Thursday, 13 October 2022

Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme

En Avant by Raymond Douillet

“Seseorang mesti membuang rasa ingin setuju dengan banyak orang. ‘Baik’ tak lagi baik ketika seorang tetangga mengucapkannya. Dan bagaimana seharusnya “kebaikan bersama” itu ada? Istilah itu bertentangan dengan dirinya sendiri: apa pun yang bisa menjadi umum selalu memiliki nilai yang kecil.”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)

Berbicara Nietzsche adalah berbicara tentang dinamit dalam bentuk kehendak yang bertendensi untuk meledakkan bangunan kemapanan tepat di tengah-tengah mental kerumunan.

Selain Kekristenan, filsuf edgy berkumis baplang itu, nyatanya, mengkritik banyak tokoh sentral, pemikiran, hingga institusi agama. Dimulai dari menyerang dedengkot Filsafat Barat macam Socrates, lalu Metafisika-nya Plato, Cogito-nya Descartes, Moralitas-nya Kant, Filsafat Sejarah-nya Hegel, Lingkaran Setan-nya Schopenhauer, Nirvana-nya Buddhisme, Aufklärung yang hiper-percaya-diri—sampai Sains Modern yang dia pikir tidak bisa dijadikan medan tunggal dalam memahami realitas ini.
Tapi dalam esai singkat ini, penulis hanya akan mengulas “sedikit” lika-liku hubungan Nietzsche dengan Stoikisme.

“Kau ingin hidup sesuai dengan Alam? Oh, kau Stoa yang mulia, betapa menipu kata-katamu itu! Bayangkan dirimu sebagai makhluk seperti Alam, luar biasa luas tak berbatas, sangat masa bodoh, tanpa tujuan atau pertimbangan, tanpa belas kasihan atau keadilan, sekaligus subur dan tandus dan tak pasti: bayangkan ketakpedulian sebagai kekuatan—bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan ketakpedulian seperti itu?”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)

Stoikisme dan Nietzsche

Menurut Stoikisme dan Kaum Stoa, kita mesti terus berusaha untuk “mengekang” emosi kita. Mereka percaya pada “dikotomi kendali” dan membelah dunia menjadi dua kutub besar: hal-hal yang berada di dalam kendali dan hal-hal yang berada di luar kendali. Keyakinan bahwa kita memiliki kuasa atas hal-hal yang sebenarnya tak dapat kita kendalikan memproduksi seribu penderitaan—dan berfokus pada apa yang dapat kita kendalikan—adalah apa yang dikehendaki tuhan/alam kepada manusia—singkatnya, menurut Kaum Stoa.

Nietzsche menyebut mereka sebagai “pemain sandiwara dan penipu luar biasa” yang memilih untuk melihat sesuatu secara keliru. Baginya, manusia adalah seutas tali yang diikat di antara hewan dan adimanusia—sebagai seorang pemikir naturalistik: yang memandang manusia tak lebih dari sekadar insting-insting alamiahnya; mengekang emosi adalah sebentuk kebodohan yang angkuh, adalah ketakpedulian yang naif.

“Seorang manusia membaik dengan baik dari sifatnya yang luar biasa—intelektualitasnya—dengan memberi kesempatan pada insting kebinatangannya.”
—Nietzsche, Twilight of the Idols (2009)

Dengan kata lain, semisal muka kita tiba-tiba ditonjok oleh seseorang yang tengil dan tempramental di suatu pagi absurd, janganlah kita menahan emosi—bila perlu tonjok balik dadanya sampai berbunyi: “deug!”. Memang benar bahwa kita tak dapat mengendalikan segalanya, tetapi “dikotomi kendali” yang cenderung meredam emosi dari insting spontan ketubuhan dan menutup kemungkinan baku hantam yang niscaya dibutuhkan pada momen-momen tertentu—adalah respons yang penuh dekadensi.

Nietzsche seperti ingin mengatakan kepada kita: marah adalah sesuatu yang sangat alamiah, sesuatu yang sudah menjadi cetak biru kita—adalah gairah paling purba dari manusia sebagai makhluk yang memiliki instrumen-instrumen kesadaran dan mampu berpikir. Dia seakan memvalidasi bahwa manusia adalah hewan yang mampu berpikir alias Al-Insanu Hayawanun Nathiq—meminjam istilah Imam Ghazali—yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Socrates. Dengan pendekatan interpretasi yang lebih ateistik: tak ada gunanya kita bersabar dan mengambil “Leap of Faith/Lompatan Iman” dengan berharap semoga seseorang yang membuat kita marah dibakar kekal di neraka yang “belum” terbukti nyata adanya. Hanya ada satu kata: Balas!

Titik Temu Nietzsche dan Stoikisme

Sejatinya, Nietzsche dan Stoikisme memiliki hubungan yang rumit, enigmatik, dan paradoksal. Di satu sisi, Nietzsche menentang prinsip utama Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”—yang memiliki inti keyakinan bahwa kosmos adalah satu dan sama dengan tuhan—oleh karenanya memiliki semacam harmoni/keteraturan. Di sisi lain, Nietzsche secara kontras memandang alam—kosmos—itu kaotis, diliputi banalitas, dan tak memiliki tuhan. Melihat “hukum” di alam hanyalah melihat pola dan meyakini secara buta bahwa alam memiliki aturan. Faktanya, manusialah yang membuat hukum dan aturan, bukan alam.
Di sisi yang lainnya lagi, dia memuji habis-habisan Epictetus dan Seneca sebagai moralis yang hebat. Di satu waktu, Nietzsche pun mengkritik Stoikisme sebagai pemujaan upaya etis tentang kemandirian rasional yang meremehkan rasa sakit dan hasrat ketika mengejar afirmasi takdir tanpa syarat. Nietsche menganggap penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu yang “perlu”—dan Nietzsche menilik Stoikisme menegasikan hal penting itu.

“Kepada manusia yang mengkhawatirkanku—aku mengharapkan penderitaan, kesedihan, kesepian, penyakit, perlakuan buruk, penghinaan.”
—Nietzsche, The Will to Power (2014)

Nitezsche mempercayai Will/Kehendak (Will to Power/Kehendak untuk Berkuasa)—yang juga merupakan gagasan fundamentalnya: segala sesuatu terdiri dari Kehendak, dan semua yang muncul adalah hasil dari kemauan. Akan tetapi, ada beberapa penelitian cukup kredibel yang memaparkan bahwa The Will to Power-nya Nietzsche merupakan konsep yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa—yang dia ambil dari formula Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”.

Ada garis filosofis lain yang menghubungkan Nietzsche dan Stoikisme: keduanya sama-sama melihat bahwa manusia tak memiliki “kehendak bebas”—kita tak punya dadu untuk dimainkan dalam “takdir” kita sendiri. Di sisi lain, Nietzsche menekankan individualitas tingkat tinggi, kreativitas-subjektif à la Eksistensialisme, dan melawan “Herd Mentality/Mentalitas Gerombolan” dari sistem filsafat seperti Stoikisme (dan institusi agama yang bercorak taklid buta).

Terakhir, di dalam dunia yang tak bermakna, tak jelas, dan kaotis—Nietzsche mengajak kita: bercita-cita untuk menciptakan diri ideal kita sendiri dengan cara kita sendiri; ada dua jenis manusia di dunia ini, jangan jadi keduanya—jadilah dirimu sendiri!

*****

Referensi:

Nietzche, Friedrich. 2011. Beyond Good and Evil. Kindle Edition;
Nietzsche, Friedrich. 2009. Twilight of the Idols. Oxford University Press;
Nietzsche, Friedrich. 2014. The Will to Power. Kindle Edition;
N.T. Croally, Euripidean Polemic: The Trojan Women and the function of tragedy, Cambridge University Press (1994), pages 18–19);
Ure, Michael. “Nietzsche’s Free Spirit Trilogy and Stoic Therapy.” Journal of Nietzsche Studies, no. 38, 2009, pp. 60–84. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20717975. Accessed 25 Sep. 2022;
Hamilton, Grant. “J.M. Coetzee’s Dusklands: the meaning of suffering.” Journal of Literary Studies, vol. 21, no. 3-4, Dec. 2005, pp. 296+. Gale Academic OneFile, link.gale.com/apps/doc/A153049539/AONE?u=googlescholar&sid=googleScholar&xid=d9308db9. Accessed 25 Sept. 2022;
James A. Mollison (2019) Nietzsche contra stoicism: naturalism and value, suffering and amor fati, Inquiry, 62:1, 93-115, DOI: 10.1080/0020174X.2019.1527547

Monday, 10 October 2022

Bila Aku Benar-benar Tak Lagi Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang ...

