Friday, 15 September 2023
Thursday, 14 September 2023
Genrifinaldy's Poems (2)
Ode to the Adulthood
: Beach House - Space Song
i'm still that random boy in every sci-fi/adventure movie—playing hide & seek with the constellation of stars—seeking to understand what the hell is going on or what the fuck god's problem is. where did he throw the dice?
& how can a mature outside of me still have a light after entering the black hole of reality?
(2023)
-
One of Reason to be Sad
long ago, one of the things that could make me happy all day was finding money in my pants. today, it actually made me sad all day. i realize i'm getting older & forgetful.
forgot that i had those pants & there was money inside of them.
(2023)
-
I'm Disillusioned
by the fact that life isn't like a movie. there is no cinematic backsound for every filmic thing we experience: when we take a deep breath before making a tough decision, close our eyes while kissing our partner's lips, let ourselves be wet caught in the rain, sunken in puzzled philosophical daydreams, smile at childhood memory we have, hangout with friends on friday night then laugh so hard, crying alone silently on the top of pillow on sunday evening, & so on, & so on.
in life, there is no 'protagonist' either. since everyone is an 'extra'. & we never know who the antagonist is. but i found that the “advanced antagonist” can give us shelters, serve us food & drinks, lecture good value, go to the grocery store, pay our bills, & tell us to keep going on the endless circular track they build ahead of us.
unfortunately... that's not the worst part, but the probability that our life was probably directed by the most untalented-amateur directors with a bad sense of humor & taste of art.
(2023)
-
Live Longer
aspirations
are just undiscover
disappointment.
(2023)
-
If You Ask How's My Day...
i just feel like a schiz with a bad headache. too bad, me & my mind speak in a different language. & my neck tells my ears longing for the blade of guillotine. i want to believe that there's a grand lullaby to my agony, a story that will validate my tears, stomachache, & back pain. that's a frail voice inside me hoping for a glimpse of light in the vast darkness. yet, as time unfurls, i recognize those whispers are merely echoes of a desperate heart. but the universe remains silent, indifferent to my pleas. since i'm just transient beings, insignificant in the boundless expanse of existence. my fretfulness, in the enormous narrative of life, is but a meaningless noisy disturbance. i think i consume too many western thinkers until i assume there's no cosmic reward waiting for me at the end. unhappily, i simply exist, endure, & the idea of me eventually vanish into oblivion, with no real assurance that my streams had any true seas. while my hopes perish like little flowers swept by the volcanic mudflow. perhaps, my daily basis struggles are that tinyer than i feel they are. unlucky, now, i have become a gigantic monster under the bed that countless religions fight with...
no, just kidding. i'm okay. that's just a phase. as you said.
(2023)
Tuesday, 12 September 2023
Beside Schopenhauer's Corpse - Maupassant (Cerpen Translasi)
*Ditulis Guy de Maupassant dalam bahasa Prancis—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Albert M. C dkk (cerita ini diambil dari buku The Entire Original Maupassant Short Stories, diterbitkan oleh The Project Gutenberg pada tahun 2021)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA
Ia perlahan-lahan sekarat, seperti halnya pengidap tuberkulosis mati. Aku melihatnya setiap hari, sekitar pukul dua, duduk di bawah jendela hotel pada sebuah bangku di kawasan pejalan kaki, memandang ke laut yang tenang. Ia mematung selama beberapa waktu tanpa bergerak barang sesenti, di bawah terik matahari, menatap Laut Mediterania dengan sedih. Sesekali, ia melirik pegunungan tinggi dengan puncak tertutup awan di Mentone; kemudian, dengan gerakan yang sangat lambat, ia akan menyilangkan kakinya yang panjang, yang begitu kurus, sehingga tampak seperti dua buah tulang, dibungkus celana panjangnya yang kebesaran, dan ia akan membuka sebuah buku, selalu buku yang sama. Dan kemudian ia mematung lagi, tapi terus membaca, membaca dengan mata dan pikirannya; segenap tubuhnya yang ringkih seakan membaca, seluruh jiwanya tenggelam, hilang, lenyap, dalam bukunya, hingga saat udara semakin dingin membikinnya sedikit terbatuk-batuk. Kemudian, ia bangkit dan masuk kembali ke hotel.
