Showing posts with label surat. Show all posts
Showing posts with label surat. Show all posts

Tuesday, 3 December 2024

Surat buat Mumu

Kepada MM yang Hmmm...


Bogor, 2 Desember 2024


besar kemungkinan aku benci fakta bahwa kau begitu aku. ini bukan cuma soal kesamaan selera humor atau betapa aku menyukai nasi daun jeruk—begitu pula kau. similaritasnya kuterka lebih palung dari soal-soal dangkal semacam itu. ada perasaan cukup aneh bahwa aku seperti telah mengenalmu setidaknya minimal lima kali reinkarnasi. & semua benang merah yang coba kusimpulkan ini mengarah pada dugaan membagongkan bahwa pertemuan kita kali ini nampak seperti terik matahari pagi memancari sepasang bangkai hyena yang telah mampus hipotermia semenjak dini hari. tertambat tapi barangkali terlambat. itulah mengapa lagu Sober to Death - Car Seat Headrest begitu relevan:


...

you know that good lives make bad stories

you can text me

when punching mattresses gets old

don't think it'll always be this way

not comforted by anything i say

we were wrecks before we crashed into each other


such a good idea

if it turns you on

we have breakdowns (oh, oh, oh)

& sometimes we don't have breakdowns (no, no, no)

i wanna hear you going psycho

if you're going psycho i wanna hear

every conversation just ends with you screaming

not even words, just ah, ah-ah, ah, ahh

...


oh ya, tentu kau bisa membaca ada kesal setinggi gedung swiss-belhotel di raut wajahku. tentang mengapa aku mesti menghabiskan waktu hampir dua puluh lima tahun hanya untuk menemukanmu. seseorang yang punya kewarasan sedikit saja mestilah sepakat bahwa seperempat hidup relatifnya manusia adalah waktu yang amat panjang. banyak yang telah kita lalui. pahit kekalahan, legit kemenangan. kecut air mata, manis tawa bahagia. dari yang porsi jumbo sampai sebesar biji sesawi. tapi mungkin inilah inti dari semua kuliah Eksistensialisme: bahwa sebelum mengukir makna di atas hampa, hidup adalah soal merasai & mengalami beragam warna, bebauan, rasa, kontur, & bebunyian yang ada.


di sisi lain, soal benci, kau mungkin benci fakta bahwa aku terlalu piawai brengseknya menelanjangi pikiran-perasaanmu (meski dalam kondisi-kondisi tertentu, aku hanya berdiam diri & kau dengan senang hati melucuti pikiran-perasaanmu sendiri). 


kau mungkin tahu bahwa secara psikologi sebenarnya tak ada yang betul-betul bisa kita sembunyikan. terlepas dari kebenaran tafsiran, segala sesuatu dapat dibaca & diterjemahkan. kebetulan pula aku tidak terlalu suka membaca kata-kata yang terlontar dari mulutmu. aku lebih suka membaca gestur & bahasa tubuhmu. & itulah mengapa kau benci mendengar hasil tafsiranku yang jarang meleset—lalu tanpa tedeng aling-aling meminta jarak sebab menurutmu aku terlalu dekat. & kau membenci itu. i wish we could've met as kids, & you would love my innocence...


sebelum terlalu Anyer-Panarukan, aku ingin sebentar saja kesurupan Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov & bilang satu hal: maafkan, maafkan aku, maafkan cintaku yang mengganggu kedamaianmu. 


& seperti yang diduga pemirsa, bukan lagu-lagu Beach House atau nuansa film-film Wong-Kar wai yang menyatukan kita berdua—tapi benci. selain the will to power, aku lumayan curiga kebencian adalah energi kuat yang menggerakan dunia ini. & mungkin ia lebih gigan dari cinta. tapi semoga saja tidak. amin.


kembali soal benci, aku juga benci fakta bahwa gelap adalah narkoba golongan satu yang cenderung membikin pengidapnya benci cahaya. gelap di sini, bisa kita artikan sebagai pesimisme akut terhadap sesuatu. sebagai manusia, aku pun pernah gelap. & mungkin masih gelap. tapi kegelapan itu hilang menuju entah ketika aku memandangi hitam pupil matamu selama lebih dari tujuh menit. meski sayangnya gelap di pupil matamu masih bertahan. & aku semakin benci ketika menyadari bahwa aku menemukan pemakaman seratus tuhan di sepasang matamu itu. tuhan-tuhan itu tidak mati tanpa alasan. ia benar-benar mati sebab pernah begitu hidup & dipercayakan sebagai tumpuan atau sandaran sewaktu kau terlampau lelah di masa lampau. 


kalau boleh jujur, aku juga benci bahwa kau habis-habisan mencari cara agar aku begitu membencimu (dalam konotasi negatif). sebuah upaya yang, menurutku, sia-sia. sebab sesuatu dengan lima huruf dalam bahasa Indonesia & empat huruf dalam bahasa Inggris pada hatiku ini begitu besar sampai-sampai menihilkan semua benci—sehingga konsekuensi logisnya adalah ia menjadi selfless love (ya terdengar sangat The Strokes). sebuah rasa yang tak mengenal ego. bicara benci adalah bicara ego, bukan?


bagian paling sintingnya, misalkan kau pernah terpikir untuk mencoba menusuk dada sebelah kiriku menggunakan pisau dapur atau pedang excalibur sekalipun, aku sepertinya tidak akan menangkisnya. justru aku bakal membantumu untuk membenamkannya lebih dalam. omong-omong, paragraf ini kupinjam dari salah satu bagian dari surat Kafka kepada Milena. ruang penciptaan (tulisan, lukisan, musik, & sebagainya) selain memengaruhi-dipengaruhi adalah ruang meminjam-dipinjam.


terakhir, ketika kau (seperti biasa, secara acak bin tiba-tiba) bertanya, “wangi apa yang paling kamu sukai?” & aku menjawab “wangi nafasmu setelah mengisap rokok la ice!”—aku sedang tidak flirting. kau mungkin lupa, aku punya gelar magister penciuman. ribuan bebauan telah kuteliti 5W & 1H-nya. aku jawab begitu, sebab aku menangkap nafas puitis yang menolak habis. dari bebauan unik itu kutemukan Phoenix yang menolak padam & jadi abu. kurasa, melanjutkan hidup pun adalah sebuah seni. lebih-lebih mencoba terbang tinggi kembali setelah berkali terhempas jatuh tentulah sebuah seni tingkat tinggi. secara personal, aku percaya bahwa terus mencoba adalah sebuah seni. setidaknya seni dalam artian tak semua bisa apalagi piawai melakukannya. percayalah, bahkan di galeri yang dipenuhi lukisan-lukisan artsy, aku akan tetap memilih untuk memandangimu.