Bogor, 10 Oktober 2022

“... but clocks keep on ticking
& life keeps on going
to leave the pair behind at last

she said to me
& i said to her
to hold back each other's true fate
is not of our nature
let's be mature

maybe you weren't made for me
nor i for you ...”

selamat pagi, Bila. sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, tetapi sepertinya cerita-ceritaku tak lagi menarik & penting bagimu (dengan kata lain, cerita-ceritaku telah berubah menjadi bahasa yang tak perlu lagi dibahasakan kepadamu). maka teks-teks setelah kalimat tadi adalah ceracauku kepada diriku sendiri yang semestinya tak lagi kau baca—terlepas dari apakah kau benar-benar membaca surat-suratku untukmu ataukah tidak sama sekali.

dimulai dari alinea ini, demi kebaikan bersama, aku mohon jangan kau teruskan lagi membaca suratku yang tak berguna ini. tapi terserah, itu pilihanmu, lagipula aku percaya pada free will & kupikir manusia memang dikutuk untuk bebas alias L'homme est Condamné à Être Libre!—oleh karenanya, silakan tanggung sendiri akibatnya bila kau terus membaca surat ini sampai selesai, ya.

mungkin ini agak skizoid, sebab kata-kata di dalamnnya adalah dari, oleh, & untuk diriku sendiri—tapi tak apa. beberapa bulan ke belakang ada satu-dua-tiga-empat hal-hal lumayan sinting yang terjadi dalam realitasku. maaf bila aku tak menuliskannya dalam kronologis yang linier & sistematis.

pertama, aku tak pernah menyangka bila pada suatu hari puisiku akan dipamerkan di sebuah pameran, khususnya di kotaku, Bogor. singkat cerita, aku datang ke pameran itu & bertemu dengan beberapa kawan-onlineku: seorang penulis, fisikawan, & fenomenolog (bisa dikatakan demikian atau anggap saja begitu). tapi bagian absurdnya adalah aku melihat beberapa orang yang tak kukenal sama sekali dengan serius membaca puisiku (yang ditempelkan di sebuah spanduk) di depan mataku & rasa-rasanya cukup ganjil (mungkin ini hanya perasaanku saja yang ganjil).

kedua, setelah sekian lama, aku kembali ngueng-ngueng lagi. aku fafifu-wasweswos via Google Meet mengenai ... Eksistensialisme di sebuah komunitas filsafat yang kuduga berpusat di Paris van Java. animonya cukup tinggi, diskusinya hidup, meskipun aku memaparkan materi “serius” dengan pembawaan yang komikal. kupikir Eksistensialisme memanglah sesuatu yang serius, dalam artian bahwa para eksistensialis (secara tak langsung) menciptakan semacam krisis tak terelakkan bagi para pembacanya—& pada gilirannya, membuat hidup manusia, secara 180 derajat, bertambah ruwet sekaligus mumet. 

kupikir, tak ada yang tak serius dari apa yang telah dikeluhkan oleh Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Dostoevsky, Sartre, de Beauvoir, Kafka, Camus, & para figur lain (yang dapat kuasosiasikan sebagai seorang eksistensialis). di beberapa konteks, aku bahkan hampir setuju bahwa mengada adalah keadaan-tak-menyenangkan yang tak terbantahkan. maka dengan sadar & sengaja aku menarasikan kenoiran-kenoiran mereka dengan gaya seorang kawan lama yang humoris. aku pikir bagian itu cukup, sebab aku takut oversharing kepada diriku sendiri & belajar dari yang sudah-sudah bahwa aku sering kali lupa waktu ketika membincangkan -isme tersebut.

ketiga, aku juga tak menyangka bahwa pada suatu ketika yang random ... esaiku akan mengada di sebuah majalah yang diterbitkan oleh komunitas filsafat (yang ini kucurigai berdomisili di Jakarta). omong-omong, komunitas ini adalah komunitas yang sama, yang pernah mengundangku untuk membacot-membicarakan Pak Kumis pada bulan Juli lalu. oh ya, esaiku tentang Sapere Aude (iya, frasa latin yang bermakna dare to know, have courage to use your own reason, dare to know things through reason, & dare to be wise itu), sedikit Horace, sedikit Aufklärung, sedikit Kant, & sedikit diriku sendiri. rasanya cukup nano-nano untuk melihat-membaca esaiku sendiri dalam format majalah.

keempat, pada suatu siang yang lesu di bulan kemarin, aku dikirimi DM oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai panitia Festival of Arts and Sports FH UI 2022. pendek kata, dia menawariku untuk berpartisipasi sebagai dewan juri dalam lomba cerpen—katanya, dia mendapat rekomendasi & kontakku dari salah seorang kawanku yang juga menjadi juri lomba tersebut. satu yang menyebalkan bagiku adalah fakta bahwa sampai detik ini aku tak tahu menahu siapa orang yang telah merekomendasikanku itu. pedahal, secara personal, aku ingin berterima-kasih kepadannya. 

yang jelas, membaca cerpen-cerpen anak hukum memberiku semacam pengalaman baru yang unik. pengalaman yang (bisa dibilang) tak kudapatkan ketika menjadi redaktur fiksi & puisi selama lebih dari 1 tahun di media tempatku freelance. sebelumnya aku juga pernah menjadi juri lomba puisi di kampusku dulu, tetapi feel-nya tak seotentik ini. kupikir, pengalaman ini pada akhirnya akan memperluas cakrawala persepsi-penilaianku mengenai karya sastra, khususnya terkait unsur ekstrinsik sebuah cerpen (& puisi).

mungkin surat ini agak tolol, cenderung nonsens, & tak memiliki kepaduan yang rasional—sebab tak seorang manusia, setan, atau tuhan pun yang tahu surat ini akan mengarah & dibawa ke mana. sebagai penutup, surat ini akan duduk di sebelah ketiadaan & berkata: mungkin surat ini memanglah suratku yang terakhir untukmu, Bil; & akan menjadi pernyataan dari pertanyaan subtil tentangmu dalam diriku ... Bil, haruskah kita kembali bertemu?

mungkin tidak. tapi aku akan tetap mengatakan banyak-banyak merci dengan sepenuh cinta & tetap melangitkan doaku untukmu (yang tak pernah berubah dari dulu) dengan sepenuh cita: semoga kau selalu berbahagia, ya.

“... qué será, será
whatever will be, will be
the future's not ours to see
qué será, será
what will be, will be ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Saturday, 8 October 2022

Sapere Aude: Dari Horace, Aufklärung, hingga Trias Mahasiswa

“Dia yang memulai telah setengah selesai; sapere aude; mulai! (Dimidium facti, qui coepit, habet; sapere aude, incipe!)”

—Horace, First Book of Letters (20 SM)

Sapere Aude adalah frasa Latin yang dicetuskan oleh Quintus Horatius Flaccus alias Horace—seorang penyair Romawi Kuno yang juga mempopulerkan Carpe Diem (seize the day/merebut hari)—yang pada titik tertentu menjadi “jantung” dari Epikureanisme, sebuah mazhab filsafat helenistik yang berasal dari ajaran Epicurus/Epikuros.

Pendek kata, Sapere Aude berasal dan berakar dari bahasa Latin—jika ditafsirkan secara kasar bermakna: “beranilah untuk tahu!”. Selain itu, frasa ini juga lazim diterjemahkan sebagai “beranilah untuk berpikir sendiri” dan “beranilah untuk menjadi bijaksana”. Secara tersirat, melalui Sapere Aude, Horace seperti ingin mengatakan bahwa kita semestinya tidak terjatuh ke dalam procrastination (tindakan menunda-nunda pekerjaan)—yang juga senada seperti slogan raksasa perusahaan sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga Nike: Just do it!

Interpretasi yang kedua, ungkapan Sapere Aude seperti mengajak kita untuk berani mengulik rasa ingin tahu—dan menggunakan pikiran kita sendiri dalam upaya mencari pengetahuan dan kebenaran. Interpretasi ini seakan menegaskan bahwa Sapere Aude memanglah semacam respons zaman dari betapa terkungkungnya rasio/akal manusia abad pertengahan (terjadi antara abad ke-5 dan ke-14—yang berlangsung selama kurang lebih 900 tahun) di bawah tirani tradisi dan agama.

Aufklärung

Abad Pencerahan—Zaman Pencerahan—atau dalam bahasa Jerman: Aufklärung—adalah perpanjangan tangan dari Renaisans (bahasa Prancis: Renaissance) yang bermula di Firenze, Italia. Sapere Aude, kemudian dianut, direvitalisasi, dan digaungkan kembali oleh seorang filsuf gigan, Immanuel Kant, yang pada akhirnya menjadi moto untuk seluruh periode Aufklärung; sebuah revolusi yang menekankan intelektualitas dan rasionalitas ketimbang tradisi-tradisi dan jerat dogmatis agama-agama.

Sejatinya, agama sudah cukup “babak belur” di era Renaisans, misalnya, ketika bapak filsafat modern, René Descartes, meneriakkan bidal: Cogito Ergo Sum! (aku berpikir, maka aku ada). Di era Aufklärung, agama makin dibuat “ambyar” oleh Friedrich Nietzsche yang dengan gagah-berani mengungkapan kredo  mengerikan penanda zaman di dalam bukunya, The Gay Science (1886): Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati.  Dan kita telah membunuhnya!

Kecenderungan institusi agama untuk melarang manusia untuk secara mandiri berpikir sendiri adalah bom waktu yang meledak di era Renaisans dan Aufklärung. Pesatnya perkembangan Sains (dan teknologi) mendemistifikasi mitos-mitos yang sebelumnya dipercaya secara kolektif—kemudian menggerakan roda transisi budaya dari hal-hal yang transendental menuju hal-hal yang materialistik dan bisa dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Aufklärung di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi.

