Showing posts with label ursa. Show all posts
Showing posts with label ursa. Show all posts

Saturday, 3 September 2022

Sekerat Surat Tak Berguna untuk Ursa

Kepada Ursa yang ... Telah Menjadi Kata Sifat Waktu bagi Beberapa Ruang Hampa di Hatiku

Bogor, 3 September 2022

" ... 'cause you brought out the best of me
a part of me i'd never seen
you took my soul wiped it clean
our love was made for movie screens

but if you loved me
why did you leave me
take my body
take my body
all i want is
all i need is
to find somebody
i'll find somebody

ooh oh
ooh oh
ooh oh
ooh oh
ooh ah
ooh oh ..."

halo, Sa. how's your day? how's life? semoga harimu baik, ya—meski beberapa bulan lalu kau (menggunakan akun instagram palsu) menguntiti setiap instastoryku—aku menangkap basah dirimu (percayalah, intuisi-instingku ini tak pernah salah ... setara intel KGB yang mengamalkan Kritisisme Kant)—kau pun mengaku, sembari tertawa dalam medium emoji—& mengirimiku beberapa teks yang kurang lebih mengandung konteks bahwa kau sedang tak baik-baik saja.

sejujurnya, hatiku saat itu berubah menjadi kaca murahan setebal 1 milimeter yang tertimpa Mjölnir ketika membaca bahasa bahwa pernikahanmu gagal total: bercerai. bagaimana tidak? di setiap ibadahku yang bolong-bolong, aku hampir pasti melangitkan doa-doa naif-afirmatif berisi semoga kau berbahagia dengan lelaki pilihanmu itu campur keputusasaanku yang Shakespeare. 

melalui sekerat (baca: sepotong) surat tak berguna ini, akan kuceritakan beberapa hal padamu. tapi pertama-tama, kumuntahkan dua kredo yang secara sayup kuingat (kau tahu, aku pikun) tentang kita terlebih dahulu: pertama, kita selalu sepakat bahwa hidup ini seperti kelamin kuda; kedua, pernikahan adalah Kuda Troya. yang pertama kuterima sebagai konvensi sublim yang ... menyatukan kepesimisanku dengan kefrontalanmu. yang terakhir kuterima sebagai pil pahit yang ... mesti kutelan ketika pada akhirnya kau mengundangku—aku datang ke pernikahanmu—kemudian aku pulang dalam keadaan (secara filosofis) mati & tak pernah dikuburkan, setidaknya sampai saat ini.

aku belum cerita padamu terkait kepulanganku dari salah satu hari paling biru dalam kalenderku (yang tak pernah mengenal tanggal merah) itu, ya? oke, mungkin kau tahu aku sama sekali tak cocok (& rentan dipecat) jika bekerja di ekspedisi, khususnya, bagian kurir yang mesti serba cepat. dengan kata lain, aku selalu memacu kuda besiku bagai seekor kukang yang malas. aku tak suka ngebut. tapi hari itu, malam itu, adalah pertama kalinya aku membawa motorku (dengan perasaan yang carut-marut) di atas 100 km/jam—seperti Rossi yang hampir jadi Simoncelli yang ... menubruk tubuh Decepticon berkaki 12 (alias truk trinton). aku tak bisa membayangkan jika pada malam kelam itu—aku mengalami lakalantas, lantas disiksa dalam abadi di neraka yang selalu kau percaya & tak pernah kupercaya.

lupakan soal itu. sampai sekarang, aku masih merasa bersalah atas hilangnya kacamata yang kauberikan padaku (yang harganya, konon, setara honor puisi-puisiku yang terbit di koran sebanyak 7 kali terbit itu). tapi ini bukan masalah harga, ini memang pure aku yang tolol & teledor. sebenarnya, ada banyak hal yang kuingin ceritakan padamu, tetapi, akan terlalu kaki seribu (& aku tak yakin mampu) jika kuceritakan semuanya satu per satu. tenang, akan kuceritakan beberapa:

1. aku memutuskan untuk mentato leher kiriku (aku ini anak TK yang tak mau kalah, faktanya, kau lebih dulu mentato pergelangan tanganmu; tapi motif utamanya bukan itu, sebenarnya, aku ingin merasakan sakit yang benar-benar sakit secara ragawi—tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa aku tak masokis, justru kau yang masokis ... aku yang sadis—sedikit fafifu soal rasa sakit, aku sempat membaca esai filsafat Hume berjudul "On Tragedy", tambah argumen penyair Romawi bernama Lucretius di "On the Nature of the Universe", tambah "Elements of Law" karya Hobbes yang kalau semuanya disintesiskan memaparkan bahwa: rasa sakit adalah kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan).