sebelum ditutup, agaknya perlu digarisbawahi bahwa aku tidak menyayangimu sebab aku menemukan seribu aku di dalam dirimu. atau dengan kata lain, self love. jenis empat huruf yang egoistik seperti disoal Pessoa dalam The Book of Disquiet. tidak. aku menyayangimu, juga boleh jadi sebab kita seperti sepasang tidak asing yang saling menambal lubang-lubang kemalangan masing-masing. dua astronot yang saling bahu membahu membetulkan tabung oksigen masing-masing ketika sesuatu yang buruk terjadi di luar rencana. perhaps two beautiful souls are shaped & smelted by the same ugly experiences. entahlah, hanya Sumedang yang tahu.


satu lagi, sumpah satu lagi, aku bersumpah akan menghilangkan atau minimal mengurangi kesoktahuanku tentang bagaimana pikiran-perasaanmu yang kutelanjangi.


you wanted to be seen

i wanted to cry

my fingers on your skin

your soft lips on my closed eyes


only the sun has come

this close

only the sun


we're alchemists

i touched you like you're

a temple i asked god for

you kissed my soul's window

magicallly my tears become meadow

grow a poetry, a pray

& waterlily from blood mud


we teach the sun a tender way

to say those three words.


Sincerely,

Gerry

Monday, 9 September 2024

Suicide Note - Virginia (Surat Translasi)

*Ditulis Virginia Woolf dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA. Surat ini diambil dari Wikisource

*****

Selasa, 28 Maret 1941

Tersayang,

Kumerasa yakin aku akan menjadi gila lagi. Kumerasa kita tak bisa melewati masa-masa sulit lainnya. Dan aku takkan sembuh kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan aku tidak bisa berkonsentrasi. Maka, aku melakukan apa yang tampaknya merupakan hal terbaik untuk dilakukan. Kamu telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin. Kamu telah melakukan segalanya—yang terbaik yang bisa dilakukan seseorang. Aku tidak berpikir ada pasangan yang bisa lebih bahagia sampai penyakit mengerikan ini datang. Aku tidak bisa berjuang lebih lama lagi. Kutahu bahwa aku telah mengacaukan hidupmu, bahwa tanpaku, kamu bisa bekerja. Dan kamu akan menyadarinya. Kamu lihat, aku bahkan tidak bisa menulis surat ini dengan benar. Aku tidak bisa membaca. Yang ingin kukatakan adalah aku berhutang semua kebahagiaan dalam hidupku kepadamu. Kamu telah sebegitu sabarnya menghadapiku. Aku ingin mengatakan itu—semua orang tahu itu. Jika ada seseorang yang bisa menyelamatkanku, itu adalah kamu. Segalanya telah hilang dariku, kecuali kepastian akan betapa baiknya kamu. Aku tidak bisa terus merusak hidupmu lebih lama lagi.

Kupikir tiada pasangan yang bisa lebih bahagia daripada kita.



Monday, 22 July 2024

Surat Maaf yang Sebanyak-banyaknya untuk Pacarku

Kepada Pacarku, Mega Wulandari, yang Punya Segudang Sabar untukku...


Bogor, 22 Juli 2023


sebetulnya aku sudah meminta maaf padamu melalui pesan watsap. tapi kupikir itu belumlah cukup. aku mesti meminta maaf pula lewat surat (& nanti secara langsung ketika kita bertemu). 


aku mengerti maksudmu sangatlah baik. & aku paham betapa marahnya kau ketika tahu aku menenggak minuman sialan itu. aku sadar betapa kau membenci alkohol lebih dari apapun. & tentu, aku tak mau membela diri. aku menyadari kesalahanku. kekhilafanku. ketololanku. kegoblokanku. aku berjanji, sebenar-benarnya janji, tidak akan menyentuh setan itu lagi.


melalui surat ini aku hanya ingin meminta maaf yang sebanyak-banyaknya. itu saja.


& kalau boleh jujur, setiap kali aku melihat sepasang manula di taman bunga pada pagi yang cerah, aku selalu membayangkan seberapa banyak mereka saling meminta maaf. aku percaya soulmate tidak ditemukan, tetapi dibentuk oleh cinta yang melahirkan kesabaran-kesabaran.


Sincerely, 

Aldy

Friday, 28 October 2022

Surat untuk Genrifinaldy


Kepada Genrifinaldy yang Api ...

Bogor, 28 Oktober 2022

“where did we come from?
why are we here?
where do we go when we die?
what lies beyond
& what lay before?
is anything certain in life?

they say, life is too short
the here & the now
& you're only given one shot
but could there be more
have i lived before
or could this be all that we've got?
...”

halo genrifinaldy. ini aku, bocah kecil dalam dirimu ... yang selalu coba kau bunuh di kepalamu yang katanya ensiklopedis, rasional, & kritis itu. bagaimana rasanya krisis eksistensial? maaf, maksudku bagaimana rasanya menjadi dewasa? sakit kepala? sakit pinggang? sakit punggung? sakit jiwa? bolehkah aku mengucap selamat malam agar kau lekas tidur & bermimpi indah? atau bolehkah aku bertanya sesuatu yang lebih penting & mendasar: apakah kau berbahagia? 

sebentar, wajahmu muram sekali, seperti The Sorrows of Young Werther karya Goethe yang sebabkan bunuh diri massal di mana-mana, seperti Gloomy Sunday yang diputar di minggu pagi yang mendung & murung, hei ... ini hari jumat & kau memasang wajahmu seperti seekor burung yang secara sadar mematahkan sayapnya sendiri. kau ingin bercerita? sepertinya kau lelah & butuh telinga. 

apa? kau ingin mati? tidak, jangan ... tolong buang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk itu. begini, aku sudah berkali-kali peringatkanmu agar jangan membaca buku-buku sialan itu. meskipun aku tak kenal siapa Cervantes, tetapi kukira kau serupa dengan Don Quixote yang jadi gila karena terlalu banyak membaca buku. bila perlu kubakar saja rak bukumu yang tak seberapa itu dengan semangat Nero membakar kota Roma—atau gairah Julius membakar perpustakaan Alexandria. 

sudah kukatakan bahwa tak setiap tanya memiliki jawaban. lagipula tak setiap tanya harus ada jawaban. tapi egomu selalu menuntut jawaban agar lebih tahu & bisa lebih unggul dari orang lain yang tak tahu & tak membaca buku. hei, kau kan tahu kepalamu hampir pecah ketika menghafal istilah teknis Heidegger yang jauh lebih “tebal” dari filsafatnya. jangan dulu menulis, kau terlampau produktif minggu ini. dua hari lalu, hari rabu, dalam satu hari tiga tulisanmu terbit di media yang berbeda: esaimu tentang Pengarang Telah Mati si Barthes, esaimu tentang Kritik Stoikisme, & puisimu yang masih gelap itu. bahkan kemarin, iya kemarin kalau kau tak alzheimer, esai terjemahanmu tentang Sejarah menurut Nietzsche juga terbit. ayo bersenang-senanglah sejenak, jangan terus menerus membaca buku—lari pagi di hari sabtu esok sepertinya ide yang cukup bagus. 

