Saturday, 19 November 2022

Nihilisme dan Penguasaan Diri: Menafsir Nietzsche dan Buddhisme (Paper Translasi)

Thangka of Shakyamuni Buddha, Tibet, c. 18th century

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Setelah dilakukannya analisis mendalam tentang Buddhisme dan filsafat Friedrich Nietzsche, kesamaan subtil muncul dalam pemahaman mereka tentang konsep penguasaan diri (Self-Overcoming). Secara garis besar, Nietzsche dan Buddhisme menegaskan dua hal: pertama, kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan; dan kedua, gagasan tentang 'diri' adalah konstruksi belaka. Melalui analisis yang lebih dalam tentang gagasan 'penguasaan diri' yang ada pada Buddhisme dan filsafat Nietzschean, paper ini mengungkap kesepakatan filosofis di antara keduanya, seraya memberikan kritik atas misinterpretasi Nietzsche terkait Buddhisme sebagai nihilisme-pasif.

Peneliti juga mengklarifikasi disparitas (perbedaan) antara filsafat Buddhis awal dan Buddhisme seperti yang ditafsirkan oleh Nietzsche; yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan kolonial dan minimnya eksposur para intelektual Eropa terhadap Filsafat Timur. Peneliti mengeksplorasi kesalahpahaman Nietzsche—dan penolakan yang diakibatkannya—terhadap agama Buddha sebagai bentuk “nihilisme-pasif” dan nirvāna/nirwana sebagai praktik untuk menyangkal realitas.  Terlepas dari distingsi mereka, peneliti menyimpulkan bahwa filsafat eksistensial Nietzsche secara ironis dekat dengan Buddha, sebab formulasi mereka untuk kehidupan yang bermakna membutuhkan konsep penguasaan diri.

Mentor awal Nietzsche, Schopenhauer, adalah pengagum berat Buddhisme awal, Nietzsche hampir tidak berdiri sendiri dalam kesalahpahamannya tentang Buddhisme sebagai agama yang bercorak nihilistik. Dengan ajaran utama Buddhisme seputar konsep ketiadaan-diri (moksa/pengahapusan diri melalui praktik meditasi) dan noneksistensi, dapat dimengerti mengapa Eropa abad ke-19 memegang konsepsi Buddhisme yang dominan negatif. Lebih penting lagi, bagaimanapun, kritik Nietzsche terhadap Buddhisme mengungkapkan kesalahtafsirannya dan kekurangannya sendiri pada saat itu; terutama karena pemahaman Eropa yang terbatas—dan kolonial (dan begitu kental dengan orientalisme)—tentang filsafat Timur. Penting untuk dicatat bahwa filsafat Timur mulai muncul di Barat pada awal abad ke-19. Makna yang sebenarnya dari ideologi Timur—seperti Buddhisme—sering hilang dalam terjemahan, dan akibatnya, Buddhisme sering disalahartikan melalui sumber-sumber dari tangan kedua.

Meskipun demikian, Nietzsche adalah salah satu pelopor Barat pertama yang mengeksplorasi agama Buddha. Bukunya, On the Genealogy of Morals (1887), mengkategorikan Buddhisme awal, secara fundamental, mengingkari kehidupan—yang bertujuan pada kekosongan/ketiadaan, dan berdiri bertentangan dengan eksistensi manusia (Nietzsche, 1994, 61). Dalam The Will to Power (1901), Buddhisme digambarkan selaku nihilistik-pasif dengan tujuan 'bertindak' sebagai penenang sementara bagi mereka yang menderita (1968, 18). Menurut para ahli, kesalahpahaman Nietzsche terkait dengan pandangan umum agama Buddha pada masanya, dan penggambaran semacam itu lebih merupakan cerminan dari apa yang terjadi di Eropa—runtuhnya nilai-nilai tradisional yang mapan, ancaman ateisme, dan 'kematian  Tuhan'—ketimbang deskripsi yang akurat tentang Buddhisme (Van Der Braak, 2010, 6).

Maka, Nietzsche memahami Buddhisme awal sebagai bentuk "nihilisme-pasif"; indikasi dari "penurunan kekuatan roh" (1901, 22). Dia membandingkannya dengan nihilisme-aktif—'kekuatan roh yang meningkat'—yang mendorong penghancuran kesadaran semua kepercayaan yang sebelumnya memiliki makna. Bagi Nietzsche, nihilis-pasif menyerah pada keputusasaannya dan menggali secara membabi buta ke dalam mentalitas kawanan (herd-mentality), sementara nihilis-aktif menghadapi realitas-keberadaan dan penderitaan manusia.

Tetap saja, penilaian Nietzsche tentang Buddhisme benar-benar kompleks. Dalam salah satu buku catatannya ia menulis: “Aku bisa menjadi Buddha Eropa meskipun terus terang aku akan menjadi antipodal dari Buddha India …” (Panaïoti, 2013, 2). Deskripsi Nietzsche tentang dirinya sebagai tipe "Anti-Buddha" menggambarkan perbedaan yang ia buat sebelumnya mengenai nihilisme pasif dan aktif. Sepanjang tulisan dan ajarannya, ia mengingat nihilisme sebagai wabah yang merasuki budaya Eropa; kebencian terhadap kehidupan dan penolakan terhadap tindakan. Ketika membahas pertemuan Sang Buddha dengan orang sakit, orang tua, dan orang mati, Nietzsche menulis dalam Thus Spake Zarathustra (1883-1885):

Ada orang-orang pengonsumsi jiwa: mereka hampir tidak dilahirkan ketika mereka mulai mati dan merindukan doktrin-doktrin kelesuan dan penolakan. Mereka ingin mati, dan kita harus menyambut keinginan mereka. Mari kita waspada ketika membangunkan orang mati dan mengganggu peti mati hidup ini! Mereka bertemu dengan orang sakit atau orang tua atau mayat dan segera mereka berkata, “Hidup ini disangkal”. Tapi hanya mereka sendiri yang disangkal, dan mata mereka, yang hanya melihat satu wajah eksistensi ini.”

Nietzsche dengan cepat menolak Buddhisme Eropa sebagai filsafat yang menegasikan kehidupan dan cenderung pesimistis. Salah satu mentor awalnya, Schopenhauer, telah sangat mengenal filsafat Timur dibandingkan dengan rekan-rekan Baratnya itu. Ketakutan Nietzsche, bagaimanapun, adalah bahwa kebangkitan filsafat pesimis akan menghasilkan kemenangan bagi kepasifan dan melahirkan dekadensi di Eropa; mengarahkan manusia menjauh dari dunia dan menuntun mereka menuju kekosongan/ketiadaan. Juga, selama era inilah Nietzsche menarik kembali narasi 'kematian Tuhan' dan runtuhnya sistem nilai tradisional Eropa.

