Wednesday, 9 November 2022

Pengarang Harus Mati untuk Membuat Hidup Pembaca

“Literature is that neuter, that composite, that oblique into which every subject escapes, the trap where all identity is lost, beginning with the very identity of the body that writes.”
—Barthes, La mort de l'auteur (1968)

Pengarang telah mati atau kematian pengarang (the death of author) adalah kapak pascastrukturalis yang memecah lautan beku dalam tubuh-sastra sebelum abad ke-20—meminjam interteks Kafka, novelis gigan abad 20-an. Melalui esainya yang inovatif itu Barthes secara radikal melawan konvensi: analisis teks yang berpusat pada pengarang, pribadinya, hidupnya; dengan kata lain, melawan kritik sastra klasik yang menganalisis karya sastra dalam konteks di luar teks yang ada—hal-hal personal atau aspek biografis pengarangnya.

Pascamodernisme

Selain warta kematian Tuhan à la Nietzsche sang avant-gardist, wacana kematian pengarang Barthes pun berhubungan langsung dengan pascamodernisme yang menggebrak dan mendobrak berhala idée fixe dan kemapanan. Gerakan pascamodern menggugat bangunan konsep-pemikiran di era-era sebelumnya, mencari kemungkinan kebaruan, merelatifkan yang mutlak, dan sering kali menggunakan gaya-mode dari masa lalu di luar konteks aslinya. Seniman pascamodern, misalnya, memiliki kebolehjadian tinggi untuk menyatukan romantisme Goya, naturalisme Schjerfbeck, realisme Manet, impresionisme Monet, fauvisme Matisse, ekspresionisme Kandinsky, kubisme Picasso, dadaisme Duchamp, dan surealisme Magritte—dalam satu kanvas seni kolase digital (yang bisa dipastikan berformat PNG dan akan dijual sebagai NFT dengan harga yang tak pernah masuk akal).

Menyoal sedikit perihal transisi budaya, Modernisme ditandai oleh idealisme dan dogmatisme pada akal dan kemajuan-kemajuan—sedangkan Pascamodernisme menawarkan semacam keskeptisan epistemologis yang menantang gagasan tentang kebenaran universal yang sudah final tersebut. Kembali pada topik utama, setelah mengadaptasi kata ‘dekonstruksi’ dari kata ‘destruksi’ dalam pemikiran Heidegger filsuf dengan berjuta istilah teknis, Derrida sang filsuf pascastrukturalis, berkata: “Il n'y a pas de hors-texte; tak ada apapun di luar teks.”—dan meramaikan diskursus mengenai kematian sang pengarang. Gagasan ini disalahartikan karena semua ide terkandung dalam bahasa dan tak ada seseorang pun yang mampu keluar dari bahasa.

Derrida juga mengatakan bahwa sifat bahasa itu tak stabil dan tak tertata. Konteks yang berbeda dan ketastabilan ini akan melahirkan makna yang berbeda-beda pada satu kata, misalnya, kata “kiri” di kepala seorang politikus dan di kepala seorang sopir angkot memiliki konotasi yang berbeda—yang pertama merujuk pada spektrum politik yang mendukung kesetaraan sosial dan egalitarianisme, yang berlawanan dengan sistem hierarki sosial sayap kanan; yang kedua merujuk pada kata ganti dari “berhenti” yang diucap penumpang angkot sebab ia sudah sampai di tujuannya dan akan turun di situ.

Mengapa Harus Pengarang Mati?

Criticism still consists for the most part in saying that Baudelaire’s work is the failure of Baudelaire the man, Van Gogh’s his madness, Tchaikovsky’s his vice. The explanation of a work is always sought in the man or woman who produced it, as if it were always in the end, through more or less transparent allegory of the fiction, the voice of a single person, the author ‘confiding’ in us.”
—Barthes, La mort de l'auteur (1968)

Pengarang, pada praktiknya, biasanya tak pernah memberi ruang pemaknaan kepada pembaca—pengarang hampir selalu menjadi sosok yang otoriter, yang dominan mengintervensi, bahkan yang menciptakan palu penunggal makna pada teks-teks karangannya. “Pembaca adalah ruang di mana semua penetapan yang membentuk sebuah tulisan ditorehkan tanpa ada yang hilang; kesatuan teks tak terletak pada asal-muasalnya, tetapi pada tujuannya”—tambah Barthes dalam esainya. Dengan demikian, dia seperti lebih menekankan kepada “tujuan” dari teks itu sendiri: sang pembaca.

Lebih lanjut, La mort de l'auteur berpendapat bahwa karya sastra tak boleh dianalisis dengan pisau bedah berupa hal-hal dan data-data personal yang mengarangnya. Lantas mengapa harus demikian? Pemahaman ini berangkat dari perspektif bahwa analisis yang baik adalah analisis yang hanya berpusat pada sesuatu yang dianalisisnya. Dengan demikian, pengarang harus mati untuk membidani kelahiran pembaca—kelahiran makna-makna baru dari setiap pembaca.

Bagaimana Pengarang Mati?

Apa-apa yang dituliskan-dilisankan di luar teks itu sendiri berarti tafsiran atau interpretasi, bahkan jika itu dilakukan langsung oleh pengarangnya. Ketika sebuah teks terpublikasi di media cetak atau media elektronik, misalnya, maka pengarang telah mati dan hidup kembali sebagai pembaca yang membaca tulisannya sendiri. Ketika pengarang mati dan hidup kembali sebagai pembaca yang membaca karangannya sendiri, ini artinya kedudukannya sama seperti para pembaca lain. Setiap pembaca memiliki kebebasan paripurna untuk menafsir sebuah teks tanpa campur tangan pemaknaan pengarangnya—hal di luar teks tersebut.

Dalam teks-teks sastra, kematian pengarang adalah kematian narator yang mahatahu macam Tuhan dan sang pengarang yang haus akan kehadirannya di dalam tubuh sebuah teks. Jika ditarik ke dalam sesuatu yang lebih sakral—satu kitab suci yang bercorak lingua sacra (bahasa liturgis) karangan Tuhan yang dibaca seribu manusia yang berbeda adalah seribu kitab suci yang berbeda—meminjam interteks pembuat-film-intelektual Tarkovsky dalam bukunya Sculpting in Time (1989).

Andaikata Tuhan selesai mengarang kitab suci bagi manusia, maka ia telah mati dan hidup kembali sebagai pembaca. Yang tersisa, pada akhirnya, hanyalah interpretasi, hanyalah tafsiran. Maka adalah kekonyolan yang luar biasa tak perlu apabila seorang pembaca merasa mengetahui seluruh pikiran Tuhan (pengarang) kemudian menyalah-nyalahkan interpretasi pembaca lain yang tak sesuai dengan pembacaannya.

Kematian Pengarang Secara Lebih Luas

Dalam konteks budaya, kematian pengarang adalah penolakan terhadap inaugurasi satu sosok penemu—sebab penemuan tampaknya ada sebagai kemungkinan yang mendahului penemunya, dan penemunya hanya memvalidasi ide-ide yang sudah ada. Ada kecurigaan mendasar yang rasional, bahwa secara umum budaya modern memiliki semacam kecondongan narsistik—cara pandang dan pengambilan sudut pandang para penulis buku-buku sejarah terlalu figur-sentris: secara historis umum ditulis bahwa Benua Amerika ditemukan oleh Colombus—pedahal, 500 tahun sebelum penjelajah Italia itu mendaulat dirinya sendiri sebagai penemu pertama—bangsa Viking sudah sampai di sana. Contoh lain, penemuan listrik, masyarakat umum mengatribusikannya kepada Franklin semata—meskipun kerja-kerja penelitian-penemuan lebih mungkin sebagai kerja kolektif ketimbang perseorangan.

Sastra sebelum La mort de l'auteur, dalam konteks ini, seperti tak memberi ruang bagi pembaca—sebab seluruh ruang sudah dihuni oleh pengarang. Tapi ada pertanyaan yang fundamental dari bahasan ini—“apa itu pengarang?”—pertanyaan yang sama seperti kuliah tentang teori sastra yang diberikan di Société Française de Philosophie pada 22 Februari 1969 oleh filsuf Prancis Foucault. Untuk menjawabnya, nampaknya kita mesti menanamkan persepsi bahwa sebuah teks tak mungkin seratus persen orisinal dan dapat benar-benar diciptakan oleh seseorang. Teks memiliki kemungkinan besar terdiri dari susunan kalimat atau gagasan yang sudah ada sebelumnya dan tak lebih dari repetisi-reproduksi makna.

Pengarang sejatinya tak benar-benar mengarang, melainkan hanya seseorang yang menyusun teks-teks yang sudah ada sebelumnya. Tak ada yang benar-benar baru di zaman pascamodern, segalanya hampir telah ditemukan, semua kata hampir pernah dikalimatkan—meminjam Jenny-nya Stevy dengan sedikit kurasi dan improvisasi. Pada akhirnya, kita lagi-lagi memang harus setuju dengan Nietzsche bahwa: “tak ada fakta, hanya ada interpretasi!”

Referensi:

Barthes, Roland. 1968. La mort de l'auteur. American journal Aspen; 

Derrida, Jacques. 1997. De la grammatologie. Johns Hopkins University Press; 

Aylesworth, Gary, "Postmodernism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/postmodernism/>; 

Kafka, Franz. 1904. Letter to Oskar Pollak;
Tarkovsky, Andrei. 1989. Sculping in Time. University of Texas Press; 

Ford, A.  Classical Criticism. Oxford Research Encyclopedia of Literature. Retrieved 22 Oct. 2022, from https://oxfordre.com/literature/view/10.1093/acrefore/9780190201098.001.0001/acrefore-9780190201098-e-967.

Friday, 4 November 2022

Beberapa Hal yang Bisa Kutuliskan perihal Cinta dalam Sekali Duduk

“... memercayai seorang perempuan, maka kau akan menyesalinya; tak memercayainya, kau juga akan menyesalinya … pada akhirnya, kau akan menyesali keduanya. tuan-tuan, ini adalah esensi dari semua filsafat.”
—Kierkegaard, Either/Or (1843)

beberapa waktu lalu, aku melihat video viral di media sosial tentang seorang lelaki yang akan memberi kejutan untuk pasangannya—singkat cerita, ia datang ke rumah kos pacarnya itu ... alih-alih mengalami momen romantis, ia malah mendapat pengalaman traumatis, sebab mendapati perempuannya tertangkap basah telah tidur dengan lelaki lain. hal pertama yang kulakukan setelah melihat tayangan (yang lebih horor dari film The Wizard of Gore) itu adalah secara spontan melempar ponsel di genggaman. maksudku, what a cruel reality we live in! tak ada satu pun manusia yang pantas merasakan rasa sakit sedemikian gigan itu.

setidaknya ada 5W + 1H (waduh, waduh, waduh, waduh, waduh + hadeuh) yang kuucapkan dalam hati. lima kali ‘waduh’ kuucapkan ketika menonton, satu kali ‘hadeuh’ ketika selesai menontonnya. aku pun terlampau emosi dibuatnya, meski tak sebanyak ketakutan yang kurenungi setelahnya. aku takut jika hal tersebut kualami suatu saat nanti, namun, kupikir ... jika memang itu kualami, maka mungkin saat itu juga aku akan bagaimanapun caranya membeli revolver berkaliber .44 berisi 7 peluru: 1 peluru akan kutembakkan ke dada pacarku, 1 peluru untuk kelamin lelakinya, & 5 peluru untuk kepalaku. terdengar cukup Rimbaud-Verlaine dengan sentuhan Joker yang membaca Schopenhauer, memang.

selain menyakitkan, cinta mungkin pula memusingkan. aku sesekali berpikir bahwa cinta, khususnya kepada pasangan—alih-alih seperti lukisan Mondrian yang rapi, simpel, & simetris—cinta lebih serupa lukisan Pollock yang abstrak, kompleks, & membingungkan, tetapi pada akhirnya tetap saja selalu laku terjual mahal. mungkin karena aku beranggapan bahwa hidup-kehidupan adalah peperangan yang paling sunyi ... berisi rentetan katastrofi yang meremas-remas pikiran-perasaan—& cinta adalah ekspresionisme abstrak pascapeperangan yang “berisik”, yang muncul secara alami sebagai respons dari kelelahan, kehampaan, kengerian, & kecemasan konstan.

seorang yang waras tahu bahwa cinta mengandung bahaya-bahaya tertentu. ia juga memiliki potensi yang begitu tinggi memulai peperangan baru; yang jauh lebih melelahkan dari mengikuti alur novel Dostoevsky setelah melakukan perjalanan paling panjang di akhir tahun yang terasa lambat. tak terhitung berapa banyak kisah cinta yang harus berakhir tragis atau secara sengaja dibuat berakhir tragis agar monumental & kekal: Romeo-Juliet, Layla-Qays, Hamlet-Ophelia, Nietzsche-Lou, Kierkegaard-Regine, Tom-Summer, Joel-Clementine, dlsb. tak terhitung pula berapa banyak ketololan yang memalukan, yang diakibatkan oleh perasaan cinta berlebihan, yang kupikir tak perlu juga aku tekskan secara panjang x lebar x tinggi sebab akan terlalu lucu gobloknya.

kita selalu menipu diri kita sendiri sebanyak dua kali tentang orang yang kita cintai—pertama untuk kelebihan-kelebihannya, lalu untuk kekurangan-kekurangannya, katanya Camus. iya, cinta memungkinkan coklat Ayam Jago terasa seperti coklat Cadbury, es kul-kul terasa seperti es krim Magnum, air mata terasa seperti anggur putih Pinot Noir, hujan terasa seperti saudade tiba-tiba Magellan kepada daratan, red flag terasa seperti bendera USSR di atas Gedung Reichstag, omong kosong terasa seperti janji mesra sebelum koda seorang protagonis di telenovela, jarak terasa seperti tempat persalinan di mana sajak-sajak Gibran, Nizar, Rumi, & Neruda dilahirkan. cinta, diam-diam dengan piawai brengseknya mampu memanipulasi realitas seseorang. Agnes bukan Agnés, bukan Varda, benar sekali lagi, cinta tak ada logika.

akan tetapi, di sisi lain, mungkin pula tak ada seorang pun manusia yang benar-benar memahami cinta—sebab kita hanya mampu merasakannya—& tak ada “kegentingan” untuk memahaminya. tanpa bermaksud untuk mengadvokasi kebahlulan luar biasa akibat cinta, dalam konteks ini, aku setuju dengan Nietzsche seperti kritiknya pada Euripides & Estetika Socrates (yang menjadi induk pengetahuan modern) yang terlalu menuhankan rasionalitas & akal budi. secara implisit dia mengatakan bahwa tak semua hal mesti dipahami ... beberapa hal tertentu, mungkin hanya harus dirasakan-diresapi.

“mula-mula, Descartes berkata: aku berpikir, maka aku ada. lalu Camus bersuara: aku berontak, maka aku ada. setelahnya seorang pembucin kuadrat bersabda dalam keterbucinan: aku bucin, maka aku ada ... & aku ada untuk bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu, sayangku.”

menurut de Beauvoir, hasrat untuk mencintai-dicintai, merupakan bagian dari struktur eksistensi manusia. Sartre, FWB-nya de Beauvoir, berujar bahwa cinta adalah rasa aman—masalahnya, rasa aman ini merupakan ilusi yang menutupi fakta bahwa cinta adalah marabahaya. Chairil menulis, cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. aku mengarang, cinta berada di tengah-tengah antara kotak pandora & kuda troya.

sependek pengalamanku, cinta itu mengasyikkan, tetapi secara simultan mencurigakan & patut dicurigai dengan dosis kecurigaan yang sama seperti menilai cerpen asik-menarik, tetapi berisi plot Deus Ex Machina. iya, cinta itu mengasyikkan, atau tepatnya menyenangkan, sebab bertemu dengan kekasih setelah dihantam kerinduan adalah ekstase yang tak terbahasakan. berciuman, atau khususnya ciuman pertama pun adalah salah satu perasaan ternikmat-terbaik yang bisa dirasakan. cuddling, tentu saja, lebih heavenly lagi. jika Nietzsche adalah seorang hiperseks & tak mati secara jomblo mungkin dia akan berkata: tanpa bercinta, hidup adalah kesalahan. tapi itu cinta jika dilihat hanya sebagai yang baik-baiknya saja.

katanya Fromm di buku The Art of Loving:
cinta adalah pilihan, adalah keputusan, adalah janji. jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada dasar untuk berjanji untuk saling mencintai selamanya. sebuah perasaan datang & mungkin pergi begitu saja. alih-alih “pilihan”, aku lebih setuju cinta sebagai “kompromi”. tapi dusta manalagi yang mau kita nikmati atas nama cinta, sayangku? hari ini aku bisa jadi matahari, besok aku bisa jadi pluto, besok-besoknya lagi kau bisa jadi nebula & aku jadi lubang hitam yang menyedot habis semua kemurungan, dukalara, & kenoiran. tapi, kira-kira, apa yang lebih buruk dari tak pernah dicintai seseorang atau tak pernah merasakan cinta sama sekali? 

mungkin adalah berada dalam hubungan cinta bersama orang yang salah di waktu yang juga salah. katanya Derrida: siapapun yang mulai mencintai, jatuh cinta, atau berhenti mencintai, terjebak di antara siapa mencintai siapa & apa itu cinta. mungkin, cinta adalah buku fiksi berjenis prosa setebal 3000 halaman ... yang ketika dikhatamkan, pembacanya akan selalu kembali pada bab pertama: “apa itu cinta?”.

entahlah ...


Wednesday, 2 November 2022

Apollonian-Dionysian Nietzsche dan Penolakan Kehendak Schopenhauer (Esai Translasi)

Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Salah satu tesis Nietzsche dalam The Birth of Tragedy—adalah tentang bagaimana tragedi Yunani—merupakan produk sintesis antara dua impuls artistik yang begitu kontras, Apollonian dan Dionysian. Tapi apa sebenarnya makna dari dua impuls tersebut? Pertama-tama, orang Yunani kuno memiliki kebijaksanaan populer—berasal dari kepekaan kuat mereka—mengarah menuju pandangan dunia yang pesimistis:

“Mampu mengalami penderitaan besar, amat rentan terhadap rasa sakit—sangat masuk akal bila orang Yunani dalam kondisi ini berbahaya bagi kehidupan: kekejaman yang menyakitkan bagi eksistensi, bisa membawanya menuju pesimisme, menuju penolakan eksistensi itu sendiri.” (Machado, 2017)

Nietzsche mempertimbangkan kebijaksanaan populer Yunani ketika dia menulis bahwa, dalam mitos, raja Midas menemukan Silenus, dewa tarian dan anggur, di hutan dan bertanya kepadanya perihal sesuatu yang paling diinginkannya. Silenus, yang sering mabuk-mabukan dan bernyanyi—sebenarnya, telah menjadi kawan dewa Dionysus/Bacchus—menolak untuk menjawab, tetapi setelah raja bersikeras, dia mengatakan bahwa hal terbaik adalah di luar jangkauan manusia: tidak dilahirkan. Maka hal terbaik kedua adalah mati sesegera mungkin.

Menurut Nietzsche, Seni Yunani berangkat dari sini. Semenjak seni dan kepercayaan praktis melebur bersama di Yunani, penciptaan dewa-dewi Olympus merupakan jawaban atas masalah eksistensial yang dirangkum dalam Kebijaksanaan Silenus. Apollo, salah satu Olympians, diperlakukan oleh Nietzsche sebagai simbol ukuran, peradaban, proporsi yang indah, “yang berfungsi sebagai semacam tembok besar yang menjaga alam di teluk”, sebab realitas yang ada kacau-balau, menyakitkan, mematikan, dan selalu dalam perubahan konstan.

Seni Apollonian memiliki representasi terbesarnya dalam epos Homeros, dengan para pahlawan dan dewa-dewinya yang indah. Di hadapan kebijaksanaan pesimistis yang cenderung memusnahkan kehidupan, seni Apollonian muncul untuk menjustifikasi kehidupan, untuk mengklaim bahwa kehidupan itu baik, bahwa manusia memiliki nilai baik secara kolektif maupun secara individu. Dorongan Apollonian juga merepresentasikan individuasi, yang mendefinisikan setiap hal di dunia sebagai sesuatu itu sendiri daripada sesuatu yang lain. Ada semacam kebutuhan untuk mengatur—di dunia yang coba ditangani oleh dorongan artistik ini.

Sangat penting untuk memperjelas bahwa dewa-dewi Olympus dan seni yang menyertainya, meskipun berfungsi sebagai pertahanan terhadap alam yang tidak teratur, bukanlah bentuk eskapisme dari dunia. Sebaliknya, seni Apollonian menancapkan akarnya di dunia dan bermaksud mengaturnya: keberadaan dan kehidupan di dunia ini berharga karena seni Apollonian. Bukan sebentuk pelarian dari dunia menuju realitas yang hanya dapat dicapai dengan kenaikan/pencerahan, agama Olympians (agama politeistik—yang paling umum disembah adalah dua belas dewa—dewi Olympian: Zeus, Hera, Poseidon, Aphrodite, Athena, Artemis, Apollo, Hephaestus, Hermes, Demeter, Ares, dan Hestia) dan puisi Homeros berusaha menciptakan benteng dalam realitas— mempertahankannya dari “gangguan alam” yang menyakitkan, kaotis, jelek, dan menyebabkan begitu banyak penderitaan.

Pendek kata, tidak ada keindahan dalam apa yang natural, tetapi hanya dalam apa yang diatur. Keindahan terdiri dari “wujud”. Wujud inilah yang membuat hidup jadi kita inginkan:

“Untuk melepaskan diri dari kebijaksanaan populer yang pesimis, orang Yunani menciptakan dunia yang indah, alih-alih mengungkapkan kebenaran dunia, itu adalah strategi agar kebenaran ini tidak keluar dan membuat orang-orang Yunani menjadi pesimistis.” (Machado, 2017)

“Wujud” diperlukan, sebab yang-mahaprimordial, realitas metafisik yang ada di balik segala sesuatu, membutuhkan wujud yang indah agar dapat membebaskan dan mengindividualisasikan dirinya tanpa menghancurkan dirinya sendiri. Yang-primordial ini dilihat oleh Nietzsche dengan cara yang sama seperti Schopenhauer melihat Kehendak: adalah apa yang nyata di balik dunia wujud. Tapi itu adalah kenyataan yang tidak mungkin untuk ditoleransi, dan itulah sebabnya seni Apollonian diciptakan. Dorongan Apollonian adalah apa yang membawa ketertiban, individuasi, Negara, dll.

Apollonian adalah tahap pertama yang dianalisis oleh Nietzsche. Tahap kedua adalah seni Dionysian, yang berasal dari kultus yang datang dari luar Yunani dan akhirnya dianut oleh Yunani. Kultus-kultus ini memiliki sosok dewa yang liar, pengembara, pemabuk, dan orgiastik—Dionysus. Meskipun dorongan Apollonian merepresentasikan mimpi dalam kenyataan—mimpi peradaban, mimpi wujud-wujud dan proporsi yang indah, individual, teratur, dan terukur—dorongan Dionysian membawa serta keinginan untuk kembali ke yang-primordial, dunia Kehendak, yang alami, kaotis dan tanpa ukuran. Dionysian merayakan aspek-aspek realitas ini, mencari lebih banyak pengalaman mistik tentang penyatuan dengan segala sesuatu ketimbang menghasratkan keteraturan dan pemisahan. Ini merepresentasikan bahaya tidak hanya untuk seni Apollonian dan dewa-dewa Olympus, tetapi juga untuk cara hidup orang Yunani, sebab seni Apollonian dan kepercayaan Olympus adalah sesuatu yang menopang gagasan tentang apa yang membuat seseorang bisa dikatakan sebagai orang Yunani.

Kemabukan memproduksi jalan pulang ke keadaan alami di mana tidak ada diferensiasi, yang mengguncang fondasi eksistensi, karena itu mengungkapkan sekali lagi kepada orang Yunani bahwa situasi di tempat yang mereka tinggali hanyalah mimpi peradaban, individualitas, ketertiban, dan keindahan. Dan jika ini semua hanya mimpi, kita kembali ke Kebijaksanaan Silenus: lebih baik tidak dilahirkan; hal terbaik kedua adalah mati secepatnya. Menurut Nietzsche, inilah saat bentuk baru ekspresi seni datang untuk menyelamatkan orang Yunani dari pesimisme sekali lagi: tragedi. Mengutip Roberto Machado, dalam Nietzsche and the Truth:

Jenis seni baru ini (tragedi)—yang merepresentasikan epitome peradaban Yunani—tidak bermaksud untuk membangun parit lain, sekat lain, tembok besar lain yang menghentikan pintu masuk dan perluasan Dionysian, seperti yang ingin dilakukan oleh seni Apollonian dan puisi epos. Ciri khas dari strategi artistik baru adalah mengintegrasikan, dan bukan untuk menekan, elemen Apollonian, mengubah kemuakan yang disebabkan oleh kengerian dan absurditas eksistensi dalam representasi yang mampu membuat kehidupan menjadi mungkin. (Machado, 2017)

Dan dalam kata-kata Nietzsche:

Tragedi itu indah—sejauh gerakan naluriah yang menciptakan kengerian dalam hidup memanifestasikan dirinya dalam tragedi sebagai naluri artistik, dengan senyumnya, seperti anak kecil yang sedang bermain. Apa yang menarik dalam tragedi itu sendiri adalah bahwa kita melihat naluri yang mengerikan menjadi naluri seni dan bermain di depan mata kita. (Machado, 2017, hlm. 37)

Seni tragis mampu menyatukan Apollonian dan Dionysian, wujud dan esensi, tabir Maya dan Kehendak. Namun, itu adalah persatuan yang tidak ditampilkan sebagai koeksistensi pasifis dan abadi, tetapi sebagai konflik antara dua kekuatan, di mana pengetahuan Apollonian untuk sementara dikalahkan oleh Dionysian. Artinya, menurut interpretasi Nietzschean, individuasi (yang diagungkan Apollonian) terungkap sebagai penyebab semua rasa sakit dan penderitaan kita.

Nietzsche menulis: 

“Bentuk paling universal dari takdir tragis adalah kekalahan yang menang atau kemenangan yang dicapai dalam kekalahan. Setiap kali individualitas kita dikalahkan: dan, bagaimanapun, kita merasakan kehancurannya sebagai kemenangan.” (Machado, 2017, hlm. 38)

Metafisika para seniman: “[...] merupakan konsepsi bahwa seni adalah aktivitas metafisik yang tepat dari manusia, konsepsi bahwa hanya seni yang memungkinkan pengalaman hidup sebagai sesuatu yang kuat, tak dapat dihancurkan, dan ceria— terlepas dari perubahan fenomena.” (Machado, 2017) 

Nietzsche melihat metafisika para seniman sebagai respons terhadap metafisika konseptual dan sains. Dia percaya bahwa seni tragis berumur singkat di Yunani, menghilang tiba-tiba, dan mengidentifikasi Euripides dan Socrates sebagai tokoh utama yang bertanggung jawab atas kematian tragedi.

Bagi Nietzsche, Euripides bertanggung jawab untuk mengurangi pentingnya dan penggunaan elemen yang dia anggap penting dalam tragedi: paduan suara yang tragis. Elemen ini, yang digunakan selama pertunjukan, adalah fokus utama dalam tragedi yang “mendahului” Euripides, tepatnya karena melalui paduan suara yang tragis, penonton dapat merasakan apa yang terjadi—dan tidak hanya memahami peristiwa dalam drama sebagai pelajaran moral atau apa pun itu. Tesis Nietzsche adalah bahwa tragedi tidak seharusnya dijelaskan, tetapi dirasakan, dan di situlah bagian penting dari tragedi terletak. Ini tidak hanya sebentuk katarsis, tetapi obat, tonik terapeutik yang membuat mereka yang menontonnya merasakan emosi mereka tanpa perlu mengekstraksi pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana dunia berfungsi. Bukannya kita tidak bisa belajar darinya, tetapi pembelajaran ini lebih terhubung dengan afeksi (perasaan) ketimbang dengan intelektualitas (pikiran). Menurut Nietzsche, tanpa paduan suara yang tragis, hal ini tidak terjadi.

Euripides akan menjadi representasi Socrates dalam konteks seni tragis, dan oleh karenanya Nietzsche menyatakan dia sebagai penulis yang mempercepat “the death of tragedy”—benar-benar bunuh diri, karena Euripides menulis tragedi. Tesis Nietzsche menegaskan hal berikut: walaupun sebelum tragedi Euripides membuat penonton menyentuh “yang-nyata” tanpa perlu melihatnya dengan cara yang dapat dipahami, setelah Euripides kita kedatangan “estetika Socrates”, yang terjadi ketika penyair tunduk kepada filsuf, seseorang yang menganalisis dunia melalui akal dan bermaksud untuk memiliki pengetahuan tentang apa yang universal dan apa yang penting.

Tragedi, sebelumnya, tidak punya kebutuhan untuk menghubungkan peristiwa dengan “logika yang terlihat”, peristiwa tidak mesti memiliki sebab dan akibat yang eksplisit. Kepentingannya terletak pada bagaimana membuat penonton “merasakan”, bukan “memahami”. Hal ini, menurut Nietzsche, tidak dapat ditoleransi oleh para filsuf. Aeschylus dan Sophocles menulis tragedi mereka sehingga mereka dapat bertindak sedemikian rupa sampai menimbulkan perasaan mabuk vitalis kepada penonton. Euripides, sebaliknya, “[...] menjadi penyair rasionalisme Socrates: kritiknya terhadap seni adalah perpanjangan tangan dari kritik Socrates terhadap manusia yang menjalankan tugasnya menggunakan naluri karena mereka tidak-sadar.” (Machado, 2017)

Bertindak berdasarkan insting tanpa berusaha memahami apa yang dilakukannya tentu bertentangan dengan segala sesuatu yang dicari oleh filsuf, yaitu kejernihan pengetahuan saintifik. Pengetahuan tragis dan artistik, pemahaman semacam itu, yang menghubungkan penonton dengan yang-primordial, dengan Kehendak, tanpa perlu pemahaman yang jelas dan sadar tentang mekanisme metafisik—adalah sesuatu yang sepenuhnya dibenci oleh filsuf—dan Euripides adalah juru bicara filsuf di antara para penyair tragis. Filsafat Socrates, yang merupakan induk dari semua ilmu, termasuk ilmu pengetahuan modern—adalah pencarian pemahaman yang mendetil tentang alam. Ia berusaha menembus alam dan mengungkapkan esensi dunia di balik wujudnya. Meskipun kerudung Maya menutupi mata manusia, filsafat mengungkap dunia, mengungkapkan kebenaran di balik ilusi.

Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer, dan pengaruh ini begitu nyata dalam The Birth of Tragedy, buku pertamanya. Bagi Schopenhauer, esensi di balik wujud adalah Kehendak, sebuah kekuatan metafisik yang tunggal, tak lekang oleh waktu dan imanen, yang menjiwai semua keberadaan: dari kekuatan paling dasar fisika Newton hingga organisme paling kompleks. Kehendak tidak memiliki tujuan rasional, tujuan akhir, tetapi hanya kebutuhan mendesak untuk mengobjektifikasi dirinya dalam berbagai hal. Dari sinilah individuasi yang kita lihat di dunia material berasal. Meskipun kita tampak terpisah dalam representasi Kehendak, meskipun ada ilusi tatanan rasional yang dapat kita urai menggunakan kecerdasan dan pengamatan, esensi di balik ilusi multiplisitas alami ini adalah Kesatuan yang irasional dan kaotis:

[...] pemahaman yang dimiliki Schopenhauer tentang Kehendak, kita dapat mengatakannya, sebagai dorongan serampangan dan buta, sebagai kehausan hidup, Kehendak akan segera mengonkretkan ide dan secara tidak langsung mewujudkannya dalam fenomena. Untuk memuaskan hasratnya yang tidak henti-hentinya untuk hidup, kesatuan primitif Kehendak akan melipatgandakan dirinya melalui prinsip individuasi dan kausalitas, menyebarkan dirinya dalam banyak hal yang membentuk dunia fenomena, bahkan yang terkecil dan yang paling terisolir dari fragmen-fragmen ini pun akan tetap menjadi satu, produk dan ekspresi dari Kehendak. (Dias, 1997)

Kehendak, bagi Schopenhauer dan Nietzsche, adalah kaotis, tidak stabil dan menyebabkan rasa sakit serta penderitaan bagi makhluk hidup, di mana ia mengobjektifikasikan dirinya sendiri—rasa sakit dan penderitaan yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk mengulangi representasi individu baru dari Kehendak.  Tapi meskipun bagi Schopenhauer seni bisa berfungsi sebagai penolakan temporer dari Kehendak, pelarian dari rasa sakit hidup yang kacau, bagi Nietzsche Kehendak itu artistik dalam dirinya sendiri, dan ia menebus dirinya sendiri dalam wujud yang dihasilkannya. Dan penebusan eksistensial ini tidak hanya terjadi melalui seni tragis, tetapi juga melalui seni Apollonian, misalnya. Selama momen Apollonian dalam seni Yunani, ada obat penawar rasa sakit dunia, untuk kenaturalan dan kemenjadian yang kaotis. Tragedi datang hanya untuk mendamaikan roh Apollonian dan Dionysian, sesuatu yang, bagi Nietzsche, menciptakan bentuk penebusan yang superior melalui seni. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, baginya, bahkan seni Apollonian sudah mampu membuat hidup lebih layak untuk dijalani:

Kebutuhan bahagia dari pengalaman seperti mimpi ini dengan cara yang sama diungkapkan oleh orang-orang Yunani pada Apollo: Apollo, dalam kualitas dewa yang memiliki kekuatan konfigurasi, pada saat yang sama adalah dewa ramalan. Menurut akar dari namanya yang “gemerlap”, keilahian cahaya, ia juga berkuasa di atas wujud indah dunia fantasi. Kebenaran superior, kesempurnaan keadaan-keadaan ini, dalam kontraposisinya dengan realitas umum, seperti celah dan dapat dipahami, diikuti oleh kesadaran mendalam tentang penyembuhan dan sifat masuk akal dari tidur dan mimpi, secara simultan merupakan analogi simbolis dari kemampuan meramal dan juga kemampuan artistik, yang dengannya kehidupan menjadi mungkin dan layak dijalani. (Nietzsche, 2005)

Ini sangat bertentangan dengan pesimisme Schopenhauer dan Kehendak-nya yang menyangkal etika, yang menganggap bahwa menjauhkan diri dari dunia sebagai respons definitif terhadap kondisi manusia. Dalam karya pertama Nietzsche kita menemukan apa yang kemudian disebut Pesimisme-Dionysian: 

“Adalah pesimisme romantis dalam bentuknya yang paling ekspresif, baik itu dalam Schopenhauerian tentang Kehendak, baik itu dalam musik Wagnerian [...] Bahwa masih ada pesimisme yang begitu berbeda dan klasik—intuisi semacam itu milikku [...]” (Nietzsche, 2001)

Sebagian besar, filsafat Nietzsche terdiri dari upaya abadi untuk menolak pesimisme yang menolak kehidupan à la Schopenhauer. Tentang tipe pesimismenya, dia menulis:

“[...] Pesimisme masa depan ini—dan itu akan datang! Aku sudah melihatnya datang!—aku menyebutnya Pesimisme-Dionysian.” (Nietzsche, 2001)

“Corak” pesimismenya ini akan menjadi varian dari pesimisme yang dia lihat dalam tragedi Yunani, yang merangkul kehidupan dengan segenap rasa sakit dan kemalangannya.

Kita hanya bisa berspekulasi apa yang akan Schopenhauer pikirkan tentang pesimisme Nietzsche. Namun tampaknya jelas bahwa dia akan menolaknya dan bahkan tidak akan menganggapnya sebagai pandangan negatif tentang eksistensi. Ketika kita membaca bagian-bagian the World as Will and as Representation, menjadi sulit untuk membayangkan Schopenhauer setuju dengan tesis bahwa kita harus merangkul kemenjadian dengan semua rasa sakit dan penderitaan yang terkandung di dalamnya. Seluruh filsafat Schopenhauerian seperti pendakian besar menuju puncak pengetahuan yang mengerikan: bahwa tidak ada hal baik yang bisa diperoleh dengan melestarikan keadaan yang kita sebut “kehidupan”. Bahkan seni, terutama musik, dengan segala keindahan dan kapasitas pelariannya, tidak mampu menang melawan Kehendak. Oleh karena itu, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyangkal Kehendak dalam diri kita, bukan dengan membunuh diri kita sendiri, tetapi menjauhkan diri dari kehidupan. Bagi Schopenhauer: 

“[...] kita dapat menyebut penekanan otomatis yang total dan penolakan Kehendak ini sebagai kebaikan tertinggi, summo bonum, dan melihatnya sebagai satu-satunya dan cara radikal untuk menyembuhkan penyakit—yang kesemua caranya adalah anodin (obat pereda nyeri), yang hanya bisa meringankan.” (Schopenhauer, 2005)

Namun ada filsuf pesimisme lain yang mampu mengomentari filsafat Nietzsche sejak ia hidup pada abad ke-20: Cioran. Kita mungkin tidak tahu persis apa yang akan dipikirkan Schopenhauer tentang Pesimisme-Dionysian, tetapi kita memiliki pemikiran filsuf lain yang, dengan caranya, juga menyangkal kehidupan dan keberadaan dengan cara yang lebih mendalam dan ekstrem—sebab Cioran skeptis tentang postulat metafisika yang tepat. Penyangkalan hidupnya terjadi karena dia menganggap bahwa kesadaran sangat diperlukan dan tidak dapat dipisahkan dari rasa sakit dan penderitaan. Bagi Cioran, dilahirkan adalah mengada, dan keberadaan sama dengan penderitaan. Tentang Nietzsche, Cioran menulis:

Kepada seorang murid yang ingin tahu di mana aku berdiri sehubungan dengan penulis Zarathustra, aku menjawab bahwa aku sudah lama berhenti membacanya. Mengapa? “Aku menganggapnya naif ...” Aku menahan antusiasmenya, menentang semangatnya. Dia menghancurkan begitu banyak berhala-berhala hanya untuk menggantikannya dengan yang lain: ikonoklas palsu, dengan aspek ketidakdewasaan dan keperjakaan tertentu, kepolosan tertentu yang melekat dalam karier soliternya. Dia mengamati manusia hanya dari kejauhan. Seandainya dia mendekat, dia tidak akan bisa membayangkan atau mengumumkan übermensch (adimanusia) itu, angan-angan yang tidak masuk akal, menggelikan, bahkan aneh sekali, sebuah khayalan yang hanya bisa muncul dalam pikiran tanpa waktu, untuk mengetahui ketenangan panjang menjijikan dari ketidakmelekatan. Marcus Aurelius jauh lebih dekat denganku. Tidak ada keraguan sedikit pun antara lirisisme yang carut-marut dan prosa penerimaan: Aku menemukan lebih banyak kenyamanan, bahkan lebih banyak harapan, pada kaisar yang lelah ketimbang pada nabi yang bergemuruh. (Cioran, 1976)

Referensi: 

Cioran, Emil. The Trouble with Being Born. New York: Arcade, 1976. Tradução para o inglês de Richard Howard.

Dias, Rosa. “A influência de Schopenhauer na filosofia da arte de Nietzsche em O Nascimento da Tragédia” In Cadernos Nietzsche. n. 3, São Paulo, 1997.

Machado, Roberto. Nietzsche e a Verdade. São Paulo: Paz e Terra, 2017.

Nietzsche, Friedrich. O nascimento da tragédia. São Paulo: Cia das Letras, 2005. Tradução de J. Guinsburg.

A Gaia Ciência. São Paulo: Cia das Letras, 2001. Tradução de Paulo César Lima de Souza.

Schopenhauer, Arthur. O Mundo como Vontade e Representação. São Paulo: UNESP, 2005. Tradução de Jair Barboza.

Friday, 28 October 2022

Surat untuk Genrifinaldy


Kepada Genrifinaldy yang Api ...

Bogor, 28 Oktober 2022

“where did we come from?
why are we here?
where do we go when we die?
what lies beyond
& what lay before?
is anything certain in life?

they say, life is too short
the here & the now
& you're only given one shot
but could there be more
have i lived before
or could this be all that we've got?
...”

halo genrifinaldy. ini aku, bocah kecil dalam dirimu ... yang selalu coba kau bunuh di kepalamu yang katanya ensiklopedis, rasional, & kritis itu. bagaimana rasanya krisis eksistensial? maaf, maksudku bagaimana rasanya menjadi dewasa? sakit kepala? sakit pinggang? sakit punggung? sakit jiwa? bolehkah aku mengucap selamat malam agar kau lekas tidur & bermimpi indah? atau bolehkah aku bertanya sesuatu yang lebih penting & mendasar: apakah kau berbahagia? 

sebentar, wajahmu muram sekali, seperti The Sorrows of Young Werther karya Goethe yang sebabkan bunuh diri massal di mana-mana, seperti Gloomy Sunday yang diputar di minggu pagi yang mendung & murung, hei ... ini hari jumat & kau memasang wajahmu seperti seekor burung yang secara sadar mematahkan sayapnya sendiri. kau ingin bercerita? sepertinya kau lelah & butuh telinga. 

apa? kau ingin mati? tidak, jangan ... tolong buang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk itu. begini, aku sudah berkali-kali peringatkanmu agar jangan membaca buku-buku sialan itu. meskipun aku tak kenal siapa Cervantes, tetapi kukira kau serupa dengan Don Quixote yang jadi gila karena terlalu banyak membaca buku. bila perlu kubakar saja rak bukumu yang tak seberapa itu dengan semangat Nero membakar kota Roma—atau gairah Julius membakar perpustakaan Alexandria. 

sudah kukatakan bahwa tak setiap tanya memiliki jawaban. lagipula tak setiap tanya harus ada jawaban. tapi egomu selalu menuntut jawaban agar lebih tahu & bisa lebih unggul dari orang lain yang tak tahu & tak membaca buku. hei, kau kan tahu kepalamu hampir pecah ketika menghafal istilah teknis Heidegger yang jauh lebih “tebal” dari filsafatnya. jangan dulu menulis, kau terlampau produktif minggu ini. dua hari lalu, hari rabu, dalam satu hari tiga tulisanmu terbit di media yang berbeda: esaimu tentang Pengarang Telah Mati si Barthes, esaimu tentang Kritik Stoikisme, & puisimu yang masih gelap itu. bahkan kemarin, iya kemarin kalau kau tak alzheimer, esai terjemahanmu tentang Sejarah menurut Nietzsche juga terbit. ayo bersenang-senanglah sejenak, jangan terus menerus membaca buku—lari pagi di hari sabtu esok sepertinya ide yang cukup bagus. 

jangan dulu mati, ya. sebentar lagi, tahan dulu. besok ... ketika matahari terbit dari timur sana—segala dukalara yang kau rasakan di kerongkonganmu itu, yang kau dapatkan dari barat itu—akan sepenuhnya musnah. ingat, hari minggu nanti kau mesti serius & profesional ... kau ada jadwal untuk mempresentasikan Analisis Sosial & Kerja-Kerja Jurnalistik. untuk saat ini, agar kau tak terlalu menderita—lupakan Bolaño yang secara tersirat mengatakan bahwa membaca selalu lebih berarti daripada menulis. membaca atau menulis puncaknya adalah penderitaan. literasi adalah omong kosong agar seseorang yang berkepala tabula rasa mampu merasakan beban pengetahuan. meskipun buku adalah jembatan ilmu, tetapi membaca adalah jalan menuju neraka ... yang sejuta kali lebih buruk dari Une saison en enfer-nya Rimbaud atau Inferno-nya Dante. menulis? lupakan Pram, menulis bukanlah bekerja untuk keabadian. menulis adalah bekerja untuk kesementaraan—atau mungkin untuk teks yang selalu lebih kekal dari kenarsistikan pengarangnya. kau tahu itu semua, kan?

apa? kau sakit kepala? banyak pikiran?sudah berapa gelas kopi kau teguk hari ini? kesadaran selalu membutuhkan kafein—seperti pikiranmu yang selalu membutuhkan jawaban, seperti tanda tanya yang selalu membutuhkan kepuasan konstan. hei, kau belum menjawab: apakah kau berbahagia? kau bukan Sisifus à la Camus yang kebahagiaannya harus seseorang bayangkan. seharusnya kau bisa berbahagia saat ini juga. tapi mungkin kau adalah Prometheus yang dikutuk karena mencuri secuil api-pengetahuan. kau dirantai, ada seekor elang yang akan memakan hatimu setiap hari—& tak ada Heracles yang akan selamatkanmu dari siksaan-siksaan pikiran. meski kau bukan orang Skandinavia, bukan bangsa Viking, & tak mengimani Mitologi Nordik—kepalamu setiap malam, sepanjang malam ... adalah Ragnarok paling kubra. meski kau selalu bilang aku tolol & naif, aku tahu & memahami itu.

untuk saat ini, jangan dulu mati ... jangan dulu membaca, jangan juga mengarang. itu akan memperburuk keadaanmu. & aku terlampau bosan untuk mengatakan ini ... pertanyaan & jawaban adalah masturbasi ego yang tak seorang tuhan pun tahu di manakah ujungnya. sekarang, lupakan Bacon—pengetahuan bukanlah kekuatan, tetapi penderitaan. seperti yang telah kau tekskan di Manifesto Kesuraman itu. tolong telan pil pahit ini: akan selalu ada seseorang yang lebih tahu daripada kau. selain itu, pengetahuan adalah pikiran & tak relevan dengan apa pun selain pikiran itu sendiri—pengetahuan selalu terobsesi dengan hal-hal non-realitas, seperti yang kau biasa debatkan secara sunyi di kepala. 

lagipula, di sisi lain, apa kau lupa dengan Jung? bahwa jika seseorang tahu lebih banyak daripada orang lainnya, dia menjadi kesepian. lantas untuk apa semua pengetahuan tak berguna itu? pengetahuan yang lebih banyak dampak buruknya, ketimbang dampak baiknya. apakah kau inginkan kesepian yang lebih kesepian dari kesepianmu saat ini? tak mau, bukan? atau kau tetap inginkan jawaban dari segudang pertanyaanmu itu? o buka matamu, ini realitas, tak peduli sebanyak apapun kau mengunyah-mencerna buku-buku besar & berat itu—selalu saja ada hal-hal kecil yang tampak ringan, tetapi otak-intelektualitasmu (yang selalu kau agung-agungkan itu) tak sedikit pun mampu memahaminya. 

hidup bukan perihal siapa yang paling banyak mengetahui sesuatu. buka Ecclesiastes 1:18, di sana kau akan temukan: karena dalam banyak kebijaksanaan terdapat banyak kekesalan, & barangsiapa menambah pengetahuan—menambah kesengsaraan. rasa-rasanya aku perlu berkata ini juga kepadamu: berbahagialah mereka yang tak pernah membaca ... sekarang kau akan tahu mengapa perintah pertama tuhan adalah membaca hahaha.

sekali lagi, jangan dulu mati ya. kalau kau ingin bercerita, aku selalu ada di sisimu; di sisi yang selalu coba kau sembunyikan dari kesadaranmu yang lebih nauseatik dari membaca Sartre ketika sedang naik bianglala.

“oh, you could be the one
you could be the one
who walks away
& leaves the war

above your head
there's a heavy cloud
a heavy cloud distract
& push yourself
to be apart

time like this you know
you know know
you know, you know, know
you know, you know, know
you know

think rational mind is battlefield
run to the throne, run to the throne
think rational mind is battlefield
run to the throne, run to the throne

you're not the only one
the only one who needs the thing
should be explained at once

well we are full
awallowing regrets
but someone already
sent you a vow
out of the mess
...”

Sincerely,

Bocah Kecil dalam Dirimu

Thursday, 27 October 2022

Nietzsche: Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah (Esai Translasi)

Antara tahun 1873 dan 1876, Nietzsche menerbitkan buku Unfashionable Observations/Untimely Meditations/Thoughts Out of Season (bahasa Jerman: Unzeitgemässe Betrachtungen) yang terdiri dari empat karyanya. Bagian kedua dari bukunya ini adalah esai yang sering dialihbahasakan dan diberi judul “The Use and Abuse of History for Life/Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah untuk Kehidupan” (1874). Namun, terjemahan yang lebih akurat dari karyanya tersebut adalah “On the Uses and Disadvantages of History for Life/Tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah untuk Kehidupan”.

Makna dari “Sejarah” dan “Kehidupan”

Dua istilah kunci dalam judul, “sejarah” dan “kehidupan” digunakan dalam cara yang sangat luas. Nietzsche secara khusus memaknai “sejarah” sebagai pengetahuan historis dari budaya-budaya sebelumnya (misalnya Yunani, Roma, Renaisans), yang mencakup pengetahuan tentang filsafat masa lampau, sastra, seni, musik, dan sebagainya. Tapi dia juga memikirkan pengetahuan secara umum, termasuk komitmen pada prinsip-prinsip ilmiah atau metode ilmiah yang ketat, dan juga kesadaran-diri terkait historisitas-umum yang terus-menerus menempatkan waktu dan budaya seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang telah datang sebelumnya.

Istilah “kehidupan” tidak didefinisikan dengan jelas di dalam esainya ini. Di satu titik, Nietzsche menggambarkannya sebagai “sebuah kegelapan mengemudikan kekuatan keinginan-diri yang tidak terpuaskan”, tetapi itu tidak banyak memberi tahu kita. Apa yang tampaknya paling sering dia pikirkan, ketika berbicara tentang “kehidupan”, adalah sesuatu seperti keterlibatan yang dalam, kaya, dan kreatif dengan dunia tempat seseorang tinggal. Di sini, seperti dalam semua tulisannya, penciptaan budaya yang mengesankan sangat penting bagi Nietzsche.

Apa yang Ditentang Nietzsche

Pada awal abad ke-19, Hegel (1770-1831) telah membangun filsafat sejarah yang melihat sejarah peradaban sebagai perluasan kebebasan manusia dan pengembangan kesadaran-diri yang lebih besar mengenai sifat dan makna sejarah. Filsafat Hegel sendiri merepresentasikan tahap tertinggi yang belum dicapai dalam pemahaman-diri manusia. Setelah Hegel, secara umum diterima bahwa pengetahuan tentang masa lalu adalah hal yang baik. Faktanya, abad kesembilan belas berbangga diri karena lebih terinformasi secara historis daripada zaman sebelumnya.

Nietzsche, bagaimanapun, seperti yang dia suka lakukan, mempertanyakan kepercayaan luas ini.

Dia mengidentifikasi 3 pendekatan terhadap sejarah: yang monumental, yang antikuarian, dan yang kritis. Masing-masing dapat digunakan dengan cara yang baik, tetapi masing-masing memiliki bahayanya sendiri.

Pendekatan Sejarah yang Monumental

Pendekatan ini berfokus pada contoh-contoh kebesaran manusia, individu yang “memperbesar konsep manusia … memberikan rasa puas yang lebih indah”. Nietzsche tidak menyebutkan nama, tetapi dia agaknya merujuk kepada orang-orang seperti Musa, Yesus, Pericles, Socrates, Caesar, Leonardo, Goethe, Beethoven, dan Napoleon. Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh semua individu hebat adalah kesediaan yang angkuh untuk mempertaruhkan nyawa dan mengorbankan kesejahteraan materi mereka. Orang-orang seperti itu dapat menginspirasi kita untuk meraih kebesaran diri kita sendiri. Mereka adalah antidote keletihan-dunia.

Tapi pendekatan sejarah yang monumental membawa bahaya-bahaya tertentu. Ketika kita melihat tokoh-tokoh masa lalu ini sebagai inspirasi, kita mungkin mendistorsi sejarah dengan mengabaikan keadaan-keadaan unik yang memunculkannya. Sangat mungkin bahwa tidak ada figur seperti itu yang bisa muncul lagi karena keadaan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Bahaya lain terletak pada cara dari beberapa orang yang memperlakukan pencapaian besar di masa lalu (misalnya tragedi Yunani, lukisan Renaisans) sebagai sesuatu yang kanonikal. Mereka dipandang memberi paradigma bahwa seni kontemporer tidak boleh menantang atau menyimpang dari konvensi seni yang sudah ada sejak masa lampau.

Ketika digunakan dengan cara ini, sejarah yang monumental dapat menghalangi jalan menuju pencapaian budaya yang baru dan orisinal.

Pendekatan Sejarah yang Antikuarian

Pendekatan ini mengacu pada pendalaman ilmiah dalam beberapa periode masa lalu atau budaya masa lalu. Ini adalah pendekatan sejarah yang khas akademisi. Berguna membantu kita untuk meningkatkan makna dari identitas suatu budaya. Misalnya, ketika penyair kontemporer memperoleh pemahaman mendalam tentang tradisi puitis tempat mereka berasal, ini memperkaya karya mereka sendiri. Mereka mengalami “kepuasan sebatang pohon dengan akar-akarnya”.

Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan tersembunyi. Terlalu banyak tenggelam dalam masa lalu dengan mudah mengarah pada keterpesonaan yang tidak cerdik dan penghormatan terhadap apa pun yang lama, terlepas dari apakah itu benar-benar mengagumkan atau menarik. Pendekatan sejarah yang antikuarian dengan mudah merosot menjadi keterpelajaran belaka, di mana tujuan melakukan sejarah telah lama dilupakan. Dan pemujaan terhadap masa lalu dapat menghambat orisinalitas. Produk-produk budaya masa lalu dipandang begitu gemilang, sehingga kita hanya bisa berpuas diri dengannya dan tidak mencoba menciptakan sesuatu yang baru.

Pendekatan Sejarah yang Kritis

Pendekatan sejarah ini hampir berkebalikan dari pendekatan sejarah yang antikuarian. Alih-alih memuja masa lalu, sejarah yang kritis menolaknya sebagai bagian dari proses menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, gerakan-artistik-orisinal seringkali sangat kritis dan penuh kritik terhadap gaya yang mereka coba gantikan (cara penyair Romantik menolak diksi buatan penyair abad ke-18). Bahayanya di sini, bagaimanapun, kita akan bersikap tidak adil terhadap masa lalu. Secara khusus, kita akan gagal untuk melihat bagaimana elemen-elemen dalam budaya masa lalu yang kita benci itu diperlukan; bahwa mereka adalah salah satu elemen yang melahirkan kita.

Masalah yang Disebabkan oleh Terlalu Banyak Pengetahuan Sejarah

Dalam pandangan Nietzsche, budaya Jerman/budaya Eropa/budayanya (dan dia mungkin akan mengatakan budaya kita juga) telah membengkak dengan terlalu banyak pengetahuan. Dan ledakan pengetahuan ini tidak melayani “kehidupan”—dengan kata lain, tidak mengarah pada budaya kontemporer yang lebih kaya, lebih bersemangat, lebih hidup. Di sisi lain, para akademisi terobsesi dengan metodologi dan analisis yang canggih. Dengan melakukan itu, mereka kehilangan tujuan sebenarnya dari apa yang mereka kerjakan. Mereka terus-menerus tidak sadar bahwa yang paling penting bukan apakah metodologi mereka masuk akal, tetapi apakah apa yang mereka lakukan berguna untuk memperkaya kehidupan dan budaya kontemporer ataukah tidak.

Seringkali terjadi—alih-alih mencoba menjadi kreatif dan orisinal, orang-orang terpelajar justru membenamkan diri dalam kegiatan ilmiah yang relatif kering. Hasilnya adalah kita hanya memiliki pengetahuan tentang budaya, bukannya memiliki budaya yang hidup. Alih-alih benar-benar mengalami sesuatu, kita mengambil sikap ilmiah yang terpisah dari sejarah itu sendiri. Orang-orang mungkin berpikir di sini, misalnya, perbedaan di antara lukisan atau komposisi musik, dan memperhatikan bagaimana itu mencerminkan pengaruh tertentu dari seniman atau komposer sebelumnya.

Di tengah-tengah esainya, Nietzsche mengidentifikasi lima kelemahan spesifik dari memiliki terlalu banyak pengetahuan sejarah. Sisanya merupakan elaborasi dari poin-poin ini. Lima kelemahan tersebut adalah:

  1. Menciptakan terlalu banyak kontras antara apa yang ada di pikiran orang-orang dan cara mereka hidup. Misalnya, filsuf yang membenamkan dirinya dalam Stoikisme tidak lagi hidup seperti seorang Stoa; mereka hanya hidup seperti orang lain. Filsafatnya secara murni teoretis. Bukan sesuatu yang benar-benar dijalani.

  2. Membuat kita berpikir bahwa kita lebih superior dari zaman sebelumnya. Kita cenderung melihat kembali periode-periode sebelumnya sebagai sesuatu yang lebih inferior dari kita dalam berbagai hal, terutama, mungkin, di bidang moralitas. Sejarawan modern bangga akan objektivitas mereka. Tapi jenis sejarah terbaik bukanlah jenis yang sangat objektif dalam pengertian ilmiah yang kering. Sejarawan terbaik bekerja seperti seniman yang membawa-menghidupkan zaman sebelumnya ke kehidupan kontemporer kita.

  3. Mengganggu naluri-naluri dan menghambat perkembangan kedewasaan. Untuk mendukung gagasan ini, Nietzsche secara khusus mengeluhkan cara para akademisi modern yang terlalu cepat menjejalkan diri dengan terlalu banyak pengetahuan. Hasilnya adalah mereka kehilangan kedalaman. Spesialisasi ekstrem, ciri lain dari ilmu pengetahuan modern, menjauhkan mereka dari kebijaksanaan, yang membutuhkan pandangan yang lebih luas tentang berbagai hal.

  4. Membuat kita menganggap bahwa diri kita adalah peniru yang lebih inferior dari pendahulu kita.

  5. Mengarah pada ironi dan sinisme.

Dalam menjelaskan poin 4 dan 5, Nietzsche memulai kritiknya yang berkelanjutan terhadap Hegelianisme. Esai diakhiri dengan dia mengungkapkan harapan kepada “golongan muda”, yang sepertinya dia maksudkan karena mereka belum cacat oleh terlalu banyak pendidikan.

Di Latar Belakang – Richard Wagner

Dalam esai ini, Nietzsche tidak mengutip kawannya pada saat itu: komposer Richard Wagner. Tapi dalam menarik kontras antara mereka yang hanya tahu tentang budaya dan mereka yang secara kreatif terlibat dengan budaya, dia hampir pasti menganggap Wagner sebagai contoh dari tipe yang kedua. Pada saat itu, Nietzsche bekerja sebagai profesor, di Universitas Basel di Swiss. Basel merepresentasikan pengetahuan historis. Kapan pun dia bisa, dia akan naik kereta api ke Luzern untuk mengunjungi Wagner, yang pada saat itu sedang menyusun Der Ring des Nibelungen-nya. Rumah Wagner di Tribschen mewakili “kehidupan”. Bagi Wagner, jenius-kreatif yang juga seorang yang suka bertindak, terlibat penuh di dunia, dan bekerja keras untuk meregenerasi budaya Jerman melalui opera—mencontohkan bagaimana seseorang dapat menggunakan masa lalu (tragedi Yunani, legenda Nordik, musik klasik Romantik) dalam  cara yang sehat untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.


Wednesday, 26 October 2022

Menyelami dan Mencurigai Stoikisme

The Death of Seneca (2018) by Antonio Molinari


“Kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas.”

—Seneca, On the Shortness of Life (2005)


Di dunia modern pascapandemi yang niscaya serba tak pasti—di tengah-tengah probabilitas tertinggi perang dunia ketiga yang dimulai di atas hasrat aneksasi negara pemenang perang dunia kedua—di ambang resesi ekonomi global dan krisis iklim yang secara fondasional tak terhindarkan—sekaligus di zaman di mana kapitalisme telah sedemikian meraksasa bagai gedung-gedung tinggi yang mencakar langit seperti saat ini—“ketakutan” manusia dengan pasti jauh lebih berani, jauh lebih kuat. Pada gilirannya, ketakutan tersebut bahkan bertransformasi sedemikian rupa menjadi “kecemasan” berlebih—yang lebih melumpuhkan dari sebuah rudal balistik dengan hulu ledak nuklir yang siap ditembakkan.


Apa yang ditulis pada tahun 49 SM oleh Seneca—seorang tokoh filosofis Romawi terkemuka dan filsuf Stoik yang begitu lekat dengan ajaran Stoikisme, dalam esainya itu—bisa dikatakan menemukan pembenarannya dan relevan dengan segenap kehidupan kontemporer kita. Kegamangan, kekhawatiran, kebingungan, keraguan, tekanan-tekanan emosional, depresi, dan kecemasan tak berujung pangkal hampir selalu hidup 24x7 jam di pikiran kita. Secara tak langsung, juga mengokohkan konvensi bahwa pikiran manusia adalah Perang Badar paling kubra. Kita, kini, memberi lebih banyak kekuatan kepada ketakutan dan memicu kecemasan kita untuk menjadi lebih beringas. Banyak dari kita juga menggunakan salah satu kemampuan manusia yang paling berguna—berimajinasi—pada hal-hal yang secara fundamental keliru, misalnya, menyesali masa lalu dan terlalu memikirkan masa depan. Tak ada carpe diem hari ini, meminjam istilah Horace, seorang penyair Romawi yang bertaklid pada Epikureanisme (salah satu dari tiga Mazhab Filsafat besar pada Periode Helenistik—yang juga satu era dengan Stoikisme dan Pyrrhonisme).


Menyelami Stoikisme


“Kau memiliki kekuasaan atas pikiran—bukan peristiwa-peristiwa di luar sana. Sadarilah ini, dan kau akan menemukan kekuatan.”

—Aurelius, Meditations (2006)


Sependek pengetahuan penulis—Stoikisme, kokoh ditopang tiga serangkai: Seneca sang intelektual, Aurelius sang kaisar, dan Epictetus sang budak. Akan tetapi, perlu digarisbawahi dari yang telah ditekskan oleh Seneca dan Aurelius di atas, meskipun tujuannya baik, yakni untuk menghentikan pikiran-pikiran liar manusia yang sering kali di luar wilayah kendali (dalam terma Dikotomi Kendali)—tetapi, pada saat yang sama bertendensi untuk menjustifikasi seseorang untuk menjadi individu yang masa bodoh dan apatis. Manusia, dalam konteks humaniora, adalah makhluk sosial—atau Homo Homini Socius, menukil istilah dari Seneca sendiri—namun mengapa filsafatnya malah cenderung menjerumuskan seseorang ke dalam ke-ignorant-an yang menjengkelkan dan ke-indifferent-an yang menyebalkan?


Bukankah Seneca mencetuskan istilah tersebut sebagai antitesis dari nukilan drama berjudul Asinaria karya sastrawan Romawi, Plautus, yang menuliskan—lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit; manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi manusia lainnya? 


Memang benar, bahwa kita sudah sebijaknya mengendalikan apa-apa yang bisa kita kendalikan—yang keliru adalah ketika kita hidup à la Stoik dengan menegasikan perasaan orang-orang terdekat kita sendiri. Secara psikologis, setiap manusia pasti memiliki hal-hal personal yang sangat dia pedulikan, misalnya, kesehatan keluarganya, perasaan pasangannya, teman-temannya, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi realitas dapat berjalan begitu acak berengseknya dan orang-orang yang kita pedulikan mengalami kemalangan—lantas larut dalam kesedihan—kemudian mereka membuka mulut dan kita memasang telinga. Secara naturalistik, adalah wajar untuk ikut bersedih—adalah normal jika kita kesal, stres, gelisah atau bahkan marah ketika hal-hal buruk terjadi pada kita atau orang-orang yang kita sayangi.


Mencurigai Stoikisme


“Kita seharusnya tak mengendalikan amarah, tetapi menghancurkannya—sepenuhnya—untuk apa kita mengendalikan sesuatu yang secara fundamental jahat?”

—Seneca, De Ira (circa 4 SM - 65 M)


Kemampuan paling berguna dan natural yang dimiliki manusia, selain berimajinasi, adalah curiga—dalam cetak biru manusia, jauh di lubuk kesadaran kita ada semacam kehendak untuk curiga (the will to skeptic). Maka, mari kita pergunakan kecurigaan itu untuk melihat bagaimana corak pemikiran Seneca dari kutipannya di atas—yang secara sepintas terlihat begitu bahlul, irasional, dan nonsens. Kecurigaan ini pun berlanjut dengan memandang bahwa filosofi teras ini, pada titik tertentu, seperti bertekad untuk tak mengeluh atau tak menunjukkan perasaan sama sekali—terutama ketika sesuatu yang buruk terjadi. 


Katanya Nietzsche, menurut interpretasi penulis, secara cukup eksplisit dalam bukunya Beyond Good and Evil (2011): “para Stoik memilih untuk melihat segala sesuatu secara keliru—dengan menyangkal, menekan, dan mematikan perasaannya sendiri.” Stoikisme, secara esensial, tak lebih dari belajar untuk berhenti peduli. Ketika seseorang mulai mempelajari Stoikisme, dia akan punya kecondongan untuk menyadari bahwa dirinya telah membuang banyak energi berharga untuk peduli tentang hal-hal yang tak layak untuk dipedulikan—sebab idealnya, semestinya, dia berhenti memedulikan itu semua—bahkan perasaannya sendiri. 


Sekilas, tak ada beda, tak ditemukan distingsi antara Stoikisme dengan Toxic Positivity—dengan Defense Mechanisms berbentuk kepura-puraan yang tak perlu: sebentuk penyangkalan emosi yang berpuncak pada upaya sekuat tenaga menciptakan suasana atau kondisi yang memaksakan diri agar selalu berpikir positif. Adalah waras dan komikal, jika penulis melukiskan hipotesa bahwa Absurdisme adalah Nihilisme yang memilih untuk mengonsumsi ganja berjenis indica—maka Stoikisme adalah Nihilisme yang secara sadar menyutikkan anestesi kepada hatinya. 


Lagipula, apa yang buruk dari kesedihan? Bukankah banyak orang besar dan karya besar justru berasal dari keadaan yang dikonotasikan secara fundamental negatif dan buruk oleh para Stoik itu? Nocturne-nya Chopin, Les Fleurs du mal-nya Baudelaire, Fear and Trembling-nya Kierkegaard, The Old Guitarist-nya Picasso, The Theory of Everything-nya Hawking, dan lain-lain. Secara historis, kesedihan (dan kemurungan) tampak begitu adiluhung dan menjadi rahim yang melahirkan begitu banyak magnum opus—yang luar biasa artistik, puitis, dan berguna bagi kehidupan. Berangkat dari pemahaman bahwa filsafat para Stoa ini adalah sebuah seni untuk berhenti memedulikan hal-hal yang dirasa tak penting, misalnya kemarahan dan kesedihan—atau Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, seperti bukunya Manson, seorang penulis bergaya sarkastik yang mempopulerkan Stoikisme beberapa tahun terakhir ini.


Semakin Mencurigai Stoikisme


“Kekayaan tak terdiri dari memiliki harta yang banyak, tetapi memiliki keinginan yang sedikit.”

—Epictetus


Pertanyaannya adalah—mengapa Stoikisme mendapatkan begitu banyak eksposur, atau secara lebih heroik banalnya mengalami kebangkitan dan menjelma sebagai “industri” yang mainstream—di abad ke-21, khususnya beberapa tahun belakangan? