Tuesday, 7 March 2023

Eksistensialisme dan Sastra (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Prof. Peter Rickman dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Lebih dari sekadar gerakan filosofis, para eksistensialis mengomunikasikan ide-ide mereka melalui drama, novel, dan cerita pendek. Peter Rickman bertanya: mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra?

Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme yang melestarikan subjek tersebut dan menulis karya-karya substansial tentangnya. Namun ia juga menulis, dan dikenal luas untuk, novel, cerita pendek, dan drama. Ini bukanlah hubungan yang kebetulan, karena seorang manusia bisa saja seorang dokter dan pegolf. Karya sastra Sartre mewakili gagasan-gagasan filosofisnya, dan dengan demikian menjadi dikenal luas serta digemari. Dalam hal ini dia mengintensifkan kecenderungan gerakan yang dikenal sebagai eksistensialisme. Søren Kierkegaard, yang biasanya dianggap sebagai bapak gerakan ini, banyak menggunakan perangkat fiksi. Misalnya, karya filosofis signifikannya yang pertama, Either/Or, menyajikan pandangan yang sangat berbeda dari tiga karakter ciptaannya; yang satu estetikus, yang kedua moralis, dan yang ketiga sensualis. Pandangan-pandangan mereka diungkapkan masing-masing dalam bentuk esai, aforisme, surat, dan catatan harian. Friedrich Nietzsche, jika bukan paman seorang bapak baptis eksistensialisme itu, memproduksi Thus Spoke Zarathustra di mana dia menjalin fiksi puitis di sekitar sosok manusia bijak Persia. Martin Heidegger percaya pada signifikansi filosofis puisi dan mencoba mengarang, meskipun tak terlalu berhasil, beberapa karya puisinya sendiri.

Tentu saja, menghadirkan filsafat dalam bentuk sastra bukanlah yang hal baru. Buku Dialogues-nya Plato adalah mahakarya sastra. Diderot dan Voltaire memberikan dua contoh bagaimana pemikir mengekspresikan diri mereka dalam fiksi. Akan tetapi, sebagian besar teks-teks filosofis, selama berabad-abad, berbentuk esai akademis, risalah rigid, dan ceramah-ceramah kuliah yang dibukukan. Jadi, apa dorongan di balik perubahan segar menuju ekspresi sastra ini dan apa pentingnya?

Jawabannya, penulis ingin berargumen, terkait erat dengan dua kontribusi signifikan yang telah dibuat oleh eksistensialisme terhadap perdebatan-perdebatan filosofis. Gelombang popularitas eksistensialisme telah berakhir. Pada tahun 50-an dan 60-an ada seminar-seminar tentang Heidegger di sebagian besar universitas Jerman dan bahkan di beberapa institusi di Anglo-Saxon. Di Paris, eksistensialisme menjadi semacam mode. Banjir itu telah surut dan gerakan filosofis lainnya seperti Dekonstruksi à la Derrida telah mengemuka. Selain itu, kesuraman visi eksistensialis telah dikritik. Heidegger, menulis setelah kekalahan Jerman—dan Sartre, menulis setelah melihat kekalahan Prancis—keduanya memandang hidup sebagai perjuangan melawan kesulitan dan kesengsaraan akibat dari negara mereka yang kalah perang. Nausea-nya Sartre mungkin saja disebabkan oleh 'perjalanan buruk' dan hidup (meskipun berisi kekhawatiran dan ketakutan tapi) boleh jadi mengandung kegembiraan. 

Akan tetapi, masih ada dua pencapaian filosofis yang bertahan lama. Yang pertama adalah sebagai pengingat, didramatisasi dengan jelas dalam naskah-naskah fiksi, bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan berbagai problemanya—tak sekadar kerewelan akademis tentang hal-hal abstrak yang rumit dan sulit. Penulis katakan pengingat karena ini selalu menjadi perhatian filsafat yang sebenarnya; Marx jelas keliru, mungkin bukan karena ketaktahuan, tetapi melalui keinginannya untuk mengembangkan retorika, ketika dia mengklaim bahwa filsafat sampai saat ini lebih peduli pada bagaimana memahami dunia ketimbang mengubahnya. Seseorang hanya perlu membaca Plato, Aristoteles, Hobbes, Spinoza atau Kant untuk mengamati upaya memahami “keinginan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik”. Memang benar, terdapat beberapa filsuf dan seluruh gerakan filosofisnya, paling tidak di zaman kita, yang memprotes bahwa mereka adalah spesialis yang tak berbahaya, yang mengklarifikasi istilah dan mengurai kesalahan tata bahasa, sehingga mereka dapat dibiarkan dengan damai di menara gading intelektualitas mereka. Melawan ini, para eksistensialis telah memberikan pengingat tepat waktu bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan fitur-fiturnya yang khas.

Kedua, eksistensialisme menekankan pada otentisitas individu. Penulis bukanlah sekadar contoh manusia. Tidaklah cukup untuk mengidentifikasi diri ini sebagai seorang Yahudi atau seorang London. Seperti yang ditekankan Heidegger, kesadaran bahwa manusia pasti mati dan bukan hanya kesadaran bahwa seseorang pasti mati, pada akhirnya, akan membawa pulang berbagai identitas unik yang tak tergantikan. Dari sini satu prinsip formal dimiliki oleh semua eksistensialis: seruan pada keotentikan.

Di sinilah alasan kuat untuk beralih dari generalisasi filosofis ke instansiasi sastra. Dalam fiksi dan drama kita dikenalkan dengan sosok-sosok individu yang mengilustrasikan secara detail dan konkret bagaimana rasanya menjadi manusia. Tragedi Yunani seperti Antigone yang dikarang Sophocles, atau lakon-lakon Sartre, tak hanya mengilustrasikan sebuah tema, tegangan konflik antara hati nurani dan ketaatan pada hukum, misalnya, tetapi menghadirkan kepada kita tokoh-tokoh fiksi yang menunjukkan bagaimana orang-orang tertentu—dalam situasi tertentu— merespons sesuatu.

Begitu kita menekankan relevansi filsafat dengan kehidupan manusia, pertanyaan tentang pilihan moral menjadi begitu penting. Fokus ini memberikan alasan lebih lanjut tentang kecenderungan eksistensialisme untuk ekspresi sastra. Karena eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral umum yang jelas, ia didorong dari teori ke arah analisis pilihan pribadi setiap individu. Ini memberikan tantangan yang menarik bagi filsafat moral tradisional, yang memang paling efektif diungkapkan dalam bentuk sastra.

Alasan mengapa eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral dan politik yang koheren adalah penekanannya pada pilihan-pilihan autentik setiap individu. Inilah sebabnya mengapa para eksistensialis, secara individu—dalam keyakinan agama, politik, dan moral mereka—sangat berbeda satu sama lainnya. Kierkegaard adalah seorang Kristen yang taat, Sartre seorang ateis, Heidegger mendukung Nazi dan bahkan tetap setengah hati mengutuk Holocaust, sementara Sartre mendukung komunisme. Mereka semua bersatu dalam kebajikan formal sebuah otentisitas personal, yaitu keotentikan pilihan-pilihan pribadi. Kita selalu dihadapkan pada alternatif-alternatif yang dapat dan mesti kita pilih. Kita dalam ungkapan Sartre “dikutuk untuk bebas”, tetapi derita mendalam muncul, karena tak adanya pedoman objektif.

Penulis mengesampingkan, sebagai subjek yang terlalu luas untuk sebuah artikel, pertanyaan apakah eksistensialisme dijustifikasi dalam membuang standar moral objektif seperti yang telah disediakan oleh Aristoteles, Kant, atau Mill. Namun, kita harus mengakui bahwa semua filsafat moral dibatasi setidaknya dalam dua cara. Salah satunya adalah bahwa dasar dari filsafat moral itu sendiri bertumpu pada asumsi yang terbuka untuk dianalisis secara kritis.

Filsafat moral Aristoteles adalah tentang mencapai kehidupan yang baik, eudaimonia, tak cukup diterjemahkan sebagai kebahagiaan karena melibatkan perkembangan atau pemenuhan diri. Kita semua akrab, bahkan dalam hal-hal sepele, dengan peningkatan yang kita dapatkan dari melakukan hal dengan baik, misalnya berhasil melatih bakat kita. Namun, untuk menyimpulkan pedoman moral apa pun dari ini, kita harus memutuskan apa yang penting bagi manusia, apa yang perlu dipenuhi oleh diri kita, atau mengapa lebih penting mengembangkan bakat untuk berfilsafat ketimbang menggoyangkan telinga? Aristoteles menanggapi pertanyaan ini dengan mendefinisikan manusia sebagai 'binatang rasional' yang pemenuhannya terdiri dari melatih akal dan mengendalikan serta menyeimbangkan secara rasional berbagai hasratnya, (yakni, menemukan cara yang tepat di antara ekses yang saling berlawanan). Tapi dapatkah kita menerima begitu saja rasionalitas manusia sebagai ciri utamanya?

Sangat masuk akal untuk ditekankan, seperti halnya kaum utilitarian, pentingnya memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Tapi ini jelas setengah benar, bagi petinju dan pendaki gunung yang mirip seperti ilmuwan, yang berdedikasi mengekspos diri mereka sendiri, secara sukarela, pada rasa sakit. Ada juga masalah dari mengukur kesenanganku dengan rasa sakitmu, atau kesenangan jangka pendek dengan rasa sakit jangka panjang.

Pendekatan lain diambil oleh para pemikir seperti Hegel atau Marx yang percaya bahwa kita dapat menemukan gerak sejarah sebagai upaya penyingkapan nalar, kemajuan kebebasan atau gerak menuju masyarakat yang adil tanpa kelas-kelas sosial. Kita kemudian dapat bertindak selaras dengan tren seperti itu. Masalahnya adalah kita menjadi ragu apakah ada tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat dilihat dalam sejarah. Terakhir, yang tak kalah penting, dalam tulisan ini perlu diangkat pula filsafat moral-nya Kant, bahwa, menurutnya, alasan-alasan praktis melahirkan kewajiban ketika berbicara kepada kita sebagai suara bawaan dari hati nurani. Hukum moral, yang diartikulasikan dalam formulasi berbeda dari Imperatif Kategoris, bagaimanapun, sangat formal, menuntut konsistensi, ketakberpihakan, dan penghormatan terhadap tujuan orang lain. Alih-alih memunculkan prinsip, ia bertindak sebagai kriteria untuk mereka. Sangat mirip dengan aturan logika, yang tak memberi tahu kita apa yang harus ditulis, tetapi hanya tentang bagaimana menghindari penulisan yang tak masuk akal. Jelas acuan singkat ini tak dapat berlaku adil untuk pendekatan yang berbeda terhadap filsafat moral. Acuan ini hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa filsafat-filsafat moral semacam itu tak dapat memberi kita panduan langsung karena sudah bertumpu pada praduga dan terlalu formal.

Alasan lebih lanjut mengapa teori-teori moral umum seperti itu tak dapat secara langsung memandu kita adalah karena banyaknya konflik-konflik tragis. Teori yang berbeda mungkin setuju bahwa berbohong itu salah atau bahwa kekejaman secara moral tak dapat diterima. Tapi bagaimana jika jujur ​​pun tak baik? Kita mungkin setuju bahwa keadilan maupun perdamaian itu berharga, tetapi kita mungkin menemukan bahwa kita harus berjuang hanya demi menegakkan keadilan.

Merupakan hutang budi bagi para eksistensialis untuk berfokus pada implikasi dari batasan teori-teori moral dengan menekankan pilihan-pilihan pribadi yang tak terhindarkan. Bahkan jika kita mengesampingkan keraguan tentang kemungkinan hukum moral objektif yang berasal dari tuhan, alam atau akal, mereka tak membawa kita sepenuhnya ke keputusan. Kau mungkin, misalnya, menjadi seorang Kristen religius yang menerima setiap perintah Alkitab, namun memilih pasifisme atau percaya pada perang yang adil menurut interpretasimu sendiri. Dengan kata lain, kau tak dapat memprogram komputer dengan prinsip-prinsip moralmu, memasukkan detail-detail kasus tertentu, menekan tombol dan menerima keputusan tentang apa yang harus kau lakukan. Itu terletak pada sifat dasar dari pilihan-pilihan moral yang tak dapat direduksi menjadi personal. Tak ada yang bisa mengangkat beban ini dari pundakmu.

Pengingat bahwa kita tak dapat mengalihkan tanggung jawab kita, tak dapat berlindung di balik teori umum, cukup penting memang, tetapi secara esensial negatif. Bisakah eksistensialis menawarkan semacam panduan positif, yang kita cari dari filsafat? Kita dapat dengan mudah setuju dengan seruan eksistensialisme pada keotentikan dan realisasi diri, tetapi apakah ini lebih membantu daripada seruan pada konsistensi? Di sini kita telah sampai pada alasan lain mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra. Beberapa orang mungkin keberatan dengan argumen penulis sejauh ini bahwa para filsuf masa lalu memegang pandangan moral tertentu yang mereka tawarkan sebagai pedoman. Aristoteles memuji apa yang kita sebut “kebajikan yang lembut”, Kant sangat percaya pada hukuman mati, Mill sangat mendukung kebebasan. Namun, dalam pandangan penulis, kesimpulan semacam itu tak sepenuhnya secara ketat menaungi filsafat mereka, tetapi diwarnai oleh faktor latar belakang budaya dan kepribadian mereka. Tugas filsuf bukanlah sebagai pembimbing moral dan kita tak akan menerimanya filsuf semacam itu, meskipun kita dapat menghormati pandangan moralnya sebagaimana kita menghormati orang yang memegangnya. Apa yang dapat dilakukan filsafat adalah menyediakan kerangka kerja untuk berpikir tentang persoalan-persoalan yang harus kita putuskan. Ini adalah nilai dari teori-teori seperti 'rata-rata', imperatif kategoris atau kalkulus kebahagiaan.

Sebuah “bagaimana” lebih lanjut telah dipetakan oleh Kierkegaard dan tetap paradigmatik untuk pendekatan eksistensialis. Selain menawarkan kriteria dan kerangka kerja formal untuk merefleksikan hidup, kita dapat mengangan-angankan model-model individual, atau jenis-jenis kehidupan, dan eksplorasi imajinatif dari implikasinya. Dengan demikian, seorang individu dibantu secara konkret untuk memutuskan, dengan lebih banyak wawasan, menjadi manusia seperti apa yang dia inginkan. Karya sastra yang magnum opus, selalu melakukan hal semacam itu. Dalam eksistensialisme hal tersebut menjadi instrumen tentang usaha-usaha filosofis yang dipilih dan dilakukan secara sadar.

*****

Sumber Literatur

Existentialism & Literature | Issue 32 | Philosophy Now: https://philosophynow.org/issues/32/Existentialism_and_Literature

Thursday, 16 February 2023

Amor Fati: Nietzsche dan Stoikisme

L'éternel Retour by Raymond Douillet

“Formulaku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah Amor Fati: bahwa seseorang tak ingin sesuatu yang berbeda, tak masa depan, tak masa lalu, tak pula semua kekekalan. Tak hanya menanggung apa pun yang diperlukan—tetapi mencintai semua itu.”

—Nietzsche, Ecce Homo (1992)

Begitulah, sabda si Dinamit-Nietzsche di buku otobiografinya, Ecce Homo—sebelum jatuh ke dalam penyakit kejiwaan pada bulan Januari 1889 dan kemudian, tak berselang lama dari itu—meninggal pada 25 Agustus 1900 karena pneumonia (infeksi/radang paru-paru). Meski dikarang pada tahun 1888, namun terbitan pertama buku tersebut mengudara pada 1908—sekitar 20 tahun setelah bukunya selesai ditulis, atau 8 tahun pasca Nietzsche wafat.

Lantas apa yang Nietzsche sebut sebagai formula bernama “Amor Fati” itu? Apakah itu semacam mantra ajaib penolak bala?

Pendek kata, Amor Fati adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika diterjemahkan secara kasar berarti: “Mencintai Takdir”. Amor Fati mempunyai bentuk yang lebih lengkap, puitis, dan monumental: yakni, 'Fatum Brutum Amor Fati'; yang kira-kira jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti: “Mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal”. Mengutip dari merriam-webster.com, Amor Fati (amor fa·ti; ˈä-ˌmȯr-ˈfä-tē) bermakna: mencintai takdir; menyambut semua pengalaman hidup dengan baik. Jika mengutip dari urbandictionary.com, Amor Fati memiliki makna: menggambarkan suatu sikap yang melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup seseorang; cara bersikap pada segala sesuatu.

Dengan kata lain, Amor Fati adalah suatu sikap penerimaan yang tegas dan antusias atas segala sesuatu—berpuncak pada kemampuan memaknai past/present/future dalam tenses hidup kita—agar kita mampu menjalani hidup dengan energik, tanpa kecemasan, dan mampu vis a vis menatap mata kematian tanpa satu pun penyesalan.

Secara literal, frasa Amor Fati justru bukan ingin menolak bala, tetapi mengajak kita untuk menerimanya secara brutal. Maka tak heran, frasa ini keluar dari mulut Nietzsche, sebab ia pernah mengungkapkan bahwa “inti dari realitas adalah kekacauan, adalah kaotis”—sehingga hal paling waras dan logis yang dapat kita lakukan, pertama-tama, adalah menerima kehidupan lengkap dengan seluruh keruwetan problemanya, kebudugan dunianya, dan tentu takdirnya yang sering luar biasa kejamnya.

Sejatinya, frasa Amor Fati telah hadir jauh sebelum Ecce Homo, misalnya dalam Die fröhliche Wissenschaft (La Gaya Scienza/The Gay Science/The Joyful Wisdom/The Joyous Science), Nietzsche menulis:

“Aku ingin belajar lebih banyak lagi untuk melihat keindahan macam apa yang diperlukan dalam segala sesuatu; maka aku akan menjadi salah satu dari mereka yang membuat segala sesuatu menjadi indah. Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya! Aku tak ingin melancarkan perang melawan apa yang jelek. Aku tak ingin menuduh; aku bahkan tak ingin menuduh mereka yang menuduh. Memalingkan muka akan menjadi satu-satunya bentuk negasiku. Dan semua dalam semua dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku hanya ingin menjadi seseorang yang mengatakan ‘Ya’ pada kehidupan.”

—Nietzsche, The Joyous Science (2018)

Selain itu, Amor Fati juga tercatat dalam Der Fall Wagner (termasuk dalam “Nietzsche Contra Wagner”, sebuah esai kritik Nietzsche terkait pemikirannya tentang komposer Richard Wagner):

“Amor fati: adalah inti dari keberadaanku ... Hanya penderitaan besar; penderitaan besar itu, di mana kita tampaknya berada di atas api kayu hijau, penderitaan yang memakan waktu—memaksa kita, para filsuf, untuk turun ke kedalaman terdalam kita, dan melepaskan semua kepercayaan, semua sifat baik, semua pengurangan, semua kelembutan, semua mediokritas—hal-hal yang sebelumnya kita pertaruhkan di atas kemanusiaan kita.”

—Nietzsche, Nietzsche Contra Wagner (2021)

 

Amor Fati dan Stoikisme

Berbicara perihal ‘Amor Fati’, tak komprehensif bila tanpa membahas Stoikisme—sebab Nietzsche, secara filosofis, sedikit banyak terpengaruh oleh para Stoik. Stoikisme, singkatnya, adalah sebuah aliran filsafat Yunani Kuno, dan merupakan salah satu dari tiga mazhab filsafat besar pada periode Helenistik—satu era dengan Epikureanisme dan Pyrrhonisme—yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.

Dalam beberapa literatur tentang Zeno kita dapat menemukan pemikirannya yang berwarna Amor Fati:

“Takdir adalah rantai sebab-akibat yang tak ada habisnya, di mana segala sesuatunya ada; alasan atau formula di mana dunia berjalan.”

—Zeno dari Citium

Dalam karya-karya Marcus Aurelius, salah satu figur Stoik paling terkenal pun demikian, misalnya pada Ta eis heauton (Meditations):

“Dia hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya, dan terus-menerus mempertimbangkan apa yang dunia siapkan untuknya—melakukan yang terbaik, dan percaya bahwa semuanya adalah yang terbaik. Sebab kita membawa takdir kita bersama kita—dan takdir itu mengantarkan kita.”

 —Aurelius, Meditations (2006)

Figur intelektual Stoik pun tak luput menyatakan pandangannya yang bernuansa Amor Fati—baik secara tindakannya yang menerima hukuman bunuh diri yang dijatuhkan kepadanya maupun dalam karya-karya awalnya seperti Ad Lucilium Epistulae Morales (Letters from a Stoic):

“Kebahagiaan sejati adalah memahami kewajiban kita kepada Tuhan dan manusia; untuk menikmati saat ini, tanpa ketergantungan pada kecemasan akan masa depan; bukan untuk menghibur diri kita sendiri dengan harapan atau ketakutan, tetapi untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki, yang sangat cukup ini.”