Dalam banyak hal, Nietzsche memandang Buddha sebagai seorang tabib yang meresepkan obat untuk kondisi dasar penderitaan manusia. Baik filsafat Nietzschean maupun Buddhis, keduanya sama-sama bergulat dengan gagasan nihilisme, sembari menolak gagasan tentang kebenaran yang diwahyukan. Proyek utama Nietzsche adalah mengungkapkan kesalahan dalam Kekristenan, dan menolak gagasan 'moralitas' itu sendiri. Baginya, moralitas adalah wabah terbesar; membatasi manusia dari pelampauan ke versi tertinggi dari diri mereka sendiri, dan dengan demikian bertentangan dengan aktualisasi diri. Dalam hal ini, Nietzsche memandang Buddhisme lebih superior (unggul) daripada Kristen, dan melangkah lebih jauh untuk membandingkan keduanya secara langsung dalam The Anarchist (1968).

Dari perbandingannya, ia menyimpulkan bahwa agama Buddha jauh lebih “realistis” daripada agama Kristen—sesuai dengan pemahaman agama Buddha tentang penderitaan dan ‘resep’ Buddha untuk memberantasnya. Selain itu, Buddhisme menghilangkan konsep Tuhan yang monoteistik, dan dilanjutkan sebagai agama positivistik. Nietzsche melukiskan gambaran yang jauh lebih positif tentang agama Buddha di kalangan Anarkis, namun, banyak akademisi percaya ini hanya karena perbandingan yang dia buat dengan agama Kristen—agama yang dia benci dan sering digambarkan sebagai "agama yang merosot" yang didirikan di atas "kebencian terhadap segala sesuatu yang mapan dan dominan” (Elman, 1983, 689).

Secara paradoks, Nietzsche menggunakan gagasan "nihilisme-aktif" sebagai alat dalam proyeknya sendiri melawan nihilisme Barat. Filsafatnya berpendapat bahwa penguasaan diri atas nihilisme sangat penting untuk menjadi versi “sejati” dari diri kita sendiri. Selanjutnya, dalam The Will to Power, Nietzsche menggambarkan dirinya sebagai “nihilis Eropa yang sempurna”, yang telah hidup melalui “keseluruhan nihilisme, sampai akhir, meninggalkannya, di luar dirinya” (Nietzsche, 1968, 3). Dalam pandangan ini, kemampuan untuk mengalahkan “nausea hebat” dari kekosongan/ketiadaan memungkinkan Nietzsche hadir sebagai pemenang.

Nietzsche bertujuan untuk mengatasi nihilisme dengan menegaskan kehidupan, dengan merangkul eksistensi tanpa syarat. Baginya, hidup bukan untuk disangkal, melainkan diciptakan melalui sistem nilai-nilai pribadi, dan dibangun di atas landasan pemahaman bahwa tidak ada makna yang diwariskan di alam semesta ini. Nishianti menggambarkan proses ini sebagai “menyekarati kematian hebat di jurang nihilitas dan hidup kembali” (1983, 233). Dengan demikian, nihilisme-aktif menjadi tahap transisi, bukan tujuan itu sendiri. Ini adalah jurang yang harus kita turuni, “malam tergelap sebelum fajar” (Nietzsche, 1968, 12).

Melalui tahap-tahap empiristik di dalam nihilisme-aktif—seorang individu berjuang untuk mencapai kedudukan makhluk-ideal yang lebih tinggi, Übersmench. Dia menegaskan bahwa hidup dengan 'moralitas mulia' seseorang dicirikan dengan eksistensi yang kuat, penuh semangat, bebas dan menyenangkan, secara bawaan diperintah oleh “kehendak untuk mengalahkan, dan kehendak untuk memerintah” (1968, 16). Dari karya-karyanya, tampak jelas bahwa Nietzsche membenci orang lemah dan rendah hati yang berusaha melarikan diri dari kenyataan hidup ini.

Ironisnya, Buddhisme bertujuan untuk melepaskan diri dari roda samsara (siklus hidup dan mati) alih-alih menegaskan revolusi abadinya. Bagi Nietzsche, dia menafsirkan ini sebagai pelepasan negatif dari dunia karma dalam samsara. Namun, pembebasan nirvāna/nirwana, sebagaimana dipahami oleh agama Buddha, adalah penghapusan ego dan kemelekatan pada hasrat duniawi. Gagasan bahwa seseorang dapat melarikan diri dari keadaan hidup, yang digambarkan oleh Nietzsche dalam rekurensi abadi/perulangan abadi (eternal return/eternal recurrence), adalah angan-angan yang menyesatkan bagi Nietzsche pada saat itu; sering digambarkan sebagai “the fable song of madness” (1968, 12).

Kutipan dari catatan pribadinya mengungkapkan bahwa keberadaan manusia, sebagaimana adanya, “tanpa makna atau tujuan, namun tidak terhindarkan berulang tanpa akhir dalam kekosongan/ketiadaan” adalah bentuk paling ekstrem dari nihilisme (55). Agar interpretasi Nietzsche dapat dipertahankan, Buddha harus mengkhotbahkan samsara yang berulang secara abadi. Tidak hanya itu, Buddha juga mesti mengkhotbahkan tiadanya kemungkinan untuk membebaskan diri dari samsara, atau tercapainya Pencerahan. Secara juskstaposisi, jalan tengah—Madhyama-pratipadā—yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah kematian ego, dan akhir dari siklus kelahiran; pengerahan kehendak nihilisme menuju kebebasan dari samsara. Setelah pembuktian lebih lanjut, tampaknya para Buddhis justru mendukung kebalikan dari nihilisme kosong—yang ditakuti Nietzsche dan bertujuan untuk melenyapkan Eropa.

