Saturday, 19 August 2023

Cerpen: Dua Pendaki


“Apa yang sedang kau lamunkan?” tanya Noura tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya. Pantatnya memantapkan posisi duduknya. Lalu ia membetulkan kacamatanya yang sempat longsor. Dan kemudian berselonjor.

“Aku memisalkan dunia ini sebagai pasar malam,” jawab Emil sembari meletakkan kepalanya di pundak kiri Noura. Lantas dengan lekas memejamkan matanya.

Di atas sana, lunar memancari mereka berdua. Hewan-hewan nokturnal saling bersahutan. Membikin semacam melodi malam. Dalam kondisi seperti ini, konon, kejujuran dan keseriusan lebih mudah untuk dilahirkan. Deep talk pun biasanya tak sulit untuk dihadirkan. Di bawah sana, di arah Utara tepatnya, kerlap-kerlip lampu kota nampak jelas ternetra dari dataran setinggi kira-kira seribu tiga ratus MDPL itu. Dan warna langit seperti ingin mengabarkan sedang pukul satu.

“Maksudmu?” ia kembali menukil tanya. Seraya memasang wajahnya dengan segunung keheranan.

“Maksudku, ayolah... Apa beda planet biru ini dengan pasar malam? Di sini, bahkan, terdapat banyak wahana-wahana yang cenderung nauseatik. Ada kora-kora, komedi putar, bianglala, tong setan, dan sebagainya,” jawab Emil setelah mengangkat kepalanya dari pundak kiri Noura. 

“Sejujurnya, aku ingin mencoba memahamimu. Menalar pola pikirmu... Dan kurasa, omonganmu masuk akal. Ada benarnya. Tapi... omong-omong, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” kini Noura bertanya sambil menatap tajam mata Emil.

“Pada dasarnya, aku memang gampang mabuk. Aku bisa muntah hanya karena menaiki persegi panjang beroda lebih dari dua. Apalagi bila di dalamnya terdapat pengharum beraroma jeruk. Aku bukan nyamuk, dan bahkan benci nyamuk, tapi kami sama-sama punya konvensi untuk membenci bau jeruk. Termasuk parfum yang harum jeruk bergamot. Tak diragukan lagi, menurutku, salah satu bebauan terburuk!” ia kemudian mengambil segelas susu jahe di sebelah kanannya. Dan menyesapnya. Kedua kakinya pun turut berselenjor.

“Jawabanmu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Tapi tak apa. Setidaknya aku jadi tahu salah satu alasan mengapa lehermu selalu wangi parfum black opium. Ya, yang hint-nya tercium serupa kombinasi kopi, vanila bourbon, dan bunga melati,” Noura mencoba mengikuti topik pembicaraan.

“Ok ahli minyak wangi. Mulai sekarang kau kunamai Noura Eau de Parfum, ya?” bahasa tubuh dan intonasi bicara Emil seperti seseorang yang sedang satir.

“Haha... usaha yang bagus untuk meledekku. Tapi tolong, aku mohon, jangan mengalihkan perhatianku. Aku masih penasaran sebenarnya. Aku tanya sekali lagi, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” Noura tertawa kecil kemudian memasang wajah serius. Memicingkan tanyanya, lagi.

“Sebentar, aku mau membakar dupa dulu,” Emil meraih keril berukuran enam puluh lima liter berlogo burung osprey di dalam tenda double layer berkapasitas dua orang itu. Lengan kirinya, kini, memegang tiga buah dupa stik. Lengan kanannya memantik api.

Ia kemudian menacapkan tiga buah dupa di tanah. Di depan matras alumunium foil yang mereka duduki. Voilà, asap mengepul dan aromaterapi memenuhi lubang hidung mereka. Penanda dupa tersebut sukses menyala.

“Menurutmu, kira-kira, adakah orang waras yang menyalakan dupa sewaktu dini hari ketika sedang berkemah di antah berantah bersama teman perempuannya? Kau mau pesugihan apa bagaimana?” tak mau kalah, Noura membalas meledek Emil.

“Terserah kau mau menganggapku gila atau bagaimana. Aku terbiasa membakar dupa dan tidak sedang memulai ritual pesugihan. Lagipula pesugihan tak nyata,” kata Emil sambil sibuk menyalakan kembali beberapa dupa yang padam.

“Aku menganggapmu sebagai temanku yang membingungkan. Yang aneh... absurd. Tapi sumpah, pesugihan itu benaran ada. Riil. Kau tak percaya, kah?”

“Kata ayahku, jika pesugihan nyata, tentu saja para ekonom tak akan menggaruk kepalanya sewaktu memikirkan penyebab utama melemahnya nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Dan seseorang yang membikin teori bahwa inflasi sebuah negara dipengaruhi pesugihan itu akan diganjar Hadiah Nobel Ekonomi. IMF dan Bank Dunia pun tak akan segan-segan mengundangnya, memberinya mimbar, untuk mengisi sebuah seminar finansial pada forum pertemuan global.”

“Hahahaha... anjing!!!!” Noura tak bisa menahan tawa dan mengontrol kata-katanya.

“Kita sedang di alam. Jangan sompral,” kata Emil dengan sesimpul senyum. 

“Maaf aku lupa kita sedang berkemah. Eh, aku baru ingat... hmmm... kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau merasa mual dengan kehidupan?”

Emil membuka kotak makanan yang sejak tadi ia anggurkan. Isinya adalah seratus gram tembakau, sebuah alat pelinting, lima puluh butir filter rokok, dua ratus kertas papir, dan tiga buah lem kertas. Tanpa berkata sepatah kata pun, Noura memerhatikan bagaimana Emil melinting sebuah rokok. Hanya butuh tiga puluh detik baginya untuk melakukannya. Setelah jadi, Noura refleks memberikan korek api kepadanya. Emil membakar dan mengisap rokoknya. Sedang asapnya diembuskan melalui dua buah lubang hidungnya.

“Kalau boleh jujur, aku malas menjawabnya. Pertanyaan itu terlalu personal dan sentimental. Tapi sekarang aku sedang ingin menjawabnya. Begini, enam bulan lalu ayahku masih bangun pagi untuk bekerja di pasar saham. Ia manajer perusahaan broker. Kini, dirinya tidur abadi di dalam peti mati. Ia bunuh diri karena kena PHK. Ia depresi. Praktis, ekonomi keluargaku kolaps. Warisan satu-satunya cuma pasar malam. Aku benci menjadi pengusaha. Tapi aku akan meneruskan bisnis ayahku yang tersisa,” ia mematikkan rokoknya. Pundaknya seperti gedung pencakar langit yang menunggu kehilangan rangka beton di setiap lantainya. Nyaris runtuh, rubuh. 

“Ya Tuhan, aku turut berduka cita atas apa yang telah menimpamu. Aku meminta maaf jika pertanyaanku malah membuatmu merasa tidak enak. Pertanyaanku seperti mengorek luka yang masih menganga. Sekali lagi, aku minta maaf,” kedua tangan Noura menepuk-nepuk pundak Emil. Tak berselang lama, ia pun memeluknya.

“Ya, tak apa. Tak apa-apa...” Emil membisik pelan ke telinga Noura. 

“Aku akan mendengarkanmu jika kau masih ingin bercerita,” Noura memeluk Emil dengan lebih erat.

“Terima kasih sudah memasang telinga...” ia kembali membisik.

“Aku di sini,” Noura melepas pelukan. Emil kembali mengambil rokoknya. Dan membakarnya. Lagi.

“Sejak kecil, aku terbiasa hidup dimanja. Aku lelah memutar kepala agar tidak meninggal dengan cara paling menyedihkan di zaman di mana lebih banyak orang yang tutup usia karena obesitas ketimbang malnutrisi. Ya, kelaparan... aku hanya takut jika suatu hari nanti aku ingin memakan arum manis tapi aku telanjur sakit gigi...” ucapannya terputus karena ia mengisap rokoknya, “Sesekali aku merasa seperti seorang yang alergi gravitasi tapi dipaksa menaiki kereta luncur yang mengarah ke bawah. Aku tidak mual dengan kehidupan, aku telah muntah.”

Noura menelan ludah.

“Percayalah, pada suatu hari nanti kau akan bangkit lagi. Semoga Tuhan selalu memberikanmu obat antiemetik. Ingat ini, apa yang tak membunuhmu akan membuatmu jadi jauh lebih kuat lagi,” katanya, menguatkan.

“Terima kasih atas empatimu,” Emil mengembuskan asap rokoknya ke udara seakan memberi jeda, “... tapi apa yang tak membunuhku lebih besar kemungkinannya membuatku berharap mampus dengan segera.”

“Mengapa kau begitu pesimis? Percayalah, selalu ada cahaya di ujung terowongan yang gelap itu.”

“Aku tidak pesimis, aku realistis. Misalkan cahaya di ujung terowongan itu ada. Tetap tak ada yang bisa menjamin apakah cahaya itu merupakan jawaban bagi kegelapan ataukah kereta dengan kecepatan enam ratus tiga kilometer perjam yang akan menghantamku, mengoyak tubuhku, membunuhku, bahkan sebelum reseptor nyeri itu sempat mengirim sinyal bahaya ke otakku,” Emil menggosok hidungnya.

Noura kembali menelan ludah. Seakan tak percaya atas apa yang ia dengar.

“Meskipun dunia bagiku telah seperti pasar malam yang sedang mati lampu, tapi darinya aku banyak belajar. Misalnya bahwa manusia punya semacam kerinduan purba terhadap keseruan. Bahkan rela merogoh kocek mereka dalam-dalam untuk membayarnya. Membeli andrenalin untuk mendapatkan endorfin, sederhananya. Yang ganjil adalah wahana rumah hantu. Seseorang yang mendatangi wahana itu, tentu saja, sadar bahwa hantu-hantu di sana merupakan sesuatu yang sifatnya buatan. Mengapa ia mesti ketakutan bahkan lari tunggang langgang ketika bersitatap dengan hantu-hantu itu?” ia melanjutkan.

Noura, kini, membiarkan Emil bermonolog. Dan di atas sana, lunar masih memancari mereka berdua...

Saturday, 5 August 2023

Cerpen: Ale dan Gori

Ale: “Kau sudah membaca berita?”

Gori: “Berita apa? Ada triliunan berita yang diproduksi setiap hari.”

Ale: “Berita soal mantan pejabat intelijen Angkatan Udara Akirema Sorakit, yang menuding pemerintah negaranya menyembunyikan pesawat Alien sejak tahun sembilan belas tiga puluh-an. Kau percaya Alien?”

Gori: “Berita itu.... sudah. Begini, aku tak mau menggunakan kata 'percaya'. Terlalu dogmatis dan teologis. Aku tak suka pendekatan irasional semacam itu untuk menalar fenomena. 'Percaya' bukan satuan fisika. Tak saintifik. Tak ada beban pembuktiannya. Tak ada tolok ukur kebenarannya. Ya, alien... mungkin ada. Dan kalau pun ada, aku hanya mau percaya pada Alien yang bisa menari.”

Ale: “Sebentar, lantas apa yang kau percaya bila kau tak suka dan tak mau menggunakan kata 'percaya'?”

Gori: “Kalau pun aku mesti percaya, aku hanya mau percaya pada keskeptisanku.”

Ale: “Paradoks!”

Gori: “Lebih ke Paramex, sih.”

Ale: “Hahaha... Kembali ke topik. Kalau Alien ada bagaimana?”

Gori: “Kalau pun ada dan kalau boleh aku lebih konspiratif, aku malah curiga. Aku akan berlagak seperti seorang konspirator mulai sekarang… hmmm… jangan-jangan, lebih dari empat ribu dua ratus matriks yang ada di dunia ini dimungkinkan oleh semacam Alien dengan kecerdasan supertinggi tapi suka bercanda.”

Ale: “Kok bisa?”

Gori: “Ya bisa saja. Misalkan kita menggunakan drone berkamera dengan radius seratus meter untuk memantau bagaimana peradaban dari suku pedalaman di suatu pulau terisolasi yang sama sekali tak tersentuh teknologi. Sebut saja, suku Sontinol di Teluk Binggili. Gunakan asumsi yang sama. Tinggal diganti latar lokasi pemantauannya menjadi Bumi dan radiusnya jadi jarak Andromeda ke Bima Sakti. Katakanlah demikian. Bayangkan. Terbayang?”

Ale: “Sialan. Terbayang. Kepalaku seperti membeku.”

Gori: “Kemungkinan terbesarnya apa? Suku Sontinol, akan memandang drone itu sebagaimana kita memandang UFO.”

Ale: “Terkejut dan terheran-heran?”

Gori: “Tepat sekali! Ngerinya, dalam kondisi inosens-primitif yang kolektif semacam itu, juga terdapat kebolehjadian tinggi bahwa beberapa dari mereka yang skizoid akan mulai mendaulat dirinya sendiri sebagai utusan langit. Mereka akan mengaku pernah mendengar suara Alien, misalnya. Masalahnya timbul jika Alien itu bukan poliglot dan malah unilingual. Alias tak bisa banyak bahasa dan hanya bisa satu bahasa saja.”

Ale: “Misalnya bahasa apa?”

Gori: “Katakanlah, bahasa Preketek-preketek. 

Ale: “Ok, lalu?”

Gori: “Bahasa ini akan mendapatkan legitimasi. Dipolitisasi sedemikian rupa dan cara. Misalkan dijadikan semacam bahasa liturgis dalam kidung ekstraterestrial pada ritus peribadatan di depan patung piring terbang.”

Ale: “Bangsat! Seram juga ya. Aku tak bisa membayangkan jika setiap sendi-sendi kehidupanku ditentukan oleh orang-orang naif yang percaya diri, yang bahkan tak bisa membedakan mana nyata mana delusi. Mana fakta, mana lulabi. Mana kebenaran, mana justifikasi. Ini terlalu ngeri, bahkan untuk sekadar dibayangkan dengan kadar kemungkinan sebesar lima persen.”

Gori: “Yang tak delusif dan bisa melihat peluang akan punya tendensi misionaris. Menjadi sales-mitos mengenai keberadaan Alien. Yang nyaris seluruhnya politis. Agar punya privilese. Entah ingin merasa lebih bersih, lebih tahu, demi lebih dikagumi dan disegani. Oleh siapa? Ya, sesamanya. Atau kalau mau ditarik lebih sosio-kultural, lebih kolonial, dan lebih eksploitatif... ya demi mengeruk sumber daya dari daerah jajahannya. Dengan apa? Sistem dan struktur pengetahuan. Beberapa dari mereka yang punya IQ lebih tinggi dari titik didih air dalam skala celsius mungkin akan menyerukan dekolonisasi pengetahuan. Masalahnya, mayoritas dari mereka hanya punya IQ setara titik didih air dalam skala fahrenheit. Imbesil. Aku bukan mau gaya-gayaan berlagak sok pintar. Aku cuma mau memuntahkan analisis kasar. Upaya meraba kebenaran yang sayangnya tak pernah peduli pada perasaan. Itulah alasan mengapa aku mengatakan demikian. Menarasikannya padamu. Biar ada teman. Aku tak mau mengalami kengerian sendirian. Siapa yang tahan?”

Ale: “Dasar bajingan! Eh, aku masih penasaran bagaimana nasib bahasa selain Preketek-preketek, katakanlah Prokotok-prokotok atau Prikitik-prikitik?”

Gori: “Ya, termarjinalkan. Dianggap rendah dan tak sakral. Tak mujarab. Tak punya kekuatan magis apa-apa. Pedahal uuaa, iiii, dan oooo yang disuarakan setiap komunitas suku pedalaman itu cuma soal variasi vokal belaka. Konvensi pula. Ada yang suka dan terbiasa mengucap huruf a, ada yang i, ada yang u, ada yang o. Cuma soal titik artikulasi di sepanjang rongga suara.”

Ale: “Yang cadel bagaimana nasibnya, ya? Misalkan ada mitos, untuk mencapai Lubang Putih mereka superwajib melantunkan mantra ekstraterestrial dengan enam ribu enam ratus enam puluh enam huruf 'r' setiap lima kali sehari. Mampus, sih. Plus, jika Alien yang mereka percaya punya anger issue. Mudah marah. Apalagi jika di Galaksi, tempat Alien itu bersemayam, tak ada psikiater. Atau sekadar psikolog yang tak bisa meresepkan obat. Sehingga, pada akhirnya, Alien itu tak bisa mengonsultasikan kemarahannya yang tak akan terjadi apabila ia tak berinisiatif tinggi untuk menciptakan suku-suku pedalaman. Yang cadel biologis. Lidahnya pendek atau kecil secara anatomis. Alien problematik itu akan terjebak pada tahap kedua, dari lima tahap kesedihan. Ya, kemarahan. Ditambah gemar mengancam dan pendendam. Kacau.”

Gori: “Kabar buruknya, penderitaan suku pedalaman yang cadel tak sekadar itu. Selain memengaruhi bagaimana berbicara, makan, dan menelan... kecadelan dapat menimbulkan komplikasi saat menyusu. Bayi cadel yang secara anatomis berlidah kecil dan pendek bisa kesulitan dalam menyusu. Ketika menetek, aih-alih mengisap, bayi itu malah mengunyah puting payudara ibunya. Hal yang terjadi setelahnya hampir bisa ditebak. Dahinya dikeplak!

Ale: “Hahahahaha... sulit juga ya membayangkan seorang cadel berbahagia. Lebih sulit dari membayangkan seorang pekerja yang bekerja dengan gaji bercanda dan terus berharap semesta bekerja untuknya, tapi faktanya semesta bekerja di bawah tekanan.”

Gori: “Hahaha... sulit itu akan berkali-kali lipat. Kuadrat. Jika kau tahu bahwa mereka yang berlidah pendek akan bekerja lebih ekstra untuk menjulurkan lidah sehingga akan susah mengucapkan huruf 't', 'n', dan 'l'. Dengan demikian, mereka hampir tak bisa mengeluh dan memisuh dengan kata kasar seperti Kantal! Kkkkkk... aku tertawa seperti orang Silbra.”

Ale: “Hahahaha... cukup intermesonya. Menurutmu, apalagi yang ngeri dari mitos mengenai Alien-Alien itu?”

Gori: “Yang tak kalah ngeri begini... hanya karena perbedaan kata atau istilah untuk menyebutkan benda, sifat, peristiwa, tempat, terjadi adegan panah-panahan antar suku pedalaman yang sebenarnya membicarakan hal yang sama. Tambah ngeri kalau mereka berdarah dingin, sehingga mata panahnya diolesi batrakotoksin. Yang cukup untuk membunuh sepuluh manusia dewasa.”

Ale: “Barangkali karena di hutan belantara hanya ada katak panah beracun. Tak ada dokter THT yang bisa menyembuhkan masalah pendengaran. Sehingga, ketika terjadi kebudekan kolektif, puncaknya hanyalah peperangan. Secara lebih luasnya, dengan kapak perimbas, tombak berujung batu, pedang beraksara Preketek-preketek, senapan angin, senapan mesin, bom atom, hingga rudal balistik berhulu ledak nuklir.”

Gori: “Mengapa aku malah membayangkan Boothevon pergi ke dokter THT, ya?”

Ale: “Tanpa berobat saja, ia bisa menciptakan instrumen indah dan surgawi seperti Piano Seniti Nomor Empat Belas. Minimal Boothevon pakai cotton bud, deh. Maka tak diragukan lagi, ia akan menjadi komposer terbaik sepanjang masa. Setelah Chepin dan Dobussy, tentu saja.”

Gori: “Benar juga. Aku sepakat soal itu hahahaha... Omong-omong, aku sih suka instrumen Hins Zammor. Latar lagu film Antorstollir yang epik dan bikin suasana tambah sinematik itu. Tapi kalau mau kembali membahas lebih lanjut soal kecurigaanku bahwa empat ribu dua ratus matriks merupakan ulah semacam alien dengan kecerdasan supertinggi tapi suka bercanda, maka suku-suku pedalaman tak tersentuh teknologi itu, dapat kita asumsikan sebagai masyarakat primordial.”

Ale: “Ya aku tahu instrumen itu... Menarik... Ayo kita bahas lagi. Sebentar, masyarakat primordial?”

Gori: “Iya, salah satu fase paling awal. Biasanya, secara sosiologis, ada tiga ciri utama. Pertama, punya fetis terhadap benda kosmik... sebut saja batu meteor. Kedua, menyembah Alien berjumlah banyak. Ketiga, menyembah Alien yang tunggal. Ada ribuan alasan gaib di balik fenomena kefetisan dan penyembahan itu. Misalkan... mereka percaya bahwa batu meteor itu adalah batu ajaib yang diberikan Alien kepadanya. Hal ini tak akan terjadi apabila Alien punya kepribadian introver. Bukan ekstrover. Tidak narsis. Tidak minta validasi. Idih najis.”

Ale: “Abi! Anak babi! Serius dululah barang sebentar. Ada pertanyaan menggelisahkan di dadaku. Menurutmu, mengapa suku pedalaman di suatu pulau terisolasi yang tidak tersentuh teknologi bisa sebarbar itu?”

Gori: “Barangkali begini... Aku pakai 'barangkali' bukan untuk mengajak berpikir abstrak. Sesederhana karena aku belum bisa memastikan secara pasti. Masih hipotesis, belum kokoh jadi bangunan teoretis. Begini, di dalam batok manusia itu ada otak reptil. Letak spesifiknya di amigdala. Lapisan paling purba dari otak yang bertanggung jawab atas sembilan puluh persen pengambilan keputusan. Sejak kira-kira dua juta tahun lalu, ketika berburu-meramu, otak reptilian digunakan untuk bertahan hidup. Mengontrol kebutuhan dan ketubuhan dasar. Antara lari dan hadapi. Antara hidup dan mati. Produk evolusi hingga hari ini.”

Ale: “Bahaya juga, ya, warisan evolusi ini. Dilematis, sih. Ada baik, ada buruknya. Ya, klise.”

Gori: “Di zaman mahabeli seperti saat ini, otak reptil ibarat biang kerok yang tak kasat mata di balik mengapa banyak orang bertindak konsumtif. Secara neuroekonomi, saat berbelanja, konsumen sebenarnya tak memutuskan secara rasional, mereka hanya berpikir mereka melakukannya. Membanjirnya pilihan-pilihan dan perbandingan produk, misalnya Aypon vs Androit, memaksa otak reptil bertindak cepat. Mirip ketika dulu, kala Pleistosen, nenek moyang kita yang hidup di Akirema Aratu dan Natales, dihadapkan dengan Smilodon, sejenis kucing bergigi pedang. Pilihannya cuma dua. Dulu, lari atau hadapi. Kini, beli atau tidak. Keduanya sama-sama seperti pilihan hidup atau mati.”

Ale: “Orang gila. Kok bisa kepikiran?”

Gori: “Aku berpikir, maka aku kepikiran.”

Ale: “Overthinking, nggak sih?”

Gori: “Lebih ke oversinting, sih.”

Ale: “Hahahaha.... sebentar aku lupa menanyakan ini. Menurutmu, kalau Alien ada, bagaimana wujudnya?”

Gori: “Barangkali sama seperti gambaran umum di film-film dan komik-komik. Bermata besar, berpipi tirus, dan berambut botak. Tapi bagaimanapun rupanya, ciri morfologis seperti ini, berpotensi berujung pada pengultusan. Artinya, yang bermata kecil, berpipi gembil, dan berambut gondrong, akan cenderung dianggap tidak keren. Lebih ke tidak ilahi, sih. Tidak ada unsur ekstraterestrialnya. Maksudku.”

Ale: “Menarik. Ok, pertanyaan selanjutnya. Menurutmu, bagaimana nasib empat ribu dua ratus matriks ketika manusia mampu mengolonisasi planet lain, Mars misalnya?”

Gori: “Pertama, pendaratan Noil Armstreng dan Buzz Aldran di Bulan pada tahun Sembilan Belas Enam Sembilan dalam misi Ipelle Sebelas tak akan lagi dianggap sebagai akal-akalan NISI. Begitu pula Yura Gigiran. Dan Liyki, anjing pertama yang ke luar angkasa. Dan lainnya. Kedua, orang-orang akan mulai hidup dengan damai. Seperti gambaran Jehn Lonnen dalam lagunya, Imejin.”

Ale: “Imejin ders no hepen... its isi if yu trai... no hell bilow as... abop as, onli skai... imejin oll de pipel... lipin for tudei... ah... imejin ders no kantris... itis nat hard tu du... nating tu kill or dai for... en no relijien tuu... imejin oll de pipel... livin laif in piss... yu hu uuuu...

Gori: “Yu mei sei am eu drimer... bat am nat de onli wan... ay hop somdei yu join as... en de woeld will bi as was.”

Ale: “Bagaimana kalau Alien tak ada?”

Gori: “Kalau Alien tak ada, barangkali orang-orang akan mulai percaya bahwa tiga ribu tahun lalu Piramida Gazi dibikin oleh orang-orang Rimes Kuno. Atau bahwa Stenohongo di Silasbury dibuat oleh para pemburu-pengumpul pada Mesolitik Awal. Seperti yang dikemukakan para arkeolog dengan bukti-bukti arkeologi. Bukan teori konspirasi yang didapat dari seorang tolol ketika buang air besar di kamar mandi. Walau bagaimanapun, kita masihlah bocah yang membuka buku bergambar demi memahami bagaimana bintang-bintang nun jauh di sana bekerja.”

Ale: “Kini, kau telah menjadi Kehidupan, penghancur Pascakematian!”

Gori: “Begini, aku bukan Epponhoimor. Aku tak berhasrat mengotaki pemboman Hareshami dan Nigisika. Aku lebih mau menjadi kucingnya Schrëdingor. Yang bisa bereksperimen pikiran. Tanpa harus dipusingkan dengan meningkatnya harga whaskis.”

Ale: “Ini serius, aku lupa bertanya... apa cita-citamu?”

Gori: “Astronot.”

Ale: “Yang benar saja!”

Gori: “Apa aku sedari tadi terdengar seperti seorang pemabuk bermulut besar yang sedang membual?”

Ale: “Tidak.”

Sunday, 30 July 2023

Dionysus Mencari Bacchus

Self-Portrait as Bacchus (1593) by Caravaggio

bukan. tulisan ini bukan ulasan tentang buku puisi Norman EP soal seksualitas, identitas, & keimanan yang keren itu. begini, aku punya kawan (yang telah kuanggap sebagai mentor kehidu-fun). sebut saja, Pengampunan. ia seorang dosen sastra di universitas sensor. meskipun kami secara geografis dipisahkan oleh Selat Sunda, hampir setiap hari kami whatsapp-an. & hampir setiap pekan, kami saling memfoto botol-botol alkohol lantas dengan lekas memberi reminder agar jangan lupa mereguk mabuk.

aku lupa sejak kapan persisnya kami bertindak macam cogil yang kabur dari RSJ seperti itu. yang jelas, ketika kami sedang dalam keadaan hangover, kami bisa menceracaui apa saja & menjadi siapa saja. sastrawan, filsuf, seniman, antropolog, agamawan, sosiolog, aktor teater, musisi, komposer, hingga terapis dengan analisis Freudian. kebebasan seperti inilah... yang terkadang membuatku berpikir bahwa sober begitu memuakkan. jangan lupa mabuk! begitulah kami saling merutuk.

itu cerita pertama. ini cerita kedua. tiga hari lalu, aku mengirim pap sebotol anggur merah (yang gold) & mengirimkan beberapa drunk text kepada Sifarryla Gautama. tak berselang lama, doski mengatakan begini: how dare u pamer mabski & membiarkan saya sober menghadapi this fuckin existence. malam kemarin, Sifarryla Gautama melakukan hal yang sama. & aku pun mengatakan hal yang sama. sejak saat itu, aku percaya hukum karma.

kawan-kawanku, yang rumahnya hanya berjarak kira-kira seratus meter dari rumahku, pun sama saja. kunamai mereka dengan nama samaran: Gio & Rama. kedua manusia pantek ini, seringkali mengajakku mabuk. kami bahkan punya prinsip, kami tidak akan pulang ke rumah masing-masing sebelum kepala kami pening & putaran gelas sloki telah habis-kering. ketika sedang hangover, kami pun bisa membincangkan apa saja secara random: misalnya... dimulai dari bagaimana cara membuat nasi goreng yang enak, apakah Beethoven yang tuli pernah pergi ke dokter THT, kapan Kapitalisme rungkad, rivalitas Persib vs Persija, bagaimana cara menjadi tukang bubur yang bisa naik haji, mengapa Muse menggelar konser di Malaysia, kapan Nabi Isa turun, seberapa akurat teori-teori fisika dalam film Interstellar, siapa yang cocok jadi menteri pendidikan, apa alasan ideologis Hitler menginvasi Polandia, hingga tato seperti apa yang paling kecil kemungkinannya untuk disesali.

di titik itulah, aku sedikit merasa lingkunganku diisi oleh para pemabuk. jelmaan dewa Dionysus & Bacchus. sedikit fafifuwasweswos, keduanya sebenarnya merujuk pada figur yang sama. mula-mula bangsa Yunani Kuno (konon, di Mycenan) menamainya Dionysus. lalu eksistensinya membentuk praktik-praktik teologis di seluruh Mediterania hingga awal Kekristenan. kelak, bangsa Romawi yang suka nyontek menyebutnya Bacchus. ini tak mengherankan, sebab hampir sembilan puluh persen mitologi Romawi ctrl + c > ctrl + v dari mitologi Yunani. & sebagaimana orang-orang Yunani memandang Dionysus, orang-orang Romawi menganggap Bacchus sebagai dewa anggur, kebebasan, kemabukan, ekstasi suci, & kebahagiaan. 

dalam satu literatur, bangsa Romawi mengasosiasikan Bacchus dengan pesta besar & ia sering divisualkan dalam keadaan tipsy sambil memegang segelas wine. Bacchus bahkan mengilhami kultus Romawi—Bacchanalia—serangkaian festival yang diringi musik-musik klasik, wine, & kesenangan-kesenangan hedonistik lainnya. kira-kira sejak tahun 200 SM budaya ini digelar & dari sinilah kata 'Bacchanalian' lahir untuk menggambarkan pesta yang secara khusus merujuk mabuk-mabukan. secara kultural, Dionysus/Bacchus menjembatani kemanusiaan & yang-ilahi melalui wine (baca: mabski). dalam pengertian paganistik seperti itu, Dionysus merepresentasikan misteri & paradoks. dengan kata lain, wine adalah minuman yang paradoksal: nikmat plus dengan khasiat obat, tetapi juga memabukkan & membikin hilang kendali. ajaib, kan?

secara kesejarahan, para sejarawan Yunani menulis banyak variasi berbeda-beda tentang kisah Dionysus. versi populernya, ia adalah putra Zeus. lucunya, beberapa kawanku merupakan penjudi handal. mereka bermain Gates of Olympus, gim slot yang tokohnya adalah Zeus. apakah ini artinya, secara interpretatif, kemabukan adalah anak perjudian? tapi aku tidak mau & tidak sudi bermain judi. bagiku, hidup sudah terlampau seperti judi yang takkan bisa manusia menangi. aku tak mau kalah lebih telak lagi. aku sudah kalah secara esensi, tak mau lagi kalah secara ekonomi. aku, bahkan, lebih percaya metode ruqyah (yang jelas-jelas tidak saintifik) mampu menyembuhkan seorang yang mengidap skizofrenia—ketimbang harus percaya bahwa berjudi membikin hidup jadi lebih baik. kalau jadi jauh lebih menarik, mungkin iya. tapi apa-apa yang nampak terlalu menarik nyatanya mengandung bahaya yang sama sekali tak asik. bukannya aku takut bahaya, aku cuma terlampau lelah hidup dalam marabahaya. ada jurang perbedaan yang cukup menganga antara takut & lelah.

sesekali aku bertanya-tanya... apa aku, Sifarryla Gautama, Pengampunan, Gio, Rama, & yang tak mungkin kusebutkan satu per satu itu lelah, ya? atau yang lebih parah, apa jangan-jangan semua yang berkepala & punya kesadaran itu lelah, ya? jika iya, apakah 'lelah' merupakan alasan terkuat seseorang untuk mengonsumsi alkohol? jika iya, misalkan ada enam juta pemabuk, dengan asumsi yang sama, maka ada enam juta manusia lelah. apapun alasannya, kupikir, para pemabuk disatukan oleh sebuah kata: eskapistik. lari dari realitas yang larinya lebih kencang dari cahaya.

barangkali hanya dengan mabuk, kita bisa menjadi apa saja & siapa saja. hanya dengan mabuk kita bisa mengurangi intensitas kesadaran yang memusingkan. hanya dengan mabuk kita bisa mengutuk. hanya dengan mabuk kita bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan. hanya dengan mabuk kita bisa menertawakan kegagalan, keletihan, kesedihan, kemurungan, kemalangan, kebiruan, kehidupan, kematian. hanya dengan mabuk kita bisa mencintai tragedi & memahami bagaimana air mata bekerja. hanya dengan mabuk kita bisa percaya bahwa segalanya tidak lebih buruk dari yang dikira. hanya dengan mabuk aku menemukan fragmen diriku yang purba. yang tak terkalahkan. yang membara. yang tak terkatakan. hanya dengan mabuk, Dionysus pada telapak tanganku menemukan Bacchus pada pundakmu.

jangan lupa mabuk! begitulah kami merutuk.

“tuhan di kayu salib adalah kutukan atas kehidupan, sebuah rambu untuk mencari penebusan dari kehidupan; Dionysus yang dipotong berkeping-keping adalah janji kehidupan: ia akan selamanya terlahir kembali & bangkit lagi dari kehancuran.”

—Nietzsche

Thursday, 27 July 2023

Membaca Que Será, Será

 

Que sera sera (2022) by Chantal Proulx

When I was just a little girlI asked my mother, what will I beWill I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me
Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be
Frasa qué será, será (apa yang akan terjadi, terjadilah)—yang cukup terdengar stoik dan berbau deterministik sekaligus fatalistik ini—mencapai kepopulerannya setelah dinyanyikan Josephine Conway McKenna (diperankan Doris Day) dalam film Alfred Hitchcock berjudul The Man Who Knew Too Much (1956). Lagu yang ditulis Jay Livingston dan Ray Evans ini pada dasarnya menyiratkan kekhawatiran seorang anak terhadap masa depannya. Akan tetapi, saya pikir, manusia dewasa pun turut merasakannya. Sebab, ketakpastian melekat erat dalam diri kita dan tak mengenal usia. Dengan kata lain, kalau boleh pesimistis, ketakpastian adalah sesuatu yang barangkali kekal. Oleh karenanya, ketika saya yang tua bangka ini meresapi lirik demi lirik lagu tersebut, saya merasai ada semacam ke-relate-an yang tak terhindarkan.

Saya menilai, manusia adalah budak kepastian. Semenjak zaman Neanderthal berburu mammoth dengan tombak berujung batu atau sejak seorang bocah akamsi Mesopotamia bermain dengan kecipak air di sungai Efrat dan Tigris, kita memiliki semacam kerinduan puitis akan kepastian (dan keajegan) dalam kehidupan. Hal tersebut terepresentasikan secara gamblang (khususnya, pascarevolusi agrikultur) dalam penciptaan konsep-konsep ideal: masyarakat, hukum, perbankan, tata bahasa, negara, agama, dan sebagainya. Filosofi subtil yang ditawarkan Qué Será, Será adalah mengafirmasi ketakpastian, bahwa ketakmenentuan merupakan sesuatu yang tak terelakkan—dan masa depan tak dapat ditebak-diprediksi, sehingga seseorang mesti menerima-merangkul apa pun yang terjadi. 

Takdir, sebagai konsep metafisik yang arkaik, yang tiada habisnya dinarasikan, menekankan bahwa “hasil” dan “peristiwa” dalam hidup kita telah ditentukan sebelumnya (predestinated) dan berada di luar koridor kendali kita. Lauhulmahfuz dalam Islam, Akashic Records dalam Teosofi, Niyati dalam Buddhisme hanyalah salah tiga contoh konsep yang mendedahkan bagaimana takdir menurut hard determinism bekerja. Ketiganya secara langsung menantang ide-ide kehendak bebas (yang cenderung dikandung banyak -isme filsafat Barat, katakanlah eksistensialisme) dan menegaskan bahwa ada kekuatan yang lebih mahakuasa, yang membentuk pengalaman kita. Qué será, será besar kemungkinan berangkat dari premis dasar ini, dan mendorong individu untuk melepaskan nafsu atau keinginan terbesar manusia: kendali mutlak atas hidup mereka.

When I grew up and fell in loveI asked my sweetheart what lies ahead?Will we have rainbows day after day?Here's what my sweetheart said

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be

Lebih lanjut, secara interpretatif, frasa qué será, será seakan mengajak kita untuk mencari penghiburan dalam penerimaan total akan apa yang ditakdirkan. Menariknya, merangkul takdir memungkinkan kita untuk terbiasa beradaptasi dengan keadaan yang tak terduga, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan kekuatan tak terkalahkan dalam kemampuan kita untuk mengatasi setiap badai masalah yang (mungkin) tak berkesudahan. Qué será, será juga memberi pelajaran berharga dalam upaya mendaki puncak kebahagiaan. Dengan kata lain, frasa ini mendorong individu untuk menemukan kepuasan pada saat ini, momen ini, ketimbang terobsesi dengan “hasil” di masa yang akan datang.

Dengan menganut gagasan bahwa kita tak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, kita mengalihkan fokus dari keadaan eksternal pada pemenuhan internal. Pergeseran perspektif ini membebaskan kita dari pengejaran validasi eksternal yang terus-menerus dan memungkinkan kita menemukan kegembiraan dalam kesenangan hidup yang sederhana serta apa adanya.

Pada gilirannya, Qué será, será seakan mengajak kita untuk memikirkan apa yang bisa dan apa yang tak bisa (iya, seperti salah satu judul lagu Rumahsakit). Apa yang tak bisa… Kau raih walau kau t’lah berupaya… Itu hanya tanda… Kau tak membutuhkannya… Apa yang tak bisa… Kau miliki meski kau t’lah temui… Itu hanya tanda… Kau lebih baik tanpanya.

Qué será, será bertopang pada asumsi bahwa, jangan-jangan, kendala ada pada kendali. Artinya, ini adalah soal mengetahui mana yang di dalam kendali, mana yang di luar kendali. Penerimaan total akan takdir ini barangkali akan sedikit mengingatkan kita pada frasa amor fati yang juga merupakan salah satu kredo stoikisme—seakan dengan cara musikal melengkapi puzzle yang ditawarkan -isme tersebut dalam konsep dikotomi kendali. Dengan demikian, ketimbang terus-menerus berjuang untuk mengubah yang tak bisa diubah—yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang tak perlu—lebih baik kita mengakui ketakberdayaan manusia sebagai spesies insignifikan nan super mungil dan hampir nihil dalam alam semesta yang terus mengembang ini.

Meskipun filosofi qué será, será menyajikan perspektif yang cukup meyakinkan—ia tak hadir tanpa kritik. Para kritikus, khususnya dari para penganut kehendak bebas, berpendapat bahwa kehendak bebas itu nyata adanya—sehingga menerima takdir secara total dapat menyebabkan kepasifan, kestagnanan, menghambat kemajuan, bahkan mempunyai tendensi dekadensi. Namun, para determinis yang mengamini qué será, será berpendapat bahwa merangkul takdir tak berarti meninggalkan pilihan-pilihan pribadi yang dapat diambil, melainkan mengakui batas-batas kendali dan menemukan kedamaian dalam pemahaman itu.

Meskipun belum ada yang mengetahui secara pasti kapan polemik soal kehendak bebas bermula, aliran pemikiran yang dari lahir dari diskursus ini—determinisme, libertarianisme, dan kompatibilisme—telah terbentuk selama lebih dari 2000 tahun. Secara kesejarahan,  Islam memiliki semacam perdebatan yang hampir sama: antara kaum Qadariyah (yang mengamini kehendak bebas) dan Jabariyah (yang deterministik). Perdebatan yang terkini, sependek pengetahuan saya, adalah ketika Sam Harris dalam bukunya, Free Will (2012), mengawinkan neurosains dan psikologi, lalu secara gagah berani mencetuskan bahwa kehendak bebas pada dasarnya adalah konsep yang cacat dan tak koheren. Kehendak bebas baginya tak lebih dari sekadar ilusi yang dikonstruksikan sedemikian meyakinkan sehingga banyak dari kita akan menganggap jika ketiadaan konsep abstrak ini akan menyebabkan mimpi buruk berupa nihilisme dan keputusasaan total.

Now I have children of my ownThey ask their mother, what will I beWill I be handsome? Will I be rich?I tell them tenderly

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will beQué será, será

Pada titik tertentu, Doris Day seakan merayu kita untuk merenungkan kembali perihal kehendak bebas dan kemampuan kita untuk menemukan kepuasan batin di tengah ketakpastian hidup yang mahadingin. Saya kira, menerapkan filosofi q será, será dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan kita untuk menavigasi pasang surut “harapan” dengan lebih elegan. Plus, menemukan pelipur lara dalam pengetahuan bahwa apapun yang akan terjadi, akan terjadi. Dengan atau tanpa persetujuan kita sama sekali.

Friday, 21 July 2023

Mata o Mata...

Eyes (2022) by Malsart

“mata adalah jendela jiwa.” —anonymous

bagiku, mata adalah indra paling puitis & artistik yang dimiliki manusia. bahkan dengan mata kita bisa tahu mana yang puitis & mana yang tidak, mana yang artistik & mana yang tidak... mana yang cantik & mana yang tidak. tak terhitung pula berapa banyak peribahasa tentang mata dari setiap budaya & bahasa yang menyertainya. berkat mata pulalah aku bisa mengamini dalam hati salah satu istilah arkaik: cantik itu relatif tapi jelek itu mutlak.

di sisi lain, aku sedikit bersepakat dengan Eco dalam buku The History of Beauty: setiap budaya selalu membawa serta konsep Kecantikannya sendiri dengan gagasan Kejelekannya sendiri, meskipun—dalam konteks penemuan arkeologis—sulit untuk memastikan apakah hal yang digambarkan itu benar-benar dianggap jelek atau tidak.

setidaknya dari Eco kita bisa belajar bahwa standar kecantikan setiap peradaban & zaman begitu berbeda-beda. meskipun pada akhirnya, aku tetap tak bisa memahami standar kecantikan asia (khususnya, Indonesia) yang irasional, yang dimungkinkan oleh industri kosmetik pencerah wajah (baca: kapitalisme lanjut ngang ngeng ngong).

lupakan soal skincare, yang kusuka dari mata adalah karenanya aku bisa membaca (iya, tanpa indera penglihatan pun aku tetap bisa membaca, tapi aku benci huruf braille yang emboss... yang digunakan tunanetra untuk membaca), & dengan membaca aku jadi sedikit tahu bahwa mata telah menjadi subjek interpretasi yang diperdebatkan sejak zaman Nuh merusak alam demi membikin bahtera. secara kesejarahan, banyak dokter & filsuf kuno percaya pada gagasan “mata aktif”. Plato, misalnya, pada abad ke-4 SM memfafifuwasweswoskan bahwa cahaya memancar dari mata—menangkap objek dengan sinarnya. murid Aristoteles, Theophrastus, bahkan dengan gaya penyair membacotkan bahwa mata memiliki “api di dalamnya”. dengan membacot demikian, dia seakan ngajak gelut gurunya, karena Aristoteles barangkali adalah orang pertama yang menegaskan ketidakmasukakalan dalam proses melihat yang disebabkan sesuatu yang keluar dari mata—sebaliknya, Mang Aris berargumen bahwa akan lebih logis kalau mata menerima sinar ketimbang mengarahkannya ke luar.

yang jelas, kompleksitas mata yang membagongkan telah memicu perdebatan yang tiada habisnya. yang sama alotnya seperti para fisikawan ketika berdebat soal apakah cahaya (yang Einstein sebut sebagai photon) itu partikel ataukah gelombang. tapi kompleksitas itulah, yang menurutku membuat mata begitu menakjubkan. seperti sidik jari, setiap iris kita memiliki pola & lipatan yang unik—yang khusus dimiliki setiap manusia. artinya jika ada 8 miliar manusia, maka ada 8 miliar pola & lipatan iris mata. keren, kan? sedikit intermezzo, nebula helix yang
berjarak sekitar 650 juta tahun cahaya dari bumi berbentuk seperti mata.

ok, lanjut. ini mungkin akan terdengar cukup sinting, tapi kukira aku punya semacam fetish pada mata. mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku mengagumi simbol iluminati, mata horus dalam mitologi Mesir kuno, evil eye (iya, yang warna biru itu), hingga lukisan-lukisan Malsart. saking terobsesinya aku dengan mata, aku sampai membeli cincin mata di syopi xixixi.

berangkat dari obsesi anehku terhadap mata pula aku bertanya-tanya & mencari tahu. mula-mula aku penasaran, siapa yang pertama memahami bagaimana mata bekerja? kemudian aku menemukan seseorang bernama Kepler sebagai jawabannya. seingatku, secara umum ia bahkan dianggap sebagai bapak optik modern. anjenk-nya, diperlukan waktu sekitar 541 juta tahun sejak mata biologis pertama terbentuk agar aku bisa bilang, “oh begitu ya, banh... cara kerja mata kita”.(dengan gaya seperti aku sedang ngeledekin Sifarryla Gautama :p).

lebih lanjut, sedikit ngueng-ngueng, para ilmuwan berpendapat bahwa versi paling awal dari mata terbentuk pada organisme uniselular, yang memiliki sesuatu yang disebut 'eyespot'. katanya, eyespot ini terdiri dari bercak protein fotoreseptor yang peka terhadap cahaya—yang paling banter hanya bisa menentukan gelap atau terang. kemudian beberapa hewan berevolusi... mengembangkan mata bulat yang dapat memfokuskan cahaya menjadi gambar. konon, hewan paling awal yang hidup lebih dari 600 juta tahun yang lalu dianggap sebagai makhluk tanpa mata. menyoal evolusi mata... dalam magnum opusnya, The Origin of Species, Darwin sampai menulis bahwa gagasan tentang seleksi alam yang menghasilkan mata “tampaknya, terus terang kuakui, sangat tak masuk akal”. sebentuk kekesalan juragan evolusi atas evolusi mata yang memusingkan.

sejujurnya, aku masih tak bisa membayangkan bentuk hewan yang secara morfologis tak punya mata atau bagaimana rasanya menjadi dirinya. gabut bangsat gak punya mata. di titik ini, aku jadi teringat salah satu scene dalam film I Origins (2014)—yang baru 3 hari lalu kutonton—ketika sang tokoh utama, Dr. Ian Gray, begitu berambisi merekayasa genetik cacing agar kelak mempunyai mata. barangkali Ian lupa, selalu ada harga yang mesti dibayar oleh setiap hewan (termasuk, manusia) dari setiap evolusi yang terjadi pada dirinya. kira-kira begitulah yang kucerna dari buku Evolusi karya Ernst Mayr. paus, misalnya, mungkin kangen hidup di darat, memiliki kaki empat, & terlampau bosan memakan plankton yang tak kasat mata.

oh ya, aku baru ingat—soal mata, aku memegang teguh prinsip bahwa mata mesti diganti mata (sebuah asas usang yang telah menggema dari hukum Babilonia, alkitabiah, Romawi, hingga Islam kuno) bahwa seseorang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama oleh pihak yang dirugikan, atau menurut interpretasi yang lebih halus korban harus menerima ganti rugi yang setimpal.

mengapa demikian? sebab aku takut tak ada pengadilan-afterlife. (lebih parah lagi, tak ada afterlife). aku tak sudi, aku tak rela jika ada seorang brengsek hidup nyaman karena dimaafkan. seorang brengsek mesti diadili di bumi. lupakan Gandhi, mata mesti dibayar mata—for the sake of justice, biarlah dunia buta! aku sudah terlampau muak dengan para hakim tolol yang memvonis rendah seorang bajingan tanpa melihat matanya yang nirpenyesalan.

mari kita tutup ceracau ndak jelas ini dengan kuots monumental dari Tony Montana alias Al Pacino dalam film Scarface (1983): the eyes, Chico... they never lie.

Thursday, 6 July 2023

Yang Enak dari Menjadi Anak-anak


“Paruh pertama kehidupan adalah belajar menjadi dewasa—dan paruh kedua adalah belajar menjadi anak-anak.”
—Pablo Picasso
Bagi saya, masa kanak-kanak adalah masa yang paling enak. Masa di mana saya merasa memiliki kebebasan mutlak macam Le Petite Prince-nya de Saint-Exupéry atau tokoh Sophie Amundsen-nya Gaarder—bebas untuk mengeksplorasi ini itu, belajar-bertanya hal-hal acak, dan mampu menikmati setiap inci bentangan waktu dengan seutuhnya-sepenuhnya—tanpa tanggung jawab atau kekhawatiran khas manusia dewasa yang barangkali sebesar sepeda Nabi Adam. Hiperbolis, memang. Tapi bukankah manusia dewasa selalu punya kecenderungan untuk menggunakan majas hiperbola dalam hampir setiap satuan bahasa yang keluar dari mulutnya?
Dalam hati mungil saya, ada semacam hasrat untuk kembali menjadi anak-anak yang "tabula rasa". Alasan ini mungkin akan terdengar cukup Homo Ludens à la Huizinga, tetapi Kebebasan untuk Bermain, boleh jadi memanglah kesenangan-kebahagiaan paling signifikan sebagai seorang manusia. Saya berani bertaruh telinga kiri saya dipotong pakai pisau cukur seperti van Gogh jika memang ada manusia yang dengan senang hati benar-benar mau dilahirkan untuk bekerja sepanjang usia.
Asumsi saya adalah bahwa tak ada manusia yang benar-benar ingin bekerja. Saya bahkan lebih percaya ada seekor gajah Afrika bisa masuk ke dalam kulkas satu pintu ketimbang ada seorang manusia yang lebih kepingin bekerja ketimbang bermain dengan bebas macam bocah TK.
Saya, tentu saja, masih memiliki “sedikit” Kebebasan untuk Bermain—tetapi rasanya tak lagi sama ketika saya dipaksa memahami bahwa hidup di, dalam istilah Sagan yang fisikawan, titik biru pucat ini, memerlukan kertas dengan nominal tertentu (untuk membeli keperluan tertentu)—yang dijadikan konvensi—sebagai alat tukar dalam upaya memenuhi sandang, pangan, papan—dan saya mesti mencari kertas yang bernilai karena mitos kolektif itu secara mandiri; tanpa bantuan siapa-siapa.
Saya harus menelan pil pahit bahwa untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan paling rendah dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, saya mesti "menjual" waktu dan energi saya yang berharga. Pada gilirannya, saya sampai di kesadaran bahwa mau-tidak mau atau suka-tidak suka saya mesti bekerja.
Ketidakseruan itu bertambah parah ketika saya menyadari bahwa di masa dewasa semuanya serba terasa macam Sisifus berdasi di dalam rangkaian gerbong KRL dari Stasiun Bogor menuju Padang Mahsyar (Baca: Manggarai) yang secara visual monokrom, nirkejutan, bernada minor, dan redundan.
I was happy in the haze of a drunken hour. But heaven knows I'm miserable now. I was looking for a job, and then I found a job. And heaven knows I'm miserable now. Begitulah, kira-kira, yang saya rasakan kalau dalam bahasa The Smiths. Pada titik tertentu, saya terkadang berpikir bahwa setiap manusia dewasa yang bekerja, atau yang lebih parah, manusia yang terpaksa bekerja demi menjadi tulang punggung keluarga—mesti sesekali healing ke pantai-pantai di Bali kemudian menutup laptopnya lalu "membuka meja" dan memesan bir paling dingin.
Masalah utamanya, ketika Kebutuhan untuk Bekerja datang, maka Kebebasan untuk Bermain perlahan-lahan hilang—ini konsekuensi logisnya. Anjing, memang. Meski saya tak pernah yakin bahwa ‘anjing’ merupakan kata paling tepat untuk menjelaskan bagaimana rasanya menjadi manusia dewasa. Babi!, dengan tanda seru yang secara psikologis tak seru, barangkali. Di masa dewasa, saya seperti kehilangan waktu bermain yang memungkinkan kreativitas, daya imajinatif, dan seakan tak berdaya mengeliminasi kerepetitifan yang membosankan.
Faktanya, masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi kepolosan dan keajaiban. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang alami tentang dunia, dan mereka melihat segala sesuatu dengan perasaan takjub. Dunia adalah tempat magis bagi mereka, penuh misteri dan petualangan yang menunggu untuk dijelajahi-dieksplorasi.
Kepolosan dan keajaiban ini memberikan rasa gembira dan optimisme yang unik. Selain itu, sejujurnya saya rindu akan rasa takut. Saya kangen masa-masa di mana saya mengalami mimpi buruk kemudian Ibu saya dengan santai memeluk serta mempuk-puk kepala saya. Kini, saya tak lagi gentar dengan mimpi-mimpi semacam itu, pada titik tertentu, bagi saya jauh hidup lebih ngeri dari mimpi buruk.
Dulu, saya mengenal kata sifat ‘horor’ dari Ibu; yang mengisahkan tentang potensi seorang anak diculik Wewe Gombel bila pulang sewaktu matahari telah terbenam. Sekarang, tak ada lagi kata ‘horor' di kamus kepala saya. Dengan gagah berani, saya mengutip pemikiran pria asing yang berkumis baplang lalu mengatakan dalam hati bahwa Tuhan telah mati ketika pulang bekerja pas dini hari dan mesti melewati pekuburan sunyi.
Tak ada lagi hal yang saya takuti. Tak setan, tak pula Tuhan. Bagi saya, hal semacam ini tak membanggakan atau menyenangkan sama sekali. Tak ada yang keren pula dari mengetahui-mengamini argumen seseorang bernama Philipp Mainländer: karena Tuhan mahatahu dan bosan tak tahan dengan keabadian kemudian Ia bunuh diri lantas terciptalah kehidupan; alias alam semesta adalah bangkai Tuhan. Gagasan nihilisme kosmik semacam ini, bahkan terlalu ngeri untuk dibayangkan pada suatu senin pagi yang cerah.
Yang enak dari menjadi anak-anak, pun adalah adanya semacam Kebebasan untuk Mengekspresikan Diri. Anak-anak cenderung tidak bisa dan tidak mau dipagari oleh norma atau harapan sosial-kultural. Mereka hampir selalu bisa mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Baik melalui seni lukis, musik, atau tarian—anak-anak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitasnya dan mengekspresikan diri dengan caranya sendiri.
Lain halnya dengan manusia dewasa, yang mesti bekerja dalam kontinuitas waktu, memiliki integritas, menjaga profesionalitas, dan sufiks -tas lain yang membuatku merasa seperti Kafka yang sedang sakit kepala. Dengan kata lain, menjadi dewasa itu melelahkan, memusingkan, memualkan, memuakkan, membosankan—singkatnya, membagongkan.
Itu secara personal. Secara sosial, saya ingin mengatakan persetan pada teori Modal Kultural-nya Bourdieu, saya kira, masa kanak-kanak merupakan masa di mana seseorang merasakan persahabatan yang tulus, murni, dan apa adanya. Tanpa intrik, tanpa gimik. Anak-anak tak berkawan karena Modal Kultural. Mereka berkawan sesederhana karena ingin berkawan saja. Mereka tak pernah peduli siapa manusia yang mereka ajak bermain bola—yang gawangnya ditandai sandal jepit—pada suatu sore yang damai di sebuah lapangan bola alakadarnya. Mereka juga tak pernah peduli apakah bermain dengan boneka itu saintifik atau tidak.
Masa kanak-kanak, saya rasa, juga merupakan masa di mana seseorang dapat menikmati hal-hal sederhana dalam hidup. Anak-anak menemukan kegembiraan dalam hal-hal yang nampak kecil, seperti bermain di taman, mengendarai sepeda, atau memakan makanan kesukaannya. Kesenangan sederhana masa kanak-kanak memberikan rasa puas dan bahagia yang autentik, yang tidak dapat ditemukan manusia dewasa dalam harta benda yang bisa dibelinya.
Saya bertanya pada diri sendiri: ”Bukankah lebih seru rasanya untuk bermain petak umpet dengan kawan tongkrongan, mengadu lari untuk menentukan siapa Usain Bolt di antara saya dan kawan ngaji saya, atau bersama-sama minum es cekek lalu berpura-pura mabuk— ketimbang bermain petak umpet dengan makna hidup yang kian redup, mengadu lari dengan ketahanan stamina saya sendiri di atas treadmill, dan dicekek deadline kerjaan kemudian mabuk benaran plus sendirian di kos-kosan?”
Oh, simple thing, where have you gone?
I'm gettin' old, and I need something to rely on
So, tell me when you're gonna let me in
I'm gettin' tired, and I need somewhere to begin
Pada akhirnya, yang paling banter saya lakukan hanyalah bermain-main dengan cat akrilik, bahasa, alat musik, dan kesadaran.