Wednesday, 19 June 2024

Katakanlah Jika Kau Bertanya Bagaimana Hariku

Hariku lumayan baik. 


Syukurlah. 


Aku hanya merasa seperti seorang skizo dengan migrain yang parah. 


Hah?


Maksudku, delusi & sakit kepala sebelah. 


Sayang, katakan padaku, apa kamu butuh olanzapine atau panadol?


Tramadol. Tidak... aku bercanda. Aku tidak butuh itu. Sejujurnya, aku lebih merasa seperti Dostoevsky dengan sakit gigi yang menahun!


Siapa Dostoevsky?


Begundal Rusia. 


Aku tak tahu siapakah dirinya. Tapi yang jelas, sakit gigi menahun pasti menyiksa... apakah tujuh butir ponstan cukup meredakan itu?


Tidak. & tentu saja van Gogh pun akan turut menggelengkan kepalanya. Alam, seni, & puisi saja tidaklah cukup. Begitu katanya. Apalagi cuma obat pereda nyeri. Tidak ponstan. Tidak juga osagi. Yang kumaksud bukan sakit gigi secara literal. Lihat, meskipun gingsul, gigiku sehat wal afiat.


Ok, lalu di mana masalahnya?


Aku terlalu banyak mengonsumsi yang manis-manis. Yang utopis-utopis. Seperti seorang anak kecil yang giginya rusak karena terlalu banyak mengisap permen. Atau barangkali seperti seseorang yang terkena diabetes. Aku jadi pesimis sebab pernah terlampau optimis. Tapi walau bagaimanapun, hidup, mengecewakan yang optimis, juga yang pesimis. Kini, aku baru tersadar, mayat-mayat yang lengannya frostbite di puncak Gunung Everest itu, sebenarnya, secara halus, memberitahuku bahwa terlalu percaya membikin siapa pun mati hipotermia. Sebagaimana bocah Timur Tengah yang tertimpa reruntuhan gedung. Sebab langit begitu dingin. & doa-doanya tak bisa membelokan roket-roket agar tidak menabrak bangunan setinggi pohon kelapa itu.


Demi tuhan, aku tidak mengerti.


Tak apa. Aku juga tidak mengerti diriku sendiri. Sayang sekali, pikiranku & perasaanku berbicara dalam bahasa yang berbeda. Keduanya, berjarak kira-kira tiga juta tahun cahaya.


Aku semakin tidak mengerti. Mau kuantar ke poli jiwa?


Tidak. Lorong-lorong putih dengan bau kimia yang menusuk-nusuk hidungku & seorang psikiater yang bertanya apa yang kurasakan hanya karena aku telah membayar satu sesi konsultasi seharga satu per tiga gajiku selama sebulan, cuma membikinku trauma. Lagi pula, aku cuma diserang sedih yang tiba-tiba. Datang dari arah yang entah. Tapi yang jelas, hari ini, seperti biasa, meskipun punya riwayat gerd, aku membuka pagi dengan menyeduh kata-kata dari sales kopi Algeria: menunda kepergian, adalah kemenangan telak bagi absurditas kehidupan. Sekira tiga jam setelahnya, seingatku, aku membaca catatan Virginia kepada suaminya, Leonard, sebelum ia mengisi saku mantelnya dengan batu-batu lantas berjalan menuju sungai Ouse di belakang rumahnya & tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. 


Kurasa kamu terjebak kata-kata. Kata-kata cuma kata-kata. Tak nyata. Percayalah, yang kamu rasakan itu cuma fase. Kamu bakal baik-baik saja.


Mungkin, tapi tolong jangan sepelekan kata-kata. Memangnya, apa isi kitab suci? Kata-kata! Itulah yang menggerakan dunia & sejarahnya. Delapan perang salib, yang merentang dari tahun 1096 sampai 1291, adalah contoh kecil seberapa besar kekuatan kata-kata. Kata-kata Presiden Truman, adalah yang membikin orang-orang Hiroshima & Nagasaki dijatuhi Fat Man & Little Boy. Kata-kata “i have a dream”, yang membikin orang-orang sadar betapa bahayanya dunia di bawah politik segregasi & rasisme. & sebagainya. & sebagainya. Maaf kalau aku terkesan berlebihan.


Tak apa, tak perlu meminta maaf. Aku yang salah. 


Tidak. Aku yang salah. 


Hal paling manusia adalah berbuat salah. Kita memang harus memperbanyak maaf. Menurutku, setidaknya ada tiga yang harus kita maafkan: orang tua kita, tuhan, & diri kita sendiri. 