Seseorang juga dapat beralih ke empat kebenaran mulia Buddhisme (Pali: cattāri ariyasaccāni) ketika menganalisis kritik awal Nietzsche terhadap Buddhisme. Yang pertama, Duhkha, menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan. Kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa toleransi (Nishitani, 1983, 169). Yang kedua, Samudaya, menghubungkan penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan. Kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Melepaskan diri dari keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan dari siklus kematian, yang pada akhirnya mengarah ke nirvanā/nirwana. Kebenaran mulia terakhir, lebih lanjut, menegaskan gagasan ini dengan mengilustrasikan Jalan Utama Berunsur Delapan (Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ). Sebagai bagian dari jalan beruas delapan, Sammä-väyäma, atau “daya-upaya benar” menganjurkan kehendak yang kuat, sejajar dengan konsep kehendak untuk berkuasa dari Nietzsche. Kehendak energik ini bertujuan untuk meringankan salah satu dari semua keinginan, yang mengarah pada penderitaan. Jelas, agama Buddha menganjurkan tindakan positif yang disengaja, daripada mengejar kepasifan yang awalnya diyakini Nietzsche.

Lebih jauh, analisis terhadap Buddhisme Theravāda mengungkapkan bahwa tujuan utama Buddhisme adalah transformasi radikal diri melalui tindakan. Arahat/Arahat (istilah untuk seorang yang telah terbebas belenggu Taṇhā, dengan jalan mencapai penerangan sempurna—seseorang yang mengerti dan memahami tentang Anicca dan Anatta yang telah memutus Tali Kelahiran-kembali), bentuk tertinggi manusia, tidak mengumpulkan karma menurut Buddhisme Theravadā, karena ia telah melampaui siklus kelahiran-kembali. Bebas dari ego, dan gagasan diri yang dibuat-buat, Arahat bebas dari samsara. 

Target kritik Nietzsche adalah gagasan nihilisme-pasif dan bentuk negasi eksistensial yang total. Mirip dengan nihilisme-pasif, metafisik ekstrem dari diskontinuitas mutlak dan kekosongan/ketiadaan, Ucchedavad, dilarang oleh Sang Buddha. Sang Buddha juga menolak gagasan Vibhava-taṇhā, yang merupakan keinginan manusia akan ketidakberadaan. Ini juga bisa berarti keinginan untuk tidak mengada, dan penolakan total terhadap penderitaan yang tidak menyenangkan dari kehidupan saat ini atau masa depan. Ajaran Buddha ini menekankan sudut pandang negatif Buddhisme pada negasi kehidupan itu sendiri, dan penekanannya pada kehendak yang penuh semangat.

Secara ironis, formulasi Nietzsche untuk penguasaan diri menarik banyak kesamaan dengan Buddhis secara filosofis. Buddhisme menganjurkan transendensi melampaui kondisi masyarakat, maya, dan menciptakan jalan individu untuk diri sendiri. “Jalan” ini mencerminkan jalan beruas delapan yang terkenal; mencerminkan kesadaran dan kasih sayang yang lebih besar. Hampir empat puluh lima tahun setelah pencerahan Buddha, beliau menghabiskan hidupnya menyebarkan kebijaksanaan dengan belas kasih dan cinta untuk orang lain di sekitarnya—yang menunjukkan pentingnya ajaran Buddha ini.

Terakhir, gagasan tentang makhluk yang sempurna dan paling ideal, seperti yang disajikan oleh Nietzsche dan Buddhisme memiliki kesamaan yang tidak kentara. Keduanya menegaskan pentingnya kehendak individu, dan menolak gagasan tentang moralitas yang sejati. Dalam agama Buddha, Arahat adalah seseorang yang telah melampaui samsara. Ada ayat dari Mūlapariyāya Sutta, di mana Sang Buddha membahas akar penyebab penderitaan dan bagaimana mencapai pencerahan dari penderitaan. Beliau memberi tahu murid-muridnya apa sebenarnya seorang Arahat, atau manusia ideal itu:

Seorang bhikkhu yang layak, tanpa fermentasi mental—yang telah mencapai penyelesaian, merampungkan tugas, meletakkan beban, memperoleh tujuan yang benar, menghancurkan belenggu untuk mengada, dan dilepaskan melalui pengetahuan yang benar—secara langsung mengenal bumi sebagai bumi. Ia secara langsung mengenal bumi sebagai bumi, tidak memikirkan hal-hal tentang bumi, tidak memikirkan hal-hal di bumi, tidak memikirkan hal-hal yang keluar dari bumi, tidak berpikir bahwa bumi adalah 'milikku', tidak menyenangi bumi. Mengapa demikian? Sebab ia telah memahaminya, aku berkata kepadamu. (Tanissaro, 1998)

Bagian ini menggambarkan bahwa bhikkhu itu adalah orang yang layak, yang telah membebaskan dirinya dari belenggu penderitaan yang menjebak seseorang dalam lingkaran kelahiran. Arahat harus mencapai pencerahan dengan mengada ‘tanpa fermentasi mental’—selalu terbebas dari pikiran, apa pun itu—dan melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa distorsi dari keinginan dan penderitaan.

Bagi Nietzsche, Übersmench, atau 'overman', menciptakan nilai-nilainya sendiri dari kebebasannya. Istilah overman/superman mengacu pada jenis manusia yang lebih agung/mulia dari manusia biasa. Namun, bagi übersmench tujuan akhir bukan hanya mengatasi penderitaan, melainkan mengatasi kondisi pasif dan melampauai kemediokeran manusia biasa. Ini kontras dengan Arahat, yang menghindari fermentasi mental sebagai cara untuk mengatasi ikatan penderitaan. Arahat juga terbebas dari perasaan diri ketika mencapai pembebasan. Bagi Nietzsche, dengan melampaui-menuju übersmench, diri dirangkul/ditegaskan ketimbang ditolak. Gagasan tentang diri diciptakan kembali dalam diri overman, karena kualitas mendasar yang menentukan dari overman adalah menciptakan nilai-nilainya sendiri. Namun, ini tampaknya bertentangan dengan apa yang ditegaskan Nietzsche dalam karya-karyanya selanjutnya.

Dalam bagian kunci dari On the Genealogy of Morality (1887)—Nietzsche berseru:

Tidak ada 'keberadaan' di balik tindakan, memengaruhi, mengada: 'seseorang yang bertindak' hanyalah fiksi yang ditambahkan ke perbuatan—tindakan adalah segalanya ... seluruh ilmu pengetahuan kita masih berada di bawah pengaruh bahasa yang menyesatkan dan tidak membuang makhluk fiktif yang kecil itu, 'subjek'.