—Seneca, Letters from a Stoic (2004)

Filsuf Stoik lain, Epictetus, pun mencetuskan ungkapan yang kurang lebih seperti Amor Fati dalam bahasa dan terma Stoikisme—dia menulis:

“Jangan menuntut hal-hal terjadi seperti yang kau inginkan, tetapi berharaplah hal itu terjadi sebagaimana adanya, dan kau akan berjalan dengan baik.”
—Epictetus, The Discourses of Epictetus: The Handbook (1995)

Dengan demikian, besar kemungkinan Amor Fati adalah pola pikir Stoik untuk memanfaatkan masa kini dan secara total melakukan yang terbaik terlepas dari apa pun hasilnya dan apa pun yang terjadi: misalnya, perihal bagaimana memperlakukan setiap momen—tak peduli seberapa sulitnya—sebagai sesuatu yang harus dihadapi dengan berani, bukan dinegasikan atau dihindari.

 

Mengapa Amor Fati?

Kini, yang menjadi pertanyaan mungkin adalah mengapa kita harus bersusah payah menggali makna dari frasa Latin di kuburan-pemikiran Nietzsche—yang bahkan sudah berumur lebih dari 134 tahun itu (dan kuburan-pemikiran para Stoik yang jauh lebih purba)—untuk kemudian menghayati atau bahkan mengaplikasikannya dalam hidup kita?

Satu yang jelas, gagasan-gagasan ketuhanan, ritus-ritus keagamaan, dan ide-ide seseorang tak akan pernah pernah mati—selama itu tetap relevan dengan kondisi zaman. Tubuh dapat membusuk dan melebur dengan tanah, tetapi apa yang telah dia formulasikan—gaungnya masih mungkin terdengar lantang sampai sekarang dan sampai masa-masa yang akan datang. Secanggih apapun peradaban umat manusia, pada hakikatnya, tetap saja ada hal-hal yang tak dapat manusia seluruhnya dan seutuhnya kendalikan. Manusia boleh berbangga, manakala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil membawa seekor anjing bernama Laika pergi ke luar angkasa, mendaratkan Armstrong dan Aldrin di bulan, robot-robot canggih ciptaan manusia sudah hilir-mudik di wajah planet lain, rencana futuristik untuk Kolonisasi Mars 2030, dan seterusnya dan seterusnya.

Akan tetapi, jauh di lubuk hati, pada gilirannya, kita mungkin menyadari sesuatu bahwa masih banyak hal-hal yang tak mampu kita kendalikan. Katakanlah waktu—sampai tulisan ini selesai dibuat—belum ada teknologi sesinting-secanggih mesin waktu yang memungkinkan penggunanya melakukan perjalanan waktu, yang dapat dikendalikan dengan sesuka pikiran-perasaan penggunanya. Yang menjadi masalah adalah, manusia itu budak sang waktu, seperti yang telah dipuisikan oleh Baudelaire, penyair besar Prancis itu dalam Enivrez-vous: “Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.” Hampir setiap orang di muka bumi ini, rasa-rasanya, memiliki semacam tendensi tinggi untuk mengubah masa lalunya, atau pergi melihat masa depannya.

Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Nietzsche, Amor Fati, dan Stoikisme?

Amor Fati adalah kredo untuk menerima, merangkul, dan mencintai segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, belum terjadi, mungkin terjadi, tak mungkin terjadi, atau tak akan terjadi—di dimensi ketiga (kenyataan) yang dipenuhi berbagai kemungkinan-kemungkinan acak dan ensiklopedis. Secara lebih luas, mengafirmasi dengan tegas dan askenden hal-hal yang tak dapat kita kendalikan, sekaligus mencintai perubahan-perubahan yang tak terelakkan. Semacam upaya untuk menjustifikasi sekaligus menjawab aforisme ‘Phanta Rei’ à la Heraclitus, seorang filsuf pra-socrates, yang menekankan bahwa satu yang pasti dalam kehidupan adalah perubahan konstan. Secara implisit, kredo ini seperti mengisyaratkan bahwa sifat alam semesta adalah selalu berubah. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Dengan demikian, tanpa perubahan—kita tak akan ada, kesadaran baru tak akan ada, daya-daya tafsir baru tak akan ada, kita tak akan tertawa ketika mengingat tragedi, tak akan belajar mencintai keberadaan dari ketakberadaan, dan tak akan mencipta sesuatu. Tanpa perubahan, kita tak akan pernah mengalami asam-garam itu semua.

Apakah perubahan itu baik, buruk, menyenangkan, menyiksa, menggairahkan, atau merugikan—itu persoalan lain. Miliaran tahun, umat manusia mengalami evolusi, perubahan, transformasi, mutasi—perkembangan yang eksponensial telah membawa kemungkinan ke tempat kita berada sekarang. Penulis tak akan dapat menulis hal-ihwal Amor Fati—jika bukan karena setiap peristiwa yang telah terjadi jauh sebelum saat ini: misalnya, karena seekor ikan purbakala yang mulai bosan hidup di dalam air, berpikir untuk naik ke daratan dan menjadi primata—lalu berevolusi sedemikian rupa, kemudian menjadi cikal bakal Homo Sapiens; atau dengan pendekatan agama samawi yang ditopang literatur-literatur abrahamik, karena sepasang manusia bernama Adam dan Hawa memakan buah terlarang, kemudian ditendang dari surga—lantas melahirkan seluruh keturunan manusia di muka bumi ini. Dengan membayangkan seperti itu, mungkin kita bisa mulai belajar untuk mencintai takdir dengan paripurna.

Nietzsche pun mengadvokasi ini: bahwa kita tak boleh lari dari takdir apalagi bersembunyi dari takdir. Kita harus menerimanya. Akan tetapi, lebih dari sekadar penerimaan biasa, lebih-lebih, kita harus mencintai takdir kita dan menerimanya secara utuh apa adanya. Kita perlu menerimanya, memanfaatkannya, dan menggunakannya untuk membuat sesuatu yang produktif—sesuatu yang bernilai seni, kreatif, dan filsafati. Meratapi dengan sesal hal-hal yang telah terjadi, hanyalah memperpanjang nafas penderitaan yang tak perlu—hanyalah membuang-buang waktu.

Ketika kita menerima apa yang terjadi pada kita, setelah memahami bahwa hal-hal tertentu—khususnya hal-hal buruk dan menyebalkan—berada di luar kendali kita (baca: Dikotomi Kendali-nya Stoikisme) kita hanya akan di hadapkan dengan ini: mencintai apa pun yang akan terjadi pada kita, menghadapinya dengan keceriaan di rongga dada, dan dengan energi besar serta meletup-letup, kita akan terus bersemi, lagi dan lagi. Meskipun dunia memberi winter-yang-menyakitkan, namun selalu ada summer-yang-tak-terkalahkan di dalam diri kita, meminjam interteks Camus, seorang eksistensialis yang lebih nyaman disebut absurdis. Selain itu, bahwa dibutuhkan api yang begitu panas untuk membentuk emas. Terbentur, terbentur, melebur—jika meminjam ungkapan Tan yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks ini. Poinnya adalah bahwa selain pilihan, ada kebolehjadian tinggi bahwa hidup juga merupakan kompromi.

“Dari sekolah perang dalam kehidupan—apa yang tak membunuhku, membuatku jauh lebih kuat.” tulis Nietzsche dengan berani tanpa kecondongan masokis. Bukan untuk mencari pembenaran atas trauma dan luka masa lalu, tetapi lebih menawarkan semacam antidot-fakta bahwa tak ada kekuatan tanpa penderitaan. Bahwa kebijaksanaan harganya adalah pedihnya belajar dan istiqomah tingkat tinggi untuk bangkit dari kebahlulan.

Pada akhirnya, Amor Fati, adalah perihal bagaimana mengelola energi, emosi, waktu, dan tenaga kita dengan bijak. Terakhir, takdir mungkin memang piawai bangsatnya hadir seperti bajingan paling asu, tetapi hanya hidup singkat ini yang kita punya. Kita tak dapat mengontrol apa-apa yang di luar batas-batas kebebasan-kekuasaan kita, tetapi kita selalu dapat mengontrol apa yang bisa kita persepsikan dan mengelola serta mengkalkulasi tindakan macam apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah setiap negatif menjadi positif. Sebab, ketimbang kalimat pasif, manusia adalah kalimat aktif—yang dengan segala intelektualitasnya semestinya mampu menjadi ‘aktor’ bukan ‘spektator’ bagi kehidupannya sendiri. Terdengar cukup eksistensialis, memang.

Que Será, Será; apapun yang akan terjadi, terjadilah. Jalani, nikmati, Amor Fati!

 

Referensi:

Nietzsche, Friedrich, 1992, Ecce Homo, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2018, The Joyous Science, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2021, Nietzsche Contra Wagner, California: Stanford University Press.

Heraclitus, 2003, Fragments, London: Penguin Classics.

Aurelius, Marcus, 2006, Meditations, London: Penguin Books.

Seneca, 2004, Letters from a Stoic, London: Penguin Books.

Epictetus, 1995, The Discourses of Epictetus: The Handbook, Fragments, London: Everyman Paperback.

Tom Stern, VIII—Nietzsche, Amor Fati and The Gay Science, Proceedings of the Aristotelian Society, Volume 113, Issue 2_pt_2, 1 July 2013, Pages 145–162, https://doi.org/10.1111/j.1467-9264.2013.00349.x

Panaïoti, A. (2012). Amor fati and the affirmation of suffering. In Nietzsche and Buddhist Philosophy (pp. 91-131). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781139382144.007

Thiele, Leslie Paul. "TEN. Amor Fati and the Eternal Recurrence". Friedrich Nietzsche and the Politics of the Soul: A Study of Heroic Individualism, Princeton: Princeton University Press, 2020, pp. 197-206. https://doi.org/10.1515/9780691222073-014

Brodsky, Garry M. (1998). Nietzsche's notion of Amor fati. Continental Philosophy Review 31 (1):35-57.

Sunday, 12 February 2023

Milan Kundera dan Eksistensialisme (Esai Translasi)


Sastra yang mengkaji sifat-sifat eksistensi

Menurut Kundera, novel-novelnya lebih mencurahkan perhatian pada studi tentang eksistensi ketimbang studi tentang realitas. Catatan bahwa novel-novel Kundera tak selalu diringkas sebagai eksistensialisme. Meskipun demikian, ide-ide eksistensialis yang digambarkan dalam novel-novelnya dapat dimasukkan ke dalam tradisi besar eksistensialisme. Menurut Kundera, eksistensi tak berkaitan dengan apa yang telah terjadi; tetapi mengacu pada apa-apa yang mungkin bagi manusia, dan pada semua kemampuan mengada, serta pada semua yang dia bisa. Dengan meneliti tokoh-tokohnya secara dekat, menjadi jelas bahwa mereka merupakan representasi diri-eksperimental yang merepresentasikan pengalaman mengada. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh fiksi Kundera dan realitas mereka memiliki titik referensi eksistensialis yang mengungkapkan bagaimana mereka dan anggapan mereka tentang eksistensi saling berhubungan dan sangat bergantung satu sama lainnya.

Dalam novelnya, The Unbearable Lightness of Being, gagasan-gagasan tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Seorang tokoh hadir dari situasi dasar atau beberapa kata. Dalam fiksi, pengarang diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri… Dengan demikian, imajinasi novel mampu memperluas probabilitas-probabilitas realitas yang rentangnya sampai pada keberadaan realitas. Dalam realitas, semua yang kita miliki diberikan saat kita dilahirkan (hlm. 65).

Menanggapi eksistensialisme

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana Kundera menanggapi para pionir eksistensialisme dalam tulisan-tulisannya. The Unbearable Lightness of Being menukil gagasan Nietzsche: “eternal recurrence/eternal return/perulangan abadi”. Gagasan ini mewartakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan perulangan dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebagai tambahan, ini adalah perulangan dari perulangan itu (hlm. 76). Dalam Nietzsche, gagasan perulangan abadi adalah hal yang positif. Namun, Kundera percaya itu absurd karena hidup hanya sekali, dan kehidupan tak dapat diulangi, sehingga tak mungkin bagi seseorang untuk secara substansial memperbaiki dirinya sendiri. Kundera membuat referensi dalam buku yang sama dengan pepatah Jerman yang berarti bahwa “melakukan sesuatu sekali sama dengan tak pernah melakukannya” (hlm. 142). Novelis eksistensialis itu bertanya-tanya apakah kehidupan manusia memiliki makna karena hidup itu sementara dan teruslah berubah-rubah. Ungkapan indeterministik Beethoven berulang kali dikutip dalam novel: Must that be so? (hlm. 189). Keadaan manusia tak ditentukan oleh kebetulan yang tak mereka sesali: mereka dapat memilih takdir yang mereka inginkan. “To be or not to be”-nya Hamlet pun memperoleh pemaknaan metafisik dengan menekankan pemberontakannya terhadap hidup yang sekali melalui “kemungkinan” yang dimilikinya.

Seperti yang disiratkan Kundera dalam tulisan-tulisanya—hidup manusia memang hanya sekali, tetapi keputusan yang kita buat pada titik waktu yang berbeda-beda mengandung berbagai pilihan yang bercabang-cabang. Jika tak ada kemungkinan, hidup menjadi mekanis, dan otonominya berkurang. Selalu ada kemungkinan, yang mengungkap kompleksitas keadaan eksistensi manusia. Meskipun demikian, dimensi kemungkinan ini akan selalu menjadi kekuatan “tak-berwujud”; yang tak dapat direalisasikan. Kundera mengungkapkan konflik antara probabilitas dan realitas melalui tokoh Tomáš, yang secara acak mengingat argumen terkenal Plato tentang jenis kelamin manusia dalam buku Dialogues-nya: manusia pada mulanya hermafrodit (berkelamin ganda) dan, karena Zeus membelah umat manusia menjadi dua (perempuan dan lelaki), setiap bagian itu mengembarai dunia demi mencari pasangannya (hlm. 623). 

Oleh karenanya, cinta adalah impuls untuk mencari belahan jiwa yang telah lama hilang. Cinta sejati akan selalu ada sebagai kemungkinan yang ideal, tak pernah menjadi kenyataan—sebab kita tak dapat betul-betul memastikan apakah seseorang yang kita pacari adalah benar-benar belahan jiwa kita atau bukan, misalnya. Konsekuensi logisnya, orang-orang idealis vis-à-vis langsung dengan kepusingan yang diakibatkan oleh ketakmampuan mereka untuk secara komprehensif dan valid menilai: apakah calon pasangan hidup mereka adalah seseorang yang harus mereka jadikan sebagai “komitmen” atau tidak.

Dari perspektif lain, dalam konteks sebuah narasi profan-duniawi, tak ada yang bisa kembali setelah mengalami musibah, begitu pula kematian. Dalam pengertian ini, das Sein zum Tode-nya Heidegger sangat diperlukan untuk memahami eksistensi manusia, karena seseorang hanya dapat membayangkan kematian sebagai kemungkinan final yang terakhir; hanya dengan begitu seseorang dapat menghargai kehidupan. Itu menjadikan kematian sebagai dasar dari semua kepastian dan makna dalam hidup: masa depan manusia terletak pada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipahami, tetapi terus-menerus digantikan oleh kematian, yang terbesar dari segala kemungkinan-kemungkinan (hlm. 65).

Dalam sensibilitas ini, begitu seseorang mengatasi kematian dan memiliki cukup waktu untuk menjelajahi semua kemungkinan, kehendak untuk hidup menjadi tak dapat diatasi—dengan kata lain, kehendak untuk mati menjadi tinggi. Seorang penulis feminis-eksistensialis, Simone de Beauvoir, menghadirkan konsep kematian ini dalam novelnya, All Men Are Mortal (1946), di mana protagonisnya hidup abadi—mengalami semua hal di dunia sebagai hasil dari kekekalannya, tetapi yang dia inginkan hanyalah mati secepatnya—dia tak lagi memiliki kemampuan untuk mempertahankan kehidupan, akibat dari tak adanya kemungkinan-kemungkinan.

Pilihan-pilihan bebas adalah beban berat yang tak terbatas

Bagian argumen ini akan membahas Jean-Paul Sartre dan beberapa pernyataannya yang terkenal tentang eksistensi manusia.

Pernyataan Sartre tentang eksistensi membentuk dasar dari argumen ini: “eksistensi bukanlah apa-apa.” Dia percaya bahwa benda-benda seperti cangkir kopi adalah jenis keberadaan yang “ada-dalam-dirinya sendiri”, sedangkan manusia adalah “ada-bagi-dirinya”. Atau, dengan kata lain, keberadaan manusia berasal dari ketiadaan/nihilnya esensi. Selain itu, dia menguraikan bahwa “eksistensi mendahului esensi”—yang menunjukkan bahwa dengan eksistensi, seseorang dapat mengerahkan inisiatif subyektifnya untuk menciptakan dan mengembangkan esensi-nya sendiri. Manusia pada dasarnya bebas, menurut Sartre—dan, karena tak ada esensi abadi yang mengikatnya dalam kebebasan itu, manusia memiliki kebebasan total untuk membuat pilihan dan harus menentukan hidupnya untuk menghadapi keadaan kebebasannya yang mutlak.

Sartre mengilustrasikan masalah pilihan menggunakan kasus Eichmann, seorang perwira Nazi. Demi membela tindakannya, Eichmann menegaskan bahwa: “Saya seorang prajurit; saya mengikuti perintah, dan saya tak punya pilihan.” Untuk membantah pernyataan ini, Sartre menegaskan bahwa Hanya karena kau tak memiliki daya upaya atau keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan—itu tak berarti kau tak memiliki pilihan sama sekali (hlm. 78). Eskapisme, menipu-diri, dan penolakan terhadap keadaan harus dihentikan dengan segala cara.

Sartre berpendapat bahwa kebebasan memilih adalah hal yang sulit. Oleh karena itu penting untuk menentukan standar pengambilan keputusan dan menetapkannya secara mandiri. Terlepas dari hasrat semua orang pada landasan yang kokoh dan andal untuk mendasarkan keputusan mereka, Sartre menegaskan bahwa kita membuat semua keputusan berdasarkan standar yang ditentukan oleh diri kita sendiri. Pilihan pasti memiliki konsekuensi, bagaimanapun, katanya “tak ada seorang pun yang dapat mengemban kewajiban ini”: setelah memilih, seseorang bertanggung jawab penuh atas konsekuensinya.

Di sini, pengaruh Nietzsche terbukti nyata adanya. Nietzsche bukan seorang realis-moral—dia tak percaya bahwa moralitas dan nilai-nilai dapat diukur melalui standar yang objektif.  Manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri. Sartre juga percaya pada subjektivitas nilai.

Tujuan diskusi ini adalah untuk mencari penjelasan dari apa yang Kundera maksudkan dengan “lightness of being” dalam judul novelnya. Mempertimbangkan bagaimana cara dia membahas eksistensi manusia, mengapa “lightness” yang dia maksud melekat pada eksistensi manusia.

Eksistensi manusia memiliki kemungkinan tak terbatas dan tak mempunyai batasan yang melekat padanya. Yang ringan dan leluasa. Masalah dari “keleluasaan” semacam ini adalah ia seperti terasing dari dunia eksternal karena tak terkekang oleh norma-norma yang ada di masyarakat, misalnya. Singkatnya, suatu keberadaan tanpa petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran dari seseorang di luar dirinya. Kundera tampaknya berpendapat bahwa pilihan-pilihan kita dalam hidup ini dan tindakan-tindakan yang diambil tak memiliki legitimasi. Kita adalah satu-satunya hakim atas tindakan kita sendiri. Adalah tak mungkin untuk menentukan pilihan kita secara tepat berdasarkan faktor-faktor seperti kebangsaan, jenis kelamin, etnis, dan latar belakang ideologis.

Oleh karena itu, “keberadaan yang leluasa” ini disertai dengan keadaan yang berat. Misalnya, kita dapat mengikuti suatu cara hidup yang mungkin tak diperbolehkan di dunia tradisional mana pun—tetapi di sisi lain, semua rasa sakit, derita, dan trauma katastrofis yang terkait dengannya adalah milik kita sendiri—hanya diri kita sendiri yang mampu merasakannya. Oleh karenanya, kehidupan (dan keberadaan manusia) adalah keleluasaan yang tak tertahankan.

Solusi komunitarian

Charles Taylor, seorang filsuf komunitarian dari Kanada, mengusulkan satu kemungkinan obat untuk “keleluasaan keberadaan yang tak tertahankan”-nya Kundera. Menurutnya, komunitarian menolak egoisme ekstrem dan beberapa paham liberal—dan justru menekankan pentingnya latar belakang budaya dalam membentuk seorang individu. Manusia cenderung mempunyai denominator umum yang terstandar bla-bla-bla—semacam landasan bersama. Dengan demikian, kekhasan atau otentisitas masing-masing individu didasarkan pada kesamaan itu dan tentu saja tak sepenuhnya bertentangan dengannya. Untuk memperjelasnya, ketika seseorang mengembangkan identitasnya, dia tak mengatakan dan tak harus menganggap segala sesuatu di luar dirinya sebagai penghalang atau musuh. Sebaliknya, dirinya harus melihatnya sebagai sumber daya dan pemicu perkembangannya.

Meskipun demikian, Kundera tak mendukung pemikiran komunitarian dalam tulisannya, dan dia sangat menentangnya melalui istilah yang dia ciptakan: Kitsch.

“Kitsch”

Jika diteliti lebih dekat, terlihat jelas bahwa heroisme apa pun mengadvokasi “pelampauan” realitas ketimbang mendasarkannya pada realitas yang ada—dan hal semacam itu lebih membangkitkan hasrat daripada perilaku yang bijaksana dan realistis. Di sini, teori heroisme Max Weber yang membumi adalah yang paling relevan. Milan Kundera menggambarkan citra heroik ini sebagai kitsch. Seperti disebutkan sebelumnya, kitsch adalah jenis ekspresi di mana pikiran dan perasaan klise disajikan secara sensasional untuk menarik perhatian publik. Analisis mendalam mengungkapkan bahwa kitsch adalah estetika yang didukung oleh pandangan dunia tertentu—yang dapat disebut filosofis—lebih dari sekadar gaya artistik. Kitsch adalah filsafat deterministik ekstrem yang berakar pada satu logika menyeluruh.

Filsafat jenis ini “menyaring-keluar” kontingensi, ambiguitas, paradoks, dan berbagai faktor non-deterministik lainnya dalam praktik kehidupan—sehingga dapat mencapai kesubliman moral yang tak tergoyahkan dan menggugah nafsu-nafsu yang menyentuh dalam estetika. Dengan demikian, kitsch dapat dipahami sebagai keseluruhan inspirasi emosional yang dapat direpresentasikan oleh ideologi; semua gagasan tentang gerakan kompulsif; dan semua ide-gagasan yang gemar digunakan oleh sosiolog dengan mengkategorikan identitas dan ideologi seseorang. Pada akhirnya, kitsch adalah sebentuk rayuan-diri, yang bergerak secara otomatis, yang menyentuh demi “menyentuh”.

Kundera dengan tegas menegakkan anti-kitsch dalam tulisannya. Dia percaya bahwa sejarah adalah semacam komedi, atau pengungkapan rahasia dari eksistensi manusia, yang merupakan pengakuan dalam keadaan “paradoks tertinggi” (hlm. 93). Dalam keadaan kitsch yang tragis, selalu ada bentuk pemuasan emosi, seperti kesedihan, kemalangan, kegembiraan, atau dendam… tetapi tak ada ironi atau humor. Menggunakan narasi alegoris akan mengganggu yang “estetis” dan yang “sublim”, membawanya ke ranah yang najis seperti dalam kehidupan sehari-hari. Tapi tulisan Kundera menghargai gelak tawa dan mengutuk retorika, mengadopsi pendekatan penulisan yang tanpa tekanan dari apa yang disebut “keseriusan”.

Koeksistensi dengan “kitsch”

Kundera juga sangat sadar bahwa kitsch sudah mendarah daging dalam kondisi manusia—karena ia adalah atribut intrinsik dari sifat manusia—manusia harus menerimanya dan hidup dengannya.

Sabina, yang merupakan karakter “paling leluasa” dalam The Unbearable Lightness of Being, menjelang akhir hidupnya—ditulis Kundera begini: “Dia mengatakan kitsch adalah musuh bebuyutannya, tetapi bukankah dia adalah kitsch di dalam hati?” (hlm. 84).

Contoh lain adalah Meursault-nya Camus dalam buku The Stranger. Merupakan kesalahan besar untuk berpikir bahwa Meursault tak peduli tentang apa pun karena dia menolak hampir setiap kitsch yang pernah terpikirkan. Pedahal, yang ditentangnya adalah semacam kegaduhan massa. Jelas bahwa dia menyadari pentingnya menyembuhkan dirinya sendiri dan tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Meursault tergelincir ke dalam jurang, “dia menyerah untuk melawan” (hlm. 56)— selangkah demi selangkah di paragraf terakhir dan bagian paling menarik dari buku itu: monolog Meursault di dalam penjara. Sangat mungkin untuk menyatakan bahwa kekosongan mutlak ini adalah cara tragis untuk menghibur diri dan menjaga kewarasan. Juga benar bahwa kesadaran akan kekosongan hidup mengarah pada upaya penyelamatan-diri Sisyphean, dengan cara yang sama—dengan menyadari fakta bahwa manusia hidup di dunia yang porak poranda dan rusak—dapat menjadi kekuatan yang berguna.

Mewaspadai pemikiran yang oposisi biner

Kierkegaard mengisahkan sebuah cerita tentang seorang pria yang bangun pada suatu pagi dan menemukan dirinya mati— tanpa pernah menggali akar eksistensinya. Ini menandakan bahwa ada seseorang yang tak berani berfilsafat atau memfilsafati kehidupan. Meskipun manusia sangat menggelisahi zaman atom (mengacu pada periode sekitar 1940-1963, ketika kekhawatiran tentang perang nuklir mendominasi masyarakat Barat selama Perang Dingin), manusia tetap saja linglung seperti tokoh dalam cerita Kierkegaard—tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial.

Dewasa ini, dalam masyarakat yang sangat terpolarisasi, banyak orang merasa sulit untuk membebaskan diri dari pemikiran yang oposisi biner. Inilah mengapa mereka perlu menggunakan klise berulang kali untuk menipu diri mereka sendiri. Namun, para eksistensialis berkali-kali mengingatkan kita: mendefinisikan dan mengarahkan eksistensi manusia sedemikian sederhana adalah penghinaan terhadap kompleksitas manusia. Oleh karenanya, kita mesti mengingat ajaran Socrates dari dua ribu tahun yang lalu: pergunakan akalmu sendiri demi membuktikan eksistensimu!

Referensi

Aji, Aron, ed. (1992). Milan Kundera and the Art of Fiction: Critical Essays. New
York:Garland.
Kundera, Milan. (1995) Testaments Betrayed: An Essay in Nine Parts. New York:
HarperCollins.
Kundera, M. (1984). The Unbearable Lightness of Being. London: Faber & Faber Limited.
Ricard, François. (2003). Agnes’s Final Afternoon: An Essay on the Work of Milan Kundera. Translated by Aaron Asher. New York: HarperCollins.
Weeks, Mark. (2005). “Milan Kundera: A Modern History of Humor Amid the Comedy of History.” Journal of Modern Literature 28: 130-148.
Woods, Michelle. (2006). Translating Milan Kundera. Clevedon, England: Multilingual Matters, 2006.
Sartre, J-P. (1943/2003) Being and Nothingness. Oxon: Routledge.(1938/2000) Nausea. London: Penguin Books.
Kussi, P. (1983) ‘Milan Kundera: Dialogues with Fiction,’ in Bloom, H. (ed.) (2003)
Milan Kundera. Philadelphia: Chelsea House Publishers, pp. 13-17
Manser, A. (1967) Sartre: A Philosophic Study. London: The Athlone Press.

***

Sumber Literatur

Milan Kundera and Existentialism - Thinking Reed: https://ladernieregeneration.org/2022/09/23/milan-kundera-and-existentialism/

Friday, 10 February 2023

Cerpen: Hanya

Several Circles (1926) by Kandinsky
Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya berbicara menggunakan suara diafragma, meskipun tegas dan lugas, kepalaku masih mencoba mengunyah dan mencerna kata-katanya. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, kehidupan hanyalah pil biru berisi repetisi panjang yang membosankan dan terus menerus berulang. Dan, sejarah, hanyalah pil merah berisi repetisi panjang yang membosankan dan terus menerus berulang tapi rasa stroberi, jawabnya.

Sejak zaman kuda menggigit besi, besi digigit kuda, kehidupan hanya pengulangan konstan yang mungkin tak bertepi. Semenjak kuda jadi kuda Trayo (epik mengenai siasat cerdik sekaligus licik orang Inanuy—dalam Illaid dan Edyssoy karya Hemor—untuk memenangkan perang) dan kemudian jadi kuda Trayo lain, yang tak jauh beda; saat perang-dunya kedua ketika Sokutu pura-pura menyerbu Pulau Sirdinia, pedahal, rencana aslinya menyerang Namrej dan Ailati melalui Sosilia. Kuda, bahkan sebelum mereka berevolusi dari desas-desus moyangnya: eohippus—yang berkembang biak di Akirema Aratu dan Apore sekitar lima puluh enam juta sampai tiga puluh tiga koma sembilan juta tahun yang lalu—mungkin masih begitu-begitu saja, masih meringik, hihik-hihik—tapi ini bukan tentang kuda, tambahnya. Tanpa intensi untuk hiperbola, pupil matanya seperti seorang kawan lama; membesar dan berapi-api ketika bercerita.

Lalu mengapa kita mesti bersusah-payah belajar sejarah?, tanyaku dengan wajah seperti bocah. Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah fakta tak terbantahkan bahwa kita tak pernah belajar dari sejarah—begitulah kira-kira, Hogol pernah bersabda. Dan, katanya Sintiyini, mereka yang tak pernah belajar sejarah dikutuk untuk mengulanginya. Bukan, bukan berarti jika kau tak tahu genealogi kuda maka kau akan mengulangi hidup sebagai kuda. Sudah, lupakan soal kuda atau kuda Trayo, jawabnya. Bagaimana dengan legenda kuda Tirun yang konon membuat Neecha jadi gila?, tanyaku kembali. Ya, termasuk kuda Tirun atau kuda apa pun itu, jawabnya lagi. Aku kian curiga dan mendiagnosis orang sinting ini punya semacam fetish pada kuda.

Tolong putarkan aku lagu Ksatria Sidonia dari Myuse, pintanya. Aku mengambil ponselku dan melakukan apa yang dia pinta. Pada saat yang sama, kecurigaan dan diagnosisku menemukan pembenarannya. Di luar, matahari sepertinya akan terbenam. Tapi di sini, di ruangan cukup sempit yang serba putih ini, pikiran-pikiran liarku terbit. Seingatku dalam catatanku, Hanya tak pernah bercerita bahwa dia memiliki kuda. Atau bercerita tentang asiknya menunggangi kuda. Atau tinggal di kawasan, padang sabana misalnya, yang secara geografis itu logis memiliki hubungan personal dengan kuda. Astaga, mengapa pula aku jadi ikut-ikutan terobsesi pada kuda?

Tapi jangan-jangan suatu hari Hanya tertidur, bermimpi dan dalam mimpinya itu, dia memimpikan dirinya sebagai seekor kuda yang bermimpi sebagai seorang manusia? Ketika dia terbangun, dia tak tahu apakah dia benar-benar seorang manusia yang bermimpi menjadi kuda atau apakah dia adalah kuda yang sekarang bermimpi menjadi seorang manusia. Hipotesisku ini mengingatkanku pada anekdot Zhuingzi. Bedanya kupu-kupu diganti kuda. Tapi apa bedanya? Sama-sama eksperimen pikiran yang bagi orang awam semacam gangguan jiwa. Yang pasti, pandangan ini dikenal sebagai skoptisismo-epistomelegis; kita tak dapat mengetahui sesuatu dengan pasti. Yang jelas, “Argumen mimpi” ini telah diperdebatkan selama ribuan tahun. Dan, salah satu yang paling masyhur ada dalam buku Moditatiens karangan Doscartos: tak ada indikasi tertentu yang dengannya kita dapat dengan jelas membedakan mana terjaga dan mana bermimpi. Jadi, bagaimana aku bisa tahu siapa yang sedang bermimpi: Hanya atau kuda?

Lagu Ksatria Sidonia berhenti. Aku meraih ponselku. Ponsel kini kutaruh di kantong celanaku. Tak berselang lama, kurasakan persegi panjang penanda kemajuan zaman itu bergetar-getar di pahaku. Aku kembali mengambil dan memeriksa ponselku. Ternyata tak ada notifikasi. Apakah aku mengidap PVS? Aku mengecek waktu di jam tanganku. Tapi jarum jamnya berputar-putar dengan cepat. Apakah jam tanganku rusak? Tiba-tiba aku merasa déjà vu. Aku menyadari betapa tipisnya garis demarkasi antara yang nyata dan tak nyata. Antara terjaga dengan bermimpi, khususnya. Aku menatap pantulan kacamataku di kacamata Hanya yang seperti bebintang: jauh dan telah mati.

Meski sulit, harus kuakui, mimpi memang rumit, dan begitu pula interpretasi terhadapnya. Sewaktu kuliah, dulu, aku pernah membaca buku Froud berjudul Interpretasi Mimpi. Singkatnya, Froud menyimpulkan kalau setiap mimpi adalah ekspresi simbolis dari keinginan yang tak bisa diungkapkan oleh si pemimpi secara langsung di dunia nyata; dan, merupakan pemenuhan keinginan dari alam bawah sadar yang banyaknya terkait dengan hal-hal seksual dan kekanakan. Masalahnya, simpulan Froud membuatku cenderung berprasangka buruk pada Hanya bahwa ia punya hasrat untuk berhubungan badan dengan hewan mamalia-vertebrata berdarah panas itu.

Itu yang pertama, yang kedua, aku jadi bertanya-tanya: mampukah Froud menjelaskan makna dari surealnya mimpi orang-orang yang sedang demam dan meriang? Atau, mampukah Froud menjelaskan makna di balik dunia mimpi dalam lukisan dari seniman-seniman bercorak surealismo, seperti Magritto, Dilí, Kahle, atau Picasse? Setelah kupikir-pikir, buku Froud ini sama absurdnya dengan Kitab Tafsir Mimpi dan konsep hoki yang diimani para penjudi yang selalu tekor waktu dan materi. Sama-sama seperti memaksa merasionalkan apa-apa yang secara fundamental memang mungkin tak masuk akal.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Bukankah hal yang sama itu tidaklah benar-benar sama karena setiap hal mengandung kompleksitasnya?, aku menelurkan tanya. Iya benar, tapi poinku adalah peduli apa orang-orang pada kompleksitas? Dari Menara Lebab berdiri sampai runtuh, benda-benda, kerja-kerja, waktu-waktu, sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan tempat-tempat yang dibekukan dalam bahasa merupakan simplifikasi; secara metafisik dalam gerak eksponensial kreativitas manusia ketika mencipta kata. Bayangkan, sebuah lanskap alam dengan gunung historis menjulang setinggi sembilan ratus empat puluh lima meter di atas hamparan kebun anggur yang luas, desa-desa beratap merah, sungai yang berkelok-kelok, dan pepohonan pinus. Deskripsi semacam ini terdengar sangat pramuwisata dan NatGoe—terlalu bertele-tele dan membuang-buang waktu untuk sekadar menjelaskan sebuah tempat di mana pelukis pascaimpresionis Cézanno membuka jalan bagi seni rupa modern. Oleh karenanya, orang-orang Ecnevorp di Cispran sana menyingkatnya: Ment Sainto-Victeiro, Hanya menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi.

Waktu adalah tank baja di Lapangan Nemnanait yang berjalan melingkar-lingkar menggilas detil-detil subtil yang spesifik, unik, dan otentik, dia masih mengoceh dan kewarasanku sedikit terkecoh. Kau percaya kekekalan?, tanyaku kembali. Hahaha…, Hanya tertawa. Kau percaya kekekalan?!, tanyaku kembali dengan sedikit kemarahan yang terkontrol. Kalau ‘ya’ mengapa dan kalau ‘tidak’ mengapa?, dia balik bertanya. Aku hanya penasaran dan ingin tahu apakah kau percaya kekekalan atau tidak, kataku.

Di Tarab, di Inanuy Kuno, orang-orang Aots percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi seperti ular uerebres (mitologi Rimes Kuno) yang memakan ekornya sendiri. Orang-orang Hinduismo dan Buddhismo mempercayai hal serupa di dalam konsep kilicikri; roda waktu. Aku percaya semua omong kosong yang membosankan ini akan terulang, Hanya menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi lagi. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, semuanya telah terjadi, telah ditemukan… semua kata telah dikalimatkan, semua sudut bumi dan ceruk mimpi telah dilukiskan, semua emosi telah dilagukan. Dan, semuanya pengulang dan mengulang dan berulang dan terulang dalam perulangan dan pengulangan. Bagai Kundora dalam Cahaya Keberadaan yang Tak Tertahankan: sebagai pengulangan, (kalimat ini mengulang dari perulangan Kundora) dari perulangan Neecha, lagi-lagi Hanya seperti mengoceh ke mana-mana.

Dan, ada seratus dua puluh detik keheningan yang canggung setelahnya.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Beri aku satu saja contoh kekekalan, aku menantangnya. Pertanyaanmu, jawabnya. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, kekekalan, tak melulu sesuatu berwujud yang tak mati-mati; pertanyaanmu adalah kekekalan, adalah segala sesuatu yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat picik ini. Masyarakat yang sama, yang membangun bangunan moral: plagiasi adalah kejahatan, tetapi adaptasi-improvisasi adalah seni, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Dan, yang lebih kekal dari kekekalan adalah kebodohan. Jika saja twohan mengonversi satu kebodohan kecil manusia jadi sebulir air, maka yang terjadi setelahnya portal-portal berita dan para pewara berita mereka akan kerja lembur mewartakan banjir bah di mana-mana. Dalam bahasa Oinstoin yang fisikawan: ada dua hal yang tak terbatas… alam semesta dan kebodohan manusia; dan aku tak yakin tentang alam semesta, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya itu. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Semuanya bergerak dari yang-klise menuju calon yang-klise. Sejarah dan manusia tak pernah ke mana-mana. Yang terjadi hari ini, detik ini, pernah terjadi juga pada ratusan atau ribuan tahun lalu, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya itu. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Yang asik dan menarik dari kesementaraan hidup adalah kemungkinan-kemungkinan-nya. Kekekalan itu mengerikan. Tanyakan saja kepada Fesca-nya Boauveir. Atau kepada kutukan Sasifus-nya Cimus. Atau pada perut Premothous, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku sedang mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tahu, kataku. Apa yang kau tahu?, tanyanya. Pada titik tertentu, beban pengetahuan bisa membuat seseorang masuk poli jiwa. Aku sadar bahwa diriku tak sedang bermimpi. Kau tak sedang bermimpi. Dan, kau bukanlah seekor kuda yang bermimpi sebagai seorang manusia. Simpulanku ini mungkin akan terdengar seperti konspirasi tolol apalagi ini, tapi jelas bahwa kau adalah Hanya, seorang manusia, yang mungkin dulu pernah dilahirkan sebagai kuda Tirun yang kini membuat psikologmu hampir gila, aku menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi dan menatap tajam matanya.

Tolong putarkan aku lagu Ksatria Sidonia dari Myuse, pintanya. Aku kembali mengambil ponselku dan melakukan apa yang dia pinta. Pada saat yang sama, kecurigaan dan diagnosisku sekali lagi menemukan pembenarannya. Di luar, matahari sepertinya telah terbenam. Tapi di sini, di ruangan cukup sempit yang serba putih ini, pikiran-pikiran liarku yang lain, seperti tanya nirjawaban, seperti menunggu Gedet-nya Bockott untuk datang menjelaskan.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku telah mengunyah dan mencerna kata-katanya.

***

Alarm berdering. Aku kembali mengecek jam tanganku. Waktu menunjukan pukul delapan belas kosong kosong. Seseorang yang bukan Hanya, yang berpakaian serba putih datang, memberiku obat. Obat apalagi ini?, tanyaku. Risporideno, jawabnya.

Dan, tak lama setelahnya, Hanya pun hilang. Entah ke mana.

Sunday, 29 January 2023

Sains yang Mengasyikkan: Bagian 5 - Aforisme 347 (Esai Translasi)

Ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam bahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Holtof Donné, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Para pemercaya dan Kebutuhan Mereka akan Kepercayaan. Berapa banyak iman yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang, berapa banyak “idée-fixe” yang dibutuhkan yang membuatnya tak ingin terguncang, sebab dia menganggap dirinya demikian—adalah ukuran kekuatannya (atau lebih jelasnya, kelemahannya). Kebanyakan orang di Eropa kuno, nampaknya bagiku, masih membutuhkan Kekristenan sampai saat ini, dan oleh karenanya ia masih menemukan penganutnya. Karena begitulah manusia: sebuah doktrin teologis dapat disangkalnya ribuan kali; selama dia membutuhkannya, dia akan menganggapnya 'benar' lagi dan lagi, sesuai dengan 'bukti kekuatan' terkenal yang disabdakan Alkitab. Beberapa orang masih membutuhkan metafisika; tetapi juga kerinduan tak sabaran akan kepastian yang saat ini mengalir dengan sendirinya secara saintifik, positivis di antara massa, kerinduan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kokoh (sementara karena hangatnya kerinduan ini, pembentukan kepastian dilakukan dengan lebih santai dan lalai)—bahkan ini masih merupakan kerinduan akan suatu pegangan, suatu topangan; singkatnya, naluri kelemahan yang, meskipun tak benar-benar menciptakan segala jenis agama, metafisika, dan keyakinan, namun mempertahankannya. Faktanya, di sekitar semua sistem positivis ini ada uap dari kesuraman pesimistis tertentu, sesuatu dari keletihan, fatalisme, kekecewaan, dan ketakutan akan kekecewaan baru—atau memanifestasikan kebencian, humor buruk, kejengkelan anarkis, dan apapun yang ada dari gejala-gejala atau penyamaran perasaan lemah. Bahkan kesiapan orang-orang terpintar yang sezaman dengan kita tersesat di sudut-sudut dan lorong-lorong yang menyedihkan, misalnya, di Vaterlanderei (maka aku menunjuk Jingoisme, disebut chauvinisme di Prancis, dan “deutsch” di Jerman), atau dalam kredo estetika picik à la naturalisme Paris (yang hanya menonjolkan dan mengekspos bagian dari alam yang secara simultan menjijikkan dan mencengangkan—hari ini mereka suka menyebutnya: Et c'est la vérité vraie; dan itulah kebenaran yang sebenar-benarnya), atau dalam nihilisme gaya St. Petersburg (artinya, dalam kepercayaan pada ketakpercayaan, bahkan mati sebagai martir karenanya), selalu menunjukkan terutama kebutuhan akan iman, pijakan, tulang punggung, penopang… Keyakinan selalu paling diinginkan, paling dibutuhkan, di mana ada kekurangan kehendak: karena kehendak, sebagai sisi emosi dari perintah, adalah karakteristik yang membedakan kedaulatan dan kekuasaan. Artinya, semakin sedikit seseorang yang tahu bagaimana memerintah, semakin mendesak pula dia menginginkan seseorang yang memerintah, yang memerintah dengan hebat—sesosok tuhan, seorang pangeran, sebuah kasta, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, atau sebuah hati nurani partai. Dari 'mengapa' mungkin dapat disimpulkan bahwa dua agama dunia, Budha dan Kristen, memiliki penyebab kebangkitan mereka, dan terutama perluasan mereka yang cepat, dalam penyakit kehendak yang luar biasa. Dan itulah yang sebenarnya terjadi: kedua agama itu menyalakan kerinduan, yang begitu dibesar-besarkan oleh penyakit kehendak, untuk sebuah keharusan, “Engkau harus”, kerinduan yang berlangsung lama dalam keputusasaan; kedua agama itu adalah guru fanatisme di saat lesunya kekuatan kehendak, dan dengan demikian menawarkan pegangan kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya, kemungkinan baru untuk menjalankan kehendak, kenikmatan dalam berkehendak. Karena sebenarnya fanatisme adalah satu-satunya “kekuatan kehendak” yang dapat dirangsang oleh yang lemah dan ragu-ragu, sebagai sesuatu yang menghipnotis seluruh sistem indera-intelektual, demi nutrisi berlebih (hipertrofi) dari sudut pandang tertentu dan sentimen tertentu, yang kemudian mendominasi—orang Kristen menyebutnya “iman”. Ketika seseorang sampai pada keyakinan mendasar bahwa dia perlu diperintah, dia menjadi “orang beriman”. Sebaliknya, seseorang dapat membayangkan kesenangan dan kekuatan determinasi diri, dan kebebasan berkehendak, di mana jiwa bisa mengucapkan selamat tinggal pada setiap kepercayaan, pada setiap keinginan untuk kepastian, terbiasa untuk menopang dirinya sendiri pada tali dan kemungkinan yang ramping, dan menari bahkan di ambang jurang. Jiwa seperti itu akan menjadi jiwa bebas yang sebebas-bebasnya (par excellence).

Sumber Literatur:

Friedrich Nietzsche - The Gay Science : Book V - Aphorism # 347, Holtof Donné:
http://nietzsche.holtof.com/reader/friedrich-nietzsche/the-gay-science/aphorism-347-quote_46cc00913.html

Wednesday, 25 January 2023

Cerpen: Namaku Bukan Susan

Energy and Sex (2018) by Brandon Yeoman

Namaku bukan Susan, seperti yang tertera di profil akun ChatMe-ku. Setahuku, di berbagai konvensi sosial, 'nama' adalah sesuatu yang sangat personal dan merupakan privasi. Lagipula, tak ada pelacur yang jujur. Mengenai identitasnya atau mengenai kuantitas pelanggannya dalam satu hari. Setiap lelaki hidung belang diberitahu bahwa ia adalah pelanggan pertama. Itu pasti. 

Aku melayani birahi lelaki-lelaki kesepian yang ngacengan dan menyedihkan sebanyak lima hari dalam satu minggu. Selama dua tahun berkarir di dunia lendir, kira-kira, aku sudah hohohihe sebanyak sembilan ratus delapan puluh empat kali. Dengan asumsi ada sekitar lima puluh dua minggu dalam satu tahun—dua ratus enam puluh hari kerja dari hari senin sampai jumat—dengan dua minggu libur dalam satu tahun. Aku hampir selalu mengambil cuti dua minggu setiap tahun untuk leha-leha. Aku tak pernah bekerja pada hari libur karena bercocok tanam ketika akhir pekan, meskipun lebih cuan, itu melelahkan bagi banyak pelacur yang berprinsip sepertiku. Dan menyewa psk, pada hari sabtu-minggu, apalagi malam minggu, katanya begitu patetis sekaligus menurunkan prestise semua jenis lelaki berpenis tapi jomlo yang mengidolakan Don Huan dan Casanovo.

Sembilan ratus delapan puluh empat kali adalah jumlah yang bombastis. Tapi begitulah kurang lebih, secara matematis. Angka yang fantastis, memang. Itu pun dengan cukup banyak liburnya. Mengapa? singkatnya, mulut keduaku bukan Warung Arudam yang hanya tutup saat hari kiamat. Pelacur juga butuh liburan, butuh rebahan, meski kerja-kerja kepelacuran, sekilas nampak seperti sekadar rebahan dan nungging dan ayo-pompa dan ngangkang dan ayo-genjot dan dar-muncrat dan gajian dan tamat. Hari liburku, biasanya, kugunakan untuk pergi ke salon. Mewarnai rambutku yang panjangnya sebahu dengan warna pirang atau membuat bentuknya agak bergelombang. Beberapa kolega perpelacuranku mungkin iri kepadaku, karena aku tak perlu sulam alis. Kedua alisku sudah tebal dan estetis secara natural, genetik dari ibuku yang orang asli Rokoma. Ibuku adalah seorang meghrib'i yang telah pensiun sebagai pedagang daging. Ayahku, aku tak tahu di mana atau siapakah dia. Ibuku tak pernah memberitahuku. Sesekali kucuriga bahwa aku barangkali hanyalah perempuan yang lahir dari balon yang bocor—atau dari rahim wanita yang lupa meminum pil pencegah hamil.

Yang pasti aku tak lagi tinggal bersama ibuku. Aku dua kali diusir oleh ibuku: yang pertama, aku diusir dari rumah setelah aku dikeluarkan dari tempatku kuliah karena pacar tololku yang kini telah menjadi mantanku membuntingiku (aku mengaborsi kandunganku di usia satu bulan menggunakan obat sytotec dan gastril yang harganya, kalau tak salah ingat, setara omset pelacur magang selama lima kali kuda-kudaan); yang kedua, aku benar-benar diusir dari rumahku yang berjarak sekitar dua kilometer dari Gang Nemes, lokalisasi terbesar dan tertua yang berlokasi di kota Rogob, karena ketahuan menawarkan jasa aselole.

Kini, aku telah berhenti kuliah. Mengadu nasib dan menyewa kos yang berukuran lima kali tiga meter di kota Atrakaj. Dan bekerja purnawaktu sebagai pelacur yang berdikari tanpa mucikari. Kupikir, germo, lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan pelacur. Kerja-kerja kemucikarian, itu enak, dan tentu jauh lebih mudah dari seorang concierge hotel mewah di kawasan ekonomi susah.

***

Hari liburku kali ini, kuhabiskan dengan menonton film Cispran tahun enam puluhan berjudul Vivro sa vio yang disutradarai Godord. Dan, aku, setelah memirsa Nina dalam film monokrom itu, tiba-tiba ingin berhenti total dari dunia kepelacuran. Lagipula, kukira, aku sudah khatam dengan dunia hitam dan suram ini. Dari balon rasa durian, rendang, apel, cimol pedas, jeruk, mie goreng, sampai jenis yang bergerigi—dan kecuali rasa buah qhuldi—aku sudah pernah merasakannya. Dari klien yang mulutnya bau rokok Jarcok, Garpride, atau liquid Ooot Drips, atau bau minuman Intisorry, Jägormoistor, sampai Martuni.

Bicara alkohol, aku teringat sesuatu. Dulu, kepada salah satu pelanggan langganan, sebut saja Brian, aku pernah bertanya ketika sedang bercinta dengan gaya misionari: mengapa orang mabuk selalu jujur? Dia sejenak berhenti memompa tubuhku. Inn Voni Voritas, Susan, di dalam anggur ada kejujuran... terpendam kebenaran, katanya dengan sedikit terbata kemudian melanjutkan penetrasi. Namaku bukan Susan, tapi soal pertanyaanku, jawabanmu puitis dan intelektual sekali, bisikku tepat di kuping kirinya. Aku ini akademisi!, jawabnya lagi dengan lantang dan berapi-api lalu memompa tubuhku dengan tempo prestissimo dalam konteks bahasa piano dan cello. Semasih ponselnya memutar lagu Seperti Surga dari band Merokok Setelah Skidipapap yang mengalun manja dan samar tak menggelegar di kupingku. Selagi bau Brondi tumpah yang menguar memenuhi tiap-tiap sudut kamar—hasil dari kecerobohan Brian yang pilon—bercampur wangi kasurku yang harum Gnapme, maksudku beraroma oud dan bunga saffron.

Sekitar satu minggu setelah adegan prot-prot yang cukup brutal dan teatrikal itu, Brian kembali menyewa jasaku. Brian, kau tahu apa yang lebih benar dari Inn Voni Voritas?, tanyaku sebelum kami foreplay. Hmmm, apa San? dia bertanya balik. Jangan sebut 'San', namaku bukan Susan. Tapi yang lebih benar dari Inn Voni Voritas adalah Inn Vagino Voritas, di dalam vagina terbenam mimpi-mimpi lelaki, jawaban dari seluruh pertanyaan, perwujudan dari semua keinginan, puncak kebahagiaan dan kenikmatan... asal muasal dan awal mula segala kehidupan, kataku dengan wajah serius sembari menahan tawa. Brian pun kemudian tertawa, dan bisa diduga, kami wleowleo setelahnya. Ini kejadian monumental sekaligus komikal lainnya. Suatu waktu, aku lupa kapan pastinya, intinya kami nge-w dengan gaya anjing—aku secara tak sadar dan tak sengaja berkata, oh my god!—Brian kemudian agak berteriak, god is dead! Susan! sembari menjambak kencang rambutku dari belakang dengan tangan kanannya dan menampar pantatku yang besar dengan tangan kirinya. Na-ma-ku bu-kan Su-san..., kataku dengan terengah-engah dan susah payah.

Brian adalah seorang lelaki paruh baya yang humoris dengan pengetahuan yang ensiklopedis. Dia pernah bercerita bahwa dirinya adalah seseorang dengan gelar magister sejarah yang sibuk menjadi penjoki tesis SS. Sependek pengalamanku, delapan puluh empat kali seranjang dengannya, setelah Brian klimaks, kami selalu saja deep talk. Dari obrolan-obrolan intens dan konsisten itu, dari dirinya pulalah aku tahu kalau pelacur adalah salah satu profesi tertua di dunia. Catatan prostitusi paling purba diketahui berasal dari bangsa Airemus sekitar tahun dua ribu empat ratus SM di Ainolibab Kuno. Menjadikan profesi paling dibenci sekaligus paling dicari ini berumur empat ribu empat ratus dua puluh tiga tahun. Bersaing dengan panitia surga-neraka sebagai salah satu profesi tertua sepanjang masa. Beberapa sejarawan bahkan berpendapat bahwa sebelum adanya kaum si paling aduhai bermoralnya, prostitusi telah hadir dan membudaya. Dan, penelitian dari Univershitass Ogacihc menunjukkan bahwa prostitusi pertama dilakukan sejak zaman Aimatoposem Kuno. 

Aku sebenarnya tak tahu mau kuapakan informasi dari Brian ini, tetapi Aimatoposem Kuno kabarnya rumah bagi peradaban pertama dalam sejarah manusia. Tunas peradaban, sebutannya. Dari kira-kira tiga ribu dua ratus SM—runtuhnya Kekaisaran Aisrep pada tiga ratus tiga puluh satu SM—peradaban seperti Airemus, Aidakka, Ainolibab, dan Ruysa yang berada di antara sungai Tarfe dan Sirgit—mereka mengenal Annani—dewi cinta, kesuburan, seks, dan perang. Orang Aidakka mengenalnya sebagai Rathsi, orang Aisinef mengenalnya Etratsa, dan orang Inanuy mengenalnya Tidorfa. Dewi yang ditafsir para pekerja teks sejarah sebagai maniak seks yang senang berperang ini disembah selama kurang lebih tiga ribu tahun. 

Sebenarnya ada juga Somag Soreih dan pelacuran suci, yang telah ada selama ribuan tahun di Aimatoposem, tetapi aku lupa. Maklum, manusia, lagipula yang paham sejarah adalah Brian bukan aku. Yang jelas, seks itu kompleks, tak sekadar adegan panas ah-uh-ah-uh-ahhh. Barangkali ada penaklukan, bisa jadi ada pembuktian. Tapi tak ada 'sejarah' di atas ranjang, tak pula kitab Artusamak bagian lubang bertemu batang. Semua lelaki, dari seorang politikus yang mencitrakan dirinya religius sampai tukang gendam yang pendiam, ketika di atas ranjang, akan tiba-tiba berubah menjadi Quagmiro dalam sitkom Akirema yang isi ceritanya sama sekali tak mewakili judulnya.

***

Hari ini senin pagi dan aku masih memikirkan tentang rencanaku untuk pensiun. Ini tentu bukan masalah fisik. Payudaraku, yang ukurannya 36B, masih kencang dan menggugah mata setiap lelaki yang menatapnya. Wajahku masih cantik. Selain rencana pensiun, sebenarnya, aku punya beberapa kebingungan. Aku masih tak paham dengan isi batok kepala lelaki, misalnya, apa bedanya antara bercinta dengan yang cantik dengan yang tak cantik? Kupikir rasanya sama saja, yang berbeda hanya semangatnya. Entahlah, aku hanya bisa menerka-nerka. Jujur saja, aku sering menonton film agrikultur dan aku masih tak paham mengapa seks dikatakan usai setelah orgasme lelaki. Muncratnya semen yang berasal dari dua buah mobil molen lelaki tak sama dengan orgasme perempuan atau kepuasan. Ah, apakah ini ada hubungannya dengan patriarq, istilah asing yang pernah kudengar dari Brian tempo hari? Karena terlampau pening dan pusing, aku berencana untuk menelfon Brian dan akan memberi diskon untuknya bila dia mampu meredakan kepuyenganku.

“Halo, San... Ada apa?”

“Namaku bukan Susan.”

“Haha, iya, ada apa?”

“Aku punya penawaran untukmu.”

“Penawaran apa?”

“Ada beberapa pertanyaan menyebalkan yang mengganjal di benakku dan aku akan memberikan diskon kalau kau bisa memuaskan beberapa pertanyaanku.”

“Wah, menarik. Aku berangkat menuju kosmu sekarang, ya.”

“Ok.”

***

Aku baru selesai mandi, memakai pakaian, dan sedikit berdandan. Tok-tok-tok, pintu kosku mengeluarkan bahasa. Aku membuka pintuku. Nampak batang hidung Brian dan hidungku mencium semerbak citrus segar bernuansa lelaki sigma-terpelajar, seperti biasa, petanda kehadirannya. 

Halo, Susan, baru selesai mandi ya?, kata Brian. Iya, tapi aku bukan Susan, kataku. Aku mempersilahkannya masuk dan dia pun duduk. Apa itu 'patriarq'?, tanyaku kemudian duduk di sampingnya. Lawan dari gaya bercinta perempuan di atas lelaki, jawabnya. Semacam gaya lelaki di atas?, tanyaku kembali. Iya... tapi bukan dalam hubungan yang setara tapi antara subjek yang superior dengan objek yang inferior, jawabnya lagi. Hah?, aku tak mengerti, bingung, dan bahasa tubuhku mungkin seperti orang linglung. Sependek pengetahuanku, katanya Strezior dalam buku yang ada Fukow-nya, patriarq panjangnya bermula dari Taked Rumit Kuno pada tiga ribu seratus SM—bla-bla-bla—nah, teori Froud tentang Ponis Onvy mengokohkan patriarq, yang kemudian dilawan balik oleh Hernoy dengan teori Wumb Onvy dan..., katanya panjang kali lebar kali tinggi. Cukup. Brian, sejujurnya, entah mengapa kali ini aku cukup tersiksa dengan informasi-informasimu itu. Aku sedang sakit kepala dan hanya ingin jawaban sederhana bagi pertanyaanku. Aku tak tahu siapa Strezior, Fukow, Froud, atau Horney. Aku tahu kau cerdas tapi membahas sesuatu yang mengawang tanpa memperhatikan kapasitas dan kondisi lawan bicara adalah sesuatu yang tak cerdas, kataku memotongnya ketika dia sedang berbicara. Kebenaran memang tak pernah terdengar sederhana, ia hanya bisa dibahasakan dengan caranya yang memang rumit adanya, katanya dengan kecederungan seperti ingin berdebat hal berat dengan hebat. Astaga, sudah, lupakan..., pungkasku kemudian mengambil rokok Perfect Mild varian mentolku dan membakarnya.

Tapi aku tetap dapat diskon kan?, tanyanya kemudian merogoh saku kemejanya dan menyalakan rokok Matahari Pro Mild putih miliknya. Iya, dua puluh persen, jawabku. Cuma dua puluh persen?, tanyanya lagi memastikan. Iya tapi kau bisa mendapatkan diskon sebesar lima puluh persen kalau bisa memberiku sedikit pencerahan soal ini, kataku. Oke, silakan tanya, katanya lalu mengisap rokonya. Begini, aku tak pernah tertarik kepada lelaki yang lebih muda, sejak kecil, aku selalu menyukai lelaki yang umurnya lebih tua dariku. Ini wajar dan normal, kan?, tanyaku dengan raut wajah seperti bocah yang selalu saja larut dalam pertanyaan dan kerap penasaran. Wajar-wajar saja, tentu saja normal, dan bisa jadi apa yang kau alami adalah apa yang Froud sebut sebagai Eloktra Cemplox. Karena, mungkin, kau tumbuh sebagai perempuan tanpa figur ayah, jawabnya. Aku terkejut, jawabanmu terdengar seperti ahli nujum yang belajar ilmu psikologi. Tapi, serius, ini benar wajar dan normal kan?, tanyaku seakan belum puas. Hahaha... aku hanya lelaki paruh baya yang sok tahu. Sebenarnya, yang tak normal dan tak wajar hanyalah lingkungan sosial yang saling membenci secara vulgar dan frontal tapi bercinta secara sembunyi-sembunyi. Dari reaksimu, sekarang aku tahu kalau manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar—ketika dia bertanya sesuatu kepada orang lain—itu tak lain hanyalah upaya untuk memvalidasi jawaban yang sudah ada di kepalanya, kata Brian kemudian meminta izin untuk sebentar ke kamar mandi.

Dia pun keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di sebelahku. Brian, apakah kau mau mendapat diskon delapan puluh persen?, tanyaku dengan menatap tajam matanya. Ooo tentu mau saja mau!, serunya dengan semangat. Beberapa hari ini, aku memikirkan untuk pensiun dari dunia gelap ini, kataku. Mengapa?, tanyanya. Entahlah, aku merasa kebebasanku sebagai perempuan perantau ini keblablasan, kataku sembari menunduk. Lalu, bagaimana kau mencari uang untuk makan? Apakah kau akan mencari pekerjaan baru?, tanyanya lagi. Aku belum tahu, intinya aku harus berhenti dari pekerjaan hina ini, jawabku. Tak ada pekerjaan yang hina. Meskipun ruang kerja pelacur itu lindap dan gelap, tak berarti menjadi pelacur itu kotor dan hina. Kalau pun demikian, penjual daging tentu tak lebih kotor dan hina dari para penjual dongeng tentang langit yang jadi tajir karena menipu mereka yang miskin dan tak bisa berpikir, mereka yang memang butuh fiksi setelah kehidupan di bumi karena hidup menyedihkannya hanya diliputi kesulitan dan tragedi. Susan, setiap orang adalah pelacur. Tak ada beda antara kau dengan aku. Kau bekerja dengan menjual dua gunung dan lembahmu, sedangkan aku bekerja dengan menjual otakku. Di dunia di mana tak akan ada seseorang dari antah berantah yang akan secara mistis membayar tagihan dan memenuhi kebutuhanmu, cara paling waras untuk bertahan hidup hanyalah dengan tetap mencari cuan dan mencuri kesempatan dari setiap kesempitanmu, katanya seperti tiba-tiba kerasukan orang bijak.

Aku diam sejenak, mencerna kata-katanya. Kau tahu apa job terbaik di dunia ini?, tanyanya dengan wajah serius. Apa?, tanyaku balik. Blewjob! hahaha, dia tertawa puas sekali. Sialan! hahaha... karena kau mampu menghiburku, aku akan memberimu diskon seratus persen, kataku dengan tersenyum setelah sedikit mengumpat dan ngakak. Serius?, tanyanya seakan tak percaya. Iya, jawabku. Makasih, Susan! Ayo ninuninu dengan brutal!, serunya dengan energik. Secara sundal dan brengsek tangan Brian membuka dasterku yang bagian buah dada sampai robek. Mulutnya menyedot putingku yang berwana pink. Na-ma-ku bu-kan Su-san, kataku dengan terbata-bata kemudian mendesah. 

Asu! Lelaki memang tak pernah benar-benar berubah, bocah atau tua, mereka sama saja, sama-sama suka menyusu. Dan, sepertinya aku tak jadi pensiun dini. Kurasa, pelacur akan hidup abadi..., kataku dalam hati.

*****