Terakhir kali aku mengisap ganja, dengan olesan madu, aku berencana memaafkan seseorang yang telah melahirkanku ke dunia blangsak ini & sosok mahakuasa—yang punya kekuatan meruntuhkan kapitalisme tak tertahankan—tapi ia lebih memilih untuk murka ketika tahu minggu lalu aku masturbasi demi mendapatkan hormon endorfin dari bangun pagi yang berulang-ulang.


Ok. Sudikah & sudahkah kamu memaafkan dirimu sendiri?


Sudah. 


Bagus!


Aku hanya heran. Mengapa aku merasa begitu dekat & memahami orang-orang dari berbagai latar tapi menjadi arwah setelah melakukan hal yang sama?


Maksudmu?


Maksudku, apa beda Monet, van Gogh, Rotkho, & Hitler? 


Gaya lukisan? Impresionis, Pascaimpresionis, Abstrak, & Realis?


Tapi apa yang membuat mereka sama? Bunuh diri! Apa beda Cornell, Cobain, Chester, & Curtis? 


Hmmm... aku tidak tahu. Playlist kita berbeda.


Kamu bisa mensimplifikasi lagi & menyebut genre: Metal Alternatif, Grunge, Pascagrunge, & Pascapunk. Apa yang menyatukan? Bunuh diri! Apa beda Linder, Scott, Whale, & Debord? Tentu sinematografi. & yang menyatukan adalah bunuh diri. Tak hanya pelukis, musisi, sutradara, beberapa penulis yang pernah kubaca & kebetulan kusukai pun adalah arwah-arwah penasaran. Sylvia, Virginia, Hemingway, Sexton, Dazai, sampai Zweig. Konon, setiap orang yang mati bunuh diri jadi arwah penasaran. Mungkin penasaran mengapa ia masih harus tetap eksis. Meskipun ingin punah, sepunah-punahnya. 


Maksudmu, kamu pengin punah seperti mereka?


Apa yang buruk dari kepunahan atau kematian? Aku tidak takut mati. Aku telah mati selama miliaran tahun sebelum aku dilahirkan, & tidak merasakan ketidaknyamanan sedikit pun karenanya. Maaf aku kesurupan Twain. 


Tak apa.


Baguslah. Tapi, pada gilirannya, pertanyaan baru lahir, aku berubah jadi burung gagak karena apa-apa yang telah kukonsumsi ataukah aku pada dasarnya memanglah burung gagak yang mencari “bangkai” untuk dikonsumsi?


Kamu bukan burung gagak. Kamu manusia. Seorang lelaki yang kucintai. 


Kamu mencintaiku atau sekadar mencintai gagasanmu tentangku?


Keduanya. Omong-omong, kamu anggap aku apa? 


Penambal void. Secercah cahaya, yang mampu menambal lubang hitam yang mahaluas & tak berbatas. Namun, lambat laun, aku menyadari bahwa jawabanku itu hanyalah gema hati yang putus asa. Tapi langit itu tetap bisu, sebab aku hanyalah satu noktah tak berarti di tengah-tengah alam semesta yang mengembang tak henti. Kegelisahanku, dalam narasi kehidupan yang mahagigan, hanyalah bising tidak berarti. Aku tak tahu harus berapa oktaf doa yang kulangitkan agar tuhan bisa mendengar kehampaanku.


Kamu butuh tuhan. Kamu mesti ibadah. Sudah?


Tidak. Aku tidak percaya pada sosok yang tak memberi rumah hari ini, tetapi malah menjanjikan istana esok hari. Kalaupun aku beribadah, artinya saat itu aku sedang merasa kalah.


Kamu bukan orang kalah. Di mataku, kamu adalah pemenang. Kamu sempurna di mataku. 


Tidak ada kesempurnaan, yang ada hanya kehidupan. Maaf aku kesurupan Kundera.


Tak apa. Aku sudah mulai terbiasa denganmu yang tiba-tiba kesurupan orang-orang tak kukenal namanya.


Baguslah.


Jadi, apa yang sebenarnya kau rasakan?


Aku hanya ingin percaya bahwa ada lagu pengantar tidur yang merdu bagi penderitaanku, sebuah narasi yang akan memvalidasi air mataku, sakit perutku, & sakit punggungku. Kupikir aku terlalu banyak mengunyah pemikir barat. Kamu benar, ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Kini, aku berasumsi bahwa tidak ada ganjaran kosmik yang menantiku. Aku hanya mengada, bertahan, & gagasan tentangku akhirnya lenyap terlupakan, tanpa ada jaminan nyata bahwa sungai hidupku memiliki muara. Sementara harapan-harapanku lenyap seperti bunga dandelion kecil yang disapu semburan lumpur vulkanik. Mungkin, batu yang kudorong setiap hari, lebih kecil dari yang kupikirkan. Sayangnya, sekarang aku telah menjadi monster pesimisme yang diperangi banyak agama... 


(Ia mendekat. Mendekapku dengan erat, dengan hangat. Ia mengelus-elus rambutku. Lembut sekali.)


Tidak, semuanya hanya bercanda. Ternyata, aku baik-baik saja. Itu hanya sebuah fase. Seperti yang kau katakan. Oh, ya, bagaimana harimu?


Baik, sayangku.


Syukurlah...

Monday, 15 April 2024

Kapitalis Mana yang Butuh Sastra?

di galaksi ekonomi, terdapat sebuah planet bernama Kapitalis. di planet hijau pucat ini, angka-angka & grafik tumbuh subur layaknya pohon-pohon di hutan Amazon. para penduduknya, yang menyebut diri mereka sebagai Kapitalian, berkomunikasi pakai sistem bahasa yang terdiri dari simbol dolar & persentase. 


perihal bagaimana mereka saling menyapa, mereka menggunakan kalimat, “Bugattimu warna apa?”. untuk bertanya kabar lebih personal, biasanya, mereka menggunakan huruf v atau V (volatilitas rendah atau volatilitas tinggi). semacam kata ‘aman’ dalam bahasa Kapitalian. misalnya begini.


v/V?

v

waduh. butuhkah?

bolehlah.


kurang lebih begitu. 


secara statistik, sembilan puluh sembilan persen dari mereka menyembah Tuhan Stonks yang Mahaprofit. serta menerapkan lima rukun Kapitalian: satu, mengucapkan dua kalimah konglomerat; dua, mendirikan start-up; tiga, membayar pajak penghasilan; empat, menjalankan puasa konsumeristik; lima, naik ferrari bagi yang mampu. 


yang satu persen, adalah mereka yang tak mengimani. mereka menarik diri dari peradaban. retreat ke hutan & kekeh percaya manusia bisa hidup tanpa uang. logis, memang. sebab di hutan, tak ada tukang dagang—yang ada cuma teriakan primata u-u-a-a. maka, kalaulah mereka merasa lapar mulai mencakar-cakar, seperti biasa, mereka akan merajut gelang etnik agar bisa ditukar dengan hasil alam yang bisa dikunyah. paling banter, nasi. singkatnya, barter.


selain itu, di beberapa sudut jalan yang tersentuh peradaban, terdapat plang dilarang P. bukan. bukan dilarang Parkir tapi dilarang Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. di dunia maya, ‘P’ juga berarti Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. bukan Ping. mereka yang trauma terhadap huruf ‘P’ disebut Pfobia. umumnya, para psikolog butuh setidaknya tiga kuartal untuk menyembuhkan pengidap Pfobia. hanya demi menyakinkan bahwa ‘P’ merujuk pada Punten, bukan Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus.


sebenarnya, ada aturan tak tertulis bahwa untuk meminjam uang dibutuhkan basabasi bernada afektif bukan basabasi berwarna geografis. dengan kata lain, tidak etis ujug-ujug wah cuacanya cerah ya... kemudian langsung mengeluarkan jurus bos-adakah-seratus. namun, akan lebih baik jika bertanya tentang bagaimana kabar, sedang di mana, apakah usaha lancar, barulah menuju tujuan konkretnya. begitulah pengutang-bermoral bekerja.


setiap dari mereka juga diwakili oleh skor kredit. semakin tinggi, semakin bergengsi. sedang mereka yang bermasalah, wanprestasi, atau galbayers niscaya dipenjara dalam ruangan dua kali dua meter berpintu kayu jati. & menerima hukuman berupa digedor debt collector dengan tempo larghissimo sampai prestissimo setiap tiga jam sekali. itulah mengapa SLIK OJK (Otoritas Jasa Kapitalian) adalah harga mati. setengah Rakib, setengah Atid. boleh jadi sebab mereka mengimani Kitab Laba, ayat dua, yang berbunyi: “barangsiapa kredit mulus, niscaya Tuhan Stonks ciptakan jalan menuju surga beraspal fulus.”


bagaimana dengan yang memuncaki kasta?

bagi mereka yang memegang Black Card, penyebab melarat bukanlah kemiskinan struktural tapi malas bekerja keras. para pemegang Black Card ini, semakin kokoh berada di puncak teratas, sebab mereka berjualan kelas-kelas yang berisikan petuah bahwa rajin pangkal kaya—bukan privilese pangkal kaya, atau akses pangkal kaya.


*** 


pada suatu senin siang, di sudut kafe butut yang bergaya arsitektur industrial sebab tak ada dana lebih buat membeli cat, terdapat sekelompok Kapitalian muda yang berbeda & sok edgy. mulut mereka tak pernah melafalkan mantra ROI (Return on Investment) sebanyak tujuh kali dalam hati. kepala mereka juga tak pernah dipakai untuk memikirkan lembar saham & obligasi. sebuah anomali. mereka ini adalah para pencinta sastra, yang dengan tekun membaca-mengarang puisi & prosa, bukan laporan keuangan & proyeksi pasar yang cuan dalam lima sampai dua puluh tahun ke depan. mereka pada dasarnya saling sepakat, tetapi sering kali mendebat-debatkan pendapat.


“kapitalis mana yang butuh sastra?” tanya salah satu dari mereka dengan gaya sok teatrikal.


“hmmm... mungkin tidak ada.”


“ah,” jawab seseorang yang lain, “itu dia, tidak ada kapitalis yang butuh sastra. itulah mengapa kita mempelajari sastra. kita jadi pemberontak yang berani melawan tirani logika & angka.”


“apa kerennya?”


“bukan masalah keren-kerenan, ini soal prinsip. berbeda dari kawanan. melawan arus. hanya ikan mati yang terbawa arus.”


“tapi, hanya ikan tolol yang berenang melawan arus. kau tahu, apa makanan utama beruang? ikan yang melawan arus. di kehidupan nyata, melawan arus artinya tak-beruang. tak punya uang, artinya tak punya ruang. tak punya uang, itu susah bergerak. bahkan, berak pun bayar.”


“begini, borjuis kecil, sastra adalah investasi abadi yang memberikan kekayaan emosional & intelektual. investasi untuk jiwa, yang dividennya adalah kebahagiaan & pemahaman lebih dalam tentang kehidupan.”


“tapi Kapitalian mana yang butuh jiwa? Pragmatis mana yang butuh kedalaman?”


“kau tidak mengerti!”


“memang!”


“di mana setiap detik adalah aset & setiap hal adalah komoditas, sastra menjadi pekik perlawanan terhadap monotonitas. menjadi bukti bahwa di balik setiap transaksi & perhitungan, masih ada ruang untuk hal-hal esensial seperti imajinasi & keindahan.


“masalahnya... wahai Proust muda... sastra hanya membantu menyelesaikan soal ‘mengapa’ bukan ‘bagaimana’.”


“bagaimana?”


“sudah kubilang bukan soal bagaimana tapi mengapa.”


“maksudku, bagaimana sastra membantumu menemukan mengapa?”


“mengapa aku mesti meromantisasi kehidupan agar umurku panjang, misalnya. perlu kuakui juga, bahwa sastra membantuku menentukan lebih baik mana antara menjadi sastrawan yang saban minggu karyanya dimuat di koran atau seseorang yang persetan dengan sastra-sastraan tapi mempunyai kontrakan dua belas pintu?”


“lebih baik mana?”


“dengan sastra, aku tahu bahwa pilihan yang kedua selalu lebih baik.”


mereka sama-sama tertawa, kencang sekali, seolah-seolah mereka adalah sastrawan yang mempunyai kontrakan dua belas pintu. pedahal karya-karya mereka, berkali-kali, ditolak media & mereka tentu tak punya kontrakan dua belas pintu. kengakakan mereka bergema di antara lampu neon & dinding beton. 


& begitulah, awal mula sastra menjadi lelucon pemecah kerutinan duniawi. bagi beberapa orang seperti mereka ini, sastra adalah kepercumaan yang menyenangkan. liburan singkat dari kejaran pertanyaan bisakah sukses di usia muda atau kalau nanti mati dikuburkan di San Diego Hills tipe apa? single burial ataukah peak estate?


kapitalis mana yang butuh sastra? coba kita bertanya pada Alphard yang bergoyang.

Thursday, 11 April 2024

Lebaran & Dua Puluh Empat

kemarin... dalam suasana takbiran di sebuah coffee shop yang overrated & overprice—seorang kawan lamaku yang kuliah Sastra Inggris, bertanya begini, “day, apa resolusimu pada lebaran kali ini?”


dengan mantap kujawab pakai idiom, “melebarkan sayap!”


pedahal aslinya... resolusiku, pada momen apapun, entah lebaran ataupun tahun baruan—hanyalah survive. seminimal-minimalnya sampai umur dua puluh tujuh. sisanya, lihat nanti. sebab aku tahu, bagi seorang normal, tahun-tahun ini & tahun-tahun di depan bakal makin terjal kutapaki. bagaimana tidak? setelah dihantam badai yang berlalu lalang, tahun ini, adalah lebaran pertamaku tanpa ayah & ibu. ayahku terlalu sibuk bekerja & ibuku terlalu sibuk dengan keluarga barunya. 


kalau boleh jujur, sebenarnya, aku tak masalah dengan kondisi membagongkan semacam itu. sebagai lelaki anak pertama, aku telah menaruh curiga bahwa aku didesain untuk tahan banting, mampu bekerja di bawah pengaruh nihilisme, & telaten comfortably numb - pink floyd. 

...

when i was a child i had a fever

my hands felt just like two balloons

now I've got that feeling once again

i can't explain you would not understand

this is not how i am

i have become comfortably numb

...

aku hanya kesian terhadap adikku yang bocah SD kelas dua. anak sekecil itu, berkelahi dengan realitas yang asu. tumbuh tanpa father-mother figure. itu saja. sayangnya, rasa kesian itu meraksasa alias bertambah parah ketika kubuka instastory & mendapati fakta bahwa orang-orang pada umumnya merayakan hari kemenangan bersama keluarga mereka. ‘hadeuh’ adalah kata pertama yang kuucap dalam hati. & ‘hadeuhhhhhhhh!!!!!’ adalah yang lahir setelahnya.


seseorang barangkali bertanya-tanya mengapa aku tak jujur menjawab pertanyaan kawan lamaku itu. tapi, aku memang tak bisa jujur kepadanya. bertahun-tahun aku berkawan dengannya, di hadapannya aku selalu memasang wajah optimis. aku tak bisa realistis, apalagi... pesimis. lagipula, aku tak mau menyebarkan pesimisme kepada orang di sekitarku. apalagi kawan lamaku itu. aku juga tak mau membikin orang di sekitarku kepikiran. termasuk si U, yang setiap hari lebaran selalu membuatkan soto babat kesukaanku. di hari lebaran, yang paling bijak untuk kulakukan tentulah menyantap soto babat atau mengemil nastar sembari memasang wajah senang.


aku juga sama sekali tak masalah dengan hari ulang tahunku yang tak dirayakan oleh orang selain diriku. bahwa enam belas hari lalu, hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat kurayakan seorang diri. aku menghadiahi diriku sendiri: sebotol bir & setangkai mawar. yang pertama, sebab sesederhana karena aku suka meminumnya. sedang yang kedua, sebab aku penasaran bagaimana rasanya diberi bunga. aku tak mengerti mengapa lelaki hanya diberi bunga ketika ia telah berkalang tanah. atau mengapa rumah sakit & pekuburan adalah dua tempat yang paling sering diwarnai tangisan. apakah penyesalan memang lebih besar dari penghargaan?


pada gilirannya, hanya keheningan kosmik yang tersisa & c’est la vie di pangkal dada. tapi di terowongan gelap ini, aku sadar,  ‘mengapa’ mewujud persoalan yang hanya bisa dijawab-diselesaikan diri sendiri. sesuatu yang subjektif & personal. & kedewasaan adalah kata yang tak ada dalam kamus para nabi—bahwa topik kedewasaan, luput difirmankan tuhan. 


mengutip pakguf, yang bisa kulakukan selain tetap berjalan hanyalah tetap percaya. maksudnya, percaya pada teori konspirasi bahwa semua akan baik-baik saja. sayangnya, ‘percaya’ adalah salah satu hal yang paling sulit untuk kulakukan. tapi meskipun susah, aku akan mencobanya dengan payah. artinya, aku mesti menumpulkan nalarku yang kritis agar lebih mudah percaya. berat, tapi tak apa. 


di ujung malam, diiringi pekik allahuakbar, selintas pemikiran menghampiri lamunanku—bahwa hanya ada dua cara untuk dihargai-dirayakan-dicintai: mencapai kesuksesan atau bertemu kematian. tentu, aku akan sekuat tenaga mencoba mendorong batuku sampai puncak kesuksesan. kalaupun gagal, ya tak apa. orientasiku tak pernah berubah. selalu proses, bukan hasil. selain itu, bagiku, ‘mencoba’ merupakan privilese & ibarat rukun islam kelima (hanya bagi yang mampu).


tapi cara yang kedua? itulah cara yang secara sadar biasanya tak dipilih orang-orang waras. tapi kematian, baik ditempuh secara alamiah atau tidak, aku merasai keindahannya. ketika kehidupan merebut-mencabut seluruh makna dari keberadaanku, kematian membantuku mencurinya kembali. tanpanya, kehidupan cuma kebisingan yang tak berguna & manusia hanya spesies naif yang percuma. apalah arti hari ulang tahunku...


demi arwah eksistensialis, meski telah jatuh berkali... berilah sayap-sayapku kekuatan untuk kembali menggapai tengik matahari. seminimal-minimalnya sampai tiga tahun lagi. semoga bisa, semoga bisa! begitulah doaku kepada bedil & sebutir peluru kaliber sembilan mm di bawah bantalku—setelah merawat percaya dengan menjadi majusi (maksudnya, membikin api).

Sunday, 3 March 2024

Letter to Frances Turnbull - Fitzgerald (Surat Translasi)



*Ditulis F. Scott Fitzgerald dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA. Surat ini dambil dari buku A Life in Letters; diterbitkan Scribner pada tahun 2010.

*****

November 9, 1938

Frances yang baik:

Aku telah membaca ceritamu dengan teliti, tetapi harga yang mesti kau bayar untuk menulis secara profesional sangatlah mahal, bila dibandingkan kemampuanmu saat ini. Oleh karenanya, dalam karya-karyamu selanjutnya, kau mesti menjual hatimu—reaksi terdalammu. Jangan terfokus hanya pada hal remeh-temeh yang secara gamblang menyentuh hatimu, atau pengalaman-pengalaman kecil yang barangkali kau ceritakan sewaktu makan malam. Hal semacam ini tidak terhindarkan di awal masa kepenulisanmu, sebab kau belum mengembangkan trik yang diperlukan untuk menarik perhatian pembaca, dan kau pun belum menguasai teknik yang umumnya membutuhkan jam terbang. Singkatnya, dalam kondisi seperti ini, kau tidak punya sesuatu selain emosi untuk ditawarkan kepada pembaca.

Ini dialami oleh semua penulis. Ketika menulis Oliver Twist, penting bagi Charles Dickens untuk menuangkan kekesalan seorang anak setelah disiksa dan dibikin kelaparan, sesuatu yang datang dari masa kecilnya sendiri. Karya awal Ernest Hemingway, In Our Time, juga menyinggung semua hal yang pernah ia ketahui dan rasakan. Dengan cara yang sama, dalam buku This Side of Paradise, aku bercerita tentang kisah cinta yang masih melukaiku sampai hari ini, bagai darah yang mengucur dari luka pada kulit penderita hemofilia.

Para penulis amatir selalu meremehkan kemampuan penulis kawakan dalam mengubah, misalnya, kedangkalan reaksi tiga gadis yang tidak berkarakter agar menjadi cerdik-jenaka dan menarik-memesona. Para penulis amatir, mengira bahwa ia juga bisa melakukan hal yang sama, tanpa mempelajari teknik dan trik yang diperlukan. 

Namun, kalau mereka tekun, lambat laun, para penulis amatir akan menyadari bahwa mentransfer emosi kepada orang lain mestilah dilakukan dengan cara yang nekat dan radikal, seperti mengoyak isi hati mereka sendiri lalu menumpahkan semua ketragisan dan kenyerian itu ke atas kertas agar bisa dibaca orang banyak.

Bagaimanapun juga, ini adalah harga yang mesti kau dibayar untuk menjadi penulis yang baik dan demi menghasilkan karya yang apik. Apakah kau siap untuk membayarnya, apakah itu sesuai atau bertentangan dengan yang menurutmu “baik dan apik”—adalah persoalan yang mesti kau putuskan sendiri. Tapi sastra, bahkan sastra ringan sekalipun, tidak akan menerima karya sastra dari seorang pemula yang tak berusaha. Profesi ini mengharuskan pelakunya untuk “bekerja keras”. Ibarat di medan perang, tidak ada kubu yang tertarik merekrut seorang prajurit penakut dengan sedikit keberanian.

Oleh sebabnya, nampaknya tidak perlu bagiku untuk menjabarkan alasan mengapa cerita ini tidak layak dijual; tetapi aku tak kuasa untuk mengolok-ngolokmu, seperti yang biasa penulis seusiaku lakukan. Jika kau memutuskan untuk mengisahkan cerita-ceritamu, tidak akan ada orang yang lebih tertarik ketimbang,

Teman lamamu,

F. Scott Fitzgerald

P.S. Aku bisa saja mengatakan bahwa tulisanmu mulus dan menyenangkan serta terdapat beberapa halaman yang menurutku sangat oke dan memikat. Kau punya bakat—tapi ini sama saja seperti mengatakan bahwa seorang prajurit memiliki kualifikasi fisik yang adekuat untuk dididik di akademi tentara West Point.

Saturday, 17 February 2024

Apalah Arti Kedewasaan Itu...

 


“...

Gone now are the old times

Forgotten, time to hold on the railing
The Rubix cube isn’t solving for us
Old friends, long forgotten
The old ways at the bottom
Of the ocean now has swallowed


The only thing that’s left

Is us, so pardon the silence

That you’re hearing is turning

Into a deafening, painful, shameful roar.”

—Ode to the Mets – The Strokes (The New Abnormal, 2020)


Yang kulakukan setiap malam, dalam tiga bulan terakhir ini, adalah merenung sambil memutar lagu-lagu The Strokes album “The New Abnormal”. Dari The Adults Are Talking sampai Ode to the Mets—dengan spiker bluetooth. Dalam momen perenungan itu, khususnya ketika lagu Ode to the Mets diputar, pikiranku seolah-olah dibawa pada praduga bahwa masa dewasa dipenuhi oleh sesuatu yang kita cintai tanpa syarat, tetapi kenyataannya sesuatu itu terus menerus mengecewakan kita. Katakanlah pasangan, teman, keluarga, pekerjaan, klub sepakbola, hingga pemerintah.


Aku seperti merasakan ada semacam “keminoran yang mayor” perihal kedewasaan dalam lagu yang dinyanyikan Julian Casablancas ini. Sang vokalis, seakan-akan ingin mengatakan dengan mata sayu bahwa seperti biasa, dalam masa dewasa, kita akan mengalami kekecewaan-kekecewaan yang luar biasa. Tapi seberat apapun itu, kelak pagi akan datang kembali. Dan kita akan menyadari, tak ada kekecewaan-kekecewaan yang bertahan lama. Sebab waktu berjalan kontinu, dan pada gilirannya, semua akan habis dimakan lupa.


Berbicara tentang ‘masa dewasa’ ataupun ‘kedewasaan’, sejujurnya, aku sama sekali tak benar-benar memahami apa arti dari kata ‘dewasa’—apalagi ‘kedewasaan’. Aku bahkan tak tahu apakah aku “sudah dewasa” atau belum. Dengan kata lain, aku tak tahu ‘kedewasaan’ itu seperti apa dan bagaimana bentuknya.


Kalau boleh sok tahu perihal bagaimana rasa kedewasaan, maka mungkin rasanya seperti memainkan gim petualangan-open-world di mana kita secara tak sadar telah men-skip tutorial dan kita hanya berlari-lari tak tentu arah—tanpa tahu bagaimana cara memenangkan permainannya; atau sekadar menyelesaikan misi-misinya.


Sialnya, ‘kedewasaan’ bukan makhluk yang biasanya punya satu mulut dan dua telinga, sehingga dengan atribut fisikal semacam itu ia menjadi mungkin untuk kuajak bicara dan kuminta untuk menjelaskan siapakah dirinya.


Ketika kutanya beberapa kawan yang telanjur kupercaya bahwa mereka “sudah dewasa” dan tahu apa ‘kedewasaan’ itu—atau minimal kenal dengan ‘kedewasaan’—jawaban mereka secara garis besar pun nyaris serupa: persis tokoh-tokoh kartun yang dulu kubenci, tetapi kini sedikit bisa kupahami. Katakanlah, Squidward Tentacles (tokoh paling menyebalkan dalam serial SpongeBob SquarePants).


Karena tak puas, hal yang kulakukan selanjutnya adalah membuka kamus. Aku menemukan ada beberapa makna tentang ‘kedewasaan’. Salah satunya, ‘matang’. Tapi ‘matang’ itu apa? Dan, misalkan kita sepakat bahwa ‘matang’ itu adalah soal ‘kesiapan’, maka akan lahir pertanyaan lanjutan—’siap’ untuk apa? Apakah siap untuk menjadi budak korporat yang mekanis dan ignorant-bastard bagai filsuf Stoik? Ataukah siap untuk menelan kenyataan pahit, misalnya, bahwa tidak akan ada seseorang dari antah berantah—yang secara magis—membantu membayarkan tagihan listrik, mengobati lapar yang tidak bisa ditawar, dan menyelesaikan masalah-masalah struktural yang kompleks dalam hidup kita?


Ini mungkin akan terdengar tolol, tapi satu-satunya yang terlintas di benakku ketika mendengar kata ‘matang’ dan ‘siap’ adalah buah-buahan. Masalahnya adalah mengapa kita cenderung mengibaratkan proses kedewasaan macam buah-buahan yang matang pada pohonnya—sesuai waktunya.


Kita seakan-akan mengabaikan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Sebut saja pola pengasuhan orang tua dan tekanan dari lingkungan sekitar. Dengan kata lain, serasa menutup mata, bahwa banyak dari kita yang dipaksa dewasa oleh keadaan—oleh kenyataan.


Barangkali kita harus mulai mengakui, bahwa banyak dari kita didewasakan dengan berita-berita tentang Gen Z dan Millenials yang hampir mustahil untuk membeli rumah tanpa skema KPR bertenor separuh usia hayat dikandung badan. Menangisi harga properti yang kian tak masuk akal. Atau sekadar mengumpati hari senin pagi. Atau memusingkan tidak seimbangnya biaya hidup dengan penghasilan yang didapatkan. Dan mengamini bahwa solusi kapitalistik untuk memenuhi kebutuhan dasar hanyalah hustle culture (baca: kerja lembur bagai kuda; mengambil side jobs) ditambah frugal living (baca: hidup ugal-ugalan; puasa senin-kamis; melarat dengan gaya).


Banyak dari kita juga mengukir makna kedewasaan sebagai tulang punggung kedua—atau bahkan tulang punggung utama. Yang sedini mungkin membanting tulangnya demi membiayai pendidikan adik-adiknya atau membikin dapur ibu tetap ngebul, misalnya. Sebab mereka, termasuk ke dalam Generasi Sandwich.


Tentu, dengan perspektif semacam ini, proses kedewasaan lebih terdengar serupa pisang belum matang yang diberi karbit, bukan?

Tapi mungkin begitulah realitas bekerja. Kejam dan tak berperasaan. Menyoal anggapan terhadap kemungkinan realitas yang seram semacam ini, aku sedikit banyak bersepakat dengan kutipan Anaïs Nin, esais Prancis-Amerika, dalam buku Incest: From “A Journal of Love”: The Unexpurgated Diary of Anaïs Nin, 1932-1934 (1992), dia menulis: “Realitas tidak membuatku terkesan. Aku hanya percaya pada kemabukan, pada ekstasi, dan ketika kehidupan biasa membelengguku, aku melarikan diri, dengan satu atau lain cara.”


Dan begitulah, yang kulakukan setelah menemukan jalan buntu ketika merenungi makna kedewasaan dan hidup yang kian redup: mengubur ke-sober-an dengan ke-hangover-an, dengan bantuan botol-botol alkohol. Setelah sisa mabuk semalam hampir habis, aku teringat sesuatu. Sekira tiga belas tahun lalu, aku melewati sekumpulan pemabuk dan berpikir betapa sampahnya mereka. Kemarin, aku mabuk di depan rumahku, seorang bocah melewatiku, dan mungkin berpikir hal yang sama denganku dulu.


Sesekali, seorang bocah dalam diriku seakan kecewa, mengapa masa dewasa nampak begitu repetitif dan depresif? Kalau tidak begini-begini saja, ya begitu-begitu saja. Tak ada yang benar-benar seru dan mengejutkan. Mengapa masa dewasa sebegitu redundan kebosanannya.


Tak seperti novel-novel romantik di mana mukjizat dan keajaiban selalu terjadi. Tak ada goblin atau barbarian buruk rupa yang harus dilawan dan dikalahkan. Tak ada pedang atau kapak yang bisa kutempa di pandai besi. Tak ada tuan putri di atas menara tinggi untuk kubebaskan dari cengkeraman naga yang mulutnya menyemburkan api. Yang ada cuma pertarungan sunyi melawan sakit maag, asam urat, insomnia, dan nyeri punggung yang abadi.


Pada akhirnya, kalau boleh lebih sok tahu, ‘kedewasaan’ mungkin adalah menyadari bahwa dunia cukup disesaki orang-orang yang saling menasihati-memotivasi—meskipun mereka besar kemungkinan sama-sama stres-pusing dan pengin teriak, “***j**ggggg!”


Maka, setiap kali dadaku terasa tiba-tiba nyeri, aku bergumam, mungkin inilah waktunya… dan kembali memutar lagu-lagu The Strokes.


“…

Stockholders

Same shit, a different lie

I’ll get it right sometime

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

ad

Oh, maybe not tonight

…”

—The Adult Are Talking – The Strokes (The New Abnormal, 2020)