Setelah ratusan tahun memegang peranan sentral dalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di era Renaisans dan Aufklärung agama lambat laun kehilangan tempatnya. Corak-corak pemikiran sekulerisme ini merevolusi cara kita berpikir-memandang sesuatu. Kemajuan industri dan lahirnya “mesin-mesin”, memberi semacam kontrol atas alam yang mampu diberikan oleh Sains—inilah pemicu meledaknya moto Sapere Aude yang hampir terjadi di seluruh dataran Benua Biru pada saat itu.

Sapere Aude yang diteriakkan Kant seolah meadvokasi keyakinan sekaligus ambisi kalangan akademisi dan kaum intelektual radikal abad ke-18. Secara sarkastik, Kant bahkan mengatakan bahwa Aufklärung adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri.

“Pencerahan adalah pembebasan manusia dari pelajaran yang dibuatnya sendiri. Pelajaran adalah ketidakmampuan manusia untuk menggunakan pemahamannya tanpa arahan dari orang lain. Penyebabnya tidak terletak pada kurangnya akal budi, tetapi pada kurangnya tekad dan keberanian untuk menggunakan pikiran sendiri. Sapere Aude! ‘Beranilah menggunakan akal budimu sendiri!’—itulah moto pencerahan.”

—Kant, An Answer to the Question: What Is Enlightenment? (2009)

Bila ditarik dengan pendekatan yang lebih heroik, Sapere Aude adalah seruan perang dari Kant untuk melawan kepengecutan orang-orang pada masa itu yang tidak berani berpikir bebas—“Sapere Aude!” dia menyeru sembari menenteng-nenteng bukunya, The Critique of Pure Reason (1781), yang isinya begitu khas profesor Jerman pada umumnya (Nietzsche adalah pengecualian): begitu pedantik, bertele-tele, kaku, dan hampir mustahil untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Trias Mahasiswa

Setelah pemaparan yang cukup ensiklopedis dan didaktik seperti di atas—mungkin sekarang pertanyaannya adalah “apa relevansi antara Sapere Aude dengan Trias Mahasiswa (atau Tri Dharma Perguruan Tinggi)”? Relevansinya adalah kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang baik sudah sepatutnya menjadi kritikus paling vokal bagi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara negara.

Poin ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat—secara personal, silakan didebat kalau tidak setuju, penulis menganggap bahwa pengabdian kepada masyarakat semestinya tidak dilakukan dengan kuliah–kerja-nyata, tetapi dengan menyuarakan aspirasi sekaligus keresahan masyarakat. KKN, pada praktiknya, hanya memberikan efek traumatis kepada mahasiswa dan tidak berguna-berguna amat bagi masyarakat.

Alih-alih membuat sumur bagi warga, mengecat balai desa, mengukur tanah, membajak sawah, dan hal-hal nonsens lain ketika KKN berlangsung—mahasiswa—akan jauh lebih berguna ketika mengangkat suara-suara masyarakat yang tak pernah tersuarakan. Pertama-tama dengan menanamkan persepsi di benak mereka bahwa otoritas apapun (negara, universitas, dlsb.) adalah entitas paling harus dicurigai, diawasi, dan dikritik.

Sedikit menukil kritik, secara kebahasaan, kritik berasal dari bahasa Yunani “kritikos” yang berarti “dapat didiskusikan”—kritikos diambil dari kata ‘krenein’ yang bermakna memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Tidak, pembaca tidak salah membaca—faktanya, memang tidak ada kata “solusi”. Dengan kata lain, ada anggapan keliru yang telanjur dipahami bahwa kritik harus disertai solusi atau wajib solutif dan konstruktif.

Musuh abadi Platon alias Plato, Diogenes dari Sinope, bahkan pernah mengkritik Platonisme secara destruktif. Dalam satu anekdot terkenal, Plato mencoba mengkarakterisasi manusia menggunakan definisi gurunya: Socrates. Manusia, dalam kata-katanya, adalah “featherless biped/makhluk berkaki dua yang tidak berbulu”.

Mendengar berita itu, Diogenese membawa seekor ayam yang telah dicabuti bulu-bulunya ke Akademi (tempat Plato biasa fafifu-wasweswos)—mengumumkan bahwa dia telah menemukan manusia-nya Plato. Diogenes memenangkan argumen. Pada akhirnya, Plato merevisi definisinya tentang manusia, menjadi “flat-nailed featherless biped/makhluk berkaki dua yang tidak berbulu yang memiliki kuku rata”.

Akan tetapi, agar kita tidak terjerumus ke dalam Sinisme-ekstrem à la Diogenes, kritik yang kita lontarkan harus disampaikan dengan tepat di waktu yang tepat. Secara etika dan moral, kritik pun sebaiknya satu paket dengan solusi. Oleh karenanya, meskipun Plato sangat membenci demokrasi ia tetap menyediakan “kerangka-abstrak-solutif” terhadap apa-apa yang dikritiknya, misalnya kritiknya terhadap demokrasi.

Kritik utama Plato terhadap demokrasi adalah bahwa sistem pemerintahan tersebut tidak mengutamakan kebijaksanaan dan pencarian pengetahuan sebagai kebaikan yang melekat, sebab pada akhirnya, demokrasi malah jatuh ke jurang timokrasi dan oligarki. Bahkan menurutnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling buruk karena tidak ada tindakan yang menjamin pemimpin yang dipilih secara sah memiliki kebajikan yang mampu mengartikulasikan kepentingan terbaik bagi masyarakat luas.

Solusi atau negara ideal versi Plato adalah negara yang dipimpin oleh filsuf-raja yang memiliki nilai-nilai keutamaan seperti kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan—bukan seorang dari antah berantah (khususnya kalangan nonfilsuf) yang berkemungkinan kecil mempunyai atribut-atribut itu.

“Di buku Republic-nya Plato, Socrates mengungkapkan ketakutan besarnya tentang demokrasi karena, dalam pikirannya, demokrasi identik dengan kebebasan—yang hasilnya adalah tirani. Akan tetapi, zaman modern telah membawa kita pada pemahaman yang berbeda tentang demokrasi sebagai cita-cita.”

—Chomsky, Masters of Mankind: Essays and Lectures, 1969-2013 (2003)

Di negara di mana siapa-siapa suatu saat dapat menjadi pemimpin tiran dan berpihak kepada para oligark (baca: negara demokrasi)—merawat kritisisme adalah kunci. Sebab demokrasi adalah rahim yang melahirkan seribu kebebasan dan kemungkinan yang tidak pernah bisa kita bayangkan efek domino-nya. Seseorang harus berani mengkritik, berani membuat konstruksi penilaian tentang kualitas negatif seorang pemimpin atau kebijakan-kebijakannya. Di sinilah peran mahasiswa sebagai spektator sekaligus kritikus wakil rakyat dalam upaya mengabdikan diri kepada masyarakat dan agar berguna bagi peradaban.

“ ... bring down the government

They don't, they don't speak for us ... ”

—Radiohead - No Surprises

Skeptisisme Descartes meskipun sudah hiper-klise harus tetap kita amalkan. Suatu otoritas yang melembaga secara formal di bawah istilah de facto dan de jure yang menaungi kepentingan orang banyak mesti dicurigai bersama—dalam ini negara dan pemerintah. Sudah terlalu banyak dari kita yang berpikir positif kepada pemerintah dan mengikuti arus—beberapa dari kita mesti berpikir negatif dan melawan arus—sebagai penyeimbang. Meskipun kalimat tadi terdengar dungu dan serampangan, tetapi kita harus ingat kepada apa yang telah disabdakan Nietzsche dalam magnun opus-nya:

“Negara, adalah yang terdingin dari semua monster dingin. Dengan dingin berbohong pula; dan kebohongan ini merayap dari mulutnya: “Aku, negara, adalah rakyat.” Itu adalah kebohongan!  Pencipta adalah mereka yang menciptakan orang-orang, dan menggantungkan kepercayaan dan cinta atas mereka: dengan demikian mereka melayani kehidupan. Penghancur, adalah mereka yang memasang jerat bagi banyak orang, dan menyebutnya negara: mereka menggantungkan pedang dan seratus nafsu di atasnya.”

—Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (1978)

Mahasiswa adalah agen perubahan, apa jadinya jika agen perubahan tidak berani berpikir sendiri, apatis, dan hanya manut-manut pada berbagai fenomena, gejolak, dan krisis yang terjadi di masyarakat? Katastrofi! Gema Sapere Aude di era Aufklärung mungkin sudah berumur 3 abad lamanya, tetapi kita harus tetap menjaga suara-suara tersebut agar tidak lenyap. Meskipun Horace dan Kant sudah lama mati, semangat kemandirian untuk berpikir harus kita jaga agar tetap hidup dan tidak redup.

Terakhir, di tengah kecarutmarutan kondisi sosio-ekonomi-politik dan masalah-masalah multidimensi internal-eksternal seperti saat ini—penulis berpikir seharusnya mampu merangsang kelahiran banyak orator, penulis, seniman, jurnalis, atau siapapun dengan latar belakang apapun yang bisa dengan tajam “mengingatkan para pemegang kekuasaan” agar tidak menjalankan negara dengan semena-mena. Statum Brutum Amor Fati!

Semoga semua makhluk berbahagia.

Referensi:

MA, Moch Aldy. 2021. “Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup”. MJSColombo;

Q. Horatius Flaccus (Horace). Horace, Satires, Epistles and Ars Poetica. H. Rushton Fairclough. London; Cambridge, Massachusetts. William Heinemann Ltd.; Harvard University Press. 1929;

Croskerry, Pat. "Sapere aude in the diagnostic process" Diagnosis, vol. 7, no. 3, 2020, pp. 165-168. https://doi.org/10.1515/dx-2020-0079;

Nisbet, H. B. (1982). “Was ist Aufklärung?”: The Concept of Enlightenment in Eighteenth-Century Germany. Journal of European Studies, 12(46), 77–95. https://doi.org/10.1177/004724418201204601;

Kant, Immanuel. 2009. An Answer to the Question: What Is Enlightenment?. Penguin Books Ltd;

O'Neill, O. 1998, 'Criticisms of Kantian ethics In: Kantian ethics' In: Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, viewed 1 October 2022, <https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/kantian-ethics/v-1/sections/criticisms-of-kantian-ethics>. doi:10.4324/9780415249126-L042-1;

Santas, G. (2007). PLATO'S CRITICISMS OF DEMOCRACY IN THE REPUBLIC. Social Philosophy and Policy, 24(2), 70-89. doi:10.1017/S0265052507070173

Chomsky, Noam. 2003. Masters of Mankind: Essays and Lectures, 1969-2013. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 1978. Thus Spoke Zarathustra. Penguin Books.

Tuesday, 4 October 2022

Pengantar Singkat Eksistensialisme (Esai Translasi)

Ditulis oleh Luke Mastin dalam Bahasa Inggris & diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Eksistensialisme—singkatnya—adalah tradisi pemikiran kefilsafatan yang menekankan nilai-nilai dari eksistensi pribadi, misalnya, terkait kebebasan & pilihan-pilihan. Berangkat dari pandangan bahwa manusia mampu mendefinisikan makna mereka sendiri dalam hidup—bahwa manusia mampu membuat keputusan yang rasional meskipun berada di alam semesta yang tak bermakna, jelek, random, nonsens, & irasional—tak lama setelah mengalami semacam keterlemparan (baca: dilahirkan).

Eksistensialisme berfokus pada pertanyaan tentang keberadaan manusia & perasaan bahwa tak ada tujuan atau penjelasan mutlak mengenai inti keberadaan. Eksistensialisme, khususnya eksistensialisme-ateistik, berpendapat bahwa, (karena tidak ada Tuhan atau kekuatan transenden lain) satu-satunya cara untuk melawan “void” ini adalah dengan “merangkul” eksistensi kita sendiri.

Dengan demikian, Eksistensialisme percaya bahwa individu sepenuhnya bebas & harus mengambil tanggung jawab pribadi untuk diri mereka sendiri (walaupun dengan tanggung jawab ini muncul kecemasan, penderitaan, atau ketakutan yang mendalam). Oleh karenanya, ia menekankan tindakan, kebebasan, & keputusan sebagai hal yang mendasar, serta menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi kemanusiaan yang secara fundamental irasional (yang ditandai dengan penderitaan & kematian yang tak terhindarkan) adalah dengan menjalankan kebebasan & mengambil pilihan-pilihan pribadi kita (penolakan Determinisme sepenuhnya).

Seringkali, Eksistensialisme (sebagai sebuah gerakan) digunakan untuk menggambarkan mereka yang menolak untuk menjadi bagian dari aliran pemikiran mana pun, menolak kecukupan suatu korpus kepercayaan atau sistem apa pun—mengklaim korpus-korpus tersebut dangkal, akademis, & jauh dari kehidupan. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan Nihilisme, Eksistensialisme lebih merupakan reaksi terhadap filsafat tradisional, seperti Rasionalisme, Empirisme, & Positivisme, yang berusaha menemukan tatanan tertinggi & makna universal dalam prinsip-prinsip metafisik atau dalam struktur dunia yang diamati. Ini menegaskan bahwa manusia benar-benar membuat keputusan berdasarkan apa yang berarti bagi mereka, ketimbang pada apa yang rasional.

Eksistensialisme berasal dari filsuf abad ke-19—Søren Kierkegaard (1813 - 1855) & Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)—meskipun keduanya tak menggunakan istilah eksistensialisme secara gamblang di dalam karya-karya mereka. Pada tahun 1940-an & 1950-an, eksistensialis Prancis seperti Jean-Paul Sartre (1905 - 1980), Albert Camus (1913 - 1960), & Simone de Beauvoir (1908 - 1986) menulis karya ilmiah & karya fiksi yang mempopulerkan tema-tema eksistensial, seperti ketakutan, kebosanan, keterasingan, absurditas, kebebasan, komitmen, kehampaan, & ketiadaan.

Keyakinan Utama

Tak seperti René Descartes (1596 - 1650), yang mengagungkan kesadaran, Eksistensialis menegaskan bahwa manusia “dilemparkan ke” semesta yang konkret, alam semesta tetap yang tak dapat “dipikirkan lebih jauh”, & oleh karenanya eksistensi (“berada di dunia”) mendahului kesadaran, & itu merupakan realitas tertinggi. Maka, eksistensi ada sebelum esensi (esensi adalah makna yang dapat dianggap berasal dari kehidupan)—kontras dengan pandangan filsafat tradisional yang berasal dari Yunani kuno. Seperti yang dikatakan Sartre: “Pada mulanya [manusia] bukan apa-apa. Hanya setelah itu dia akan menjadi sesuatu, dan dia sendiri akan membuat dirinya menjadi apa yang dia inginkan.”

Kierkegaard melihat rasionalitas sebagai mekanisme yang digunakan manusia untuk melawan kecemasan eksistensial mereka, ketakutan mereka (ketika) berada di dunia. Sartre melihat rasionalitas sebagai bentuk “itikad buruk”, upaya diri untuk memaksakan struktur pada dunia fenomena yang secara fundamental irasional & random. Itikad buruk ini menghalangi kita untuk menemukan makna dalam kebebasan, & membatasi kita dalam pengalaman sehari-hari.

Kierkegaard juga menekankan bahwa seorang individu harus memilih jalan mereka sendiri tanpa bantuan standar-objektif-yang-universal. Nietzsche lebih lanjut berpendapat bahwa seorang individu harus memutuskan situasi mana yang dianggap sebagai situasi moral. Dengan demikian, sebagian besar Eksistensialis percaya bahwa pengalaman pribadi & bertindak berdasarkan keyakinannya sendiri sangatlah penting dalam mencapai kebenaran, & bahwa pemahaman situasi oleh seseorang yang terlibat langsung dalam situasi itu jelas lebih unggul ketimbang pemahaman pengamat objektif yang tak mengalami situasi tersebut (mirip dengan konsep Subjektivisme).

Menurut Camus, ketika kerinduan seorang individu akan keteraturan bertabrakan dengan ketakteraturan di dunia kenyataan, hasilnya adalah absurditas. Oleh karenanya, manusia adalah subjek dalam alam semesta yang masa bodoh, ambigu, & absurd—di mana makna tak disediakan oleh tatanan alam, melainkan (dapat) diciptakan (namun hanya sementara & tak stabil) oleh tindakan & interpretasi manusia.

Eksistensialisme dapat bersifat ateistik, teologis (atau teistik), atau agnostik. Beberapa Eksistensialis, seperti Nietzsche, menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” & bahwa konsep Tuhan sudah usang. Figur yang lain, seperti Kierkegaard, sangat religius, bahkan jika para eksistenialis-ateistik merasa tak bisa membenarkan anggapan tersebut. Faktor penting bagi Eksistensialis adalah kebebasan memilih “untuk percaya” atau “tak percaya”.

Sejarah Eksistensialisme

Tema-tema bercorak eksistensialis muncul dalam tulisan-tulisan Buddhis & Kristen awal (termasuk tulisan St. Augustine & St. Thomas Aquinas). Pada abad ke-17, Blaise Pascal (1623 - 1662) menyatakan bahwa, tanpa tuhan, hidup tak akan bermakna, membosankan & penuh kesengsaraan, seperti yang diyakini oleh para Eksistensialis, meskipun, tak seperti mereka—Pascal melihat ini sebagai alasan dari eksistensi tuhan. Seseorang yang hampir sezaman dengannya, John Locke (1632 - 1704), menganjurkan otonomi individu & determinasi-diri, tetapi dalam pengejaran  Liberalisme & Individualisme mutlak— ketimbang sebagai tanggapan atas pengalaman Eksistensialis.