Melalui pembacaan Nietzsche ini, mungkin ditemukan banyak kesamaan dengan agama Buddha. Diri dalam filosofi Buddhis hanyalah serangkaian komponen mental dan fisik yang mewujud dalam bentuk seorang manusia. Ini dikenal sebagai lima 'kelompok' bentuk, perasaan, pembentukan mental, persepsi, dan kesadaran. Diri adalah fungsi dari kelima kelompok unsur kehidupan ini yang saling bekerja bersama. Sementara Nietzsche menegaskan diri melalui penguasaan diri sendiri, ia juga menegaskan tidak ada 'keberadaan' melainkan tindakan yang dilakukan dari subjek. Melalui analisis antara Buddhisme dan gagasan Nietzsche tentang diri dalam konsep menguasai diri sendiri, kesamaan subtil ini muncul.

Sebagai kesimpulan, paper ini menunjukkan misinterpretasi Nietzsche tentang gagasan nihilisme-pasif yang ada dalam filsafat Buddhis. Lebih jauh lagi, peneliti menawarkan penjelasan tentang kehadiran konsep menguasai diri sendiri dalam kedua filosofi, dan di mana bidang kesepakatan itu muncul ke permukaan. Melalui keterlibatan langsung dengan penderitaan seorang manusia, Buddhisme bertujuan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi penderitaan dengan melepaskan diri dari keinginan-keinginan yang wajib dipenuhi, dan hasrat keabadian di dunia yang tidak kekal, sementara, atau singkatnya fana.

Dengan cara yang sama, Nietzsche, memperingatkan bahaya terutama mencari kebahagiaan dan kesenangan/kenikmatan duniawi, sambil menolak bentuk eskapisitas ekstrem lainnya: nihilitas-pasif. Melalui interpretasi inilah kesamaan subtil itu muncul. Paper ini juga membuka jalan baru untuk kemajuan penelitian, seperti perbedaan dalam Buddhisme dan gagasan metafisik Nietzsche tentang reinkarnasi/kelahiran-kembali. Berangkat dari diskursus yang telah disajikan, Nietzsche mungkin telah menemukan wilayah kesepakatan dengan agama Buddha—jika ia telah menafsirkan dengan benar gagasan tentang nihilisme-aktif, ketimbang menolaknya sebagai ayat lain dalam 'fable song of madness’.

 

*****

 

Daftar Pustaka:

Elman, Benjamin A. 1983. “Nietzsche and Buddhism.” Journal of the History of Ideas 44, no. 4 : 671-686.

Hongladarom, Soraj. 2011. The overman and the arahant: Models of human perfection in Nietzsche and Buddhism. Asian Philosophy. no.1:53-69.

Lincourt, Jared. 2010. “If Nietzsche Only Knew.” Stance: An International Undergraduate Philosophy Journal. 3:62-68.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Keith Ansell-Pearson, and Carol Diethe. 1994. On the Genealogy of Morality. New York: Cambridge University Press.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann, and R. J. Hollingdale. 1968. The Will to Power. New York: Vintage Books.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann. 1963. The Anarchist. New York: Vintage Books.

Nishitani, Keiji. 1983. Religion and nothingness. Univ of California Press.

Panaïoti, Antoine. 2013. Nietzsche and Buddhist philosophy. Cambridge University Press.

Thanissaro, Bhikkhu. 1998. Mulapariyya Sutta: The Root Sequence. New York: Vintage Books.

Thomas, Richard Hinton. 1983. Nietzsche in German politics and society, 1890-1918. Manchester University Press.

Van der Braak, André. 2011. Nietzsche and Zen: Self-overcoming without a self. Lexington Books.

Sumber Literatur:

Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and Buddhism – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2020/08/06/nihilism-and-self-overcoming-interpreting-nietzsche-and-buddhism/

Thursday, 17 November 2022

Puisi: Nanti, Tolong Putar Instrumen-Instrumen Ini dengan Volume Tertinggi di Hari Kematianku


Wagner - Lohengrin: Prelude
Bach - Prelude in C Major, BWV 846
Satie - Gnossienne No. 1
Satie - Gymnopédie No. 1
Chopin - Nocturne No. 1 in B Flat Minor, Op. 9 No. 1
Rachmaninoff - Piano Concerto No. 2 in C Minor, Op. 18
Liszt - Liebesträume, S. 541: No. 3: Nocturne in A Flat Major
Watson - Je te l'asserai des mots
Vivaldi - Le Quattro Stagioni (The Four Seasons)
Christl - Vivaldi Variation (Arr. for Piano from Concerto for Strings in G Minor, RV 156)
Sibelius - Impromptu for Strings Op. 5
Mozart - Requiem in D Minor, K. 626
Einaudi - Experience
Dreamers - I Will Follow You into the Dark
Chopin - Nocturne in E Flat Major (Op. 9 No. 2)
Paterlini - Rue des Trois Frères
Beethoven - The Piano Sonata No. 14 in C-Sharp Minor, Op. 27
Parrino - The Sound of Silence
Fauré - Élégie in C Minor, Op. 24
Instrumental - Que Será, Será
Stravinsky - L'Oiseau de Feu (The Firebird)
Nietzsche - Albumblatt
Chopin - Fantaisie-Impromptu, Op.66
Brahms - Sechs Klavierstücke, Op. 118: II. Intermezzo in A Major
Richter - The Departure
Tchaikovsky - Swan Lake, Op. 20, Act II: No. 10
Tavener - The Lamb
Debussy - Clair de Lune
Tiersen - Comptine d'un Autre été: L'Après-Midi
Schubert - Symphony No.8, D.759
Chopin - Nocturne in C Sharp Minor (No. 20)
Rausch - The Spirit Carries On

(2022)

Monday, 14 November 2022

Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup

“Kau, janganlah mencari (adalah kesalahan untuk mengetahui) akhir yang telah diberikan para dewa kepadaku dan kepadamu, Leuconoe, apalagi mempercayai angka-angka dari Babilonia. O sungguh lebih baik menanggung apa pun yang akan terjadi! Apakah Jupiter masih memiliki banyak musim dingin, atau ini yang terakhir; yang membuat gelombang laut Tirenia terus melemah karena memaksa melawan bibir laut. Bijaklah, saring anggurmu; hidup ini singkat; haruskah kita berharap lebih kepada waktu? Sewaktu kita berbicara, waktu yang membuat cemburu telah surut dan pergi: rampaslah hari ini, dan taruh rasa percaya yang sedikit pada esok hari." —Horace, Odes (seri 1; puisi nomor 11) circa 23 SM.

Kira-kira seperti itulah puisi yang ditulis oleh Quintus Horatius Flaccus, atau yang lebih dikenal sebagai Horace—dalam buku Odes—yang terbit pada tahun 23 sebelum masehi. Lantas apa makna implisit dalam puisi yang dikarang oleh penyair Romawi tersebut? Adalah Carpe Diem. Apa itu? Dan yang terpenting, apakah itu penting?

Pendek kata, Carpe Diem adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika ditafsirkan secara kasar bermakna: Petiklah hari ini. Sejatinya, frasa tersebut merupakan bagian dari frasa yang lebih panjang. Versi lengkapnya adalah carpe diem, quam minimum credula postero” yang dapat diterjemahkan sebagai Rebutlah hari ini, berikan sedikit kepercayaan pada esok hari (masa depan).

Secara tersirat, Odes tersebut ingin mengatakan bahwa masa depan tidak dapat diprediksidan kita tidak boleh membiarkan kejadian di masa depan terjadi begitu saja. Kita haruslah memaksimalkan hari iniagar masa depan menjadi jauh lebih baik.

Carpe Diem juga berarti bahwa seseorang harus bertindak sejak hari ini, dan tidak menunggu masa depan. Dengan kata lain, parafrasa ini sama dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sekaligus memberi kita petuah agar jangan menunda-nunda sesuatu.

Hantu-hantu Kecemasan

Kini, pertanyaannya adalah mengapa kita harus menyuarakan kembali frasa usang seperti Carpe Diem itu di masa sekarang?

Karena hidup manusia hari ini ada di zaman gangguan media sosial. Ketika di antara kita memeriksa ponsel lebih dari ratusan kali dalam sehari, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton kehidupan orang lain di layar gawai, ketimbang menghidupi realitas yang ada dan benar-benar nyata.

Ditambah lagi, manusia ada di depan distopia baru bernama hiperealitas (ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi).

Skenario terburuknya, jika boleh meminjam aporisma Nietzsche, manusia modern adalah entitas yang akan menyaksikan bagaimana kedigdayaan AI (kecerdasan buatan) menjadi tuhan-tuhan baru. Konsekuensi paling logisnya, konsepsi manusia terhadap waktu semakin bias. Seperti tidak ada masa kini karena telah dibius oleh masa depan. Manusia semakin kehilangan fokus pada hari ini dan terlalu larut dalam utopia-utopia masa nanti.

Sialnya waktu terus berjalan, zaman terus berlari, dan manusia semakin sulit untuk menghidupi hari. Sebab, manusia dipaksa menghidupi kosakata semacam globalisasi, digitalisasi, revolusi industri, dan isasi-isasi berbau futuristik lainnya. Manusia dininabobokan oleh jargon-jargon masa depan. Sampai-sampai pikirannya terjangkit penyakit-penyakit kecemasan seperti terlalu mencemaskan hari esok. Namun di sisi lain, malah menyia-nyiakan hari inihari yang ada di depan matanya sendiri.

Jika melihat pada data yang ada, angka penderita gangguan kecemasan (anxiety) telah meningkat sebanyak 15% dari tahun 2005. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 264 juta orang menderita gangguan kecemasan.

Belum lagi Pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan. Membentuk kegamangan manusia akan masa depan selangkah lebih nyata. Menjadikan batas antara kehidupan dan kematian semakin dekatyang pada akhirnya memproduksi kenyataan baru bahwa manusia hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kematian.

Data dan hipotesis di atas seakan melahirkan alasan kuatmengapa harus merevitalisasi makna Carpe Diem. Sebab filosofi yang dikandungnya berguna bagi manusia yang acap kali dihantui kecemasan. Di dalamnya akan ditemukan wacana besar bahwa, setiap manusia haruslah menikmati fragmen-fragmen insiden yang sedang berlangsung, meresapi keesoterisan momen ini, dan bukan lebih mengkhawatirkan tentang masa depan. Representasi sederhananya adalah dengan menjalani hari-hari tanpa dihantui ketakutan, dan menyikapi dengan tenang hal-hal yang belum tentu terjadi.

Epikureanisme

Carpe Diem biasanya dimaknai dengan latar belakang Horace yang bertopang pada filsafat epikureanisme. Sehingga pemaknaan Carpe Diem bukan untuk mengabaikan masa depan, tetapi lebih untuk menyadari bahwa masa depan dimulai dari hari ini.

Filosofi ini tentu tercermin dalam puisi-puisi Horace yang telah mewakili filsafat epikureanisme. Epikureanisme singkatnya adalah aliran filsafat yang didasarkan pada ajaran-ajaran Epicurus (Epikuros). Sistem filsafat ini beraliran materialisme yang tentu pada praktiknya sering kali menyerang gagasan-gagasan takhayul, mitos-mitos tertentu, kredo para dewa-dewi, dan intervensi ilahi.

Menurut Mazhab Epikureanisme, cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan mengarahkan kesadaran manusia ke dalam keadaan ataraxia (bebas dari rasa gelisah, takut, atau cemas; tenang). Istilah dan doktrin ini berakar dari Yunani Kuno. Pertama kali digunakan oleh filsuf bernama Pyrronkemudian oleh Epicurus, dan kaum Stoik.

Selain itu, epikureanisme menggambarkan bahwa salah satu keadaan ideal adalah keadaan yang disebut dengan aponia (keadaan yang absen dari rasa sakit). Perpaduan antara aponia dan ataraxia inilah yang dipandang sebagai puncak kebahagiaan.

Pendiri filsafat ini, Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan adalah kebaikan terbesar dan tertinggi. Dan seperti Mazhab Filsafat Helenistik lainnya, kaum Epikurean percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Oleh karena Horace adalah seorang Epikurean. Maka Carpe Diem seakan menjadi kepingan puzzle terakhir yang memungkinkan manusia mencapai keadaan bahagia total ala epikureanisme.

Kesalahpahaman di Baliknya

Sayangnya, filosofi Carpe Diem terkadang disalahpahami. Mungkin karena frasa ini berhubungan langsung dengan epikureanisme sebagai pandang filsafat yang juga sering disamakan dengan gagasan-gagasan hedonisme. Tidak mengherankan, mengingat epikureanisme sekilas mirip dengan hedonisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebahagiaan sebagai kebaikan intrinsik.

Distingsi antara epikureanisme dan hedonisme terletak pada usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Hedonisme mencari kebahagiaan atau kesenangan dengan foya-foya secara materialistik. Ini tentu berbeda dengan epikureanisme yang menekankan pada gagasan hidup sederhana, dan menyebut tidak adanya rasa sakit sebagai kebahagiaan terbesar.

Esensi Carpe Diem juga kadang kala disalahartikan sebagai makan dan minumlah, karena besok kita akan mati. Pemaknaan lebih jauh dari Carpe Diem sebenarnya hanya digunakan untuk membenarkan tindakan spontan serta memanfaatkan hari ini sebaik mungkin, agar manusia tidak mengulangi kebodohan yang sama.

Implementasi Carpe Diem pada kehidupan sehari-hari secara tidak langsung membuat manusia menikmati momen ini, hari ini, jam ini, menit ini, detik ini. Bahwa manusia memang harus menikmati hidup yang dimiliki saat ini. Yang pada akhirnya akan menyadarkan manusia bahwa, kekhawatiran yang berlebih bisa memperburuk keadaan, dan hanya membuat dirinya terkungkung pada stres yang tidak tercegah.

Dan pada akhirnya, Carpe Diem juga berarti membuat keputusan yang berani, agar tidak menyesal di kemudian hari. Tentu agak sedikit berbeda dengan Amorfati versi Nietzsche yang berarti belajar mencintai pilihan yang sudah dibuat. Namun, yang menjadi narasi dan pertanyaan utama adalah berani atau tidak kita, sebagai manusia membuat keputusan tanpa penyesalan? Berani atau tidak hidup tanpa belenggu masa lalu dan tanpa kecemasan akan masa depan?

Terakhir, di tengah cepatnya dunia dewasa ini menghidupkan kembali makna Carpe Diem adalah salah satu pilihan waras yang bisa untuk diambil. Masa lalu adalah masa lalu, masa depan adalah masa depan, dan masa kini adalah apa yang benar-benar penting. Jangan meratapi pada apa yang hilang, fokus pada apa yang seharusnya datang. Hiduplah di saat ini, di momen ini, tanpa terbebani hidup sebelumnya atau selanjutnya.

Wednesday, 9 November 2022

Pengarang Harus Mati untuk Membuat Hidup Pembaca

“Literature is that neuter, that composite, that oblique into which every subject escapes, the trap where all identity is lost, beginning with the very identity of the body that writes.”
—Barthes, La mort de l'auteur (1968)

Pengarang telah mati atau kematian pengarang (the death of author) adalah kapak pascastrukturalis yang memecah lautan beku dalam tubuh-sastra sebelum abad ke-20—meminjam interteks Kafka, novelis gigan abad 20-an. Melalui esainya yang inovatif itu Barthes secara radikal melawan konvensi: analisis teks yang berpusat pada pengarang, pribadinya, hidupnya; dengan kata lain, melawan kritik sastra klasik yang menganalisis karya sastra dalam konteks di luar teks yang ada—hal-hal personal atau aspek biografis pengarangnya.

Pascamodernisme

Selain warta kematian Tuhan à la Nietzsche sang avant-gardist, wacana kematian pengarang Barthes pun berhubungan langsung dengan pascamodernisme yang menggebrak dan mendobrak berhala idée fixe dan kemapanan. Gerakan pascamodern menggugat bangunan konsep-pemikiran di era-era sebelumnya, mencari kemungkinan kebaruan, merelatifkan yang mutlak, dan sering kali menggunakan gaya-mode dari masa lalu di luar konteks aslinya. Seniman pascamodern, misalnya, memiliki kebolehjadian tinggi untuk menyatukan romantisme Goya, naturalisme Schjerfbeck, realisme Manet, impresionisme Monet, fauvisme Matisse, ekspresionisme Kandinsky, kubisme Picasso, dadaisme Duchamp, dan surealisme Magritte—dalam satu kanvas seni kolase digital (yang bisa dipastikan berformat PNG dan akan dijual sebagai NFT dengan harga yang tak pernah masuk akal).

Menyoal sedikit perihal transisi budaya, Modernisme ditandai oleh idealisme dan dogmatisme pada akal dan kemajuan-kemajuan—sedangkan Pascamodernisme menawarkan semacam keskeptisan epistemologis yang menantang gagasan tentang kebenaran universal yang sudah final tersebut. Kembali pada topik utama, setelah mengadaptasi kata ‘dekonstruksi’ dari kata ‘destruksi’ dalam pemikiran Heidegger filsuf dengan berjuta istilah teknis, Derrida sang filsuf pascastrukturalis, berkata: “Il n'y a pas de hors-texte; tak ada apapun di luar teks.”—dan meramaikan diskursus mengenai kematian sang pengarang. Gagasan ini disalahartikan karena semua ide terkandung dalam bahasa dan tak ada seseorang pun yang mampu keluar dari bahasa.

Derrida juga mengatakan bahwa sifat bahasa itu tak stabil dan tak tertata. Konteks yang berbeda dan ketastabilan ini akan melahirkan makna yang berbeda-beda pada satu kata, misalnya, kata “kiri” di kepala seorang politikus dan di kepala seorang sopir angkot memiliki konotasi yang berbeda—yang pertama merujuk pada spektrum politik yang mendukung kesetaraan sosial dan egalitarianisme, yang berlawanan dengan sistem hierarki sosial sayap kanan; yang kedua merujuk pada kata ganti dari “berhenti” yang diucap penumpang angkot sebab ia sudah sampai di tujuannya dan akan turun di situ.

Mengapa Harus Pengarang Mati?

Criticism still consists for the most part in saying that Baudelaire’s work is the failure of Baudelaire the man, Van Gogh’s his madness, Tchaikovsky’s his vice. The explanation of a work is always sought in the man or woman who produced it, as if it were always in the end, through more or less transparent allegory of the fiction, the voice of a single person, the author ‘confiding’ in us.”
—Barthes, La mort de l'auteur (1968)

Pengarang, pada praktiknya, biasanya tak pernah memberi ruang pemaknaan kepada pembaca—pengarang hampir selalu menjadi sosok yang otoriter, yang dominan mengintervensi, bahkan yang menciptakan palu penunggal makna pada teks-teks karangannya. “Pembaca adalah ruang di mana semua penetapan yang membentuk sebuah tulisan ditorehkan tanpa ada yang hilang; kesatuan teks tak terletak pada asal-muasalnya, tetapi pada tujuannya”—tambah Barthes dalam esainya. Dengan demikian, dia seperti lebih menekankan kepada “tujuan” dari teks itu sendiri: sang pembaca.

Lebih lanjut, La mort de l'auteur berpendapat bahwa karya sastra tak boleh dianalisis dengan pisau bedah berupa hal-hal dan data-data personal yang mengarangnya. Lantas mengapa harus demikian? Pemahaman ini berangkat dari perspektif bahwa analisis yang baik adalah analisis yang hanya berpusat pada sesuatu yang dianalisisnya. Dengan demikian, pengarang harus mati untuk membidani kelahiran pembaca—kelahiran makna-makna baru dari setiap pembaca.

Bagaimana Pengarang Mati?

Apa-apa yang dituliskan-dilisankan di luar teks itu sendiri berarti tafsiran atau interpretasi, bahkan jika itu dilakukan langsung oleh pengarangnya. Ketika sebuah teks terpublikasi di media cetak atau media elektronik, misalnya, maka pengarang telah mati dan hidup kembali sebagai pembaca yang membaca tulisannya sendiri. Ketika pengarang mati dan hidup kembali sebagai pembaca yang membaca karangannya sendiri, ini artinya kedudukannya sama seperti para pembaca lain. Setiap pembaca memiliki kebebasan paripurna untuk menafsir sebuah teks tanpa campur tangan pemaknaan pengarangnya—hal di luar teks tersebut.

Dalam teks-teks sastra, kematian pengarang adalah kematian narator yang mahatahu macam Tuhan dan sang pengarang yang haus akan kehadirannya di dalam tubuh sebuah teks. Jika ditarik ke dalam sesuatu yang lebih sakral—satu kitab suci yang bercorak lingua sacra (bahasa liturgis) karangan Tuhan yang dibaca seribu manusia yang berbeda adalah seribu kitab suci yang berbeda—meminjam interteks pembuat-film-intelektual Tarkovsky dalam bukunya Sculpting in Time (1989).

Andaikata Tuhan selesai mengarang kitab suci bagi manusia, maka ia telah mati dan hidup kembali sebagai pembaca. Yang tersisa, pada akhirnya, hanyalah interpretasi, hanyalah tafsiran. Maka adalah kekonyolan yang luar biasa tak perlu apabila seorang pembaca merasa mengetahui seluruh pikiran Tuhan (pengarang) kemudian menyalah-nyalahkan interpretasi pembaca lain yang tak sesuai dengan pembacaannya.

Kematian Pengarang Secara Lebih Luas

Dalam konteks budaya, kematian pengarang adalah penolakan terhadap inaugurasi satu sosok penemu—sebab penemuan tampaknya ada sebagai kemungkinan yang mendahului penemunya, dan penemunya hanya memvalidasi ide-ide yang sudah ada. Ada kecurigaan mendasar yang rasional, bahwa secara umum budaya modern memiliki semacam kecondongan narsistik—cara pandang dan pengambilan sudut pandang para penulis buku-buku sejarah terlalu figur-sentris: secara historis umum ditulis bahwa Benua Amerika ditemukan oleh Colombus—pedahal, 500 tahun sebelum penjelajah Italia itu mendaulat dirinya sendiri sebagai penemu pertama—bangsa Viking sudah sampai di sana. Contoh lain, penemuan listrik, masyarakat umum mengatribusikannya kepada Franklin semata—meskipun kerja-kerja penelitian-penemuan lebih mungkin sebagai kerja kolektif ketimbang perseorangan.

Sastra sebelum La mort de l'auteur, dalam konteks ini, seperti tak memberi ruang bagi pembaca—sebab seluruh ruang sudah dihuni oleh pengarang. Tapi ada pertanyaan yang fundamental dari bahasan ini—“apa itu pengarang?”—pertanyaan yang sama seperti kuliah tentang teori sastra yang diberikan di Société Française de Philosophie pada 22 Februari 1969 oleh filsuf Prancis Foucault. Untuk menjawabnya, nampaknya kita mesti menanamkan persepsi bahwa sebuah teks tak mungkin seratus persen orisinal dan dapat benar-benar diciptakan oleh seseorang. Teks memiliki kemungkinan besar terdiri dari susunan kalimat atau gagasan yang sudah ada sebelumnya dan tak lebih dari repetisi-reproduksi makna.

Pengarang sejatinya tak benar-benar mengarang, melainkan hanya seseorang yang menyusun teks-teks yang sudah ada sebelumnya. Tak ada yang benar-benar baru di zaman pascamodern, segalanya hampir telah ditemukan, semua kata hampir pernah dikalimatkan—meminjam Jenny-nya Stevy dengan sedikit kurasi dan improvisasi. Pada akhirnya, kita lagi-lagi memang harus setuju dengan Nietzsche bahwa: “tak ada fakta, hanya ada interpretasi!”

Referensi:

Barthes, Roland. 1968. La mort de l'auteur. American journal Aspen; 

Derrida, Jacques. 1997. De la grammatologie. Johns Hopkins University Press; 

Aylesworth, Gary, "Postmodernism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/postmodernism/>; 

Kafka, Franz. 1904. Letter to Oskar Pollak;
Tarkovsky, Andrei. 1989. Sculping in Time. University of Texas Press; 

Ford, A.  Classical Criticism. Oxford Research Encyclopedia of Literature. Retrieved 22 Oct. 2022, from https://oxfordre.com/literature/view/10.1093/acrefore/9780190201098.001.0001/acrefore-9780190201098-e-967.

Friday, 4 November 2022

Beberapa Hal yang Bisa Kutuliskan perihal Cinta dalam Sekali Duduk

“... memercayai seorang perempuan, maka kau akan menyesalinya; tak memercayainya, kau juga akan menyesalinya … pada akhirnya, kau akan menyesali keduanya. tuan-tuan, ini adalah esensi dari semua filsafat.”
—Kierkegaard, Either/Or (1843)

beberapa waktu lalu, aku melihat video viral di media sosial tentang seorang lelaki yang akan memberi kejutan untuk pasangannya—singkat cerita, ia datang ke rumah kos pacarnya itu ... alih-alih mengalami momen romantis, ia malah mendapat pengalaman traumatis, sebab mendapati perempuannya tertangkap basah telah tidur dengan lelaki lain. hal pertama yang kulakukan setelah melihat tayangan (yang lebih horor dari film The Wizard of Gore) itu adalah secara spontan melempar ponsel di genggaman. maksudku, what a cruel reality we live in! tak ada satu pun manusia yang pantas merasakan rasa sakit sedemikian gigan itu.

setidaknya ada 5W + 1H (waduh, waduh, waduh, waduh, waduh + hadeuh) yang kuucapkan dalam hati. lima kali ‘waduh’ kuucapkan ketika menonton, satu kali ‘hadeuh’ ketika selesai menontonnya. aku pun terlampau emosi dibuatnya, meski tak sebanyak ketakutan yang kurenungi setelahnya. aku takut jika hal tersebut kualami suatu saat nanti, namun, kupikir ... jika memang itu kualami, maka mungkin saat itu juga aku akan bagaimanapun caranya membeli revolver berkaliber .44 berisi 7 peluru: 1 peluru akan kutembakkan ke dada pacarku, 1 peluru untuk kelamin lelakinya, & 5 peluru untuk kepalaku. terdengar cukup Rimbaud-Verlaine dengan sentuhan Joker yang membaca Schopenhauer, memang.