Ia seorang Jerman yang jangkung, berjanggut pirang, yang sarapan dan makan malam di kamarnya sendiri, dan tidak bercakap-cakap dengan siapa pun.
Rasa ingin tahu yang samar-samar membuatku tertarik padanya. Suatu hari, aku duduk di sebelahnya, untuk menjaga penampilan, aku pun mengambil sebuah buku, sejumlah puisi Musset. Dan aku mulai melahap buku berjudul Rolla ini. Tiba-tiba, ia bertanya, dalam bahasa Prancis yang baik:
“Apakah Anda bisa berbahasa Jerman, Tuan?”
“Tidak sama sekali, Tuan.”
“Sayang sekali. Karena kesempatan telah mempertemukan kita, saya bisa saja meminjamkannya kepada Anda, saya bisa menunjukkan harta karun kepada Anda, suatu hal yang tak ternilai harganya—buku yang saya pegang ini.”
“Apa itu, kumpulan doa?”
“Ini adalah salinan karya guruku, Schopenhauer, dengan catatan yang ditulis tangannya sendiri. Semua pinggiran halaman buku ini, seperti yang Anda lihat, diisi dengan catatannya.”
Dengan penuh kesopanan aku mengambil buku itu darinya, dan setelahnya aku hanya melihat kalimat-kalimat yang tidak dapat kupahami. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata itu menunjukkan pikiran-pikiran abadi seorang penghancur mimpi terbesar yang pernah hidup di muka bumi.
Dan bait puisi Musset, yang tadi kubaca, muncul dalam ingatanku:
Apakah tidurmu nyenyak, Voltaire,
mati adalah anugerah, dan apakah
senyummu yang mengerikan itu
masih melayang-layang
di atas tulang belulangmu?
Dan tanpa sadar aku membandingkan sarkasme kekanak-kananakan Voltaire dengan ironi Schopenhauer, filsuf Jerman yang telah mampus tapi pengaruhnya tak pernah pupus. Ia telah dikecewakan oleh rasa percaya, harapan, dan angan-angan yang puitis. Ia telah menghancurkan keinginan, menghancurleburkan rasa percaya diri, menghanguskan cinta, membumihanguskan pemujaan halus terhadap wanita, membantai ilusi-ilusi kemanusiaan, dan menyelesaikan tugas terbesar skeptisisme—meragukan segalanya—dan hanya percaya pada kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah bisa diketahui. Olok-oloknya telah mengisi ruang-ruang di dunia dan membuatnya menjadi ruang kedap makna. Bahkan orang-orang yang mengolok Schopenhauer sampai sekarang masih membawa partikel pesimisme ke dalam jiwa mereka.
“Jadi, Anda mengenal Schopenhauer secara pribadi?” kataku pada orang Jerman itu.
Ia tersenyum kecut.
“Sampai saat ia wafat, Tuan.”
Dan ia mulai menceritakan sang filsuf dan kesan supranatural yang ditimbulkan makhluk aneh ini terhadap semua orang yang pernah mendekatinya.
Ia bercerita tentang tanya jawab tokoh ikonoklas tua ini dengan seorang politisi Prancis, penganut Republik, yang ingin sekali menjumpainya. Pertemuan dilakukan di sebuah bar yang bising, Schopenhauer yang kusut masai duduk di tengah-tengah murid-muridnya, tersenyum dengan gayanya yang khas, menyerang dan mencabik-cabik gagasan dan keyakinan sang politisi dengan satu kata, seperti seekor anjing merobek mainannya dengan satu gigitan giginya.
Beberapa saat kemudian sang politisi itu pergi dengan keheranan bercampur ketakutan, “Saya pikir saya telah menghabiskan satu jam waktu saya bersama iblis.”
Orang Jerman itu menambahkan, “Anda tahu, Tuan? Ia sungguh memiliki seulas senyum mengerikan yang membuat kami bergidik ngeri, bahkan setelah ia meninggal senyumnya masih menghantui kami. Ada sebuah kisah nyata tentang hal ini yang pernah didengar oleh beberapa orang dan saya akan menceritakannya kepada Anda.”
Dan dengan suara letih ia mulai bercerita, diselingi oleh suara batuknya berkali-kali.
***
Schopenhauer baru saja meninggal dan kami ditugaskan untuk menjaga mayatnya. Secara bergiliran, berdua-dua, hingga esok pagi. Di sebuah apartemen yang besar dan mencekam, ia terbaring di atas ranjang. Di sampingnya, dua batang lilin dinyalakan di atas meja. Pada tengah malam, saya dan seorang teman tiba untuk menjaga mayat itu. Kedua orang teman yang kami gantikan telah pergi dan kami duduk di kaki ranjang.
Ekspresi wajah mayat itu masih tidak berubah, ia masih tetap tersenyum. Seakan-akan ia masih hidup. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan yang kami kenal baik dan kami hampir mengira ia akan membuka matanya, bergerak dan berbicara. Pikiran-pikirannya terasa melingkari kami, lebih dari yang pernah kami rasakan. Kini, setelah ia mati, daya magisnya lebih mencengkram kami ketimbang sebelumnya. Rasanya seperti kekuatan pikirannya yang dahsyat berpadu dengan kemisteriusan tak terjelaskan.
Tubuh manusia ini akan binasa, tetapi jiwanya tidak. Dan saya yakin, Tuan, pada malam setelah jantungnya berhenti berdetak ia menjadi sangat menakutkan.
Dan dengan nada pelan kami membicarakannya, mengingat perkataannya, rumusan tertentu darinya, pepatah mengejutkannya; bagaikan pancaran api yang dilontarkan, dalam beberapa kata, ke dalam kegelapan Kehidupan Tak Diketahui—seperti yang ia percayai.
“Saya merasa bahwa ia akan berbicara,” kata teman saya. Kami memandang gelisah pada wajahnya yang diam dan bibirnya tampak masih menyunggingkan senyum aneh. Perasaan kami tidak enak. Suasana terasa mencekam dan kami merasa akan pingsan.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri saya,” kata saya, “yang jelas, saya merasa tidak enak.”
Kami mencium bau tidak sedap yang keluar dari mayat itu. Teman saya berkata bahwa kami sebaiknya pergi ke ruang sebelah. Dan, saya mengamininya.
Saya membawa sebuah lilin dari samping tempat tidur dan kemudian pergi meninggalkan lilin yang satunya. Saya duduk cukup jauh di ruang lain. Di tempat kami berada, kami dapat melihat ranjang dan mayat yang terbujur kaku di atasnya dengan jelas diterangi sebatang cahaya lilin.
Tapi roh Schopenhauer masih menghantui kami. Seseorang bisa mengatakan bahwa kini ia telah terbebas dari tubuhnya dan kekuatan jiwanya membayang-bayangi kami. Dan sesekali, bau mengerikan dari tubuhnya yang membusuk masih memenuhi hidung kami. Ini sangat memuakkan dan tidak dapat dijelaskan.
Tiba-tiba, kami mengalami kengerian. Bulu kuduk kami naik. Tubuh kami bergetar. Kami gentar. Suara misterius terdengar dari ruangan di mana mayat itu terbaring. Kami memandang ke arah suara itu berasal dan kami melihatnya, Tuan. Kami berdua melihat dengan jelas sesuatu berwarna putih bergerak melintasi tempat tidur, lalu jatuh di atas karpet, dan menghilang di bawah sebuah kursi.
Kami sudah berdiri sebelum sempat berpikir. Seluruh perhatian kami terfokus pada teror yang membius, dan kami siap untuk lari terbirit-birit. Kemudian kami saling memandang wajah masing-masing. Kami sangat pucat. Jantung kami berdebar cepat seakan-akan kami dapat melihatnya berdegup tepat di bawah pakaian kami. Saya adalah yang pertama membuka suara:
“Apakah kamu melihatnya?”
“Ya, saya melihatnya.”
“Apakah menurutmu ia masih hidup?”
“Masih hidup bagaimana? Tubuhnya sudah membusuk.”
“Apa yang mesti kita lakukan?”
Teman saya menjawab dengan agak ragu-ragu, “Kita harus memeriksanya.”
Saya membawa lilin dan berjalan mendahuluinya, memeriksa seluruh sudut gelap ruangan mayat yang besar itu. Tidak ada sesuatu pun yang tampak bergerak. Saya menuju ranjang kemudian berhenti, dicekam keheranan dan kengerian. Schopenhauer tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah menyeringai dengan bibir tertutup rapat dan pipinya tampak cekung.
Saya berkata gugup, “Ia tidak mati!” Namun bau busuk itu kembali memenuhi hidung saya dan membuat sesak napas. Dan saya berdiri di sana. Menatap tajam ke arahnya dengan begitu takut seolah-olah akan ada penampakan.
Teman saya mengambil lilin yang berada di samping ranjang dan tanpa berkata apapun ia menyentuh tangan saya. Saya mengikuti pandangan matanya. Di bawah kursi dekat ranjang, sesuatu berwarna putih tergeletak di atas karpet berwarna gelap.
Ternyata benda misterius itu adalah gigi palsu Schopenhauer. Dengan posisi menganga seakan-akan siap menerkam. Nampaknya proses penyusutan telah melonggarkan gusinya. Menyebabkan gigi palsu itu melompat keluar dari mulutnya.
Saya benar-benar ketakutan. Malam itu sungguh menakutkan, Tuan…
***
Dan ketika matahari mulai terbenam menuju lautan yang berkilauan, orang Jerman yang mengidap tuberkulosis itu bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan badannya padaku, dan masuk ke dalam hotel.
Sunday, 10 September 2023
The Kingdom That Failed - Murakami (Cerpen Translasi)
*Ditulis Haruki Murakami dalam bahasa Jepang—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jay Rubin (cerita ini terbit di The New Yorker pada 13 Agustus 2020)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.
Aku mencuci kakiku di sungai itu. Meskipun hanya terendam sebentar, airnya yang sedingin es membikin kakiku merah. Dari sungai ini, kau dapat melihat tembok-tembok dan menara kastil kerajaan yang gagal. Di atas menara itu, tampak bendera dengan dua warna berkibar ditiup angin. Siapapun yang berjalan di tepi sungai akan melihat bendera itu dan berkata, “Hei, lihat. Itu bendera kerajaan yang gagal.”
***
Q dan aku adalah teman—atau lebih tepatnya, ‘pernah’ berteman semasa kuliah. Sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak kami melakukan apapun yang dilakukan teman. Itulah mengapa aku pakai kata ‘pernah’. Yang jelas, kami berteman.
Setiap kali aku mencoba menceritakan tentang Q—menjelaskannya sebagai pribadi—aku selalu merasa kesulitan. Aku memang payah menjelaskan apa pun, tetapi tanpa hal itu pun, tetap saja menjelaskan tentang Q kepada seseorang adalah tantangan tersendiri. Dan ketika aku mencobanya, aku seperti merasa berada di jurang keputusasaan.
Mari membuatnya lebih sederhana, sejauh yang kubisa.
Q dan aku seumuran, tetapi ia lima ratus tujuh puluh kali lebih tampan. Ia juga punya kepribadian yang baik. Ia tak pernah memaksa atau membual, dan ia tak pernah marah jika seseorang secara tak sengaja menimbulkan masalah baginya. Ia akan bilang, “Oh, tidak apa-apa, aku juga sering begitu.” Tapi faktanya, ia tidak pernah melakukan hal buruk semacam itu, kepada siapa pun.
Ia juga tumbuh dengan pola asuh yang baik. Ayahnya seorang dokter yang punya klinik sendiri di Pulau Shikoku, yang berarti Q tidak pernah kekurangan uang. Bukan berarti kelebihan pula. Ia seorang penata rias terampil, juga seorang atlet hebat yang pernah bertanding di kejuaraan tenis antar sekolah saat SMA. Ia suka renang dan pergi ke kolam renang setidaknya dua kali seminggu. Secara politik, ia adalah seorang liberal moderat. Nilainya, jika tidak luar biasa, setidaknya bagus. Ia nyaris tak pernah belajar untuk menghadapi ujian, tapi tidak pernah mengulang satu mata kuliah pun. Ia benar-benar mendengarkan saat dosen menjelaskan.
Ia secara mengejutkan sangat berbakat dengan piano, dan punya banyak rekaman Bill Evans dan Mozart. Penulis favoritnya cenderung penulis Prancis—Balzac dan Maupassant. Sesekali ia membaca novel Kenzaburo Oe atau penulis lain. Dan kritiknya selalu tepat sasaran.
Begitulah Q yang kuketahui selama di perguruan tinggi. Singkatnya, ia adalah sosok tanpa cacat.
Saat itu, Q tinggal di apartemen sebelahku. Lewat pinjam-meminjam garam atau saus salad, kami jadi teman, dan bergantian main ke tempat masing-masing sambil mendengarkan musik dan minum bir. Pernah suatu kali aku dan pacarku naik mobil ke pantai Kamakura bersama Q dan pacarnya. Kami sangat nyaman bersama. Lalu, saat liburan musim panas di tahun terakhirku, aku pindah, dan itu saja.
Kali berikutnya aku melihat Q, hampir satu dekade telah berlalu. Aku sedang membaca buku di tepi kolam renang sebuah hotel mewah di kawasan Akasaka. Q sedang duduk di kursi berjemur di sebelahku, sementara di sampingnya ada seorang perempuan cantik berbikini dengan kaki semampai.
Aku langsung mengenali Q. Ia setampan biasanya, dan sekarang, di umurnya yang tiga puluh tahun lebih, ia seperti memancarkan kharisma tertentu yang sebelumnya tidak ia miliki.
Ia tak menyadari aku yang duduk di sebelahnya. Aku lelaki yang terlihat
biasa saja, dan aku memakai kacamata hitam. Aku ragu apakah harus menyapanya, tetapi pada akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukannya. Ia dan perempuan itu sedang mengobrol dengan serius, dan aku tak enak hati untuk menyelanya. Lagipula tak banyak yang bisa kami bicarakan. “Aku pernah meminjamakanmu garam, ingat?” “Oh, iya, dan aku meminjam sebotol saus salad.” Kami akan kehabisan topik dengan cepat. Jadi aku menutup mulutku dan menempelkannya pada buku yang tengah kubaca.
Tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menguping apa yang dibicarakan Q dan rekan cantiknya itu. Sepertinya itu masalah yang rumit. Aku berhenti mencoba membaca dan fokus mendengarkan mereka.
“Tidak mungkin,” kata perempuan itu. “Kau pasti bercanda.”
“Aku tahu, aku mengerti,” kata Q. “Aku paham betul apa yang kau katakan. Tapi kau juga harus memahami posisiku. Aku tidak melakukan ini karena aku mau. Itu maunya orang-orang di atas. Aku hanya memberi tahumu apa yang mereka putuskan. Jadi jangan memandangku dengan tatapan seperti itu.”
“Yah, baiklah,” jawabnya.
Q menghela nafas.
Izinkan aku meringkas percakapan panjang mereka—dengan tambahan imajinasiku, tentunya. Q tampaknya sekarang menjadi sutradara di stasiun TV atau tempat semacamnya, dan perempuan itu adalah penyanyi atau aktris yang cukup terkenal. Ia dikeluarkan dari suatu proyek karena suatu masalah atau skandal yang melibatkannya, atau mungkin hanya karena popularitasnya yang menurun. Tugas untuk memberi tahu itu diserahkan pada Q, yang merupakan orang paling bertanggung jawab langsung untuk operasional sehari-hari. Aku tidak banyak tahu tentang industri hiburan, maka aku tidak bisa memastikan poin-poin pentingnya, tetapi kurasa tak jauh dari semua itu.
Menilai dari yang kudengar, Q menjalankan tugasnya dengan penuh ketulusan.
“Kami tidak bisa bertahan tanpa sponsor,” katanya. “Aku tidak perlu memberi tahumu—kau tahu cara kerjanya.”
“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi yang bisa kulakukan sangat terbatas.”
Percakapan mereka berbelok lagi menuju jalan buntu. Perempuan itu ingin tahu seberapa banyak Q telah berjuang untuk dirinya. Ia bersikeras bahwa ia telah melakukan semua yang ia bisa, tapi ia tidak punya cara untuk membuktikannya, dan perempuan itu tidak percaya. Aku juga tak terlalu percaya padanya. Semakin tulus ia mencoba menjelaskan berbagai hal, semakin banyak kabut ketidaktulusan yang menutupi. Tapi itu memang bukan salah Q. Itu bukan salah siapa-siapa. Oleh karenanya, tak ada jalan keluar dari percakapan ini.
Tampaknya perempuan itu selalu menyukai Q. Kurasa mereka akur hingga masalah ini muncul. Itulah yang membuatnya semakin marah. Karena ia menaruh rasa pada Q. Namun pada akhirnya, ialah yang menyerah.
“Oke,” kata perempuan itu. “Aku sudah bisa menerimanya. Belikan aku Cola, oke?”
Mendengar itu, Q menghela nafas lega dan pergi ke stan minuman. Perempuan itu memakai kacamata hitamnya dan menatap lurus ke depan. Saat ini, aku telah membaca baris yang sama di bukuku beberapa ratus kali.
Tak berselang lama, Q kembali dengan dua gelas kertas besar. Sambil menyerahkan segelas kepada perempuan itu, ia meletakkan badannya ke kursi berjemurnya. “Jangan terlalu bersedih tentang ini,” katanya. “Sekarang, setiap hari kau akan—”
Tapi, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimat tersebut, perempuan itu melemparkan gelasnya yang masih penuh ke arahnya. Gelas itu tepat mengenai wajahnya, dan sekitar satu per tiga dari Coca-Cola itu mencipratiku. Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu berdiri dan, sambil menarik sedikit bikininya, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Q dan aku hanya duduk terpana selama lima belas detik. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan kaget.
Q adalah orang pertama yang mendapatkan kembali ketenangannya. “Maaf,” katanya dan mengulurkan handuk padaku.
“Tidak apa-apa,” jawabku. “Nanti aku mandi saja.”
Tampak sedikit kesal, ia menarik handuk itu kembali dan menggunakannya untuk mengeringkan dirinya sendiri.
“Setidaknya biarkan aku mengganti rugi bukunya,” katanya. Memang benar bukuku basah kuyup. Tapi itu hanya paperback murah, dan tidak terlalu menarik. Siapa pun yang melemparkan Cola pada buku itu dan mencegahku membacanya berarti telah menyelamatkanku. Ia menjadi cerah ketika aku mengatakan itu. Ia memiliki senyum manis, seperti biasanya.
Q kemudian pergi, setelah sebelumnya meminta maaf kepadaku sekali lagi sambil berdiri untuk beranjak. Ia tidak pernah menyadari siapa aku.
Aku memutuskan memberi judul “Kerajaan yang Gagal” pada cerita ini karena aku kebetulan membaca artikel di koran sore hari ini tentang kerajaan Afrika yang telah gagal. “Melihat kerajaan yang indah memudar,” katanya, “jauh lebih menyedihkan ketimbang melihat keruntuhan republik kelas dua.”