Wednesday, 17 May 2023

Homo Homini Hadeuh


Semenjak zaman bahela hingga kiwari, kita, “manusia”, secara nature, menyandang beragam julukan. Katakanlah, frasa Homo faber suae quisque fortunae (setiap manusia adalah pembuat-pencipta takdirnya sendiri)—yang pertama kali dicetuskan oleh negarawan dan penulis Republik Romawi, Appius Claudius Caecus—dilekatkan kepada makhluk bipedal bernama manusia.

Di kemudian hari, frasa ini digaungkan kembali dengan “sedikit” kurasi-modifikasi oleh filsuf-cum-sosiolog, Karl Marx: Homo Faber (manusia sebagai makhluk yang-bekerja/sebagai pekerja; makhluk yang produktif serta konstruktif)—Hannah Arendt dan Max Scheler memperluas terma Marxis ini dengan menegaskan bahwa “manusia adalah makhluk yang mengendalikan alam melalui alat-alat yang diciptakannya”.

Dalam semesta sastra, seorang pengarang asal Swiss, Max Frisch, menerbitkan novel dengan judul sama: “Homo Faber”. Secara jukstaposisi, Johan Huizinga, sejarawan Belanda menelurkan buku “Homo Ludens”—tentang sifat manusia yang secara natural senang “bermain-main” (bukan bekerja) khususnya dalam budaya.

“Seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa kita sama sekali tak masuk akal seperti abad ke-18, dengan pemujaan terhadap nalar dan optimismenya yang naif, dan terhadap pikiran-pikiran kita; karenanya mode modern cenderung menyebut spesies kita sebagai Homo Faber: Manusia sang Maker. Tetapi faber mungkin tak begitu meragukan seperti sapiens, sebagai nama khusus manusia, yang bahkan kurang tepat, mengingat banyak hewan pun dapat menjadi Maker. Namun, ada fungsi ketiga yang berlaku dalam kehidupan manusia dan hewan, dan sama pentingnya dengan penalaran dan peciptaan, yaitu bermain. Tampak bagiku bahwa di sebelah Homo Faber, dan mungkin pada tingkat yang sama dengan Homo Sapiens, Homo Ludens: Manusia sang Player, layak mendapat tempat dalam nomenklatur kita.”

—Huizinga, Homo Ludens (2014)

Homo Faber dan Homo Ludens merepresentasikan dua konsep filosofis yang antipodal: yang pertama mengacu pada manusia yang menggunakan rasionalitasnya untuk menghasilkan-memproduksi objek-benda buatan dan dengan demikian mengendalikan dunia eksternal (alam); yang kedua menekankan betapa pentingnya peran atau esensi dari “bermain/permainan” dalam kehidupan manusia—serta berfokus pada waktu luang dan hiburan.

Selain dua istilah di atas, barangkali telah diketahui secara umum bahwa Bapak Taksonomi Modern sekaligus Bapak Ekologi Modern, Carolus Linnaeus, mengemukakan istilah Homo Sapiens sebagai penanda “manusia modern” pada wilayah ilmu Biologi. ‘Homo’ dan ‘Sapiens’ adalah kata dalam bahasa Latin yang secara literal artinya “manusia” dan “bijak”; manusia adalah spesies yang-bijak, singkatnya.
Terlepas dari segala kontroversi di belakangnya, istilah ini semakin menemukan kepopulerannya setelah Yuval Noah Harari menetaskan buku berjudul “Sapiens: A Brief History of Humankind” yang merisalahkan tentang tiga revolusi besar: Kognitif, Agrikultur, Sains—serta implikasinya terhadap peradaban. Beberapa tahun berselang, Harari menerbitkan “Homo Deus: A History of Tomorrow” yang mengeksplorasi berbagai dampak perkembangan teknologi (termasuk kecerdasan buatan) pada masyarakat dan beragam kemungkinan canggih di milenium-milenium mendatang.

Lebih lanjut, Harari secara naif percaya bahwa kemampuan yang dimiliki manusia memungkinkannya setara dengan Deus (bahasa Latin: Tuhan), dengan demikian ia menggagas Homo Deus (manusia sebagai “Tuhan yang berjalan” atau makhluk yang signifikan) dan praktis menambah panjang model-konsepsi manusia.

Selain empat arketipe-manusia yang telah disebutkan di atas, masih banyak 'homo-homo' lain, misalnya: Homo Economicus (manusia sebagai makhluk ekonomi) yang dicetuskan Adam Smith dalam The Wealth of Nations; Homo Politicus (manusia sebagai makhluk yang berpolitik) yang dikemukakan Aristoteles; Homo Sociologicus (manusia sebagai makhluk sosiologis/yang memiliki kapasitas untuk berperan secara sosial dan bermasyarakat) yang ditekskan Ralf Dahdendorf; Homo Narrans (manusia sebagai makhluk yang bercerita/yang mampu menarasikan sesuatu) yang dipaparkan Kurt Ranke; Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) yang diperkenalkan Plautus; Homo Homini Socius (manusia sebagai makhluk sosial/yang mampu berkawan dengan sesamanya) yang ditulis Seneca.

