“Haruskah aku bunuh diri, ataukah meminum kopi? Tapi
pada akhirnya seseorang akan membutuhkan lebih banyak keberanian untuk hidup ketimbang
bunuh diri.”
—Camus, La Mort heureuse (2013)
Kutipan
di atas—adalah kutipan seorang filsuf-absurdis kenamaan asal Prancis (yang
berkali-kali menolak dicap sebagai seorang eksistensialis) yang secara teknis,
memang menegasikan konsep ‘harapan’. Seseorang yang punya mulut sebesar kolam
lele dan otak sebesar tahi lele pun tahu bahwa kutipan tersebut suicidal,
gelap, suram, cenderung nihilis serta pesimistis, dan seperti menyangkal
kehidupan. Tapi apakah memang demikian—bahwa hidup sebegitu menyeramkannya?
Apakah “mengada” sebagai seorang manusia merupakan keadaan-tak-menyenangkan
yang sama sekali tak terbantahkan? Apakah kematian adalah panasea untuk
kehidupan yang hanya berisi montase-montase penderitaan? Dan apakah penderitaan
adalah problema yang ditimbulkan oleh “kesadaran”?
Bunuh Diri
Banyak
dari kita menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah manifestasi dari
kebodohan yang hakiki. Beberapa dari kita memandangnya sebagai keegoisan yang
pandir dan keliru. Secara kesejarahan, khususnya sejarah Barat—di Yunani kuno,
bunuh diri dianggap sebagai tindakan tercela. Seseorang yang telah melakukan
bunuh diri, bahkan, tak mendapat upacara kematian (sesuai kultur-kepercayaan
yang ada dan berlaku). Sebab mereka, pada dasarnya, lebih memercayai bahwa
hidup adalah “hadiah”, adalah anugerah yang diberikan oleh para Dewa—bukan kutukan
yang nauseatik (seperti yang secara implisit diungkapkan oleh Sartre,
seorang filsuf-penulis-eksistensialis)—sehingga, membunuh diri sendiri merupakan
sebentuk penghinaan kepada para Dewa.
Akan
tetapi, apa makna dari mitologi kolektif tersebut di mata seseorang—yang secara
depresif—melihat hidup-kehidupan sebagai sesuatu yang nirmakna? Seperti talang
air di hadapan musim panas. Jika bunuh diri adalah respons paling rasional dari
dunia yang secara fundamental tak bermakna—dedengkot filsuf Yunani, Socrates,
secara implisit menyoal hal tersebut di dalam keyakinannya bahwa tubuh
“menghalangi” pemahaman manusia akan makna. Pendek kata, dia mendefinisikan
kematian sebagai proses “terpisahnya jiwa dari tubuh”—dengan kata lain, menegaskan
bahwa kematian adalah satu-satunya proses di mana manusia dapat memahami
konsep-konsep abstrak, misalnya terkait “makna eksistensial”. Interpretasi
lebih luasnya—jika kita tak takut untuk hidup, kita semestinya juga tak takut
untuk mati. Meskipun, orang-orang di Yunani kuno, pada akhirnya, memvonis mati
Socrates atas tuduhan “keimanan” dan merusak pikiran kawula muda Athena. Namun
melalui kematiannya yang monumental, Socrates sang martir mengajak kita agar
jangan takut untuk menatap mata kematian (demi mempertahankan-menjalankan
prinsip-prinsip yang diamini secara pribadi).
“Di detik-detik terakhir, sebelum eksekusinya,
Socrates berkhotbah bahwa seorang filsuf seharusnya tak takut mati karena
filsafat adalah praktik (untuk) mati.”
—Plato, Phaedo (2012)
Namun
di sisi lain, Socrates bersikeras bahwa bunuh diri itu tetaplah salah, karena
manusia adalah milik para Dewa. Muridnya, Plato, secara eksplisit, membahas
bunuh diri di dalam dua bukunya. Pertama, Phaedo (380 SM)—di mana dia
menyajikan semacam larangan ilahiah pada praktik bunuh diri—yang kemungkinan
besar merupakan metafora untuk menjelaskan bahwa seseorang tak boleh mencoba
untuk mati “sebelum waktunya”—sebelum seseorang itu punya “kecukupan” untuk
menghadapi kematian. Kemudian, dalam The Laws (361 SM), Plato mengklaim
bahwa bunuh diri—itu memalukan dan pelakunya harus dimakamkan di kuburan tak
bernisan. Muridnya Plato, Aristoteles, bahkan mengutuk tindakan bunuh diri
dengan lebih brutal dan nasionalis—dengan menyebutkan dua alasan penolakan
moral: Pertama, bunuh diri adalah tindakan fatalis seorang eskapis yang pasti
pengecut; kedua, bunuh diri adalah representasi ketakadilan terhadap negara dan
secara ekonomis menurunkan pendapatan negara—atau sederhananya, merugikan
negara.
Tapi
kita mesti melupakan Socrates, Plato, atau Aristoteles, dan mengingat-ngingat
kapan terakhir kali kita bertindak sebagai miniatur tuhan bagi individu
lain—sebab bunuh diri itu sungguh kompleks dan tak sesederhana bahwa seseorang
ingin mati saja. Tak ada yang benar-benar tahu apa motif terbesar-terkuat dari
orang-orang yang melakukan bunuh diri. Namun ada beberapa buku, misalnya, Le
Suicide (2013) karya Durkheim—sang sosiolog gigan, yang menyajikan studi
sosiologis tentang fenomena bunuh diri. Berdasarkan data yang diperolehnya,
Durkheim berpendapat bahwa bunuh diri tak hanya disebabkan oleh faktor
psikologis atau emosional, tetapi juga oleh faktor sosial. Durkheim beralasan
bahwa integrasi sosial, secara khusus, merupakan faktor yang paling
memengaruhi. Semakin seseorang terintegrasi secara sosial—semakin kecil pula
kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan bunuh diri. Secara cukup
kontras, Freud—si psikolog yang tak kalah gigan, melihat bunuh diri sebagai
hal-perihal yang lebih personal—bahkan menurutnya, hasrat untuk bunuh diri pada
dasarnya dimiliki seluruh manusia. Namun, hasrat itu dapat ditekan dalam
kondisi normal—tetapi, bunuh diri lebih merupakan bentuk kemarahan terhadap
diri sendiri bila seseorang tersebut memiliki riwayat depresi.
Maka,
jika memang humanisme dan otonomi-diri (à la Locke, Bapak Liberalisme) nyata adanya, tak
ada yang lebih tak manusiawi dari pemaksaan kehendak—tak ada yang lebih buruk
dan najis dari terus menerus meminta seseorang yang secara mendasar ingin
mati—untuk tetap hidup. Lingkungan sosial kita, secara garis besar, sudah
telanjur menanamkan prinsip bahwa membincangkan bunuh diri (dan hal-hal
negatif) adalah sesuatu yang tabu sekaligus tolol dan terbilang rendah
sekaligus “inferior”. Praktis, ruang-ruang bercerita semakin sempit dan
orang-orang semakin malu untuk curhat mengenai kepecundangannya. Seakan dunia
memang diliputi kebanalan yang kejam dan tak ada satu inci pun tempat bagi
orang-orang medioker untuk berkeluh-kesah mengenai masalah-masalah hidupnya dan
nihilitasnya. Seorang penulis, Manson, lewat bukunya yang laris dan berwarna sarkastik—The
Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good
Life (2016) dan Stoikisme melalui konsep Dikotomi Kendali-nya—memperkeruh
problema ini—seolah-olah mencitrakan bahwa manusia yang ideal adalah si
paling bodo amat dan si paling mampu bersabar serta si paling
bisa “membunuh” dimensi psikologisnya.
Pertanyaannya
adalah, apa yang lebih alamiah dan purba dari air mata, dari sebentuk kemarahan
spontan, dari keputusasaan yang pasrah, dari masalah-masalah yang secara
fundamental tak memiliki jalan keluar? Tak ada. Perlu digarisbawahi bahwa
selain suka bergosip (Homo Homini Gossiping), suka bercerita (Homo
Narrans), suka bermain-main (Homo Ludens), suka bersosial (Homo
Homini Socius), suka menikam sesamanya (Homo Homini Lupus)—seharusnya
para ilmuwan, sosiolog, sejarawan, atau
siapa pun—menambah julukan baru bagi manusia, yakni suka mengeluh (Homo
Homini Hadeuh). Lebih dari 400 tahun setelah Renaissance, Aufklärung,
Revolusi Industri, Revolusi Ilmiah—nyatanya, tak benar-benar secara
komprehensif mengubah sifat-karakteristik dasar manusia yang pada dasarnya memanglah
suka mengeluh dan misuh-misuh. Meskipun, tak ada yang harus dirubah dari
hal-hal alamiah tersebut. Maka, adalah suatu kebahlulan luar biasa manakala
lingkungan sosial seperti menutup lubang-lubang telinga bagi sesama manusia.
Sebab, secara esensial, ketiadaan ruang untuk bercerita meningkatkan potensi
bunuh diri. Tempat bercerita mungkin adalah bare mininum—mungkin juga
sesuatu yang sekiranya sudah “cukup” untuk meredam intensi-tendensi bunuh diri.
“... dan kemudian, aku memiliki alam dan seni dan
puisi, dan jika itu tidaklah cukup—lantas apa yang cukup?”
—van Gogh, Dear Theo (1995)
Standar
“kecukupan” setiap orang pasti berbeda-beda—cukup adalah sesuatu yang sangat
personal—seseorang sangat mungkin merasa eksistensi dan yang hal-hal terkait
dirinya tak pernah cukup—sehingga bunuh diri menurutnya adalah jalan pintas. Dalam
kacamata yang lebih luas, tanpa moralitas objektif—semuanya “boleh”. Dengan
demikian, bunuh diri, sejatinya, bukanlah kesalahan objektif (merujuk pada kebenaran
objektif yang dianut masyarakat luas). Dalam pendekatan yang lebih ekstrem dan berbau pascamodern, meminjam kutipan raja kritik—Nietzsche, bahwa tak ada kebenaran
objektif, hanya ada interpretasi—hanya ada kebenaran subjektif. Namun, di
samping hal-perihal yang definitif itu—sekalipun ada kebenaran objektif,
bukankah hidup tetaplah hal-perihal yang sangat subjektif? Tak ada satu pun
entitas yang mampu merasakan penderitaan seseorang secara paripurna. Ketika
seseorang bercerita mengenai duka laranya, misalnya, seseorang yang mendengar
cerita tersebut hanya akan merasakan duka lara tersebut (dalam semacam simulasi
impuls emosi, dalam bentuk empati) bukan benar-benar secara langsung dan intens
mengalami.
Masih
menyoal kebenaran, menurut filsuf pascastrukturalis asal Negara Croissant—Foucault, tak
ada kebenaran yang tak berkorelasi dengan “kekuatan”, dengan superioritas.
Pada gilirannya, diskursus ini akan mengarah pada pertanyaan lain yang nihil
jawaban final: Apakah bunuh diri memang dilakukan oleh seseorang yang “lemah”
dan merupakan tindakan inferior yang memalukan? Lantas, kekuatan atau
superioritas macam apa yang ingin kita bangun di atas nilai-nilai sosial di
tengah-tengah masyarakat yang hipokrit dan sok kuat? Secara moralitas umum,
bunuh diri memiliki wajah Dewa Janus—dengan kata lain, memiliki dua sisi yang
saling antipodal. Sisi yang pertama bermotif teistik dan
nasionalistik—misalnya, jihad, jibakutai, kamikaze, atau puputan—yang
dikategorikan sebagai kemartiran/kepahlawanan yang terhormat. Sisi yang kedua
adalah kebalikannya. Sehingga, akan ironi rasanya untuk menelan fakta pahit
bahwa bunuh diri dengan motif eksternal (agama, bangsa, dll.) merupakan
tindakan yang berkonotasi positif—sementara bunuh diri dengan motif internal
(kehendak bebas, kedirian, individualitas) bersinonim dengan kenegatifan.
“Mereka mengatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan
seorang pengecut; juga menyatakan bahwa hanya orang gila yang melakukan itu;
dan hal lain yang membuat orang bunuh diri terlihat buruk; atau mereka membuat
pernyataan yang irasional bahwa bunuh diri itu salah; cukup jelas bahwa setiap
orang di dunia ini memiliki sisi yang tak dapat disentuh oleh orang lain, yaitu
kehidupan pribadinya sendiri.”
—Schopenhauer, Studies in Pessimism: The Essays (2004)
Lalu
bagaimana dengan mati bunuh diri secara legal? Setidaknya sampai November 2021,
hanya ada beberapa negara yang melegalkan Eutanasia: Belgia, Kanada,
Kolombia, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, dan Spanyol. Pada akhirnya, pada
suatu pagi yang luar biasa membosankan, di suatu negara berkembang yang
religius masyarakatnya—seseorang yang secara esensial ingin mati—lebih mungkin
untuk tetap menyeduh kopinya lagi dan merasakan kemalangan-kemalangan—seperti
biasa; dan Sisifus akan tetap mendorong batunya tanpa henti, setiap hari,
setiap jam, setiap menit, setiap detik, sampai jantungnya tak lagi berdetak.
Akan tetapi, seseorang benar-benar harus membayangkan Camus sakit maag dan
Sisifus asam urat.
Penderitaan
“Hidup adalah
rangkaian kecelakaan kereta tanpa akhir, dengan sedikit kebahagiaan sebagai
pariwara.”
—Deadpool
(2016)
Tak
ada beda antara apa yang diucapkan Deadpool dengan apa yang seumur hidup
digaungkan oleh Schopenhauer, salah satu filsuf Barat yang paling pesimis dan
suram. Hidup, bagi Pak Tua dari Danzig yang begitu membenci Hegel (juragan idealisme) ini,
adalah rentetan penderitaan konstan—sementara kebahagiaan hanyalah intermezzo
yang berpuncak pada kesia-siaan total dan final: kematian. Schopenhauer adalah
bagian dari tradisi para filsuf-negatif—atau filsuf-pesimis—meminjam istilah
teknis profesor UCLA, Dienstag—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic,
Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Schopenhauer,
Camus, Nietzsche, Unamuno, dan Cioran—kurang lebih sebagai korpus dari tradisi
Pesimisme.
Schopenhauer,
melalui The World as Will and Representation (2012) memaparkan visi
kehidupan yang sangat pesimistis, dan inti dari visi itu adalah gagasannya
tentang Will/Kehendak: kekuatan irasional yang buta, yang terus-menerus
berjuang, yang merupakan esensi yang menggerakan dunia. Kehendak kosmis ini
memanifestasikan atau mengekspresikan dirinya melalui setiap individu dalam
bentuk dorongan seksual dan “Kehendak untuk Hidup” yang dapat dilihat di
seluruh alam raya. “Kehendak” ini adalah sumber dari berbagai kesengsaraan
karena pada dasarnya tak pernah bisa terpuaskan. Hal terbaik yang dapat
dilakukan seseorang untuk mengurangi penderitaannya adalah dengan menemukan
cara untuk menenangkan kehendaknya sendiri; dan fungsi seni-kesenian,
menurutnya, adalah untuk meredam Kehendak ini.
Di
sisi lain, paradoksnya, jika esai filsafat Hume—seorang filsuf spesialis
“nature”, yang berjudul “On Tragedy”, wiracarita Lucretius—penyair-filsuf
Romawi, “De rerum natura”, dan “Elements of Law: Natural and Politic”
(1640) karya Hobbes—salah satu filsuf berpengaruh, disintesiskan—maka
terkonstruksi sebuah hipotesa bahwa rasa sakit dan penderitaan adalah sebuah
kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan. Tapi
apakah iya? Apakah secara “nature” manusia merupakan makhluk yang masokis, yang
begitu menginginkan rasa sakit dan penderitaan? Seorang filsuf yang lekat
dengan tema rasa sakit, Bataille, mempunyai pemikiran yang setidaknya bisa
sedikit menjawab—dia memiliki istilah teknis ‘violent ejaculation’ untuk
menggambarkan sensasi erotis yang nyaris mendekati kematian. Sensasi yang terus
dieksploitasi oleh Clara, tokoh dalam film Salo: 120 Days of Sodom (1975)
garapan sutradara-intelektual Pasolini. Pertanyaan yang lebih fundamentalnya
kemudian: Apakah benar manusia satu kesatuan dengan penderitaan? Mungkin iya,
mungkin sangat iya. Nietzsche dan Buddhisme, secara garis besar, memiliki
kesepakatan filosofis bahwa kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan.
Nietzsche, secara gagah berani bahkan menulis dalam bukunya Genealogy of Morals (2012): “manusia, adalah
hewan yang paling berani dan paling rentan menderita, yang tak menyangkal
penderitaan—manusia menginginkannya, bahkan mencarinya, dengan catatan bahwa
manusia ditunjukkan makna dan tujuan dari sebuah penderitaan.”
Sedangkan
Buddhisme, mengutip Religion and Nothingness (1983) karya filsuf-profesor
asal Nippon Nishitani—mengandung Four Noble Truths (Empat Kebenaran
Mulia): berisi Duhkha—menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan—kehidupan
samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa
toleransi; yang kedua, Samudaya—menghubungkan penderitaan ini dengan
keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan; kebenaran ketiga dan
keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri
penderitaan dan jalan kebenaran. Dengan demikian, melepaskan diri dari
keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan (dari siklus kematian),
yang pada akhirnya—mengarah ke nirvanā/nirwana.
“Hidup tak lebih dari sekadar ilusi, seperti seorang
aktor malang yang mondar-mandir dan khawatir selama berjam-jam di atas panggung
dan kemudian namanya tak pernah terdengar lagi. Hidup hanyalah kisah yang
diceritakan oleh para idiot, penuh dengan kebisingan, dan gangguan emosional, tetapi
tanpa makna apa pun.”
—Shakespeare, The Tragedy of Macbeth (2013)
Tapi
pada titik tertentu, manusia harus hidup dalam realitas dan menghilangkan
delusinya—lantas dengan lekas menghapus mitos-mitos metafisik macam nirwana,
swarga, firdaus, elysium, atau valhalla dari kamus
kepalanya. Manusia mesti hidup dalam realitas yang benar-benar sejati. Meskipun
jika itu adalah hidup di sisi yang jauh lebih “noir”, misalnya, sisi
seorang pengarang yang melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 5 kali dan pada
akhirnya meninggal bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya ke dalam air
pada hari ulang tahunnya yang ke-39—seperti Dazai—yang juga dengan jujur serta
piawai-depresifnya menarasikan kegagalan-kegagalan manusia di dalam bukunya Ningen
Shikakku alias No Longer Human (2012). Memang mengerikan, tetapi
bukankah kenyataan tak pernah datang dengan muka seperti bayi? Lebih lanjut,
Dazai secara tak langsung membidani pertanyaan: Apakah kehidupan adalah
permainan catur yang sudah sekakmat? Atau jika menukil kembali kredo Chairil:
Apakah hidup hanya menunda kekalahan?
Kedua
pertanyaan tersebut memang terdengar tendensius, bohemian, dan serampangan.
Tapi bukankah hidup manusia memang seperti dipenuhi kerinduan akan kebahagiaan
dan alasan, tetapi di mana-mana—kita hanya disesaki keheningan dunia yang tak
masuk akal. Sains (dan modernitas) telah mendemistifikasi mitos-mitos usang dan
hiburan lama manusia di dalam sistem kepercayaan dan agama—dengan secara ilmiah
mengungkapkan bahwa alam semesta adalah tempat kosong yang dingin, mahabesar,
dan terus mengembang.
“Lihat kembali titik mungil itu. Itu adalah Bumi.
Adalah rumah. Adalah kita. Di atasnya semua orang yang kita cintai, semua orang
yang kita kenal, semua orang yang pernah kita dengar, setiap manusia yang
pernah ada, menjalani hidup mereka. Keseluruhan dari kebahagiaan dan
penderitaan kita, ribuan agama yang percaya diri, ideologi, dan doktrin
ekonomi, setiap pemburu dan penjelajah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap
pencipta dan perusak peradaban, setiap raja dan hamba, setiap pasangan muda
yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang penuh harapan, penemu dan
pengembara, setiap pengajar moral, setiap politisi korup, setiap superstar,
setiap pemimpin tertinggi, setiap orang suci dan pendosa dalam sejarah spesies
kita tinggal di sana—di atas butiran debu kosmik yang bergantung pada sinar
matahari.
Bumi adalah panggung yang begitu kecil di arena kosmik
yang mahaluas. Pikirkan sungai-sungai darah yang ditumpahkan oleh para jenderal dan para kaisar itu sehingga, dalam kemuliaan dan kemenangan, mereka
bisa menjadi penguasa sesaat dari sepersekian titik. Pikirkan kekejaman tak
berujung yang dilakukan oleh penghuni satu sudut piksel ini kepada penghuni
sudut lain yang hampir tak dapat dibedakan, seberapa sering kesalahpahaman
mereka, betapa inginnya mereka saling membunuh, betapa kuatnya kebencian
mereka.
Kepura-puraan kita, kesombongan yang kita bayangkan,
delusi bahwa kita memiliki beberapa posisi istimewa di Semesta, ditantang oleh
setitik cahaya yang pucat ini. Planet kita adalah titik sepi dalam kegelapan
kosmik yang menyelimuti. Dalam ketakjelasan kita, dalam keluasan ini, tak ada
petunjuk bahwa pertolongan akan datang dari antah berantah untuk menyelamatkan
kita dari diri kita sendiri.
Bumi adalah satu-satunya dunia yang sejauh ini
diketahui memiliki kehidupan. Tak ada tempat lain, setidaknya dalam waktu
dekat, di mana spesies kita dapat bermigrasi. Mengunjungi, ya. Tinggal dan
menetap, belum. Suka atau tidak, untuk saat ini Bumi adalah tempat kita
berdiri.
Telah dikatakan bahwa astronomi adalah kerendahatian
dan pengalaman yang membangun karakter. Mungkin tak ada demonstrasi yang lebih
baik dari kebodohan-kesombongan manusia selain gambaran jauh dari dunia kecil
kita ini. Bagiku, itu menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk memperlakukan
satu sama lain dengan lebih baik, dan untuk melestarikan dan menghargai titik
biru pucat, satu-satunya rumah yang pernah kita kenal ini.”
—Sagan, Pale Blue Dot (2013)
Secara
simultan, penderitaan manusia niscaya bertambah parah ketika kita membaca teks
dari buku Sagan, Pale Blue Dot (yang terinspirasi oleh potret yang
diambil oleh Voyager 1 pada 14 Februari 1990; ketika pesawat ruang angkasa itu
meninggalkan wilayah planet kita ke pinggiran tata surya)—dan secara sadar
menyadari bahwa kita hanyalah debu kosmik yang nirmakna. Pada gilirannya, di
kesepian paling sunyi, jiwa manusia mendambakan transendensi, tetapi, seperti
yang ditulis seorang novelis avant-garde—Beckett, dalam Waiting for Godot (2011) melalui tokoh
bernama Pozzo: “manusia melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar
seketika, lalu malam sekali lagi.”
Ketakcocokan
mendasar antara keinginan psikis dan apa yang disediakan oleh kenyataan, adalah
sesuatu yang membuka satu juta gerbang penderitaan. Pada dasarnya, hewan juga
menderita, tetapi rasa sakit manusia jauh lebih meremukkan dan memualkan—sebab
manusia memiliki kemampuan berefleksi, menyimpan memori, melihat ke masa yang
akan datang, merasai trauma masa lalu—dan membidani kecemasan yang memiliki potensi begitu
tinggi mengonstruksi penderitaan. Jika secara biologis manusia adalah hewan pun
manusia adalah hewan yang tak bahagia, ditinggalkan, dan dipaksa untuk
menemukan jalan hidupnya—seperti yang Cioran, sang filsuf-negatif,
sabdakan dalam bukunya On the Heights of Despair (2013)—yang secara sekilas
tak berbeda jauh suramya dengan Dazai. Jadi, apakah memilih untuk tetap hidup
dan merasai penderitaan sama dengan menunda kekalahan—di samping kenyataan
bahwa kematian tak bisa menutup lubang makna yang ditinggalkan kehidupan?
Mungkin, iya. Mungkin, tidak. Namun, semisal di masa depan nanti, manusia bisa
berevolusi menjadi Homo Deus (tuhan) pun manusia akan menjadi jenis
tuhan yang memiliki segalanya kecuali kebahagiaan. Mengapa demikian?
Sebab
nampaknya kita harus merevisi aforisme Latin yang lekat dengan figur Renaissance
di Britania Raya, Bacon: bahwa scientia potentia est; knowledge is a power;
pengetahuan adalah kekuatan. Kemudian menggantinya dengan: knowledge is a
power that makes humans suffer; pengetahuan adalah kekuatan yang membuat
manusia menderita. Mungkin kita juga harus sepakat dengan frasa penyair Gray: ignorance
is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan—dalam buku puisinya yang
berjudul The Poems (2012). Di jurang nihilitas, seseorang niscaya
mengetahui ada skenario yang tampak jauh lebih buruk dan jelek dari ini
semua—bahwa manusia sudah kalah, jauh sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi,
agar manifesto kesuraman yang tak berguna ini terkesan tak terlalu suram,
mungkin kita mesti setuju dengan penulis-surealis—Murakami, yang menyatakan bahwa rasa sakit
memang tak terhindarkan—tetapi penderitaan adalah opsional—yang secara liris
dia tekskan melalui bukunya—What I Talk About When I Talk About Running
(2008).
Beban Kesadaran
“frankly, human consciousness
is a heavy burden.
that’s why some of us—
consciously, choose uncosciousness
& be a junkie:
religion, philosophy,
ideology, political party,
or other shit to retreat
from the bitterness of reality—
such a coward, who can’t live forward
to shone the darkside of time—
in the face of presently.
: o life! are humans
the closest metaphor
for the most pathetic slaves
of certainty—on the dead planet
who enclose uncertainty?”
—Moch Aldy MA, dari puisi berjudul Slaves of Certainty (2022)
Para
filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika kesadaran” (the
problem of consciousness)—seolah-olah problema kesadaran merupakan problema
yang sudah jelas pemetaannya. Descartes si bapak filsafat modern, pun berupaya
menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Menurutnya,
pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada
tubuh—dan pikiran adalah entitas yang mandiri, juga terlepas dari tubuh.
Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa.
Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam metafisika dan
epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Tapi, pada akhir
dekade 1950-an pandangan ini mulai didebat dari berbagai penjuru.
Di akhir abad ke-16 dan di awal abad ke-17, Descartes secara monumental meneriakkan kredo: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada)—dan setelahnya menguatkan konvensi umum bahwa manusia
adalah makhluk yang dapat berpikir, sebab hal tersebut menunjukkan fakta bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki kesadaran. Descartes, secara
tak langsung, juga mengonstruksi persepsi bahwa rasio, akal, pikiran, dan
kesadaran merupakan sesuatu yang positif dan baik. Secara jukstaposisi, Unamuno,
guru intelektual Cioran, dalam bukunya Tragic Sense of Life (2008)
menyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia—yang tentu
berkonotasi negatif dan buruk. Filsafat Cioran—yang berangkat dari
Unamuno—mempertajam serta menguatkan anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit.
Akan tetapi, pertanyaannya, kesadaran akan apa? Waktu. Menurutnya, waktu
memungkinkan seorang makhluk menderita. Akal/pikiran/kesadaran kita mampu
merefleksikan dan memiliki pemahaman penuh tentang eksistensi masa lalu dan
masa depan. Cioran menyatakan bahwa kemampuan manusia ini memiliki efek samping
yang menakutkan, misalnya, pengetahuan bahwa eksistensi kita ada—dan suatu hari
nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Di sisi lain, hewan seperti ular, badak, burung,
paus—ketika mereka merasakan rasa sakit, tak mungkin memiliki kesadaran akan
waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti manusia—faktanya, kita memiliki
pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.
Ungkapan
puitis yang Cioran gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam
waktu”. Setidaknya, di masyarakat, ada dua istilah hiper-klise tentang waktu: Pertama, semua akan indah pada waktunya; kedua, biarlah waktu menjawabnya. Apakah benar semua akan indah pada waktunya? Bagaimana jika kita sudah pada waktunya, tetapi keindahan itu tak pernah ada? Apakah benar waktu bisa menjawab pertanyaan manusia? Bukankah waktu hanyalah satuan fisika untuk mengukur berapa lama subjek mengada? Bukankah waktu tak pernah menjawab apa-apa dan hanya kesadaran yang menjawab semuanya? Jika kita menggunakan sedikit isi kepala Hawking dalam A
Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (1998) alias konsep
Waktu Linier, ditemukan tesis bahwa garis kehidupan selalu menunjuk ke masa depan; sementara
itu, di sisi lain, masa depan selalu membawa kita selangkah lebih dekat dengan
kematian. Masa lalu membawa kita ke masa kini, dan masa kini akan membawa kita
ke masa depan (menuju kematian yang tak terbantahkan dan tak terhindarkan). Maka
dari itu, adalah ganjil jika kita berharap lebih kepada “waktu”.
Filsuf-fenomenolog, Heidegger, menggunakan istilah Dasein (secara
langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman mengada
yang khas manusia; dan dalam bukunya—Being and Time (2008)—dia memiliki
istilah yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa absurd jika kita berharap
banyak kepada waktu—istilah teknisnya Sein-zum-Tode: singkatnya, makhluk
yang secara sadar menyadari bahwa dia sedang berjalan menuju kematian yang
benar-benar tak terelakkan; makhluk yang menyadari bahwa dirinya berada dalam
‘bingkai’ yang disebut waktu. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian
sebagai kemungkinan terbesar mereka.
Meskipun kematian adalah takdir definitif
yang diterima secara universal. Heidegger, memiliki premis bahwa kematian memungkinkan makna. Di
lain sisi, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru “mengambil” makna ini. Eksistensialis
Prancis lain—de Beauvoir, memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi
semacam keadaan tak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna
hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir secara brutal mengklaim kematian sebagai
“perkosaan yang tak adil”. Tapi, L'homme est Condamné à Être Libre; manusia
dikutuk untuk bebas—kata Sartre. Manusia
dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kehendak bebas: kemungkinan
pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi
dapat mengejar upaya-upaya yang tak berujung pangkal sepanjang hidup
mereka—sebab waktu mereka di planet ini tak terbatas. Manusia yang fana tak
mampu melakukannya. Kefanaan, di sisi lain, juga meningkatkan potensi kesia-siaan.