selain menyakitkan, cinta mungkin pula memusingkan. aku sesekali berpikir bahwa cinta, khususnya kepada pasangan—alih-alih seperti lukisan Mondrian yang rapi, simpel, & simetris—cinta lebih serupa lukisan Pollock yang abstrak, kompleks, & membingungkan, tetapi pada akhirnya tetap saja selalu laku terjual mahal. mungkin karena aku beranggapan bahwa hidup-kehidupan adalah peperangan yang paling sunyi ... berisi rentetan katastrofi yang meremas-remas pikiran-perasaan—& cinta adalah ekspresionisme abstrak pascapeperangan yang “berisik”, yang muncul secara alami sebagai respons dari kelelahan, kehampaan, kengerian, & kecemasan konstan.

seorang yang waras tahu bahwa cinta mengandung bahaya-bahaya tertentu. ia juga memiliki potensi yang begitu tinggi memulai peperangan baru; yang jauh lebih melelahkan dari mengikuti alur novel Dostoevsky setelah melakukan perjalanan paling panjang di akhir tahun yang terasa lambat. tak terhitung berapa banyak kisah cinta yang harus berakhir tragis atau secara sengaja dibuat berakhir tragis agar monumental & kekal: Romeo-Juliet, Layla-Qays, Hamlet-Ophelia, Nietzsche-Lou, Kierkegaard-Regine, Tom-Summer, Joel-Clementine, dlsb. tak terhitung pula berapa banyak ketololan yang memalukan, yang diakibatkan oleh perasaan cinta berlebihan, yang kupikir tak perlu juga aku tekskan secara panjang x lebar x tinggi sebab akan terlalu lucu gobloknya.

kita selalu menipu diri kita sendiri sebanyak dua kali tentang orang yang kita cintai—pertama untuk kelebihan-kelebihannya, lalu untuk kekurangan-kekurangannya, katanya Camus. iya, cinta memungkinkan coklat Ayam Jago terasa seperti coklat Cadbury, es kul-kul terasa seperti es krim Magnum, air mata terasa seperti anggur putih Pinot Noir, hujan terasa seperti saudade tiba-tiba Magellan kepada daratan, red flag terasa seperti bendera USSR di atas Gedung Reichstag, omong kosong terasa seperti janji mesra sebelum koda seorang protagonis di telenovela, jarak terasa seperti tempat persalinan di mana sajak-sajak Gibran, Nizar, Rumi, & Neruda dilahirkan. cinta, diam-diam dengan piawai brengseknya mampu memanipulasi realitas seseorang. Agnes bukan Agnés, bukan Varda, benar sekali lagi, cinta tak ada logika.

akan tetapi, di sisi lain, mungkin pula tak ada seorang pun manusia yang benar-benar memahami cinta—sebab kita hanya mampu merasakannya—& tak ada “kegentingan” untuk memahaminya. tanpa bermaksud untuk mengadvokasi kebahlulan luar biasa akibat cinta, dalam konteks ini, aku setuju dengan Nietzsche seperti kritiknya pada Euripides & Estetika Socrates (yang menjadi induk pengetahuan modern) yang terlalu menuhankan rasionalitas & akal budi. secara implisit dia mengatakan bahwa tak semua hal mesti dipahami ... beberapa hal tertentu, mungkin hanya harus dirasakan-diresapi.

“mula-mula, Descartes berkata: aku berpikir, maka aku ada. lalu Camus bersuara: aku berontak, maka aku ada. setelahnya seorang pembucin kuadrat bersabda dalam keterbucinan: aku bucin, maka aku ada ... & aku ada untuk bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu, sayangku.”

menurut de Beauvoir, hasrat untuk mencintai-dicintai, merupakan bagian dari struktur eksistensi manusia. Sartre, FWB-nya de Beauvoir, berujar bahwa cinta adalah rasa aman—masalahnya, rasa aman ini merupakan ilusi yang menutupi fakta bahwa cinta adalah marabahaya. Chairil menulis, cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. aku mengarang, cinta berada di tengah-tengah antara kotak pandora & kuda troya.

sependek pengalamanku, cinta itu mengasyikkan, tetapi secara simultan mencurigakan & patut dicurigai dengan dosis kecurigaan yang sama seperti menilai cerpen asik-menarik, tetapi berisi plot Deus Ex Machina. iya, cinta itu mengasyikkan, atau tepatnya menyenangkan, sebab bertemu dengan kekasih setelah dihantam kerinduan adalah ekstase yang tak terbahasakan. berciuman, atau khususnya ciuman pertama pun adalah salah satu perasaan ternikmat-terbaik yang bisa dirasakan. cuddling, tentu saja, lebih heavenly lagi. jika Nietzsche adalah seorang hiperseks & tak mati secara jomblo mungkin dia akan berkata: tanpa bercinta, hidup adalah kesalahan. tapi itu cinta jika dilihat hanya sebagai yang baik-baiknya saja.

katanya Fromm di buku The Art of Loving:
cinta adalah pilihan, adalah keputusan, adalah janji. jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada dasar untuk berjanji untuk saling mencintai selamanya. sebuah perasaan datang & mungkin pergi begitu saja. alih-alih “pilihan”, aku lebih setuju cinta sebagai “kompromi”. tapi dusta manalagi yang mau kita nikmati atas nama cinta, sayangku? hari ini aku bisa jadi matahari, besok aku bisa jadi pluto, besok-besoknya lagi kau bisa jadi nebula & aku jadi lubang hitam yang menyedot habis semua kemurungan, dukalara, & kenoiran. tapi, kira-kira, apa yang lebih buruk dari tak pernah dicintai seseorang atau tak pernah merasakan cinta sama sekali? 

mungkin adalah berada dalam hubungan cinta bersama orang yang salah di waktu yang juga salah. katanya Derrida: siapapun yang mulai mencintai, jatuh cinta, atau berhenti mencintai, terjebak di antara siapa mencintai siapa & apa itu cinta. mungkin, cinta adalah buku fiksi berjenis prosa setebal 3000 halaman ... yang ketika dikhatamkan, pembacanya akan selalu kembali pada bab pertama: “apa itu cinta?”.

entahlah ...