jangan dulu mati, ya. sebentar lagi, tahan dulu. besok ... ketika matahari terbit dari timur sana—segala dukalara yang kau rasakan di kerongkonganmu itu, yang kau dapatkan dari barat itu—akan sepenuhnya musnah. ingat, hari minggu nanti kau mesti serius & profesional ... kau ada jadwal untuk mempresentasikan Analisis Sosial & Kerja-Kerja Jurnalistik. untuk saat ini, agar kau tak terlalu menderita—lupakan Bolaño yang secara tersirat mengatakan bahwa membaca selalu lebih berarti daripada menulis. membaca atau menulis puncaknya adalah penderitaan. literasi adalah omong kosong agar seseorang yang berkepala tabula rasa mampu merasakan beban pengetahuan. meskipun buku adalah jembatan ilmu, tetapi membaca adalah jalan menuju neraka ... yang sejuta kali lebih buruk dari Une saison en enfer-nya Rimbaud atau Inferno-nya Dante. menulis? lupakan Pram, menulis bukanlah bekerja untuk keabadian. menulis adalah bekerja untuk kesementaraan—atau mungkin untuk teks yang selalu lebih kekal dari kenarsistikan pengarangnya. kau tahu itu semua, kan?

apa? kau sakit kepala? banyak pikiran?sudah berapa gelas kopi kau teguk hari ini? kesadaran selalu membutuhkan kafein—seperti pikiranmu yang selalu membutuhkan jawaban, seperti tanda tanya yang selalu membutuhkan kepuasan konstan. hei, kau belum menjawab: apakah kau berbahagia? kau bukan Sisifus à la Camus yang kebahagiaannya harus seseorang bayangkan. seharusnya kau bisa berbahagia saat ini juga. tapi mungkin kau adalah Prometheus yang dikutuk karena mencuri secuil api-pengetahuan. kau dirantai, ada seekor elang yang akan memakan hatimu setiap hari—& tak ada Heracles yang akan selamatkanmu dari siksaan-siksaan pikiran. meski kau bukan orang Skandinavia, bukan bangsa Viking, & tak mengimani Mitologi Nordik—kepalamu setiap malam, sepanjang malam ... adalah Ragnarok paling kubra. meski kau selalu bilang aku tolol & naif, aku tahu & memahami itu.

untuk saat ini, jangan dulu mati ... jangan dulu membaca, jangan juga mengarang. itu akan memperburuk keadaanmu. & aku terlampau bosan untuk mengatakan ini ... pertanyaan & jawaban adalah masturbasi ego yang tak seorang tuhan pun tahu di manakah ujungnya. sekarang, lupakan Bacon—pengetahuan bukanlah kekuatan, tetapi penderitaan. seperti yang telah kau tekskan di Manifesto Kesuraman itu. tolong telan pil pahit ini: akan selalu ada seseorang yang lebih tahu daripada kau. selain itu, pengetahuan adalah pikiran & tak relevan dengan apa pun selain pikiran itu sendiri—pengetahuan selalu terobsesi dengan hal-hal non-realitas, seperti yang kau biasa debatkan secara sunyi di kepala. 

lagipula, di sisi lain, apa kau lupa dengan Jung? bahwa jika seseorang tahu lebih banyak daripada orang lainnya, dia menjadi kesepian. lantas untuk apa semua pengetahuan tak berguna itu? pengetahuan yang lebih banyak dampak buruknya, ketimbang dampak baiknya. apakah kau inginkan kesepian yang lebih kesepian dari kesepianmu saat ini? tak mau, bukan? atau kau tetap inginkan jawaban dari segudang pertanyaanmu itu? o buka matamu, ini realitas, tak peduli sebanyak apapun kau mengunyah-mencerna buku-buku besar & berat itu—selalu saja ada hal-hal kecil yang tampak ringan, tetapi otak-intelektualitasmu (yang selalu kau agung-agungkan itu) tak sedikit pun mampu memahaminya. 

hidup bukan perihal siapa yang paling banyak mengetahui sesuatu. buka Ecclesiastes 1:18, di sana kau akan temukan: karena dalam banyak kebijaksanaan terdapat banyak kekesalan, & barangsiapa menambah pengetahuan—menambah kesengsaraan. rasa-rasanya aku perlu berkata ini juga kepadamu: berbahagialah mereka yang tak pernah membaca ... sekarang kau akan tahu mengapa perintah pertama tuhan adalah membaca hahaha.

sekali lagi, jangan dulu mati ya. kalau kau ingin bercerita, aku selalu ada di sisimu; di sisi yang selalu coba kau sembunyikan dari kesadaranmu yang lebih nauseatik dari membaca Sartre ketika sedang naik bianglala.

“oh, you could be the one
you could be the one
who walks away
& leaves the war

above your head
there's a heavy cloud
a heavy cloud distract
& push yourself
to be apart

time like this you know
you know know
you know, you know, know
you know, you know, know
you know

think rational mind is battlefield
run to the throne, run to the throne
think rational mind is battlefield
run to the throne, run to the throne

you're not the only one
the only one who needs the thing
should be explained at once

well we are full
awallowing regrets
but someone already
sent you a vow
out of the mess
...”

Sincerely,

Bocah Kecil dalam Dirimu

Monday, 10 October 2022

Bila Aku Benar-benar Tak Lagi Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang ...

Bogor, 10 Oktober 2022

“... but clocks keep on ticking
& life keeps on going
to leave the pair behind at last

she said to me
& i said to her
to hold back each other's true fate
is not of our nature
let's be mature

maybe you weren't made for me
nor i for you ...”

selamat pagi, Bila. sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, tetapi sepertinya cerita-ceritaku tak lagi menarik & penting bagimu (dengan kata lain, cerita-ceritaku telah berubah menjadi bahasa yang tak perlu lagi dibahasakan kepadamu). maka teks-teks setelah kalimat tadi adalah ceracauku kepada diriku sendiri yang semestinya tak lagi kau baca—terlepas dari apakah kau benar-benar membaca surat-suratku untukmu ataukah tidak sama sekali.

dimulai dari alinea ini, demi kebaikan bersama, aku mohon jangan kau teruskan lagi membaca suratku yang tak berguna ini. tapi terserah, itu pilihanmu, lagipula aku percaya pada free will & kupikir manusia memang dikutuk untuk bebas alias L'homme est Condamné à Être Libre!—oleh karenanya, silakan tanggung sendiri akibatnya bila kau terus membaca surat ini sampai selesai, ya.

mungkin ini agak skizoid, sebab kata-kata di dalamnnya adalah dari, oleh, & untuk diriku sendiri—tapi tak apa. beberapa bulan ke belakang ada satu-dua-tiga-empat hal-hal lumayan sinting yang terjadi dalam realitasku. maaf bila aku tak menuliskannya dalam kronologis yang linier & sistematis.

pertama, aku tak pernah menyangka bila pada suatu hari puisiku akan dipamerkan di sebuah pameran, khususnya di kotaku, Bogor. singkat cerita, aku datang ke pameran itu & bertemu dengan beberapa kawan-onlineku: seorang penulis, fisikawan, & fenomenolog (bisa dikatakan demikian atau anggap saja begitu). tapi bagian absurdnya adalah aku melihat beberapa orang yang tak kukenal sama sekali dengan serius membaca puisiku (yang ditempelkan di sebuah spanduk) di depan mataku & rasa-rasanya cukup ganjil (mungkin ini hanya perasaanku saja yang ganjil).

kedua, setelah sekian lama, aku kembali ngueng-ngueng lagi. aku fafifu-wasweswos via Google Meet mengenai ... Eksistensialisme di sebuah komunitas filsafat yang kuduga berpusat di Paris van Java. animonya cukup tinggi, diskusinya hidup, meskipun aku memaparkan materi “serius” dengan pembawaan yang komikal. kupikir Eksistensialisme memanglah sesuatu yang serius, dalam artian bahwa para eksistensialis (secara tak langsung) menciptakan semacam krisis tak terelakkan bagi para pembacanya—& pada gilirannya, membuat hidup manusia, secara 180 derajat, bertambah ruwet sekaligus mumet. 

kupikir, tak ada yang tak serius dari apa yang telah dikeluhkan oleh Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Dostoevsky, Sartre, de Beauvoir, Kafka, Camus, & para figur lain (yang dapat kuasosiasikan sebagai seorang eksistensialis). di beberapa konteks, aku bahkan hampir setuju bahwa mengada adalah keadaan-tak-menyenangkan yang tak terbantahkan. maka dengan sadar & sengaja aku menarasikan kenoiran-kenoiran mereka dengan gaya seorang kawan lama yang humoris. aku pikir bagian itu cukup, sebab aku takut oversharing kepada diriku sendiri & belajar dari yang sudah-sudah bahwa aku sering kali lupa waktu ketika membincangkan -isme tersebut.

ketiga, aku juga tak menyangka bahwa pada suatu ketika yang random ... esaiku akan mengada di sebuah majalah yang diterbitkan oleh komunitas filsafat (yang ini kucurigai berdomisili di Jakarta). omong-omong, komunitas ini adalah komunitas yang sama, yang pernah mengundangku untuk membacot-membicarakan Pak Kumis pada bulan Juli lalu. oh ya, esaiku tentang Sapere Aude (iya, frasa latin yang bermakna dare to know, have courage to use your own reason, dare to know things through reason, & dare to be wise itu), sedikit Horace, sedikit Aufklärung, sedikit Kant, & sedikit diriku sendiri. rasanya cukup nano-nano untuk melihat-membaca esaiku sendiri dalam format majalah.

keempat, pada suatu siang yang lesu di bulan kemarin, aku dikirimi DM oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai panitia Festival of Arts and Sports FH UI 2022. pendek kata, dia menawariku untuk berpartisipasi sebagai dewan juri dalam lomba cerpen—katanya, dia mendapat rekomendasi & kontakku dari salah seorang kawanku yang juga menjadi juri lomba tersebut. satu yang menyebalkan bagiku adalah fakta bahwa sampai detik ini aku tak tahu menahu siapa orang yang telah merekomendasikanku itu. pedahal, secara personal, aku ingin berterima-kasih kepadannya. 

yang jelas, membaca cerpen-cerpen anak hukum memberiku semacam pengalaman baru yang unik. pengalaman yang (bisa dibilang) tak kudapatkan ketika menjadi redaktur fiksi & puisi selama lebih dari 1 tahun di media tempatku freelance. sebelumnya aku juga pernah menjadi juri lomba puisi di kampusku dulu, tetapi feel-nya tak seotentik ini. kupikir, pengalaman ini pada akhirnya akan memperluas cakrawala persepsi-penilaianku mengenai karya sastra, khususnya terkait unsur ekstrinsik sebuah cerpen (& puisi).

mungkin surat ini agak tolol, cenderung nonsens, & tak memiliki kepaduan yang rasional—sebab tak seorang manusia, setan, atau tuhan pun yang tahu surat ini akan mengarah & dibawa ke mana. sebagai penutup, surat ini akan duduk di sebelah ketiadaan & berkata: mungkin surat ini memanglah suratku yang terakhir untukmu, Bil; & akan menjadi pernyataan dari pertanyaan subtil tentangmu dalam diriku ... Bil, haruskah kita kembali bertemu?

mungkin tidak. tapi aku akan tetap mengatakan banyak-banyak merci dengan sepenuh cinta & tetap melangitkan doaku untukmu (yang tak pernah berubah dari dulu) dengan sepenuh cita: semoga kau selalu berbahagia, ya.

“... qué será, será
whatever will be, will be
the future's not ours to see
qué será, será
what will be, will be ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Wednesday, 14 September 2022

Bila Aku Menulis Lagi Surat Untukmu


Kepada Bila yang ... Hmmm

Bogor, 13 September 2022

“... sing me something soft
sad & delicate
or loud & out of key
sing me anything
we're glad for what we've got
done with what we've lost
our whole lives laid out
right in front of us

sing like you think no one's listening
you would kill for this
just a little bit
just a little bit
you would
you would ...”

selamat dini hari, Bila. aku bingung bagaimana memulai surat ini, itulah mengapa aku mengawalinya dengan lirik lagu Existentialism on Prom Night (selain karena aku tahu Kau suka menyanyi & menggeluti Eksistensialisme). walaupun sebenarnya, sejujurnya, aku lebih bingung mengenai “mengapa” aku menulis selamat dini hari, Bila & “mengapa” aku menulis lagi surat untukmu, Bila. kebingungan lainnya berasal dari betapa bingungnya pikiran-perasaanku yang sama sekali tak menyangka kita akan kembali saling bertukar-teks setelah aku menerbitkan tulisan “Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu”—tetapi kemarin Kau malah mem-vidcall-ku—aku mengangkatnya & sekitar 3 jam lamanya kita mengaktifkan mulut & menyalakan telinga.