Tak ada yang bisa menjamin bahwa menulis, misalnya, adalah bekerja untuk
keabadian. Tak ada yang tahu bahwa apa-apa yang kita usahakan seumur hidup akan
bermanfaat, berguna, atau bermakna nantinya. Tak ada yang bisa memastikan bahwa
100 tahun dari sekarang akan ada seseorang yang dapat mengenali apalagi
mengingat-ngingat dengan liris eksistensi kita.
Dengan
demikian, dengan mengakui temporalitas kita, kesementaraan kita—di mana kita
dapat memahami kesementaraan keberadaan—keputusan-keputusan yang kita buat
mengandung semacam “beban-beban” tertentu. Sehingga, kesadaran akan kematian,
merupakan beban kesadaran yang luar biasa berat. Semenjak kematian merupakan
akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk
memberi makna dalam hidup kita. Kemungkinan kematian, yang hidup di dalam urat
nadi dan neuron di dalam otak manusia—yang bertahan sepanjang napas berembus—mendorong
rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan-pilihan yang kita buat. “Sein-zum-Tode
adalah neraka!”—pungkas Sartre kepada Heidegger sembari menangis dan mengacungkan jari tengah.
“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara
yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan
punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.
Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan,
terserah padamu. Asalkan kau mabuk.
Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di
rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu,
kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah
kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang
mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah
pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata
kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang
terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan
kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”
—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual
Anthology (1997)
Referensi:
MA,
Moch Aldy. 2022. “An Oasis for the Stranded, Losers”. Omong-Omong Media;
MA,
Moch Aldy. 2022. “Friedrich Nietzsche and So On and So On”. Omong-Omong Media;
Pratama,
Angga. 2022. “Marx, Cioran, Penderitaan, dan Revolusi”. Omong-Omong Media;
Camus,
Albert. 2013. A Happy Death. Kindle Edition: Penguin Classics;
Durkheim,
Èmile. 2013. Le Suicide. Kindle Edition: Presses Èlectroniques de France;
Nietzsche,
Friedrich. 2012. Genealogy of Morals. Kindle Edition: Start Publishing LLC;
Nishitani,
Keiji. 1983. Religion and Nothingness. University of California Press;
Harari,
Yuval N. 2014. Sapiens: A Brief History of Humankind. Kindle Edition: Vintage;
Manson,
Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to
Living a Good Life. Harper;
Schopenhauer,
Arthur. 2012. The World As Will And Idea. Kindle Edition;
Dienstag,
Joshua Foa. 2009. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton
University Press;
Unamuno,
Miguel de. 2008. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications;
Beckett,
Samuel. 2011. Waiting for Godot: A Tragicomedy in Two Acts. Kindle Edition:
Grove Press;
Shakespeare,
William. 2013. The Tragedy of Macbeth. Simon & Schuster;
Dazai,
Osamu. 2012. No Longer Human. Kindle Edition: New Directions;
Murakami,
Haruki. 2008. What I Talk About When I Talk About Running. Kindle Edition:
Vintage;
Hawking,
Stephen. 1998. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes.
Bantam Books;
Heidegger,
Martin. 2008. Being and Time. Harper Perennial Modern Classics;
Sagan,
Carl. 2011. Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space. Kindle
Editions: Ballantine Books;
Simpson,
Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;
Gray,
Thomas. 2012. The Poems. General Books;
Van
Gogh, Vincent. 1995. Dear Theo. Plume Books;
Cholbi,
Michael, “Suicide”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021
Edition), Edward N. Zalta (ed.);
Laios,
K., Tsoukalas, G., Kontaxaki, M. I., Karamanou, M., & Androutsos, G.
(2014). Suicide in ancient Greece. Psychiatrike = Psychiatriki, 25(3), 200–207;
Gavis,
Meghan (2020) “Suicide According to Socrates and Camus,” Parnassus: Classical
Journal: Vol. 7, Article 7;
Fadaie,
Shakiba. 2021. “Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death”. The
University of British Columbia, Shakiba Fadaie;
Fadaie,
Shakiba. 2020. “Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and
Buddhism”. The University of British Columbia, Shakiba Fadaie;
Olszewski,
Fernando. 2020. “Cioran, the philosophy of despair and its ethical
implications”. Metaphysical Exile;
Borghini,
Andrea. 2019. “The Paradox of Tragedy”. ThoughtCo.;
Sawitra
Mustika, I Ketut. 2021. “Penderitaan dan Jalan Pembebasan yang Mungkin”.
Lingkar Studi Filsafat Cogito;
Wattimena,
Reza A.A. 2009. “Manusia dan Kesadaran”. Rumah Filsafat.