Eksistensialisme, dalam bentuknya yang saat ini dapat dikenali—mula-mula diilhami oleh filsuf Denmark abad ke-19 Søren Kierkegaard, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger (1889 - 1976), Karl Jaspers (1883 - 1969) & Edmund Husserl (1859 - 1938)—juga penulis seperti Fyodor Dostoevsky dari Rusia (1821 - 1881) & Franz Kafka dari Ceko (1883 - 1924). Dapat dikatakan bahwa Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831) & Arthur Schopenhauer (1788 - 1860) juga berpengaruh besar dalam perkembangan Eksistensialisme, karena filsafat Kierkegaard & filsafat Nietzsche ditulis sebagai tanggapan atau pertentangan terhadap mereka.

Kierkegaard & Nietzsche, seperti Pascal sebelumnya, tertarik pada apa yang orang-orang sembunyikan tentang ketakbermaknaan hidup & penggunaan “pengalihan” untuk melarikan diri dari rasa jemu. Namun, tak seperti Pascal, mereka menganggap peran membuat-pilihan-bebas pada nilai-nilai fundamental & keyakinan penting dalam upaya untuk mengubah sifat & identitas “pembuat-pilihan” tersebut. Dalam kasus Kierkegaard, ini menghasilkan “ksatria-iman”, yang menaruh kepercayaan penuh pada dirinya sendiri & pada tuhan, seperti yang dijelaskan dalam karyanya tahun 1843 “Fear and Trembling”. Dalam kasus Nietzsche—yang banyak difitnah—yaitu “Übermensch” (atau “Superman”)—mencapai superioritas & transendensi tanpa menggunakan “keduniawian-lain” à la Kekristenan, dalam bukunya “Thus Spake Zarathustra” (1885) & “Beyond Good and Evil” (1887).

Martin Heidegger adalah seorang filsuf awal yang penting dalam gerakan tersebut, khususnya karyanya yang berpengaruh pada tahun 1927 “Being and Time”, meskipun ia sendiri dengan keras menyangkal menjadi seorang eksistensialis dalam pengertian Sartrean. Diskursusnya tentang ontologi berakar pada analisis mode keberadaan individu manusia, & analisisnya tentang otentisitas & kecemasan dalam budaya modern membuatnya sangat Eksistensialis.

Eksistensialisme muncul pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar melalui karya ilmiah & karya fiksi dari Eleksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, & Simone de Beauvoir. Maurice Merleau-Ponty (1908 - 1961) adalah eksistensialis Prancis yang berpengaruh & sering diabaikan pada periode itu.

Sartre mungkin yang paling terkenal, serta salah satu dari sedikit eksistensialis yang benar-benar menerima disebut “eksistensialis”. “Being and Nothingness” (1943) adalah karyanya yang paling penting, & novel serta dramanya, termasuk “Nausea” (1938) & “No Exit” (1944), membantu mempopulerkan gerakan ini.

Dalam “The Myth of Sisyphus” (1942), Albert Camus menggunakan analogi mitos Yunani Sisyphus (yang dikutuk selamanya untuk mendorong batu ke atas bukit, hanya untuk menggulingkannya ke bawah lagi) sebagai contoh kesia-siaan eksistensi, tetapi menunjukkan bahwa Sisyphus akhirnya menemukan makna & tujuan dalam hidupnya, hanya dengan terus-menerus “menerapkan dirinya” untuk itu.

Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis penting yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama Sartre, menulis tentang feminis & etika eksistensial dalam karya-karyanya, termasuk “The Second Sex” (1949) & “The Ethics of Ambiguity” (1947).

Meskipun Sartre dianggap (oleh sebagian besar) sebagai Eksistensialis yang paling unggul, & (oleh banyak orang) sebagai filsuf penting & inovatif dalam dirinya sendiri, yang lain kurang terkesan dengan kontribusinya. Heidegger sendiri berpikir bahwa Sartre hanya mengambil karyanya & meregresinya kembali ke filsafat berorientasi subjek-objek Descartes & Husserl, yang persis seperti apa yang Heidegger coba bebaskan dari filsafat. Beberapa orang melihat Maurice Merleau-Ponty sebagai filsuf Eksistensialis yang lebih baik, khususnya karena penggabungannya dengan tubuh sebagai cara kita mengada di dunia, & untuk analisis “persepsi” yang lebih lengkap (dua bidang di mana karya Heidegger sering dianggap kurang).

Kritik terhadap Eksistensialisme

Herbert Marcuse (1898 - 1979) mengkritik Eksistensialisme, terutama “Being and Nothingness” karya Sartre, karena memproyeksikan beberapa fitur hidup dalam masyarakat modern yang menindas (fitur seperti kecemasan & ketakberarmaknaan) ke dalam sifat keberadaan itu sendiri.

Roger Scruton (1944 - 2020) mengklaim bahwa baik konsep Heidegger tentang ketakotentikan & konsep itikad buruk Sartre sama-sama tak konsisten, dalam arti bahwa mereka menyangkal setiap kredo moral yang universal, namun berbicara tentang konsep-konsep ini seolah-olah setiap orang terikat untuk mematuhinya.

Kaum Marxis, khususnya ketika pascaperang Prancis, menemukan Eksistensialisme bertentangan dengan penekanan mereka pada solidaritas umat manusia & teori determinisme ekonomi. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa penekanan Eksistensialisme pada pilihan individu mengarah pada kontemplasi daripada tindakan, & bahwa hanya kaum borjuis yang memiliki kemewahan untuk menjadikan diri mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan melalui pilihan mereka, sehingga mereka menganggap Eksistensialisme sebagai filsafat borjuis.

Kritikus Kristen mengeluhkan bahwa Eksistensialisme menggambarkan umat manusia dalam cahaya terburuk, mengabaikan martabat & anugerah yang berasal dari penciptaan menurut Imago Dei. Juga, menurut kritikus Kristen, Eksistensialis tak dapat menjelaskan dimensi moral kehidupan manusia, & tak memiliki dasar teori etika jika mereka menyangkal bahwa manusia terikat oleh perintah tuhan. Di sisi lain, beberapa penafsir telah keberatan dengan penggolongan Kierkegaard yang terus-menerus pada Kekristenan, terlepas dari ketakmampuannya untuk secara efektif menjustifikasinya.

Dalam istilah yang lebih umum, penggunaan karakter pseudonim dalam tulisan eksistensialis dapat membuatnya tampak seperti pengarang yang tak mau mengakui “insight”-nya sendiri, & membingungkan filsafat dengan sastra.

*****

Sumber Literatur

Mastin, Luke. "Existentialism - By Branch / Doctrine - The Basics of Philosophy." Existentialism - The Basics of Philosophy: https://www.philosophybasics.com/branch_existentialism.html




Tuesday, 27 September 2022

Godardisme: Membangun Filosofi dalam “Vivre sa vie” (Esai Translasi)

[Bagian dari VARIABLES, serangkaian esai tentang seni & politik Jean-Luc Godard]

Dipublikasikan pertama kali di website filmcapsule.com pada 19 November 2014
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha  

*terjemahan ini didedikasikan untuk Godard—& terbit 2 minggu pascakematiannya pada 13 September 2022.

***

Jean-Luc Godard sering dilabeli sebagai sutradara/pembuat film intelektual, yang biasanya tampak seperti istilah yang sombong, mewakili sesuatu seperti “didaktik” atau bersifat mendidik—& “obtus” atau sulit dipahami. & terkadang itu mungkin benar. Tapi jika Godard adalah pembuat film intelektual, itu bukanlah suatu sikap gaya-gayaan atau kepura-puraan, tetapi pendalaman yang sungguh-sungguh terhadap konsep tentatif di ruang lingkupnya. Prancis 1960-an adalah sarang wacana politik & diskursus filosofis, Godard & rekan-rekan New Wave-nya (yang dulunya para teoritikus kemudian beralih menjadi sutradara) adalah bagian integral dari lingkungan ini. Wajar jika diskursus ini mulai merembes ke dalam film-film mereka.

Vivre sa vie (1962) karya Godard, misalnya, kaya akan eksistensialisme. Baik dalam bentuk maupun isinya, kisah terjunnya seorang single mother berusia 22 tahun ke dalam prostitusi ini seringkali tampak dimotivasi oleh prinsip-prinsip pembentukan-diri à la eksistensialisme, tetapi anggapan mengenai eksistensialisme dalam film ini tetaplah ambigu. Apakah Nana Kleinfrankenheim (yang diperankan Anna Karina) memang bebas untuk menjalani kehidupan yang dia pilih, ataukah dia malah ditentukan oleh ketiadaan kehendak bebas yang kentara? Apakah otonomi individu, ataukah kecenderungan untuk menolak makna itulah yang mendefinisikan Vivre sa vie?

Salah satu prinsip eksistensialisme yang sering hadir baik secara bentuk maupun isi film tersebut adalah keselarasan antara ajaran & cara hidup seseorang, antara perkataan & tindakan. Dengan prinsip ini, Godard pasti akan menjadi model yang mengagumkan bagi para sinefil untuk film abad ke-20 & ke-21. Pertama sebagai kritikus & teoritikus yang setia, kemudian sebagai pembuat film yang ulet & produktif, Godard mempraktekkan apa-apa yang dia khotbahkan. Tulisan-tulisannya tentang kekuatan & politik dari film diaktualisasikan dalam karyanya, sebagaimana karyanya itu sendiri ada sebagai perpanjangan dari teori & filosofinya sendiri.

Tapi apakah integritas yang sama antara kata-kata & tindakan ini ada pada Nana di Vivre sa vie? Eksistensialisme bergantung pada pembentukan “gagasan yang lebih personal tentang ‘kebenaran’ (Flynn 2),” sebuah esensi unik untuk setiap individu yang berfungsi sebagai peta filosofisnya mengarungi kehidupan. Meskipun Nana sangat menginginkan kebenarannya sendiri, di sepanjang film dia menjadi “didefinisikan” bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak orang lain.

Godard & Karina mencirikan Nana melalui luapan emosinya, serta rasa ingin tahu & perhatiannya yang naif. Misalnya, dalam satu adegan kunci, Nana dengan berurai air mata menonton The Passion of Joan of Arc karya Carl Theodor Dryer tahun 1928. Kekuatan emosional dari adegan yang sangat sunyi ini bergantung pada ketepatan Godard & Karina dalam menangani respons emosional Nana yang dalam & hampir sublim, yang menunjukkan penerimaan perasaannya, sebagai prinsip lain dari eksistensialisme. Adegan kunci lain dalam film ini memperlihatkan Nana yang mencoba membangun filosofinya sendiri, tetapi setelah Nana berbincang dengan filsuf-sungguhan (Brice Parain), Nana semakin bingung dengan teori pertamanya tentang kehidupan.

Cita-cita Eksistensialisme difokuskan pada individu manusia dalam “pengejaran identitas & makna (Flynn 8),” namun dalam Vivre sa vie, Nana secara rutin ditolak agensi dalam mengejar identitasnya sendiri, sama seperti dia tidak dapat menciptakan sistem maknanya sendiri. Godard mencapai ini dengan secara konsisten & radikal menyasar Nana dalam konteks peran sosialnya, sebagai karyawan toko kaset, calon aktris, ibu yang rindu, model yang tidak antusias, & tentu saja, pelacur. Masing-masing peran ini ditentukan oleh fungsinya bagi orang lain, bukan oleh esensinya sendiri. Sebagai seorang aktris & model khususnya, Nana tampaknya bersedia tunduk pada kehendak sutradara atau fotografer, melepaskan identitasnya sendiri untuk mengenakan topeng sebagai “performer”. Sebagai pelacur, Nana kembali dicirikan oleh fungsinya untuk orang lain, namun bahkan sebutan sederhananya sebagai “pelacur Raoul” lenyap saat dia berganti germo, yang mengakibatkan kehancurannya. Meskipun dia mencari integritas eksistensial demi menjalani hidupnya sendiri, untuk dirinya sendiri—Nana menolak pilihanya di setiap kesempatan.

Meskipun Godard dalam Vivre sa vie memasukkan penelusuran à la eksistensialisme, elemen-elemen ini sebagian besar negatif, sebagai pengingat bahwa apa yang Nana cari mati-matian tidak akan pernah didapatkan. Mungkin sebaliknya, film ini merupakan ekspresi dari pembentukan-diri Godard sendiri sebagai seorang pemikir & seniman. Kehadiran sang sutradara dalam film tersebut tampak muncul melalui pembacaan “The Oval Portrait” karya Edgar Allan Poe. Dengan teknik close-up ke wajah Karina, narasi Poe dibacakan oleh suara Godard sendiri, menggantikan aktor yang membaca buku itu. Saat Godard membaca kegilaan seorang seniman dengan rendering gambar istrinya, dengan mengesampingkan Nana, penonton akan menyadari hubungan pribadi yang mendalam dari cerita ini dengan hubungan Godard & Karina, yang mengancam dedikasi Godard terhadap karyanya sendiri.

Ditempatkan di akhir film, adegan ini mengganggu pembacaan eksistensialis terhadap Vivre sa vie seraya “memperluas” film demi mencakup kehidupan Godard dan Karina. Meskipun Godard “melipat” dirinya ke dalam jalinan film, langkah ini tidak bertentangan dengan pencarian Nana untuk filosofi eksistensialnya, itu justru meluas menuju ke arah Godard sendiri. Godard tidak merusak integritas Nana, tetapi sebaliknya—menegaskan integritasnya sendiri, menyusun pernyataan tesis dari filosofi sinematik pribadinya.

Referensi:

Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short Introduction. Oxford University Press: Oxford.

Tuesday, 20 September 2022

Apa yang Nietzsche Maksud ketika Mengatakan “Tuhan telah Mati” (Esai Translasi)

“Tuhan telah mati!”

Dalam bahasa Jerman, Gott ist tot! adalah ungkapan yang paling lekat dikaitkan kepada Nietzsche. Namun ada ironi di sini karena Nietzsche bukanlah orang pertama yang mengemukakannya. Penulis Jerman, Heinrich Heine (yang Nietzsche kagumi), mengatakannya lebih dulu. Tapi Nietzsche sebagai seorang filsuf memiliki misi pribadi untuk menanggapi pergeseran budaya yang dramatis dengan ungkapan “Tuhan telah mati”.

Ungkapan tersebut pertama kali muncul di awal Book Three dari The Gay Science (1882). Kemudian ungkapan itu menjadi ide sentral dalam aforisme masyhur (125) berjudul Orang Gila, yang dimulai dengan:

“Pernahkah kau mendengar tentang orang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, yang berlari ke pasar, dan menangis tanpa henti: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”—Karena banyak dari mereka yang tak percaya pada Tuhan berdiri di sekitarnya saat itu, dia memancing banyak tawa. Apakah dia tersesat? Tanya seseorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lain. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut kepada kita? Apakah dia sudah melakukan perjalanan? Mengungsi ke negeri lain?—Sehingga mereka berteriak-teriak dan tertawa.

Orang gila itu melompat ke tengah-tengah mereka dan menusuk mereka dengan matanya. “Di mana Tuhan?” dia menangis;  “Aku akan memberitahumu. Kita telah membunuhnya—kau dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Tapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita bisa meminum lautan? Siapa yang memberi kita lap serap untuk menghapus seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan rantai bumi dari mataharinya? Ke mana ia bergerak sekarang? Ke mana kita bergerak? Jauh dari seluruh matahari? Bukankah kita terus-menerus menyelam? Mundur, ke samping, ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada yang naik? Atau turun? Apakah kita tak tersesat, seperti melalui ketiadaan yang tak terbatas? Apakah kita tak merasakan napas dari ruang hampa? Bukankah semakin dingin? Bukankah malam terus-menerus mendekati kita? Apakah kita tak perlu menyalakan lentera di pagi hari? Apakah kita belum mendengar suara penggali kubur yang mengubur Tuhan? Apakah kita belum mencium bau busuk ilahi? Dewa-dewi juga membusuk. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.”

Orang gila terus berkata

“Tak pernah ada tindakan yang lebih besar; dan siapa pun yang lahir setelah kita—demi tindakan ini, ia akan menjadi bagian dari sejarah yang lebih tinggi dari semua sejarah sampai saat ini.” Ditemui oleh ketidakpahaman, ia menyimpulkan:

“Aku datang terlalu dini … Peristiwa luar biasa ini masih dalam perjalanan, masih berkeliaran; itu belum sampai ke telinga seorang manusia. Petir dan guntur membutuhkan waktu; cahaya bintang membutuhkan waktu; tindakan-tindakan, meskipun dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka ketimbang bintang yang paling jauh—namun mereka telah melakukannya sendiri.”

Apa maksud dari semua ini?

Hal pertama yang cukup jelas dan menjadi poin adalah bahwa pernyataan “Tuhan telah mati” adalah paradoks. Tuhan, secara definitif, itu abadi dan mahakuasa. Dia bukanlah entitas yang bisa mati. Jadi apa maksud dari ungkapan bahwa Tuhan telah “mati”? Gagasannya beroperasi pada beberapa tingkatan.

Bagaimana agama kehilangan tempatnya dalam budaya kita

Maksud yang paling jelas dan penting hanyalah ini: Dalam peradaban Barat, agama pada umumnya, dan Kekristenan, khususnya, berada dalam kemerosotan yang tidak dapat diubah. Ia kehilangan atau telah kehilangan tempat sentral yang telah dipegangnya selama dua ribu tahun terakhir. Ini berlaku di setiap bidang: dalam politik, filsafat, sains, sastra, seni, musik, pendidikan, kehidupan sosial sehari-hari, dan dalam kehidupan spiritual dari batin setiap individu.

Seseorang mungkin keberatan: namun, tentu saja, masih ada jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Barat, yang masih sangat religius. Ini tidak diragukan lagi benar, tetapi Nietzsche tidak menyangkalnya. Dia menunjuk ke tren yang sedang berlangsung yang, seperti yang dia tunjukkan, kebanyakan orang belum sepenuhnya memahami. Tapi trennya tetap tidak terbantahkan.

Di masa lalu, agama sangat penting dalam budaya kita. Musik terhebat, seperti Bach – Mass In B Minor, bersifat religius dalam segi inspirasi. Karya seni terbesar dari Renaissance, seperti The Last Supper karya Leonardo da Vinci, secara khusus bertema keagamaan. Ilmuwan seperti Copernicus, Descartes, dan Newton, adalah orang-orang yang sangat religius. Gagasan ketuhanan memainkan peran kunci dalam pemikiran para filsuf seperti Aquinas, Descartes, Berkeley, dan Leibniz. Seluruh sistem pendidikan diatur oleh gereja. Sebagian besar orang dibaptis, menikah dan dimakamkan oleh gereja, dan menghadiri gereja secara teratur sepanjang hidup mereka.

Tidak satu pun dari hal-hal di atas benar lagi adanya. Kehadiran di gereja di sebagian besar negara Barat telah jatuh ke dalam jumlah yang sedikit, sekitar sembilan orang bahkan kurang. Sekarang banyak individu lebih menyukai upacara yang sekuler, yang tidak bersifat keagamaan saat perayaan kelahiran, pernikahan, dan kematian. Dan di antara para intelektual—ilmuwan, filsuf, penulis, dan seniman—kepercayaan agama hampir tidak berperan dalam pekerjaan dan karya-karya mereka.

Apa penyebab kematian Tuhan?

Jadi ini adalah alasan pertama dan paling mendasar di mana Nietzsche berpikir bahwa Tuhan telah mati. Budaya kita menjadi semakin sekuler. Alasannya tidak sulit untuk dipahami. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Era Pencerahan di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi. Dikombinasikan dengan industrialisasi pada abad ke-19, kekuatan teknologi yang berkembang pesat yang dilepaskan oleh ilmu pengetahuan, juga memberi orang-orang semacam rasa kontrol yang lebih besar atas alam. Merasa tidak berdaya melawan kekuatan irasional juga memainkan perannya dalam mengikis keyakinan beragama.

Pemaknaan lebih lanjut “Tuhan telah Mati!”

Seperti yang dijelaskan Nietzsche di bagian lain The Gay Science, klaimnya bahwa Tuhan telah mati bukan hanya klaim tentang kepercayaan agama. Dalam pandangannya, banyak dari pola pikir kita yang secara standar membawa unsur-unsur agama yang tidak kita sadari. Misalnya, sangat mudah untuk berbicara tentang alam seolah-olah alam mengandung makna dan tujuan. Atau jika kita berkata alam semesta seperti sebuah mesin yang hebat, metafora ini membawa implikasi yang halus bahwa mesin itu dirancang oleh seseorang. Mungkin yang paling mendasar dari semuanya adalah asumsi kita bahwa ada yang namanya kebenaran objektif. Yang kita maksud dengan ini adalah sesuatu seperti cara dunia akan digambarkan dari “sudut pandang mata tuhan”—sudut pandang yang tidak hanya di antara banyak perspektif, tetapi adalah Satu Perspektif Sejati yang tunggal. Bagi Nietzsche, semua ilmu pengetahuan harus berangkat dari perspektif yang terbatas.

Implikasi dari kematian Tuhan

Selama ribuan tahun, gagasan tentang Tuhan (atau para dewa-dewi) telah menjadi jangkar bagi pemikiran kita terhadap dunia. Ini sangat penting sebagai landasan moralitas. Prinsip-prinsip moral yang kita ikuti (Jangan membunuh. Jangan mencuri. Membantu mereka yang membutuhkan, dll.) mengandung otoritas agama di belakangnya. Dan agama memberikan motif untuk mematuhi aturan-aturan ini, karena agama memberi tahu kita bahwa kebajikan akan dihargai dan yang sebaliknya akan dihukum. Apa yang terjadi jika permadani ini ditarik?

Nietzsche tampaknya berpikir bahwa respons pertama adalah kebingungan dan kepanikan. Seluruh bagian Orang Gila yang dikutip di atas penuh dengan pertanyaan menakutkan. Turun ke dalam kekacauan dipandang sebagai salah satu kemungkinan. Tapi Nietzsche melihat kematian Tuhan sebagai bahaya besar dan peluang besar. Ini memberi kita kesempatan untuk membangun “tabel nilai” yang baru, yang akan mengungkapkan cinta yang baru ditemukan dari dunia ini dan kehidupan ini. Karena salah satu keberatan utama Nietzsche terhadap Kekristenan adalah bahwa dengan memikirkan kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan setelah kematian, sehingga pada akhirnya keagamaan merendahkan nilai kehidupan itu sendiri.

Maka, setelah kecemasan besar yang diungkapkan dalam Book III, Book IV dari The Gay Science adalah ekspresi mulia dari pandangan yang mengafirmasi kehidupan.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.


Filosofi Keputusasaan à la Cioran (Esai Translasi)

L APPEL AU SUICIDE OU L'ULTIME FLIRT (1977) by RAYMOND DOUILLET
Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

*Esai ini juga sempat dipresentasikan pada acara Philosophy Week ke-9 di Federal University of the State of Rio de Janeiro (UNIRIO) pada tahun 2019.

Terlepas dari keganjilannya, gagasan filsuf kelahiran Rumania, Emil Cioran, tidak berada dalam ruang hampa. Kita dapat berargumen bahwa gagasannya adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—bahkan pesimis—yang tidak diketahui dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh profesor UCLA, Joshua Dienstag pada tahun 2009. Tidak ada sekolah-pemikiran-filosofis pesimisme yang tepat, tetapi Dienstag berpendapat—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Leopardi, Schopenhauer, Nietzsche, Unamuno, Camus, dan Cioran—kurang lebih sebagai tubuh dari tradisi ini.

Dalam buku Tragic Sense of Life (2008) karya Miguel de Unamuno, dinyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia. Filsafat Cioran—yang (membaca) dan berangkat dari Unamuno—tentu saja mempertajam dan menguatkan konklusi dan sentimen ini. Kesadaran sebagai penyakit adalah titik awal filosofi keputusasaan à la Cioran. Kesadaran akan apa? akan waktu. Akal kita mampu merefleksikan apa yang dipikirkannya dan memiliki pemahaman penuh tentang keberadaan masa lalu dan masa depan. Filosofi keputusasaan Cioran menyatakan bahwa kapasitas kita ini memiliki efek samping yang menakutkan, seperti pengetahuan bahwa eksistensi kita ada— dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Meskipun Cioran berpendapat bahwa kita bukanlah robot, tetapi kita beroperasi dalam keterbatasan waktu yang tidak tertanggulangi—dan kita tahu ini. Masa depan, oleh karena itu, tidak lain dan tidak bukan adalah masa lalu yang belum datang. Kita semua akan binasa, sama seperti makhluk hidup lain yang menghuni planet ini, dan pengetahuan ini membuat kita secara retroaktif tidak eksis/ada.

Pengetahuan ini juga membuat Sejarah menjadi tidak berarti. Sejarah, menurut Cioran, adalah adaptasi yang kita buat terhadap kondisi temporal kita: kita menciptakan Sejarah dan mengisinya dengan ilusi—agama dan segala macam impian. Pada momen-momen tertentu, Cioran menggunakan metafora dan mitologi untuk mengungkapkan pikirannya. Salah satu ungkapan yang dia gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”. Kita adalah makhluk yang datang dari ketiadaan abadi dan jatuh ke dalam waktu ketika kita dilahirkan: kita menjalani masa kini yang selalu cepat berlalu dan menjadi masa lalu. Untuk itu, kita selalu menitipkan harapan kita di masa depan. Semua hewan lain hidup di masa kini—mereka beradaptasi untuk hidup di masa kini, dilahirkan dan (hampir) siap untuk hidup. Mereka memiliki apa yang mereka butuhkan di dalam diri mereka. Singa, zebra, serangga, dan ikan tidak membutuhkan budaya, sekolah, dan pembelajaran formal. Mereka hidup pada masa kini dan ketakutan mereka akan kematian tidak lebih dari sekadar ketakutan yang naluriah. Hewan, bahkan ketika mereka sakit, tidak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti kita—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.

Filosofi keputusasaan Cioran, bagaimanapun, tidak melihat rasa sakit hanya terjadi di dunia manusia. Dalam aforisme tertentu dia mengungkapkan bagaimana kesadaran apa pun akan mendapat manfaat dari ketidakberadaan, bahkan kesadaran hewan primitif. Dalam bukunya De l'inconvénient d'être né/The Trouble with Being Born (1976), Cioran menulis, “Lebih baik menjadi hewan daripada manusia, serangga daripada hewan, tumbuhan daripada serangga, dan seterusnya. Pertolongan? Apa pun yang mampu mengurangi kerajaan-kesadaran dan mengompromikan supremasinya.” Menurut filosofi keputusasaan, dunia ideal akan dihuni oleh bebatuan—dan, jika ada kehidupan, itu adalah tumbuh-tumbuhan (Cioran, 1998). Jadi apa yang bisa kita lakukan? Apa jawaban Cioran untuk diagnosisnya yang begitu mengerikan?

Saat menulis buku pertamanya, Cioran menggunakan bahasa ibunya, yakni bahasa Rumania. Kemudian, ia beralih secara permanen menggunakan bahasa Prancis. Meskipun beberapa karya pertamanya sudah sangat suram, jawabannya atas betapa hampanya keberadaan manusia masih agak vitalis. Sebentuk kekaguman Ciora terhadap ekstase spiritual orang-orang Kristen yang suci pada awal-awal kepenulisannya hanyalah: dalam persepsi Cioran, ketika kita melihat fenomena ekstase spiritual—tanpa berpegang pada sampul dogmatis agama—orang suci itu akan menjadi semacam orang yang mampu beberapa saat meninggalkan dan lari dari ‘waktu’ di mana kita semua jatuh ke dalamnya. Sosok-sosok suci dan mistikus akan meninggalkan individuasi dan temporalitas manusia dalam momen-momen ekstase spritual yang singkat ini. Namun, setelah Perang Dunia II, Cioran dalam fase Prancis-nya, meskipun diagnosisnya tetap sama—bisa dikatakan bahwa keputusasaannya menjadi lebih dalam—dengan kata lain, Cioran tidak melihat jalan keluar. Tidak ada penolong untuk kondisi temporal kita, bahkan dalam ekstase orang-orang suci. Yang bisa kita coba, hanyalah seni untuk menjalani hidup yang agak dekat dengan asketisme dan kepasrahan non-religius yang kita temukan dalam filsafat Schopenhauer.

Menurut Schopenhauer (2014) pesimisme memberi kita celah kecil untuk melarikan diri dari kondisi keterlemparan ketika kita dilahirkan, meskipun untuk sementara. Schopenhauer (2015) baginya, mengagumi seni, terutama musik, adalah sekutu yang kuat bagi orang-orang yang berusaha menetralisir kehendak yang kejam untuk hidup, meskipun untuk sesaat. Cita-cita asketisme—misalnya, dalam monastisisme Kristen dan Buddhis—bahkan lebih baik bagi Schopenhauer: seorang asket menyangkal kehendak untuk hidup dan bekerja terus-menerus melawan nafsu yang membuat kita terikat pada dunia yang seutuhnya fana dan di mana rasa sakit, bahkan ketika tertunda, sudah pasti menyakitkan. Pengetahuan yang dimiliki dalam mempraktikkan penolakan kehendak untuk hidup, bahkan ketika penolakan ini terjadi secara tidak langsung—seperti dalam kasus para biksu, yang menolak kehendak untuk hidup demi alasan agama dan dogmatis, bukan karena wawasan filosofis—adalah  semacam kemenangan dalam filosofi Schopenhauer. Bagi Schopenhauer (2014), perpaduan dari seluruh “kehidupan” adalah penyebab dari begitu banyak penderitaan, maka akan lebih baik jika bumi kosong seperti bulan. Tapi di dalam Schopenhauer ada secuil kemenangan personal ketika kita menolak kehendak untuk hidup, yang mana itu merupakan pengetahuan tentang penolakan ini. Bagi Cioran, kemenangan kecil pun tidak mungkin. Tidak ada yang bisa memperbaiki kondisi kita. Kita hanya dapat menangani bencana total ini secara parsial dengan mengisolasi diri kita sendiri—seolah-olah kita adalah biksu urban.

Kita dapat melihat bahwa filsafat Schopenhauer dan Cioran sama-sama mempromosikan semacam penolakan kehidupan. Pada filsafat Cioran, kita juga melihat kritik tajam terhadap prokreasi. Dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Aku sendirian di pekuburan yang menghadap ke desa ketika seorang wanita hamil datang ke sini. Aku segera pergi, supaya tidak melihat pembawa mayat wanita ini dari jarak dekat, atau untuk merenungkan kontras antara rahim yang agresif dan pusara yang usang—antara janji-janji ilusif dan akhir dari semua omong kosong ini. (Cioran, 1998)

Ketidaksetujuannya terhadap reproduksi tidak terbatas pada wanita dan yang lainnya. Dalam buku catatannya, yang diterbitkan setelah meninggal dunia, dia menulis: “Dengan apa yang aku ketahui, dengan apa yang aku rasakan, aku tidak dapat mengabdikan hidup tanpa menempatkan diriku dalam kontradiksi total dengan diriku sendiri, tanpa menjadi secara intelektual tidak jujur dan kriminal secara moral.” (1997) Pernyataan seperti itu bukanlah kecaman terhadap orangtua karena menjadi orangtua, melainkan kondisi manusia yang secara membabi buta melestarikan dirinya, terlepas dari ketidakmungkinan yang total atas makna yang memuaskan bagi kehidupan dan penderitaan yang kita alami. Bagi filsuf keputusasaan, akan lebih baik jika kita tetap dalam “kemungkinan-kemungkinan”. Sekali lagi, dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Jika benar bahwa dengan kematian kita sekali lagi menjadi seperti sebelumnya, bukankah lebih baik untuk mematuhi kemungkinan murni itu, tidak bergerak darinya? Apa gunanya jalan memutar ini, ketika kita mungkin tetap selamanya dalam keterpenuhan yang tidak disadari? (Cioran, 1998)

Sentimen tersebut bergema dalam tulisan Samuel Beckett, penulis naskah drama asal Irlandia. Dalam Waiting for Godot, tokoh bernama Pozzo mengatakan: “Mereka melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.” (Beckett, 2011)

Masih ada pertanyaan: jika hidup begitu mengerikan, mengapa kita tidak meninggalkannya dengan bunuh diri?Memang benar bahwa baik Cioran dan Schopenhauer sebelumnya tidak mengutuk bunuh diri. Sebaliknya: keduanya menegaskan dalam karya-karya mereka bahwa tidak ada gereja atau lembaga sipil yang pernah memberikan argumen yang valid mengenai bunuh diri. Namun, untuk alasan yang berbeda, mereka tidak menganggapnya sebagai alternatif terbaik. Bagi Schopenhauer, bunuh diri, adalah mencoba membunuh kehendak untuk hidup di dalam dirinya—tetapi kehendak untuk hidup adalah kekuatan pendorong metafisik yang menembus semua kenyataan. Bunuh diri tidak menyangkal kehendak untuk hidup, asketisme-lah yang menyangkalnya. Karena Cioran skeptis terhadap kebenaran mutlak, kita tidak menemukan bantuan pengetahuan metafisik, oleh karena itu, menurutnya, bunuh diri sebenarnya adalah alternatif yang valid, tetapi itu bukan tindakan yang perlu, juga tidak manjur. Dalam A Short History of Decay, dia menulis tentang bagaimana bunuh diri diibaratkan semacam harta karun yang kita semua punya aksesnya, tetapi kita bisa memilih untuk menghabiskan seluruh hidup kita tanpa menggunakannya (Cioran, 2012). Setelah kita lahir, kerusakan sudah terjadi, dan bunuh diri tidak mengubah itu—karena alasan ini, bunuh diri menjadi satu lagi tindakan sia-sia terhadap kondisi kita. Dalam salah satu aforismenya yang paling terkenal, Cioran menyatakan bahwa: “Tidak ada gunanya repot-repot membunuh diri sendiri, sejak dirimu selalu terlambat untuk melakukannya.” (Cioran, 1998)

Karya-karya Cioran mengungkapkan filsafat yang korosif, nihilistik, dan pesimistis—yang menyangkal nilai kehidupan, sesuatu yang mungkin kontroversial pada pandangan pertama—atau pada pandangan ketiga, keempat, keseribu ... Namun, mereka yang membacanya mesti berhati-hati dan penuh waspada, sebab penyangkalan ini bukanlah penghormatan atau dorongan untuk bunuh diri, meskipun dia tidak menilai tindakan tersebut dari sudut pandang moral atau perspektif seorang vitalis. Filosofi keputusasaan à la Cioran menggugat kehidupan tanpa mengharapkan kematian. Sebagai kesimpulan, penulis akan menutupnya dengan kata-kata Cioran sendiri:

     Kita tidak terburu-buru menuju kematian, kita melarikan diri dari malapetaka kelahiran, para penyintas berjuang untuk melupakannya. Ketakutan akan kematian hanyalah proyeksi ke masa depan dari ketakutan yang berasal dari momen pertama kehidupan kita. Tentu saja, kita enggan menganggap kelahiran sebagai momok: bukankah hal itu telah ditanamkan dalam diri kita sebagai kebaikan yang berkuasa—tidakkah kita diberitahu bahwa yang terburuk datang terakhir, bukan pada awal kehidupan kita? Namun kejahatan, kejahatan yang sebenarnya, ada di belakang, bukan di depan kita. Apa yang luput dari Yesus tidak luput dari Buddha: “Jika tiga hal tidak ada di dunia, o para murid, Yang Sempurna tidak akan hadir di dunia ...”  Dan di hadapan usia tua dan kematian, Sang Buddha menempatkan fakta kelahiran, sumber dari setiap kelemahan, setiap bencana. (Cioran, 1998).

Referensi:

Beckett, Samuel. Waiting for Godot. New York: Grove Press, 2011.

Cioran, Emil. A Short History of Decay. New York: Arcade Publishing, 2012. Translated by Richard Howard.

Cahiers, 1957-1972. Paris: Gallimard, 1997.

The Trouble with Being Born. New York: Arcade Publishing, 1998. Translated by Richard Howard.

Dienstag, Joshua Foa. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton University Press, 2009.

Unamuno, Miguel de. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications, 2008.