Bil, apakah kau menyadari bahwa di alinea pertama saja sudah ada setidaknya 4 kebingungan yang kutelurkan? Kau tak sadar, ya? hahahaha lupakan ... intinya akan kutekskan beberapa kebingungan yang bising di dalam kepalaku (yang terkadang kurasa tak perlu juga kuberi medium kata-kata—biarkan saja meledak senyap di dalam kepala) pada surat tak berguna ini. sebelum itu aku ingin curhat-menarasikan kebingungan yang bacot-banget ini dulu, ya.

beberapa hari lalu, aku menerjemahkan 2 esai yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (katakanlah Kau bertanya mengapa aku melakukannya) aku bersedia mengalihbahasakannya karena sehari sebelum tawaran penerjemahan itu kusanggupkan—aku mencoba simulasi IELTS & mendapatkan skor 80 dengan label 'advanced' atau setara 601-625 dalam skor TOEFL. alasan terbesarnya justru bukan aku merasa jago basa enggres, tetapi aku bingung mengapa pula skorku sedemikian besarnya—pedahal grammar-ku masih acakadut—& dari kebingungan itulah aku menantang diriku sendiri untuk bergulat di batas-batas antara bahasa ibu & bahasa blonde.

semacam intermezzo: kau tahu, Bil, skill speaking basa elizabethasu-ku ini seperti bule-bloon yang tentu saja bukan native speaker asal London, yang ... diduga sedang sariawan namun memaksakan untuk kumur-kumur Listerine. apalagi bahasa jurusanmu itu, aduh, amandelku bisa kambuh. bila Kau ingat, aku pernah berkata bahwa berbahasa macam orang Paris berpotensi besar membuatku sakit tenggorokan dengan cukup kronis.

ok, back to the curhat ... esai yang pertama kualihbahasakan garis besarnya tentang Panduan Pembebasan Individual di Era Postmodern. esai kedua, gambaran besarnya membahas kedepresifan manusia, hal-ihwal penderitaan, dampak teknologi, sampai kebusukan-kebusukan society. ini, Bil, efek psikologis yang kualami paska-penerjemahan: yang pertama, tulisan Vetuyara itu membuat kedua tanganku ingin mencipta molotov (dari sebotol anggur merah Cap Orang Tua yang botolnya entah berapa banyak akan kutenggak semasih aku muda + seluruh baju-bajuku yang sudah kumal + bensin pertalite yang kini mahal) lalu melemparkannya ke wajah borjuis muda yang tekun flexing di sosial media—yang gemar membacot di seminarnya yang ... overprice mengenai omong kosong kerja keras & kerja cerdas dengan percaya diri sekaligus dumb-ass;

yang kedua, lebih parah, Le Chien Rifki (penulisnya) kupikir adalah seorang demotivator ulung yang sukses membahasakan pesimisme dengan begitu optimis. si anjing itu sungguh sangat hadeuh, Bil. ia menghidupkan seribu Macbeth yang berperangai seperti Deadpool sedang existential dread di lubuk kesadaranku. dengan piawai-bangsatnya ia juga menggemakan kegagalan Dazai menjadi seorang manusia & pada gilirannya melukiskan betapa terancamnya kata hidup dalam kamusku bila aku terlalu banyak mengonsumsi esai-esai Cioran.

Bil, kau kan tahu bahwa gelar 'MA' di belakang namaku bukan Master of Arts, melainkan Master of Anguish. Kau apalagi, menyandang gelar Ph.D ... Pretty-huge Despair (sumpah, aku sama sekali tak tertawa). tapi berjuta tapi, bukan berarti aku rela, memberimu lampu hijau, atau lebih sinting lagi menganjurkan—jika pada akhirnya kau benar-benar lelah & memilih untuk membunuh dirimu sendiri. mengapa aku menukil perihal suicide? sebab hari ini ada puisimu yang masuk melalui pintu watsap-ku—isinya kira-kira begini:

Tuhan,
Aku hanya ingin mati.

—Bila

(Jakarta, 13 September 2022)

Kau mesti tahu bahwa aku senang bila Kau mengirimkan puisimu kepadaku. tapi aku bingung mau merespon puisimu yang satu ini bagaimana atau dengan pendekatan masturbasi pikiran (khas terma-terma kefilsafatan) yang seperti apa. kupikir, pada titik tertentu, fafifu filsafat malah memperburuk keadaan, khususon Filsafat Prancis (Kau tentu lebih suhu dariku terkait ini, misalnya, lebih memahami bahwa philosophical notion from a croissant country memang cenderung, bukan cenderung juga sih, tetapi memang noir). semisal aku ngueng-ngueng luas Stoikisme = ½ × S × K ... pun juga tak guna—sebab kita bukan anak kandung Seneca yang punya seolympus Ke-sa-bar-an.

paling banter ya aku tekskan begini: “wanna talk?”—atau menelponmu (& aku akan menempatkan kedua telingaku dalam mode siap-siaga-bencana-airmata, tanpa mengeluarkan suara apalagi saran bila tak Kau pinta), atau berjuta kali meneror-menggedor notifikasimu à la admin slot bila Kau tak kunjung mengangkat panggilan gawat-darurat itu. tapi aku & ke-overthinking-an-ku tahu, yang terjadi di realitas-babi adalah wanna talk? itu tak kunjung ceklis dua.

& voilà, aku hariwang padamu, Bila. aku lupa apakah sudah cerita ini ataukah belum: kandungan suudzon pada neuron kepalaku berkali-kali lipat jauh lebih banyak dari anjuran husnudzon di dalam ayat-ayat malaikat sekalipun ia tipikal malaikat yang mahamemaksa. aku hanya menuliskan kejujuranku. o ya, aku hampir lupa, hari ini Godard (iya Godard yang Jean-Luc, yang sutradara, penulis skenario, & produser asal negara oui—juga orang ngaruh dalam kebangkitan & sepak terjang gerakan sinema Prancis itu) kini telah mati—omong-omong, ia adalah salah satu figur penting dalam proses kreatif kepenulisanku yang suram, biru, & tak kreatif-kreatif amat.

Bil, sekarang sudah pukul 2 pagi. & alih-alih membayangkan bagaimana Sisifus berbahagia, kepalaku malah semakin bertendensi untuk membayangkan skenario kiamat kubra. aku berdoa, semoga apa yang kutakutkan tentangmu, tak menjadi kenyataan. meski kutahu, bahwa jauh di dasar hatiku—aku masih bingung bagaimana doa bekerja—& masih begitu membenci harapan.

“ ... someday you will die
but i'll be close behind
i'll follow you into the dark

no blinding light
or tunnels, to gates of white
just our hands clasped so tight
waiting for the hint of a spark

if Heaven & Hell decide
that they both are satisfied
illuminate the no's on their vacancy signs
if there's no one beside you
when your soul embarks
then I'll follow you into the dark ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Saturday, 3 September 2022

Sekerat Surat Tak Berguna untuk Ursa

Kepada Ursa yang ... Telah Menjadi Kata Sifat Waktu bagi Beberapa Ruang Hampa di Hatiku

Bogor, 3 September 2022

" ... 'cause you brought out the best of me
a part of me i'd never seen
you took my soul wiped it clean
our love was made for movie screens

but if you loved me
why did you leave me
take my body
take my body
all i want is
all i need is
to find somebody
i'll find somebody

ooh oh
ooh oh
ooh oh
ooh oh
ooh ah
ooh oh ..."

halo, Sa. how's your day? how's life? semoga harimu baik, ya—meski beberapa bulan lalu kau (menggunakan akun instagram palsu) menguntiti setiap instastoryku—aku menangkap basah dirimu (percayalah, intuisi-instingku ini tak pernah salah ... setara intel KGB yang mengamalkan Kritisisme Kant)—kau pun mengaku, sembari tertawa dalam medium emoji—& mengirimiku beberapa teks yang kurang lebih mengandung konteks bahwa kau sedang tak baik-baik saja.

sejujurnya, hatiku saat itu berubah menjadi kaca murahan setebal 1 milimeter yang tertimpa Mjölnir ketika membaca bahasa bahwa pernikahanmu gagal total: bercerai. bagaimana tidak? di setiap ibadahku yang bolong-bolong, aku hampir pasti melangitkan doa-doa naif-afirmatif berisi semoga kau berbahagia dengan lelaki pilihanmu itu campur keputusasaanku yang Shakespeare. 

melalui sekerat (baca: sepotong) surat tak berguna ini, akan kuceritakan beberapa hal padamu. tapi pertama-tama, kumuntahkan dua kredo yang secara sayup kuingat (kau tahu, aku pikun) tentang kita terlebih dahulu: pertama, kita selalu sepakat bahwa hidup ini seperti kelamin kuda; kedua, pernikahan adalah Kuda Troya. yang pertama kuterima sebagai konvensi sublim yang ... menyatukan kepesimisanku dengan kefrontalanmu. yang terakhir kuterima sebagai pil pahit yang ... mesti kutelan ketika pada akhirnya kau mengundangku—aku datang ke pernikahanmu—kemudian aku pulang dalam keadaan (secara filosofis) mati & tak pernah dikuburkan, setidaknya sampai saat ini.

aku belum cerita padamu terkait kepulanganku dari salah satu hari paling biru dalam kalenderku (yang tak pernah mengenal tanggal merah) itu, ya? oke, mungkin kau tahu aku sama sekali tak cocok (& rentan dipecat) jika bekerja di ekspedisi, khususnya, bagian kurir yang mesti serba cepat. dengan kata lain, aku selalu memacu kuda besiku bagai seekor kukang yang malas. aku tak suka ngebut. tapi hari itu, malam itu, adalah pertama kalinya aku membawa motorku (dengan perasaan yang carut-marut) di atas 100 km/jam—seperti Rossi yang hampir jadi Simoncelli yang ... menubruk tubuh Decepticon berkaki 12 (alias truk trinton). aku tak bisa membayangkan jika pada malam kelam itu—aku mengalami lakalantas, lantas disiksa dalam abadi di neraka yang selalu kau percaya & tak pernah kupercaya.

lupakan soal itu. sampai sekarang, aku masih merasa bersalah atas hilangnya kacamata yang kauberikan padaku (yang harganya, konon, setara honor puisi-puisiku yang terbit di koran sebanyak 7 kali terbit itu). tapi ini bukan masalah harga, ini memang pure aku yang tolol & teledor. sebenarnya, ada banyak hal yang kuingin ceritakan padamu, tetapi, akan terlalu kaki seribu (& aku tak yakin mampu) jika kuceritakan semuanya satu per satu. tenang, akan kuceritakan beberapa:

1. aku memutuskan untuk mentato leher kiriku (aku ini anak TK yang tak mau kalah, faktanya, kau lebih dulu mentato pergelangan tanganmu; tapi motif utamanya bukan itu, sebenarnya, aku ingin merasakan sakit yang benar-benar sakit secara ragawi—tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa aku tak masokis, justru kau yang masokis ... aku yang sadis—sedikit fafifu soal rasa sakit, aku sempat membaca esai filsafat Hume berjudul "On Tragedy", tambah argumen penyair Romawi bernama Lucretius di "On the Nature of the Universe", tambah "Elements of Law" karya Hobbes yang kalau semuanya disintesiskan memaparkan bahwa: rasa sakit adalah kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan).

2. kawanku yang tak belajar ilmu psikologi secara akademik mendiagnosisku (dengan dugaan sementara) bahwa alasan paling logis mengapa aku begitu mencintamu adalah karena kau ini tipikal perempuan yang maternal (keibuan)—& aku mengidap Oedipus Complex (aku separuh setuju akan hal itu jika kita punya kesamaan interpretasi tentang burungnya Freud).

3. selain karena aku skeptis terhadap si Thales akamsi Miletus yang berkata kehidupan berasal dari air & sedikit meragukan hipotesa Sains bahwa asal-muasal kehidupan berasal dari dasar laut—aku sepertinya memiliki fobia terhadap air (jangan ditafsirkan aku ini jarang mandi); sehingga aku masih tak bisa renang sampai sekarang (oh ya, terima kasih, dulu kau selalu mengajari aku yang terlalu makhluk darat ini berenang dengan susah payah).

4. aku sudah menonton film-film Marvel yang dulu kaurekomendasikan padaku—aku menemukan bahwa film-film Marvel itu overrated (tolong jangan marah, sebab itu bukan berarti aku berselingkuh dengan film-film DC; namun, sungguh, Doctor Strange in the Multiverse of Madness & Antman adalah salah dua film termonumental yang pernah kutonton—lebih-lebih membuatku tertarik dengan fisika, tepatnya fisika kuantum).

5. aku punya ritus devosi pribadi untuk membeli Lays rasa rumput laut setiap tanggal 9, setiap bulan—hingga perusahaan Lays berhenti memproduksi snack yang hukumnya perlu ada ketika kita bersua itu (aku memendam dendam pada kongsi dagang ICBP karena hal yang menurutku sangat merugikanku itu).

6. kini, aku setuju denganmu bahwa japlak kuah jauh lebih enak ketimbang japlak karamel (dulu aku selalu memesan japlak karamel—sebab kupikir, japlak kuah rasanya seperti ingus naga yang sedang mengidap influenza daripada makanan khas yang hanya bisa ditemui di Kabupaten Bogor & Kabupaten Sukabumi. oh ya, kita pernah berdebat hebat tentang subjektifitas penyajian japlak yang  ... memang harus diperbebatkan karena sungguh sangat penting & fundamental ini—silakan tertawa).

7. aku percaya hidup yang benar-benar hidup berasal dari (pengalaman) mati yang benar-benar mati (bahasa Sufi-nya: mati sebelum mati). aku sama sekali tak berharap kau datang ke pemakamanku—& membawa sekotak Pizza McDonald's berbentuk bulat dengan pemotong berbentuk segitiga ke pemakamanku (seperti pada suatu sore yang dingin & gaje—ketika aku mengirimimu pesan yang berisi ungkapan bahwa aku masuk angin—aku memilih untuk tidur—& aku terbangun, sebab tiba-tiba saja kau sudah ada di kamarku dengan koin seribu perak yang terbuat dari nikel ... yang sudah dibaluri minyak—bersiap untuk mengerok punggungku—lalu menawari mulutku yang norak Pizza McDonald's itu).

8. entah tak sengaja atau sengaja dalam konteks bercanda, mamaku masih sering menyebut-nyebut namamu, Sa.

9. aku masih mendengarkan lagu wajib yang sering kita putar bersama: Muse - Madness.

10. aku mengutuk versi past tense dari diriku sendiri yang ... telah menghapus seluruh fotomu & foto kita berdua yang kusimpan rapi di Google Drive & folder tersembunyi di Macbook jadulku (yang pada gilirannya, menyebabkanku tak bisa menangis secara paripurna ketika mendengarkan Neck Deep - Wish You Were Here: if a picture is all that i have ... i can picture the times that we won't get back ... if i picture it now, it don't seem so bad ... either way, i still wish you were here ... don't say everything's meant to be ... 'cause you know it's not what i believe ... can't help but think that it should've been me ... either way, i still wish you were here).

11. jika suatu saat kita bertemu lagi, entah di tempat yang dulu sering kita sambangi atau di antah-berantah yang asing—aku mohon jangan bertanya apakah aku sudah menikah atau belum (aku belum memiliki keberanian yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu— yang kupikir berjuta kali lebih ngeri ketimbang pertanyaan eksistensialisme-klasik seperti, misalnya, apakah aku benar-benar berbahagia?).

12. maaf aku tak mampu lagi bercerita, ini terlalu emosional bagiku, huft.

terakhir, aku tahu ini dungu, tetapi ... semoga kau selalu berbahagia. terima kasih telah menjadi cinta pertamaku.

Sincerely,

Aldy

Sunday, 14 August 2022

Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu


Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata setelah 'Hidup' ...

Bogor, 14 Agustus 2022

“... & when i wake up tomorrow,
will i see another dawn?
as the days turns so hollow,
will i stare across my lawn
to find you whisper stranger things
my love?
i can't explain at all,
i crave to hear the fiction
when you call ...”

selamat pagi, Bila. selamat siang, Bila. selamat sore, Bila. selamat malam, Bila. selamat, Bila, kau telah bertransformasi—menjelma kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata bilangan, kata sambung, kata depan, kata sandang, & kata seru—bagi kata-kataku, bagi puisi-puisiku, bagiku.

tapi, pertama-tama, aku ingin menukil-menyentil katanya Baudelaire (iya, penyair Prancis yang grandeur itu; yang disebut-sebut sebagai “penyair abad kesembilan belas terbesar” oleh Proust dalam esainya di tahun 1922) yang kukira cukup menarik sekaligus asik untuk kita renungi terlebih dahulu: setiap orang haruslah menjadi pemabuk, entah dengan wine, dengan puisi, dengan kebajikan seperti yang mereka inginkan. mabuklah! teruslah mabuk! sudah waktunya untuk mabuk! agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk! 

di tengah-tengah teks-teksku yang cenderung gelap & hampir selalu membuatmu terengah-engah ketika membacanya, aku ingin terang-terangan: bahwa tubuh waktu sudah membusuk, pikiran-perasaanku sudah mabuk (bahkan terlampau mabuk), & terbila-bila bilamana keimpulsifanku yang naif secara tak sporadis mencoba mengeja namamu dengan liris, Bila. 

bila-bila nanti aku tak lagi terbila-bila bila sedang mengingat-meracauimu, Bila, maka bila mungkin—kau mesti memahaminya. bilamasa itu telah tiba, bila perlu kau jangan sedih bila saja aku dimabuk 2 botol anggur merah dengan es batu—ditambah segunung putus asa—dikali nostalgia (yang sejatinya lebih tepat disebut sebagai saudade) terhadap perasaan hiper-bucin yang sebelumnya tak pernah kualami seumur hidupku selaku seorang manusia. sebab ...

“bila bom khawatir diledakkan
akan tumbuh surat-surat genrifinaldy.”

katamu, Bila, kau sudah lama tak mengarang karya sastra & hal-hal terkait keperempuanan. katamu, Bila, waktu tak mengizinkanmu membaca buku-buku teori atau sekadar buku-buku fiksi—sebab seluruh waktumu telah kaugunakan untuk menghadapi realitas yang semakin hari kian gila & tak danta. sejujurnya, hatiku retak ketika mengetahui: kau tak memiliki sedetik pun waktu untuk menyelesaikan skripsimu. 

Bila, waktu memanglah babi hutan, tetapi apa/bagaimana/siapa yang mampu lepas dari waktu & lari dari kenyataan bahwa perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan? maaf bila aku kesurupan Aristoteles di waktu yang tepat sasaran. “waktu adalah ... proyektil peluru yang melesat dari masalalu, melewati masakini, menuju masadepan, & membunuh setiap kemungkinan-kesempatan yang sudah tertutup-terlewatkan.”

kutipan di atas adalah konsep Waktu Linier menurut para intelektual Barat campur secuil kebangsatan Nihilisme yang pahit & menggigil dalam rongga dadaku.

o Bila, bila tak ada ide-ide pandir seperti cinta platonik bla-bla-bla (yang pada akhirnya memicu momen puitik di setiap lamunanku) yang lahir dari kekeliruan kalkulasi interaksi antar neuron di dalam kepalaku—yang dikomunikasikan secara ritmis melalui satuan bahasa di mulutku kepadamu ... kurasa semuanya tak akan serumit ini.

bila aku tak lagi menulis surat untukmu, Bila, semoga kita bukanlah orang yang salah di waktu yang salah.

Sincerely,

Mas Aldy

Saturday, 13 August 2022

Bila Aku Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata sebelum 'Hidup' ...

Bogor, 27 Juli 2022

selamat malam, Bila. siang tadi, kira-kira 11 jam sebelum aku menulis surat ini, aku berselancar di youtube lalu menemukan bahwa menurut Mitologi Yunani: malam adalah personifikasi perempuan & kegelapan adalah personifikasi lelaki. aku melamun berat setelahnya. aku tahu ini terlalu random, tetapi aku pun sama sekali tak tahu akan kuapakan informasi nirguna ini.

& alih-alih kau bisa segera mengecap keromantisan yang obskur dalam suratku ini—kukira, prolognya malah akan menimbulkan efek domino yang membidani rasa skeptis & persepsi kritis di kepalamu bahwa surat ini perlahan namun pasti akan mengalir dengan cukup payah & cenderung goblok.

sebentar … aku ingin bertanya hal yang fundamental: kau di sana, & masih berhasrat untuk membaca surat ini, kan? aku mau tekskan kejujuranku: sebenarnya, isi batok kepalaku tak lebih piawai & pandai dari seekor kalkun yang sedang pilek. dengan kata lain, aku hiper-bahlul ketika di hadapkan pada situasi di mana aku mesti mengarang surat (yang mungkin lebih terlihat seperti puisi-prosa berwarna kerinduan campur kebucinan) demi meredakan & menenangkan seribu taifun pada ceruk hatiku. 

aku tak mengidap gangguan obsesif kompulsif, tetapi aku ingin bertanya pertanyaan yang sama: kau masih di sana, kan? kalau iya, sekarang, coba kau buka persegi panjang berkaca itu, kau harus tahu bahwa malam ini, lunar dengan sinarnya yang megalomania menyinari kerisauan-kerisauanku lagi. 

selamat pagi, Bila. maaf, semalam otot mataku dikalahkan kelelahanku yang jauh lebih kuat. kemarin, pada pukul 19.00-21.00, aku mengisi forum diskusi tentang Nietzsche yang kita sama-sama sepakat: dia terlalu sinting, enigmatik, & edgy. kau tahu? aku dihujani tanda tanya yang sama seperti tanda tanya kepada seorang juru bicara. tapi tak apa, aku senang, & mungkin di neraka sana—Si Dinamit akan tersenyum panjang kali lebar kali tinggi kepadaku ... yang telah meluruskan beberapa miskonsepsi klise dari orang-orang awam ... yang mencoba membaca sekaligus menerka-nerka paradigma ODGJ ... yang mati dipeluk pneumonia & raja singa di Basel itu.

selamat pagi, Bila. aku sengaja mengucapkan selamat pagi lagi, sebab pada pagi ini, aku sarapan dengan semangkuk bubur yang begitu kau benci. aku masih tak paham mengapa pula kau membenci bubur, baik yang diaduk maupun yang tak diaduk. tapi satu yang jelas, hatiku begitu campur aduk (dalam konotasi yang negatif) ketika tak ada lagi teks-teks semacam “how's your day?” mengetuk-ngetuk pintu whatsapp-ku. 

& seperti yang sudah bisa kau tebak, hari ini kehendakku putuskan untuk kembali mengawinkan kafein & nikotin dengan penuh keberanian—demi menjawab pertanyaan yang hampir selalu mengudara ketika aku pertama kali membuka mata: “should I kill myself, or have a cup of coffee? but in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

jika kau ingat, kau sudah kuberi tahu, bahwa pikiran-kesadaranku tak lagi perawan. & hidup yang dilandaskan pada Absurdisme hanya berkutat pada siasat-siasat repetitif untuk menunda kematian secara efektif (dalam konteks yang lebih suram: bahkan tak melakukan bunuh diri pun adalah sebuah prestasi, katanya Camus). kita sama-sama membenci Mas Prancis yang absurd itu: kau membencinya sebab Bapak Sisifus itu berdampak buruk buat mental kita berdua—sedang aku membencinya sebab kau adalah arketipe de Beauvoir, yang masalahnya aku bukan Sartre, & terlalu Camus buatmu.

sedikit menyoal de Beauvoir, bagaimana kabar skripsimu yang menggunakan teorinya? aku percaya kau bisa menyelesaikannya. ini bukan sejenis gombalan … faktanya, secara empiris, kau memanglah perempuan paling intelek (sekaligus paling feminis, paling liberal, & paling manis) yang pernah berbincang-bincang denganku selama lebih dari 6 jam yang bahkan dilakukan secara konstan; 2 hari berturut-turut—tanpa memberikan ruang bagi keheningan yang canggung—untuk masuk ke dalam bahasan-bahasan kita yang seperti tak pernah kehabisan bahasa.

selamat siang, Bila. bumi bajingan ini masih berputar-putar dengan kecepatan 1.770 km/jam. cepat sekali, bukan? tapi ... 

when you sit with a 10/10 woman for more than six hours, you think it's only a minute—but when you sit on your loneliness, you think it's eternity. that's relativity.”

kutipan di atas adalah kutipan terkenal dari Einstein tentang Relativitas Waktu yang sengaja kuganti agar lebih puitis & senada dengan orkestra kemurungan-kemurungan luar biasa pada pembuluh hasratku.

omong-omong, apakah kau punya obat pereda kemualan-kemualan eksistensial? aku nausea. & nausea. & nausea. & bagian paling buruknya adalah aku seperti tak mau hidup seribu tahun lagi. kalau boleh blak-blakan, aku mual sebab ketika kesadaran menguasai 3/3 alam bawah sadarku, maka satu-satunya yang naik & tampak di indera penglihatanku adalah fragmen-fragmen senyummu. o senyummu adalah rumah kabin kayu bergaya Skandinavia (di tengah-tengah antah-berantah yang tak seorang Schrödinger pun tahu & peduli; “apakah beringin tua itu jatuh bersuara ketika tak ada sebuah kuping di sana?”) dengan jendela menghadap ke lembah-lembah di mana airmata kita berdua aman tersimpan.

selamat sore, Bila. maaf tadi aku semakin melantur tak karuan. aku masih graphomania. aku harap kau tak lupa untuk membangunkan hidup, memandikan hidup, memberi makan hidup, memberi makna hidup, & menghidupi hidup. aku meminta segenap maaf jika aku pernah menggoreskan kata sifat pisau pada dinding hatimu. kehendak untuk berkuasa milikku tak pernah berminat untuk melakukannya. aku sama sekali tak punya tendensi untuk memancing sistem lakrimal pada kedua matamu untuk mengeluarkan airmatamu yang laut itu.

terakhir ... aku benci untuk mengatakan ini, tetapi saat ini, aku benar-benar merindukanmu. & jauh di lubuk hatiku yang muram & lindap—aku benci berharap & sudah lama tak berharap & kini aku kembali berharap: semoga surat yang kutulis dalam keadaan yang begitu melankolis & biru ini ... bukanlah sebuah ketololan-kelirisan yang tak perlu.

Sincerely,

Mas Aldy