Homo Homini Hadeuh

Yang unik dan menarik dari manusia, pun luput orang-orang sadari, adalah fakta bahwa manusia barangkali merupakan satu-satunya hewan yang mempunyai kemampuan untuk mengeluh. Atau, dalam bahasa lebih yang teologis dan metafisik, adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberikan anugerah: kehendak untuk mengeluh.

Semut rangrang yang terinjak, ikan lele yang menunggu dimasak, burung camar yang ditembak, sampai kerbau yang dipakai untuk membajak—besar kemungkinannya tak memiliki kemampuan luar biasa yang secara autentik dimiliki manusia ini. Kehendak untuk mengeluh, meskipun Tuhan boleh jadi tak menyukainya, tetapi tetap Tuhan berikan kepada kita (dalam bentuk pilihan)—sebagai manifestasi cinta tingkat tinggi, antara pencipta kepada ciptaannya.

“Mengeluh adalah angin kencang yang membawa kita ke surga, terkadang aku berpikir; keluhan-keluhan itu secara tak sadar bernapas dengan keletihan “di sini”, dan merindukan “di sana”.”

—Broughton, Cometh Up as a Flower (2018)

Bayangkan apabila Tuhan tak menganugerahkan-menghadiahkan kehendak yang mampu menjadi semacam painkiller (obat berjenis analgesik yang berfungsi utuk meredakan nyeri) bagi kesusahan-penderitaan manusia ini, maka tak terbayang seberat apalagi beban-beban yang mesti kita pikul. Mengapa? Sebab terkadang, bahkan seringkali, hidup berjalan piawai menyebalkannya dan kita dirundung masalah-masalah secara konstan (di samping anggapan bahwa hidup adalah masalah itu sendiri).
Anehnya, kita selalu saja secara positif menemukan alasan-alasan baru untuk mengeluh dan secara paradoksal menemukan kepuasan-kenikmatan di dalamnya. Dengan demikian, manusia masa kini dibentuk oleh 5W dan 1H: waduh, waduh, waduh, waduh, waduh, hadeuh.

Akan tetapi, kehendak untuk mengeluh, alias obat yang bisa dibilang manjur ini, tentu memiliki beberapa efek samping tak mengenakkan seperti dianggap lemah oleh kawan kita yang Homo Ferrum (manusia besi/makhluk yang kuat sekali). Tipikal manusia yang, ajaibnya tak pernah menggunakan kehendak untuk mengeluh seumur hidupnya—meskipun didera “hujan problema” yang bertubi-tubi.
Negatifnya, selain itu, terlalu banyak atau terlampau sering berkehendak untuk mengeluh, secara tak langsung membikin citra kita buruk/jelek—sebagai manusia yang kurang bersyukur—yang, di titik tertentu, seperti tak pernah bisa mengapresiasi sesuatu.

Terlepas dari positif-negatif tersebut, tuntutan zaman dan persoalan-persoalan masa kini yang semakin ruwet-keruh tak terjernihkan, pada gilirannya, melahirkan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang lumayan lucu. Salah satunya, tendensi kehendak untuk mengeluh yang berkelindan pada ruang-ruang digital, khususnya Twitter. Terhitung semenjak 24 Agustus 2022, “Komunitas Marah-Marah” kian ramai—sampai-sampai memiliki lebih dari 111.000 member yang berkehendak untuk mengeluh sepanjang sinyal dikandung paket internetan. Kira-kira beginilah deskripsi komunitasnya:

“WADAH BUAT MARAH BUKAN TEMPAT CAPER APALAGI TANYA JAWAB. KALO MAU CAPER MAEN TINDER AJA, KALO MAU TANYA JAWAB MAEN KUIS AJA.”

Marah-marah merupakan sebentuk ekspresi puncak dari mengeluh yang lazim juga disebut dengan berkeluh-kesah. Artinya, meningkatnya kecenderungan ini pada orang-orang sedikit banyak dapat menjelaskan beberapa hal serta memproduksi banyak pertanyaan-pertanyaan besar.
Apa bahan dasar atau sesuatu yang menggerakkan kehendak untuk mengeluh? Selain di Twitter, di mana biasanya seseorang berkehendak untuk mengeluh? Mengapa mereka berkehendak untuk mengeluh? Hingga, seberapa ampuh dampak dari kehendak untuk mengeluh terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi?

Pada akhirnya, tak akan ada jawaban pasti dan final untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekilas nampak sinting ini. Tetapi, julukan Homo Homini Hadeuh: makhluk yang (mampu) mengeluh—mesti ditambahkan ke dalam kamus besar model manusia. Entahlah, barangkali manusia justru Homo Homini Homina-Homina, makhluk membingungkan yang selamanya akan menjadi rahasia tak terungkap kata. Atau, meminjam bahasa Rumi, barangkali manusia hanyalah kata kecil-mungil yang terselip di antara aib dan gaib.

