous Science), Nietzsche menulis:

“Aku ingin belajar lebih banyak lagi untuk melihat keindahan macam apa yang diperlukan dalam segala sesuatu; maka aku akan menjadi salah satu dari mereka yang membuat segala sesuatu menjadi indah. Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya! Aku tak ingin melancarkan perang melawan apa yang jelek. Aku tak ingin menuduh; aku bahkan tak ingin menuduh mereka yang menuduh. Memalingkan muka akan menjadi satu-satunya bentuk negasiku. Dan semua dalam semua dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku hanya ingin menjadi seseorang yang mengatakan ‘Ya’ pada kehidupan.”

—Nietzsche, The Joyous Science (2018)

Selain itu, Amor Fati juga tercatat dalam Der Fall Wagner (termasuk dalam “Nietzsche Contra Wagner”, sebuah esai kritik Nietzsche terkait pemikirannya tentang komposer Richard Wagner):

“Amor fati: adalah inti dari keberadaanku ... Hanya penderitaan besar; penderitaan besar itu, di mana kita tampaknya berada di atas api kayu hijau, penderitaan yang memakan waktu—memaksa kita, para filsuf, untuk turun ke kedalaman terdalam kita, dan melepaskan semua kepercayaan, semua sifat baik, semua pengurangan, semua kelembutan, semua mediokritas—hal-hal yang sebelumnya kita pertaruhkan di atas kemanusiaan kita.”

—Nietzsche, Nietzsche Contra Wagner (2021)

 

Amor Fati dan Stoikisme

Berbicara perihal ‘Amor Fati’, tak komprehensif bila tanpa membahas Stoikisme—sebab Nietzsche, secara filosofis, sedikit banyak terpengaruh oleh para Stoik. Stoikisme, singkatnya, adalah sebuah aliran filsafat Yunani Kuno, dan merupakan salah satu dari tiga mazhab filsafat besar pada periode Helenistik—satu era dengan Epikureanisme dan Pyrrhonisme—yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.

Dalam beberapa literatur tentang Zeno kita dapat menemukan pemikirannya yang berwarna Amor Fati:

“Takdir adalah rantai sebab-akibat yang tak ada habisnya, di mana segala sesuatunya ada; alasan atau formula di mana dunia berjalan.”

—Zeno dari Citium

Dalam karya-karya Marcus Aurelius, salah satu figur Stoik paling terkenal pun demikian, misalnya pada Ta eis heauton (Meditations):

“Dia hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya, dan terus-menerus mempertimbangkan apa yang dunia siapkan untuknya—melakukan yang terbaik, dan percaya bahwa semuanya adalah yang terbaik. Sebab kita membawa takdir kita bersama kita—dan takdir itu mengantarkan kita.”

 —Aurelius, Meditations (2006)

Figur intelektual Stoik pun tak luput menyatakan pandangannya yang bernuansa Amor Fati—baik secara tindakannya yang menerima hukuman bunuh diri yang dijatuhkan kepadanya maupun dalam karya-karya awalnya seperti Ad Lucilium Epistulae Morales (Letters from a Stoic):

“Kebahagiaan sejati adalah memahami kewajiban kita kepada Tuhan dan manusia; untuk menikmati saat ini, tanpa ketergantungan pada kecemasan akan masa depan; bukan untuk menghibur diri kita sendiri dengan harapan atau ketakutan, tetapi untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki, yang sangat cukup ini.”

—Seneca, Letters from a Stoic (2004)

Filsuf Stoik lain, Epictetus, pun mencetuskan ungkapan yang kurang lebih seperti Amor Fati dalam bahasa dan terma Stoikisme—dia menulis:

“Jangan menuntut hal-hal terjadi seperti yang kau inginkan, tetapi berharaplah hal itu terjadi sebagaimana adanya, dan kau akan berjalan dengan baik.”
—Epictetus, The Discourses of Epictetus: The Handbook (1995)

Dengan demikian, besar kemungkinan Amor Fati adalah pola pikir Stoik untuk memanfaatkan masa kini dan secara total melakukan yang terbaik terlepas dari apa pun hasilnya dan apa pun yang terjadi: misalnya, perihal bagaimana memperlakukan setiap momen—tak peduli seberapa sulitnya—sebagai sesuatu yang harus dihadapi dengan berani, bukan dinegasikan atau dihindari.

 

Mengapa Amor Fati?

Kini, yang menjadi pertanyaan mungkin adalah mengapa kita harus bersusah payah menggali makna dari frasa Latin di kuburan-pemikiran Nietzsche—yang bahkan sudah berumur lebih dari 134 tahun itu (dan kuburan-pemikiran para Stoik yang jauh lebih purba)—untuk kemudian menghayati atau bahkan mengaplikasikannya dalam hidup kita?

Satu yang jelas, gagasan-gagasan ketuhanan, ritus-ritus keagamaan, dan ide-ide seseorang tak akan pernah pernah mati—selama itu tetap relevan dengan kondisi zaman. Tubuh dapat membusuk dan melebur dengan tanah, tetapi apa yang telah dia formulasikan—gaungnya masih mungkin terdengar lantang sampai sekarang dan sampai masa-masa yang akan datang. Secanggih apapun peradaban umat manusia, pada hakikatnya, tetap saja ada hal-hal yang tak dapat manusia seluruhnya dan seutuhnya kendalikan. Manusia boleh berbangga, manakala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil membawa seekor anjing bernama Laika pergi ke luar angkasa, mendaratkan Armstrong dan Aldrin di bulan, robot-robot canggih ciptaan manusia sudah hilir-mudik di wajah planet lain, rencana futuristik untuk Kolonisasi Mars 2030, dan seterusnya dan seterusnya.

Akan tetapi, jauh di lubuk hati, pada gilirannya, kita mungkin menyadari sesuatu bahwa masih banyak hal-hal yang tak mampu kita kendalikan. Katakanlah waktu—sampai tulisan ini selesai dibuat—belum ada teknologi sesinting-secanggih mesin waktu yang memungkinkan penggunanya melakukan perjalanan waktu, yang dapat dikendalikan dengan sesuka pikiran-perasaan penggunanya. Yang menjadi masalah adalah, manusia itu budak sang waktu, seperti yang telah dipuisikan oleh Baudelaire, penyair besar Prancis itu dalam Enivrez-vous: “Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.” Hampir setiap orang di muka bumi ini, rasa-rasanya, memiliki semacam tendensi tinggi untuk mengubah masa lalunya, atau pergi melihat masa depannya.

Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Nietzsche, Amor Fati, dan Stoikisme?

Amor Fati adalah kredo untuk menerima, merangkul, dan mencintai segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, belum terjadi, mungkin terjadi, tak mungkin terjadi, atau tak akan terjadi—di dimensi ketiga (kenyataan) yang dipenuhi berbagai kemungkinan-kemungkinan acak dan ensiklopedis. Secara lebih luas, mengafirmasi dengan tegas dan askenden hal-hal yang tak dapat kita kendalikan, sekaligus mencintai perubahan-perubahan yang tak terelakkan. Semacam upaya untuk menjustifikasi sekaligus menjawab aforisme ‘Phanta Rei’ à la Heraclitus, seorang filsuf pra-socrates, yang menekankan bahwa satu yang pasti dalam kehidupan adalah perubahan konstan. Secara implisit, kredo ini seperti mengisyaratkan bahwa sifat alam semesta adalah selalu berubah. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Dengan demikian, tanpa perubahan—kita tak akan ada, kesadaran baru tak akan ada, daya-daya tafsir baru tak akan ada, kita tak akan tertawa ketika mengingat tragedi, tak akan belajar mencintai keberadaan dari ketakberadaan, dan tak akan mencipta sesuatu. Tanpa perubahan, kita tak akan pernah mengalami asam-garam itu semua.

Apakah perubahan itu baik, buruk, menyenangkan, menyiksa, menggairahkan, atau merugikan—itu persoalan lain. Miliaran tahun, umat manusia mengalami evolusi, perubahan, transformasi, mutasi—perkembangan yang eksponensial telah membawa kemungkinan ke tempat kita berada sekarang. Penulis tak akan dapat menulis hal-ihwal Amor Fati—jika bukan karena setiap peristiwa yang telah terjadi jauh sebelum saat ini: misalnya, karena seekor ikan purbakala yang mulai bosan hidup di dalam air, berpikir untuk naik ke daratan dan menjadi primata—lalu berevolusi sedemikian rupa, kemudian menjadi cikal bakal Homo Sapiens; atau dengan pendekatan agama samawi yang ditopang literatur-literatur abrahamik, karena sepasang manusia bernama Adam dan Hawa memakan buah terlarang, kemudian ditendang dari surga—lantas melahirkan seluruh keturunan manusia di muka bumi ini. Dengan membayangkan seperti itu, mungkin kita bisa mulai belajar untuk mencintai takdir dengan paripurna.

Nietzsche pun mengadvokasi ini: bahwa kita tak boleh lari dari takdir apalagi bersembunyi dari takdir. Kita harus menerimanya. Akan tetapi, lebih dari sekadar penerimaan biasa, lebih-lebih, kita harus mencintai takdir kita dan menerimanya secara utuh apa adanya. Kita perlu menerimanya, memanfaatkannya, dan menggunakannya untuk membuat sesuatu yang produktif—sesuatu yang bernilai seni, kreatif, dan filsafati. Meratapi dengan sesal hal-hal yang telah terjadi, hanyalah memperpanjang nafas penderitaan yang tak perlu—hanyalah membuang-buang waktu.

Ketika kita menerima apa yang terjadi pada kita, setelah memahami bahwa hal-hal tertentu—khususnya hal-hal buruk dan menyebalkan—berada di luar kendali kita (baca: Dikotomi Kendali-nya Stoikisme) kita hanya akan di hadapkan dengan ini: mencintai apa pun yang akan terjadi pada kita, menghadapinya dengan keceriaan di rongga dada, dan dengan energi besar serta meletup-letup, kita akan terus bersemi, lagi dan lagi. Meskipun dunia memberi winter-yang-menyakitkan, namun selalu ada summer-yang-tak-terkalahkan di dalam diri kita, meminjam interteks Camus, seorang eksistensialis yang lebih nyaman disebut absurdis. Selain itu, bahwa dibutuhkan api yang begitu panas untuk membentuk emas. Terbentur, terbentur, melebur—jika meminjam ungkapan Tan yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks ini. Poinnya adalah bahwa selain pilihan, ada kebolehjadian tinggi bahwa hidup juga merupakan kompromi.

“Dari sekolah perang dalam kehidupan—apa yang tak membunuhku, membuatku jauh lebih kuat.” tulis Nietzsche dengan berani tanpa kecondongan masokis. Bukan untuk mencari pembenaran atas trauma dan luka masa lalu, tetapi lebih menawarkan semacam antidot-fakta bahwa tak ada kekuatan tanpa penderitaan. Bahwa kebijaksanaan harganya adalah pedihnya belajar dan istiqomah tingkat tinggi untuk bangkit dari kebahlulan.

Pada akhirnya, Amor Fati, adalah perihal bagaimana mengelola energi, emosi, waktu, dan tenaga kita dengan bijak. Terakhir, takdir mungkin memang piawai bangsatnya hadir seperti bajingan paling asu, tetapi hanya hidup singkat ini yang kita punya. Kita tak dapat mengontrol apa-apa yang di luar batas-batas kebebasan-kekuasaan kita, tetapi kita selalu dapat mengontrol apa yang bisa kita persepsikan dan mengelola serta mengkalkulasi tindakan macam apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah setiap negatif menjadi positif. Sebab, ketimbang kalimat pasif, manusia adalah kalimat aktif—yang dengan segala intelektualitasnya semestinya mampu menjadi ‘aktor’ bukan ‘spektator’ bagi kehidupannya sendiri. Terdengar cukup eksistensialis, memang.

Que Será, Será; apapun yang akan terjadi, terjadilah. Jalani, nikmati, Amor Fati!

 

Referensi:

Nietzsche, Friedrich, 1992, Ecce Homo, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2018, The Joyous Science, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2021, Nietzsche Contra Wagner, California: Stanford University Press.

Heraclitus, 2003, Fragments, London: Penguin Classics.

Aurelius, Marcus, 2006, Meditations, London: Penguin Books.

Seneca, 2004, Letters from a Stoic, London: Penguin Books.

Epictetus, 1995, The Discourses of Epictetus: The Handbook, Fragments, London: Everyman Paperback.

Tom Stern, VIII—Nietzsche, Amor Fati and The Gay Science, Proceedings of the Aristotelian Society, Volume 113, Issue 2_pt_2, 1 July 2013, Pages 145–162, https://doi.org/10.1111/j.1467-9264.2013.00349.x

Panaïoti, A. (2012). Amor fati and the affirmation of suffering. In Nietzsche and Buddhist Philosophy (pp. 91-131). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781139382144.007

Thiele, Leslie Paul. "TEN. Amor Fati and the Eternal Recurrence". Friedrich Nietzsche and the Politics of the Soul: A Study of Heroic Individualism, Princeton: Princeton University Press, 2020, pp. 197-206. https://doi.org/10.1515/9780691222073-014

Brodsky, Garry M. (1998). Nietzsche's notion of Amor fati. Continental Philosophy Review 31 (1):35-57.

Wednesday, 26 October 2022

Menyelami dan Mencurigai Stoikisme

The Death of Seneca (2018) by Antonio Molinari


“Kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas.”

—Seneca, On the Shortness of Life (2005)


Di dunia modern pascapandemi yang niscaya serba tak pasti—di tengah-tengah probabilitas tertinggi perang dunia ketiga yang dimulai di atas hasrat aneksasi negara pemenang perang dunia kedua—di ambang resesi ekonomi global dan krisis iklim yang secara fondasional tak terhindarkan—sekaligus di zaman di mana kapitalisme telah sedemikian meraksasa bagai gedung-gedung tinggi yang mencakar langit seperti saat ini—“ketakutan” manusia dengan pasti jauh lebih berani, jauh lebih kuat. Pada gilirannya, ketakutan tersebut bahkan bertransformasi sedemikian rupa menjadi “kecemasan” berlebih—yang lebih melumpuhkan dari sebuah rudal balistik dengan hulu ledak nuklir yang siap ditembakkan.


Apa yang ditulis pada tahun 49 SM oleh Seneca—seorang tokoh filosofis Romawi terkemuka dan filsuf Stoik yang begitu lekat dengan ajaran Stoikisme, dalam esainya itu—bisa dikatakan menemukan pembenarannya dan relevan dengan segenap kehidupan kontemporer kita. Kegamangan, kekhawatiran, kebingungan, keraguan, tekanan-tekanan emosional, depresi, dan kecemasan tak berujung pangkal hampir selalu hidup 24x7 jam di pikiran kita. Secara tak langsung, juga mengokohkan konvensi bahwa pikiran manusia adalah Perang Badar paling kubra. Kita, kini, memberi lebih banyak kekuatan kepada ketakutan dan memicu kecemasan kita untuk menjadi lebih beringas. Banyak dari kita juga menggunakan salah satu kemampuan manusia yang paling berguna—berimajinasi—pada hal-hal yang secara fundamental keliru, misalnya, menyesali masa lalu dan terlalu memikirkan masa depan. Tak ada carpe diem hari ini, meminjam istilah Horace, seorang penyair Romawi yang bertaklid pada Epikureanisme (salah satu dari tiga Mazhab Filsafat besar pada Periode Helenistik—yang juga satu era dengan Stoikisme dan Pyrrhonisme).


Menyelami Stoikisme


“Kau memiliki kekuasaan atas pikiran—bukan peristiwa-peristiwa di luar sana. Sadarilah ini, dan kau akan menemukan kekuatan.”

—Aurelius, Meditations (2006)


Sependek pengetahuan penulis—Stoikisme, kokoh ditopang tiga serangkai: Seneca sang intelektual, Aurelius sang kaisar, dan Epictetus sang budak. Akan tetapi, perlu digarisbawahi dari yang telah ditekskan oleh Seneca dan Aurelius di atas, meskipun tujuannya baik, yakni untuk menghentikan pikiran-pikiran liar manusia yang sering kali di luar wilayah kendali (dalam terma Dikotomi Kendali)—tetapi, pada saat yang sama bertendensi untuk menjustifikasi seseorang untuk menjadi individu yang masa bodoh dan apatis. Manusia, dalam konteks humaniora, adalah makhluk sosial—atau Homo Homini Socius, menukil istilah dari Seneca sendiri—namun mengapa filsafatnya malah cenderung menjerumuskan seseorang ke dalam ke-ignorant-an yang menjengkelkan dan ke-indifferent-an yang menyebalkan?


Bukankah Seneca mencetuskan istilah tersebut sebagai antitesis dari nukilan drama berjudul Asinaria karya sastrawan Romawi, Plautus, yang menuliskan—lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit; manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi manusia lainnya? 


Memang benar, bahwa kita sudah sebijaknya mengendalikan apa-apa yang bisa kita kendalikan—yang keliru adalah ketika kita hidup à la Stoik dengan menegasikan perasaan orang-orang terdekat kita sendiri. Secara psikologis, setiap manusia pasti memiliki hal-hal personal yang sangat dia pedulikan, misalnya, kesehatan keluarganya, perasaan pasangannya, teman-temannya, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi realitas dapat berjalan begitu acak berengseknya dan orang-orang yang kita pedulikan mengalami kemalangan—lantas larut dalam kesedihan—kemudian mereka membuka mulut dan kita memasang telinga. Secara naturalistik, adalah wajar untuk ikut bersedih—adalah normal jika kita kesal, stres, gelisah atau bahkan marah ketika hal-hal buruk terjadi pada kita atau orang-orang yang kita sayangi.


Mencurigai Stoikisme


“Kita seharusnya tak mengendalikan amarah, tetapi menghancurkannya—sepenuhnya—untuk apa kita mengendalikan sesuatu yang secara fundamental jahat?”

—Seneca, De Ira (circa 4 SM - 65 M)


Kemampuan paling berguna dan natural yang dimiliki manusia, selain berimajinasi, adalah curiga—dalam cetak biru manusia, jauh di lubuk kesadaran kita ada semacam kehendak untuk curiga (the will to skeptic). Maka, mari kita pergunakan kecurigaan itu untuk melihat bagaimana corak pemikiran Seneca dari kutipannya di atas—yang secara sepintas terlihat begitu bahlul, irasional, dan nonsens. Kecurigaan ini pun berlanjut dengan memandang bahwa filosofi teras ini, pada titik tertentu, seperti bertekad untuk tak mengeluh atau tak menunjukkan perasaan sama sekali—terutama ketika sesuatu yang buruk terjadi. 


Katanya Nietzsche, menurut interpretasi penulis, secara cukup eksplisit dalam bukunya Beyond Good and Evil (2011): “para Stoik memilih untuk melihat segala sesuatu secara keliru—dengan menyangkal, menekan, dan mematikan perasaannya sendiri.” Stoikisme, secara esensial, tak lebih dari belajar untuk berhenti peduli. Ketika seseorang mulai mempelajari Stoikisme, dia akan punya kecondongan untuk menyadari bahwa dirinya telah membuang banyak energi berharga untuk peduli tentang hal-hal yang tak layak untuk dipedulikan—sebab idealnya, semestinya, dia berhenti memedulikan itu semua—bahkan perasaannya sendiri. 


Sekilas, tak ada beda, tak ditemukan distingsi antara Stoikisme dengan Toxic Positivity—dengan Defense Mechanisms berbentuk kepura-puraan yang tak perlu: sebentuk penyangkalan emosi yang berpuncak pada upaya sekuat tenaga menciptakan suasana atau kondisi yang memaksakan diri agar selalu berpikir positif. Adalah waras dan komikal, jika penulis melukiskan hipotesa bahwa Absurdisme adalah Nihilisme yang memilih untuk mengonsumsi ganja berjenis indica—maka Stoikisme adalah Nihilisme yang secara sadar menyutikkan anestesi kepada hatinya. 


Lagipula, apa yang buruk dari kesedihan? Bukankah banyak orang besar dan karya besar justru berasal dari keadaan yang dikonotasikan secara fundamental negatif dan buruk oleh para Stoik itu? Nocturne-nya Chopin, Les Fleurs du mal-nya Baudelaire, Fear and Trembling-nya Kierkegaard, The Old Guitarist-nya Picasso, The Theory of Everything-nya Hawking, dan lain-lain. Secara historis, kesedihan (dan kemurungan) tampak begitu adiluhung dan menjadi rahim yang melahirkan begitu banyak magnum opus—yang luar biasa artistik, puitis, dan berguna bagi kehidupan. Berangkat dari pemahaman bahwa filsafat para Stoa ini adalah sebuah seni untuk berhenti memedulikan hal-hal yang dirasa tak penting, misalnya kemarahan dan kesedihan—atau Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, seperti bukunya Manson, seorang penulis bergaya sarkastik yang mempopulerkan Stoikisme beberapa tahun terakhir ini.


Semakin Mencurigai Stoikisme


“Kekayaan tak terdiri dari memiliki harta yang banyak, tetapi memiliki keinginan yang sedikit.”

—Epictetus


Pertanyaannya adalah—mengapa Stoikisme mendapatkan begitu banyak eksposur, atau secara lebih heroik banalnya mengalami kebangkitan dan menjelma sebagai “industri” yang mainstream—di abad ke-21, khususnya beberapa tahun belakangan? Mungkin, karena realitas manusia semakin dipenuhi keputusasaan, kolaps serta kacau ketika dan setelah pandemi. Kita terlalu lelah dengan berita kematian dan membutuhkan pegangan, semacam struktur yang rigid dan panduan untuk mencintai kesederhanaan (meskipun hidup sederhana itu banyak pikiran). Akan tetapi, dengan tak bermaksud untuk mengadvokasi hedonisme sama sekali—kutipan Epictetus di atas adalah opium yang menyesatkan. Mengapa demikian? 


Sebab kutipan di atas adalah kutipan yang hanya baik bagi seorang budak macam Epictetus di dalam konteks realitasnya, tetapi merupakan kutipan yang luar biasa buruk dan berbahaya bagi manusia, atau tepatnya, bagi para budak korporat yang secara tak sadar telah dieksplotasi para pemilik alat produksi. Ada kecurigaan mendasar yang rasional bahwa Stoikisme adalah agenda para kapitalis untuk menihilkan kemungkinan-kemungkinan pembangkangan para pekerja di bawah gurita kapitalisme. Sebab, Stoikisme seperti meniadakan eksistensi, kehendak bebas, dan otentisitas personal setiap manusia. Dengan kata lain, Stoikisme memungkinkan kepatuhan, kepasrahan, ketaatan bagi kaum pekerja yang tentu disenangi para eksploitator.


Bagaimana dengan prinsip utama Stoa tentang hidup sesuai dengan alam? Nyatanya, ada kemungkinan besar bahwa alam tak memiliki harmoni atau keteraturan. Ada pula kebolehjadian bahwa hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang antipodal. Satu-satunya yang menyatukan manusia dengan alam hanyalah konsep-konsep metafisik serta mitos-mitos sakral yang mirip seperti pemikiran para filsuf pra-Socrates dan slogan Panteisme Spinoza—deus sive natura; yang secara dogmatis dan percaya diri, meleburkan eksistensi dan sifat-sifat salbiyah Tuhan yang niscaya mahabaik dengan Alam yang mahaabsurd, mahaenigmatik, mahasporadis.


Jika memang manusia dengan alam memiliki hubungan yang “baik”, mungkin tak ada pandemi. Atau jika hubungan makhluk lain seperti dinosaurus dengan alam itu “baik”, maka mungkin 66 juta tahun lalu tak ada gempuran asteroid yang jatuh ke bumi dan menjadi hujan meteor lantas dengan lekas membuat makhluk-makhluk gigan tersebut punah. Pada akhirnya, kembali pada Stoikisme, Seneca pun memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Mungkin trauma, mungkin juga benar-benar lelah karena terus menerus bersabar ketika menjadi penasihat Kaisar Nero yang secara sinting membakar kota Roma.


Referensi:

MA, Moch Aldy. 2022. “Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme”. Zona Nalar;

Seneca. 2005. On the Shortness of Life. Penguin Books;

Aurelius, Marcus. 2006. Meditations. Penguin Books;

Epictetus. 1995. The Discourses. Everyman;

Manson, Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Harper;

Holiday, Ryan. 2016. The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living. Portfolio;

Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras. Penerbit Buku Kompas;

Dyson, Stephen L. “THE PORTRAIT OF SENECA IN TACITUS.” Arethusa, vol. 3, no. 1, 1970, pp. 71–83. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/26306995. Accessed 20 Oct. 2022;


Thursday, 13 October 2022

Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme

En Avant by Raymond Douillet

“Seseorang mesti membuang rasa ingin setuju dengan banyak orang. ‘Baik’ tak lagi baik ketika seorang tetangga mengucapkannya. Dan bagaimana seharusnya “kebaikan bersama” itu ada? Istilah itu bertentangan dengan dirinya sendiri: apa pun yang bisa menjadi umum selalu memiliki nilai yang kecil.”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)

Berbicara Nietzsche adalah berbicara tentang dinamit dalam bentuk kehendak yang bertendensi untuk meledakkan bangunan kemapanan tepat di tengah-tengah mental kerumunan.

Selain Kekristenan, filsuf edgy berkumis baplang itu, nyatanya, mengkritik banyak tokoh sentral, pemikiran, hingga institusi agama. Dimulai dari menyerang dedengkot Filsafat Barat macam Socrates, lalu Metafisika-nya Plato, Cogito-nya Descartes, Moralitas-nya Kant, Filsafat Sejarah-nya Hegel, Lingkaran Setan-nya Schopenhauer, Nirvana-nya Buddhisme, Aufklärung yang hiper-percaya-diri—sampai Sains Modern yang dia pikir tidak bisa dijadikan medan tunggal dalam memahami realitas ini.
Tapi dalam esai singkat ini, penulis hanya akan mengulas “sedikit” lika-liku hubungan Nietzsche dengan Stoikisme.

“Kau ingin hidup sesuai dengan Alam? Oh, kau Stoa yang mulia, betapa menipu kata-katamu itu! Bayangkan dirimu sebagai makhluk seperti Alam, luar biasa luas tak berbatas, sangat masa bodoh, tanpa tujuan atau pertimbangan, tanpa belas kasihan atau keadilan, sekaligus subur dan tandus dan tak pasti: bayangkan ketakpedulian sebagai kekuatan—bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan ketakpedulian seperti itu?”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)

Stoikisme dan Nietzsche

Menurut Stoikisme dan Kaum Stoa, kita mesti terus berusaha untuk “mengekang” emosi kita. Mereka percaya pada “dikotomi kendali” dan membelah dunia menjadi dua kutub besar: hal-hal yang berada di dalam kendali dan hal-hal yang berada di luar kendali. Keyakinan bahwa kita memiliki kuasa atas hal-hal yang sebenarnya tak dapat kita kendalikan memproduksi seribu penderitaan—dan berfokus pada apa yang dapat kita kendalikan—adalah apa yang dikehendaki tuhan/alam kepada manusia—singkatnya, menurut Kaum Stoa.

Nietzsche menyebut mereka sebagai “pemain sandiwara dan penipu luar biasa” yang memilih untuk melihat sesuatu secara keliru. Baginya, manusia adalah seutas tali yang diikat di antara hewan dan adimanusia—sebagai seorang pemikir naturalistik: yang memandang manusia tak lebih dari sekadar insting-insting alamiahnya; mengekang emosi adalah sebentuk kebodohan yang angkuh, adalah ketakpedulian yang naif.

“Seorang manusia membaik dengan baik dari sifatnya yang luar biasa—intelektualitasnya—dengan memberi kesempatan pada insting kebinatangannya.”
—Nietzsche, Twilight of the Idols (2009)

Dengan kata lain, semisal muka kita tiba-tiba ditonjok oleh seseorang yang tengil dan tempramental di suatu pagi absurd, janganlah kita menahan emosi—bila perlu tonjok balik dadanya sampai berbunyi: “deug!”. Memang benar bahwa kita tak dapat mengendalikan segalanya, tetapi “dikotomi kendali” yang cenderung meredam emosi dari insting spontan ketubuhan dan menutup kemungkinan baku hantam yang niscaya dibutuhkan pada momen-momen tertentu—adalah respons yang penuh dekadensi.

Nietzsche seperti ingin mengatakan kepada kita: marah adalah sesuatu yang sangat alamiah, sesuatu yang sudah menjadi cetak biru kita—adalah gairah paling purba dari manusia sebagai makhluk yang memiliki instrumen-instrumen kesadaran dan mampu berpikir. Dia seakan memvalidasi bahwa manusia adalah hewan yang mampu berpikir alias Al-Insanu Hayawanun Nathiq—meminjam istilah Imam Ghazali—yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Socrates. Dengan pendekatan interpretasi yang lebih ateistik: tak ada gunanya kita bersabar dan mengambil “Leap of Faith/Lompatan Iman” dengan berharap semoga seseorang yang membuat kita marah dibakar kekal di neraka yang “belum” terbukti nyata adanya. Hanya ada satu kata: Balas!

Titik Temu Nietzsche dan Stoikisme

Sejatinya, Nietzsche dan Stoikisme memiliki hubungan yang rumit, enigmatik, dan paradoksal. Di satu sisi, Nietzsche menentang prinsip utama Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”—yang memiliki inti keyakinan bahwa kosmos adalah satu dan sama dengan tuhan—oleh karenanya memiliki semacam harmoni/keteraturan. Di sisi lain, Nietzsche secara kontras memandang alam—kosmos—itu kaotis, diliputi banalitas, dan tak memiliki tuhan. Melihat “hukum” di alam hanyalah melihat pola dan meyakini secara buta bahwa alam memiliki aturan. Faktanya, manusialah yang membuat hukum dan aturan, bukan alam.
Di sisi yang lainnya lagi, dia memuji habis-habisan Epictetus dan Seneca sebagai moralis yang hebat. Di satu waktu, Nietzsche pun mengkritik Stoikisme sebagai pemujaan upaya etis tentang kemandirian rasional yang meremehkan rasa sakit dan hasrat ketika mengejar afirmasi takdir tanpa syarat. Nietsche menganggap penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu yang “perlu”—dan Nietzsche menilik Stoikisme menegasikan hal penting itu.

“Kepada manusia yang mengkhawatirkanku—aku mengharapkan penderitaan, kesedihan, kesepian, penyakit, perlakuan buruk, penghinaan.”
—Nietzsche, The Will to Power (2014)

Nitezsche mempercayai Will/Kehendak (Will to Power/Kehendak untuk Berkuasa)—yang juga merupakan gagasan fundamentalnya: segala sesuatu terdiri dari Kehendak, dan semua yang muncul adalah hasil dari kemauan. Akan tetapi, ada beberapa penelitian cukup kredibel yang memaparkan bahwa The Will to Power-nya Nietzsche merupakan konsep yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa—yang dia ambil dari formula Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”.

Ada garis filosofis lain yang menghubungkan Nietzsche dan Stoikisme: keduanya sama-sama melihat bahwa manusia tak memiliki “kehendak bebas”—kita tak punya dadu untuk dimainkan dalam “takdir” kita sendiri. Di sisi lain, Nietzsche menekankan individualitas tingkat tinggi, kreativitas-subjektif à la Eksistensialisme, dan melawan “Herd Mentality/Mentalitas Gerombolan” dari sistem filsafat seperti Stoikisme (dan institusi agama yang bercorak taklid buta).

Terakhir, di dalam dunia yang tak bermakna, tak jelas, dan kaotis—Nietzsche mengajak kita: bercita-cita untuk menciptakan diri ideal kita sendiri dengan cara kita sendiri; ada dua jenis manusia di dunia ini, jangan jadi keduanya—jadilah dirimu sendiri!

*****

Referensi:

Nietzche, Friedrich. 2011. Beyond Good and Evil. Kindle Edition;
Nietzsche, Friedrich. 2009. Twilight of the Idols. Oxford University Press;
Nietzsche, Friedrich. 2014. The Will to Power. Kindle Edition;
N.T. Croally, Euripidean Polemic: The Trojan Women and the function of tragedy, Cambridge University Press (1994), pages 18–19);
Ure, Michael. “Nietzsche’s Free Spirit Trilogy and Stoic Therapy.” Journal of Nietzsche Studies, no. 38, 2009, pp. 60–84. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20717975. Accessed 25 Sep. 2022;
Hamilton, Grant. “J.M. Coetzee’s Dusklands: the meaning of suffering.” Journal of Literary Studies, vol. 21, no. 3-4, Dec. 2005, pp. 296+. Gale Academic OneFile, link.gale.com/apps/doc/A153049539/AONE?u=googlescholar&sid=googleScholar&xid=d9308db9. Accessed 25 Sept. 2022;
James A. Mollison (2019) Nietzsche contra stoicism: naturalism and value, suffering and amor fati, Inquiry, 62:1, 93-115, DOI: 10.1080/0020174X.2019.1527547