2. kawanku yang tak belajar ilmu psikologi secara akademik mendiagnosisku (dengan dugaan sementara) bahwa alasan paling logis mengapa aku begitu mencintamu adalah karena kau ini tipikal perempuan yang maternal (keibuan)—& aku mengidap Oedipus Complex (aku separuh setuju akan hal itu jika kita punya kesamaan interpretasi tentang burungnya Freud).

3. selain karena aku skeptis terhadap si Thales akamsi Miletus yang berkata kehidupan berasal dari air & sedikit meragukan hipotesa Sains bahwa asal-muasal kehidupan berasal dari dasar laut—aku sepertinya memiliki fobia terhadap air (jangan ditafsirkan aku ini jarang mandi); sehingga aku masih tak bisa renang sampai sekarang (oh ya, terima kasih, dulu kau selalu mengajari aku yang terlalu makhluk darat ini berenang dengan susah payah).

4. aku sudah menonton film-film Marvel yang dulu kaurekomendasikan padaku—aku menemukan bahwa film-film Marvel itu overrated (tolong jangan marah, sebab itu bukan berarti aku berselingkuh dengan film-film DC; namun, sungguh, Doctor Strange in the Multiverse of Madness & Antman adalah salah dua film termonumental yang pernah kutonton—lebih-lebih membuatku tertarik dengan fisika, tepatnya fisika kuantum).

5. aku punya ritus devosi pribadi untuk membeli Lays rasa rumput laut setiap tanggal 9, setiap bulan—hingga perusahaan Lays berhenti memproduksi snack yang hukumnya perlu ada ketika kita bersua itu (aku memendam dendam pada kongsi dagang ICBP karena hal yang menurutku sangat merugikanku itu).

6. kini, aku setuju denganmu bahwa japlak kuah jauh lebih enak ketimbang japlak karamel (dulu aku selalu memesan japlak karamel—sebab kupikir, japlak kuah rasanya seperti ingus naga yang sedang mengidap influenza daripada makanan khas yang hanya bisa ditemui di Kabupaten Bogor & Kabupaten Sukabumi. oh ya, kita pernah berdebat hebat tentang subjektifitas penyajian japlak yang  ... memang harus diperbebatkan karena sungguh sangat penting & fundamental ini—silakan tertawa).

7. aku percaya hidup yang benar-benar hidup berasal dari (pengalaman) mati yang benar-benar mati (bahasa Sufi-nya: mati sebelum mati). aku sama sekali tak berharap kau datang ke pemakamanku—& membawa sekotak Pizza McDonald's berbentuk bulat dengan pemotong berbentuk segitiga ke pemakamanku (seperti pada suatu sore yang dingin & gaje—ketika aku mengirimimu pesan yang berisi ungkapan bahwa aku masuk angin—aku memilih untuk tidur—& aku terbangun, sebab tiba-tiba saja kau sudah ada di kamarku dengan koin seribu perak yang terbuat dari nikel ... yang sudah dibaluri minyak—bersiap untuk mengerok punggungku—lalu menawari mulutku yang norak Pizza McDonald's itu).

8. entah tak sengaja atau sengaja dalam konteks bercanda, mamaku masih sering menyebut-nyebut namamu, Sa.

9. aku masih mendengarkan lagu wajib yang sering kita putar bersama: Muse - Madness.

10. aku mengutuk versi past tense dari diriku sendiri yang ... telah menghapus seluruh fotomu & foto kita berdua yang kusimpan rapi di Google Drive & folder tersembunyi di Macbook jadulku (yang pada gilirannya, menyebabkanku tak bisa menangis secara paripurna ketika mendengarkan Neck Deep - Wish You Were Here: if a picture is all that i have ... i can picture the times that we won't get back ... if i picture it now, it don't seem so bad ... either way, i still wish you were here ... don't say everything's meant to be ... 'cause you know it's not what i believe ... can't help but think that it should've been me ... either way, i still wish you were here).

11. jika suatu saat kita bertemu lagi, entah di tempat yang dulu sering kita sambangi atau di antah-berantah yang asing—aku mohon jangan bertanya apakah aku sudah menikah atau belum (aku belum memiliki keberanian yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu— yang kupikir berjuta kali lebih ngeri ketimbang pertanyaan eksistensialisme-klasik seperti, misalnya, apakah aku benar-benar berbahagia?).

12. maaf aku tak mampu lagi bercerita, ini terlalu emosional bagiku, huft.

terakhir, aku tahu ini dungu, tetapi ... semoga kau selalu berbahagia. terima kasih telah menjadi cinta pertamaku.

Sincerely,

Aldy