Jangan lupa mengeluh dan misuh-misuh.

“Manusia adalah misteri—yang perlu diungkap, dan jika seumur hidup kau mencoba mengungkapnya, jangan katakan bahwa kau telah membuang-buang waktumu. Aku mempelajari misteri itu sebab aku ingin menjadi manusia.”

—Dostoevsky, The Brothers Karamazov (2002)

Wednesday, 10 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Pessoa



Aku Tahu, Aku Sendiri

Aku tahu, aku sendiri
Betapa lukai, hati ini
Tanpa iman atau aturan
Atau melodi atau gagasan.

Hanya aku, hanya aku
Tak ada yang bisa kubahasakan
Karena perasaan bagai langit—
Terindra mata, kehampaan.

-

Autopsychography

Penyair dipenuhi kepura-puraan.
Dengan sangat teliti, hingga
Dia berhasil memalsukan kesakitan.

Sakit yang benar-benar dia rasakan;

Dan para pembaca karangannya
Jelas merasa, dalam sakit yang terbaca,
Tak satu pun rasa sakit itu miliknya,
Hanya sakit yang tak mereka pahami.

Maka, di sekitar jejaknya yang guncang
Kencang berlari, 'tuk sibukkan akal budi,
Sebuah kereta mengitari jarum jam
Yang manusia sepakati sebagai hati.

-

Matamu Menyedih

Matamu menyedih. Kau tak
dengarkan apa yang kukatakan.
Matamu mengagut, bermimpi,
dan mengabut. Tak acuh;
aku mengawang jauh.

Kunarasikan apa yang telah berlalu,
dari kesedihan yang lesu,
begitu melulu ...
Kupikir kaupernah mendengarkan,
tapi tidak, tak ada telingamu.

Tiba-tiba,
Tatapan yang hilang, kau menatapku,
masih jauh tak terkira,
kau menyimpul senyum.

Aku terus berbicara. Sedang kau
terus dengarkanpikiranmu sendiri,
senyuman yang hilang;

Hingga, lewati kemalasan
Sore yang terbuang sia-sia,
Keheningan membuka diri
Dari senyummu yang tak berguna.

-
Sesekali Aku Punya

Sesekali aku punya ide-ide bahagia,
Ide-ide tiba-tiba bahagia, di antara ide-ide
Dan kata-kata di mana mereka biasa bebas

Setelah menulis, aku membaca…
Apa yang membuatku menulisnya?
Di mana aku pernah menemukannya?
Dari mana hal itu datang kepadaku?
Itu lebih baik dariku…

Haruskah kita mengada, di dunia ini,
paling tidak, jadi pena dan tinta
yang digunakan seseorang
untuk mengarang dengan rapi
dan tepat apa yang kita guratkan
di sini?

-

Yang Tak Terhitung Jumlahnya

Yang tak terhitung jumlahnya
tinggal di dalam kita; ketika aku
memikirkan atau merasakan,
aku tak tahu siapa yang memikirkan
atau siapa yang merasakan.
Aku hanyalah sebuah tempat
dari perasaan atau pikiran.

Aku memiliki lebih dari satu jiwa.
Ada lebih banyak aku dari diriku sendiri.
Aku ada tapi tak peduli
kepada mereka semua.
Aku bungkam mereka:
aku berbicara.

Impuls yang bertentangan dari apa
yang-kurasakan atau
yang-tak-kurasakan;
sengketa di dalam,
siapa diriku sebenarnya?
Aku mengabaikan mereka.
Mereka tak mendikte kepada
seseorang yang kutahu.
Aku menulis.

*****
Fernando António Nogueira Pessoa adalah seorang penyair kritikus sastra, penerjemah, dan intelektual Portugis—digambarkan sebagai salah satu tokoh sastra terpenting abad ke-20 serta salah satu penyair terbesar dalam bahasa Portugis.

Sumber literatur:

Twenty Poems Fernando Pessoa, Translated by A. S. Kline: https://www.poetryintranslation.com/PITBR/Portuguese/FernandoPessoa.php#anchor_Toc503461473

Monday, 8 May 2023

Modal Kultural à la Bourdieu (Esai Translasi)

A Panel of Experts (1982) by Basquiat

Artikel ditulis oleh Nicki Lisa Cole, Ph.D. dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Modal kultural, singkatnya, merupakan akumulasi pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan kompetensi budaya dan status sosialnya. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menciptakan istilah ini dalam makalahnya⁠ yang berjudul “Cultural Reproduction and Social Reproduction”—ditulis bersama Jean-Claude Passeron—pada tahun 1973. Bourdieu kemudian mengembangkan karya itu menjadi konsep teoretis dan pisau analitis dalam bukunya yang mengudara di tahun 1979: Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste.

Bourdieu dan Passeron menegaskan bahwa akumulasi pengetahuan digunakan untuk memperlebar jurang perbedaan kelas. Itu karena variabel-varibel seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama cenderung menentukan siapa yang memiliki akses lebih ke berbagai bentuk pengetahuan. Status sosial juga membingkai beberapa bentuk pengetahuan yang berujung pada superioritas-inferioritas; yang satu lebih “oke banget” ketimbang yang lain.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Diwujudkan

Dalam esainya yang terbit pada tahun 1986, “The Forms of Capital”, Bourdieu memecah konsep modal kultural menjadi tiga bagian. Pertama, ia menyatakan bahwa modal kultural ada dalam keadaan yang diwujudkan—artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu, melalui sosialisasi dan pendidikan, ada di dalam diri mereka. Semakin mereka memperoleh bentuk tertentu dari modal kultural yang terkandung, katakanlah pengetahuan tentang musik klasik atau film artistik, semakin mereka “siap” untuk menemukannya. Norma, adat istiadat, dan keterampilan seperti table manners, bahasa, dan perilaku gender, yang terkandung dalam modal kultural dari setiap individu seringkali tercerminkan ketika dirinya berinteraksi dengan individu lainnya.

Modal Kultural dalam Keadaan Terobjektifikasi

Modal kultural juga ada dalam keadaan yang diobyektifikasikan. Hal ini mengacu pada objek material yang dimiliki individu yang mungkin berhubungan dengan pendidikan mereka (buku dan laptop), pekerjaan (alat dan perlengkapan), pakaian dan aksesoris, barang tahan lama di rumah mereka (furnitur dan barang dekoratif seperti lukisan), dan bahkan makanan yang mereka beli dan siapkan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk modal kultural yang diobyektifikasi ini cenderung menandakan kelas ekonomi seseorang.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Terlembagakan

Puncaknya, modal kultural ada dalam keadaan terlembagakan. Ini mengacu pada cara-cara di mana modal kultural diukur, disertifikasi, dan diberi peringkat. Kualifikasi dan gelar akademik adalah contoh utama dari hal ini, begitu pula jabatan di kantor, jabatan politik, dan peran sosial seperti suami, istri, ibu, dan ayah.

Yang terpenting, yang mesti digarisbawahi, Bourdieu menekankan bahwa modal kultural ada dalam sistem pertukaran dengan modal finansial dan modal sosial. Modal finansial, tentu saja, mengacu pada uang dan kekayaan materialistik. Modal sosial mengacu pada hubungan sosial yang dimiliki seorang individu dengan teman sebayanya, keluarganya, koleganya, tetangganya, dan lain sebagainya. Modal finansial dan modal sosial, dalam titik tertentu, dapat dipertukarkan satu sama lainnya.

Dengan modal finansial, seseorang dapat membeli kunci untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi yang kemudian akan “menghadiahinya” dengan modal sosial berharga. Pada gilirannya, modal sosial dan modal kultural yang terakumulasi di sekolah atau perguruan tinggi elit dapat dikonversi menjadi modal finansial melalui jaringan sosial (koneksi “orang dalam” berprivilese, misalnya), keterampilan, nilai, dan perilaku yang mengarahkan seseorang pada pekerjaan bergaji tinggi. Untuk alasan ini, Bourdieu mengamati bahwa modal kultural berpotensi tinggi digunakan untuk memfasilitasi dan menegakkan stratifikasi sosial, hierarki, dan ketidaksetaraan secara struktural.

Inilah mengapa penting untuk mengakui dan menghargai modal kultural yang tidak tergolong elit (low culture). Penting juga untuk menyadari bahwa cara memperoleh dan menampilkan pengetahuan sangatlah bervariasi di antara kelompok sosial. Renungkanlah tentang betapa pentingnya sejarah lisan dan kata yang diucapkan dalam banyak kebudayaan tertentu. Di lingkungan perkotaan, misalnya, seorang individu harus belajar dan mematuhi “bahasa” yang ada di sana untuk sekadar “bertahan hidup”.

Setiap individu memiliki modal kultural dan menyebarkannya setiap hari untuk menavigasi masyarakat. Semua bentuknya valid, tetapi kebenaran yang sulit adalah bahwa mereka tak dihargai secara setara oleh institusi masyarakat. Ini menimbulkan konsekuensi ekonomi dan politik yang nyata; yang memperdalam perpecahan sosial dan memperparah perundungan sosial.

Sumber Literatur:

What Is Cultural Capital? Do I Have It?, Nicki Lisa Cole, Ph.D.:

https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374

Wednesday, 26 April 2023

Reviu Singkat “Mata Kecoak - Dayuk” dari Perspektif Absurdis yang Lebih Nyaman Disebut Eksistensialis



Author: Sayyidatul Imamah
Title: Mata Kecoak
Format: 182 pages, Paperback
ISBN: 9789797753313
Published: March, 2023 by Indonesia Tera
Language: Indonesian

Absurdisme yang ditawarkan Dayuk (sapaan akrabnya) dalam kumpulan cerpennya ini tentu berbeda dengan Kafka, Camus, Beckett, atau Ionesco. Jika mesti dilabeli, barangkali ia adalah seorang Absurdis-Feminis; absurdis yang tak hanya menggemakan kerandoman pikiran seorang manusia dengan daya imajinasi supertinggi, tetapi juga membawa serta female gaze & isu keperempuanan di realitas yang patriarkis. Tapi, akan terlalu picik apabila kita hanya mempersepsikannya atau bahkan mereduksinya demikian, sebab Dayuk juga membawa hal-hal yang penting namun jarang kita renungi-maknai: suara-suara benda mati, pikiran-perasaan serangga, kemuakan terhadap peperangan, kritik atas otoritarianisme, viralitas atas hal-hal tolol di masyarakat, hingga elitisme yang hampir selalu menyebalkan.

Berikut reviu singkatnya...

Perjalanan Panjang: mengisahkan betapa ripuh-nya Rusmini menjadi perempuan di lingkungan patriarkal. Yang rentan ditindas & dieksploitasi, misalnya, ketika ia dulu pernah diperkosa di gang gelap oleh lima bajingan secara bergiliran. Tahun-tahun setelahnya bertambah ripuh ketika dokter memvonis Rusmini tak bisa punya anak. Ibu Rusmini rusak mindset-nya—fetish untuk membahagiakan lelaki—& lebih sedih ketika mendapati suaminya yang jahat mati gantung diri di pohon belakang rumah setelah ia menendang adik Rusmini hingga mati. Pada akhirnya, Rusmin bundir menenggak pil & yang lebih membagongkan, jasadnya baru ditemukan pada hari berikutnya—karena suaminya yang dingin & berengsek terlalu sibuk indehoy dengan pelacur murahan. Kisah ditutup dengan headline berita yang membuat pembaca naik pitam. Benar-benar rentetan penderitaan yang panjang. Membacanya seperti mengarungi mimpi buruk yang berkepanjangan. Berbahagialah Rusmini-Rusmini di luar sana. Cerpen ini membikinku menghela napas sepanjang ingat dikandung ingatan.

Nasrina Masih Berlari: tentang seorang gadis berambut bondol bernama Nasrina, yang menjadi viral karena terus berlari. Dengan kaus merah & celana hitam sobek-sobek, Nasrina berlari—untuk mencari kebebasan—ia masih berlari menuju ke tempat yang tak bisa mengekangnya. Nasrina masih berlari agar tak berakhir seperti orang-orang. Melewati hutan gundul, di atas lautan hingga sampai di Asia bagian Barat di mana ada banyak perang—anak-anak seusianya mati meregang nyawa. Nasrina kecewa sebab ia merasa mereka lebih membutuhkan perhatian dari dunia & awak media ketimbang meliput dirinya yang terus berlari seperti Forrest Gump. Ending-nya, Nasrina berhenti berlari setelah bertemu lelaki tua yang mengantarkan tiga anaknya bersekolah. Cerpen ini, meskipun terkesan absurd, tetapi mengajak pembaca untuk merenungkan betapa orang-orang tak pernah peduli pada peperangan & lebih memedulikan hal-hal nampak aneh bin tolol. Peculiar things are always famous. Tokoh Nasrina pun mengingatkanku pada Nasida Ria, yang pernah menyuarakan perdamaian lewat medium musik: banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai! Lebih baik “make love, not war” kalau kata Lennon.

Foto Presiden: salah satu cerpen paling emosional serta realistis tentang kondisi desa yang terpencil jauh dari “peradaban” & betapa tak bergunanya berharap pada negara. Mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa di semesta lain ada sekolah yang lebih butut dari kandang ayam—hanya berisikan foto presiden yang tak pernah diganti sejak tahun 1998 (tak diganti karena tak ada uang buat beli foto presiden yang baru)—serta seorang Kepala Sekolah merangkap guru (setelah ditinggal dua gurunya jadi TKI di luar negeri) dengan dua muridnya: Elki yang kritis & Tinasa yang penurut. Secara personal, saya menyukai tokoh Elki yang bawel. Macam Socrates yang membaca Skeptisisme Descartes. Sepanjang cerita, pembaca akan dihadapkan pada kegeraman & tendensi kuat untuk mengelus dada. Bau busuknya Orba yang masih menyengat kuat seakan menambah kesan bahwa “yang berganti hanya presidennya, bukan kediktatorannya, bukan nasib orang-orang lemah macam tokoh Kepala Sekolah.”

Kumis yang Sengsara: menceritakan kisah sebuah kumis bernama Kirik yang hidup sengsara di wajah Preman. Sebelumya Kirik pernah lahir di wajah seorang petani dan seorang politikus. Di kehidupannya yang ketiga ini, Kirik begitu tersiksa karena pola hidup jorok si Preman. Pada gilirannya, Kirik berempati karena mendapati fakta bahwa si Preman seperti tokoh Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo) dalam lakon absurd berjudul Menunggu Godot karangan Samuel Beckett. Bedanya si Preman menunggu ibunya untuk pulang. Si Preman, meskipun Preman—uniknya—memiliki semacam kriteria untuk dipalak; tak mau memalak mereka yang termaginalkan. Di malam-malam yang panjang, Kirik sadar bahwa si Preman kesepian. Satu-satunya kawannnya hanya si Pawang Monyet yang cengengesan. Dialog mengalir-menampilkan realitas masyarakat kelas bawah yang suram. Suasana Covid pun terbangun dengan baik-apik dalam cerpen ini. Karena Covid, dengan dramatis, pasar—tempat satu-satunya di mana “cahaya” itu ada—ditutup. Kisah ditutup dengan sedih—setelah si Preman melamun & membayangkan bagaimana jika ia sebenarnya dibuang oleh ibunya? & air mata Preman lembut itu mengenai tubuh Kirik. Aku bukanlah Übermensch, aku juga bisa nanges. hiks...—batin si Preman. & Genrifinaldy pun meneteskan air mata, lalu meraih 2 lembar tisu itu di meja kerjanya.

Mencoret Kelamin: Gina, seorang perempuan yang gemar bertanya hal-hal eksistensial sejak umur 10 tahun. Mengapa perempuan bervagina, merasakan menstruasi seumur hidup, harus bersikap lembut-manis-patuh, & memiliki beban-batas lain yang terlampau absurd? Gina terus bertanya-tanya, kepada guru sekolah sampai guru ngaji. Tapi jawaban mereka (terutama jika dijawab dengan pendekatan agama) memang tak pernah memuaskan, seperti biasa, seperti realitanya. Karena merasa dirinya bagai alien bagi dirinya sendiri & merasa terisolasi (baca: merasa sendirian), Gina meneggak puluhan pil tidur. Ia pun tumbuh menjadi perempuan yang memendam “gelembung gelap” itu diam-diam. Situasi bertambah anjing ketika tiga temannya secara haduh gak ngotaknya memperkosanya ketika sedang mengerjakan tugas kelompok. Peristiwa nahas itu mengubah seluruh hidup Gina hingga dia berhenti bertanya-tanya. Pada gilirannya, Gina bergabung dengan Kelompok Dukungan & mendapat perspektif baru dari seorang lelaki yang mengutip Sartre: bahwa seseorang yang berpenis pun menderita. Gina mencoret kelaminnya, & menggantinya dengan kebebasan. Akhirnya, Gina hidup sebagai manusia bukan kelamin. Setelah membaca Sartre dengan tekun Gina pun mengeluarkan kredo pamungkasnya: Gina mendahului vagina! Bukankah memang begitu seharusnya?

Bagian yang Ada: tentang enam orang bernama: Le, La, Ki, Pe, Rem, dan Puan—yang melingkari meja untuk memakan Bagian yang Ada. Katakanlah dunia sebagai meja & Bagian yang ada di atas meja itu sebagai suatu makanan untuk dimakan. Masalah ada ketika Le, La, & Ki tak pernah bisa adil dalam bertindak, selalu tamak, & hanya memikirkan Bagian-nya sendiri. Secara alegoris, cerpen ini, menyiratkan bahwa lelaki selalu mendominasi perempuan. Perempuan adalah Le Deuxième Sexe (The Second Sex) kalau kata de Beauvoir. Perempuan dalam di mata de Beauvoir seolah tak punya “kehadiran”, sebab yang memberi “makna” adalah lelaki. Ia tak punya kebebasan, kesetaraan dan keluhuran martabat sebagai manusia. Perempuan tak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Artinya, perempuan tertindas & tak pernah mendapatkan kesetaraan. & barangkali, tak ada yang bisa meruntuhkan tirani itu lelaki kecuali lelaki itu sendiri. Setelah membaca cerpen ini, aku merasa seperti Adam yang berdosa karena pernah menyalahkan Hawa pascaditendang ke bumi.

Jembatan: habis berbatang-batang perempuan itu belum datang.... Cerpen ini memungkinkan banyak permenungan-permenungan eksistensial. Bagaimana jika kita “membunuh diri kita sendiri”? Atau, misalnya, kesepian & keterasingan macam apa yang dirasakan jembatan? & mungkin tak ada yang lebih buruk dari eksistensi yang tak disadari. Tapi orang-orang yang berjalan di atas Jembatan itu barangkali memanglah Sisifus dengan batu yang berbeda. Pada akhirnya, selain Sisifus, seseorang benar-benar harus membayangkan jembatan yang memiliki ingatan bagus itu berbahagia atau minimal—membayangkan—pagi itu Camus & tokoh-tokoh Dayuk tak menyeduh kopi karena sakit maag & memilih kemungkinan yang pertama. Kill him/her-self.

Menjadi Aku: coba kau pikirkan, coba kau renungkan, bagaimana jika kau dikutuk menjadi lampu lalu lintas? Kau sarapan dengan suara klakson & cahaya biru dari ponsel orang-orang yang selalu sibuk. Setiap saat kau melihat miniatur Sisifus itu berjalan menuju ke arah yang sama—dengan kaus yang itu lagi itu lagi; menyaksikan persegi-persegi panjang itu bergerak, & kalau sial, bertabrakan—memungkinkan momen inersia & membikin kebisingan yang memuakkan. Bayangkan... “bagaimana kalau kehidupan repetitif inilah yang akan kau jalani selamanya?”. Cerpen ini mengingatkanku akan konsep Eternal Recurrence/Return (baca: perulangan abadi) yang digaungkan Nietzsche. Filsuf eksistensialis itu menghadirkan kemungkinan buruk atau skenario jelek bahwa waktu bergerak sirkuler, bagai ular ouroboros yang memakan ekornya sendiri—& kita mesti hidup, merasakan tragedi, & mati & hidup—begitu seterusnya. & ini bertambah ngeri jika kita adalah lampu lalu lintas. Misalkan kita adalah lampu lalu lintas, mampukah kita mencintai segenap hidup dalam keabadian-kerepetitifan yang menggabutkan itu? Baik menjadi manusia yang merasakan bahwa ada yang salah dalam dirinya ataupun menjadi lampu lalu lintas yang hidup sebagai benda mati, keduanya sama-sama terlalu buruk untuk dijalani. Mungkin lebih baik tak pernah mengada. Sleep is good, death is better; but of course, the best thing would to have never been born at all. Saya membayangkan Heine membacakan puisi fenomenalnya secara teatrikal di depan lampu lalu lintas itu.

Waktu dan Tempat untuk Kematian:
“Manakah yang lebih baik, mengetahui waktu atau tempat kematian?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali, yang lebih baik adalah menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh diri kita sendiri. Cerpen filosofis ini sukses memikat hatiku & secara tak sadar membuatku berkata kasar dalam tendensi kagum. Terdapat banyak gagasan-gagasan besar yang coba dipadatkan ke dalam cerita & itu berhasil. Bahwa penamaan hari hanyalah warisan bersama, seperti bahasa. Aku sepakat bahwa kematian (sebagai sesuatu yang buruk) terlalu dibesar-besarkan sampai banyak dari kita mengira bahwa penderitaan seumur hidup & hidup abadi tak lebih buruk & membahayakan dari kematian. Melalui cerpen ini, timbul keseruan untuk membayangkan bahwa ada seorang (katakanlah) budak korporat, yang menabung selama sepuluh tahun & menggunakan tabungannya untuk menyewa pembunuh bayaran—yang targetnya adalah dirinya sendiri. Apapun alasannya, sesuatu yang kita sebut sebagai alasan mesti diberikan sepenuhnya kepada yang-melakukan. Sedikit fafifuwasweswos, dalam eksistensialisme, ada “ketakpastian objektif”—dengan kata lain, secara tak langsung menyatakan bahwa hidup merupakan perkara yang-subjektif & pilihan-tindakan adalah sesuatu yang personal. Bagian membagongkan dari cerpen ini: Pembunuh Bayaran gagal menjalankan tugasnya & malah diberi kuliah eksistensialisme à la Camus (meskipun Camus benci dikategorikan sebagai filsuf eksistensialisme; eksistensialis) sebanyak kira-kira 6 sks. Tujuan eksistensialisme, singkatnya, adalah penciptaan makna/esensi; sedang absurdisme berupaya merangkul yang-absurd atau ketakbergunaan dalam hidup & secara simultan memberontak dengan cara terus hidup—memilih untuk terus hidup adalah sebentuk pemberontakan. Cerpen ini juga mengingatkan kita bahwa ada kedunguan umum yang mengatakan cewek itu ribet. Faktanya, cewek dan cowok, keduanya sama-sama memiliki potensi ribet yang sama. Keribetan tak bisa ditarik hanya ke dalam satu jenis kelamin tertentu. Terakhir, moralitas pun sepertinya hanyalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial oleh suatu masyarakat. Mungkin ini akan terdengar posmodern, meminjam bahasa Tarkovsky (lagi), sebuah dunia di kepala 8 miliar manusia adalah 8 miliar dunia yang berbeda. & moralitas barangkali memanglah sesuatu yang relatif; brengsek tak sesederhana ketika kita menyakiti orang lain. & tanpa moralitas objektif, tak akan ada yang menganggapmu goblok karena telah mencoba membunuh dirimu sendiri dengan tangan orang lain bila tak ada yang mengetahuinya. Sartre benar lagi, manusia dikutuk untuk menilai & ternilai.

Snob Berpistol: cerpen ini sedikit mengingatkanku pada The Strangers karya Camus. Tokoh utama (Meursault) di dalam novel tersebut membunuh ibunya secara esensi/gagasan dalam ungkapan “Ibu meninggal hari ini. Atau mungkin kemarin, saya tidak tahu”. Di cerpen ini, tokoh utama, Snob yang berkelamin pistol, benar-benar membunuh ibunya (secara eksistensi). Seperti Meursault yang menembak “orang Arab” tanpa alasan yang jelas sama sekali (& mengakui bahwa dia tak harus membunuhnya)—keabsurdan semacam itu hampir bertebaran di sepanjang narasi “Snob Berpistol”. Awalnya pembaca akan mengira bahwa Snob mengidap semacam megalomania khas Hitler karena membaca The Will to Power-nya Nietzsche atau buku-buku Heidegger & merasa ia adalah Ras Unggul. Atau mungkin semacam superstar syndrom karena pernah viral. Dayuk mengajak kita untuk merenungkan ulang, apakah manusia unggul adalah mereka yang hanya membaca buku-buku filsafat, mendengar musik-musik klasik, menonton film-film sureal, & yang membuat teori-teori berguna untuk keberlanjutan hidup? Atau mereka yang memfafifuwasweswoskan Nietzsche, Lou, Rée, Schopenhauer, Deleuze dkk. Cerpen ini juga mengingatkan akan pentingnya menjaga “subjek” agar tak mati ketika menimba-membaca pemikiran-pengetahuan. Puncaknya ketika terdapat dialog mengenai isi kepala penulis yang ramai seperti pasar nama & gagasan. Uniknya, penis Snob yang berbentuk pistol, secara simbolik, pun menyimbolkan bahwa kelelakian mempunyai potensi bahaya yang sama dengan senjata api. Penulis juga menyoal bagaimana “persetubuhan pemikiran” mungkin tak akan seutuhnya memuaskan dahaga dua insan yang dimabuk cinta. Cerpen ini menyiratkan pula bahwa tuntutan untuk bahagia, lebih mengerikan dari mendorong batu tak berguna dalam kekekalan. Pada akhirnya, Perempuan itu mati terbunuh (secara eksistensi) oleh Snob, tetapi gagasan akan Perempuan itu mungkin takkan pernah mati—bahkan jika Snob mati bunuh diri & jadi Deleuze kedua.

Jalan Lain Menjadi Serangga: cerpen ini me-recall ingatanku pada kutipan Cioran dalam The Trouble with Being Born (tentu dengan diksi yang disesuaikan, telah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks): jangan-jangan lebih baik menjadi serangga ketimbang manusia—sehingga mereka tak akan saling menghina—atau saling membenci & menyebabkan perang dunia? Betul bahwa: tak ada serangga yang merasa paling benar; tak ada serangga yang suka menilai hampir segalanya & banyak bacot dengan wajah menyebalkan. Penulis mengajak kita untuk belajar banyak pada serangga-serangga, khususnya kecoak, yang mampu menghadapi seleksi alam & berevolusi menjadi tangguh bukan kejam. Cerpen ini juga menyinggung soal perang & perbudakan (perbudakan rasial). Lebih banyak nilai moral yang akan kita dapatkan ketika membaca “Jalan Lain Menjadi Serangga”—ketimbang membaca

Mata Kecoak: jika membayangkan pembukaan Kafka yang terkenal dalam The Metamorphosis—pada suatu pagi seseorang bernama Gregor Samsa bangun dari mimpinya yang gelisah & mendapati dirinya berubah di tempat tidurnya menjadi kecoak—saja sudah terlampau absurd, cerpen ini boleh jadi lebih absurd. Bayangkan, di semesta lain ada semesta kecoak lengkap dengan pemimpinnya yang memiliki realitas persis macam manusia. Lengkap dengan matanya yang memiliki 2000 lensa yang bergerak-gerak, Pemimpin Kecoak itu mengawasi layar monitor serta tindak-tanduk 15 kecoak (baca: warganya). Cerpen ini berhasil menampilkan semesta kecoak yang mirip manusia di sebuah negara dunia ketiga; yang lekat dengan feodalisme & teror. Misalkan kita adalah kecoak, bukankah wajar jika kita takut disabuni?

Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas

Saya masih tak handal membuat kesimpulan: membaca Mata Kecoak membuatku berpikir bahwa "neraka adalah keluarga" & absurdisme tak melulu berisi kemuraman yang negatif, tetapi mampu memungkinkan permenungan panjang kali lebar kali tinggi yang positif—sebagai kritik pedas terhadap masyarakat & nilai-nilai kolektif; atau sebagai "penyengat" seperti yang telah ditekskan oleh Plato dalam Apology (yang berkali-kali digaungkan kembali oleh Syarif Maulana).

special thanks to: Indonesia Tera, Raihan Robby, & Sayyidatul Imamah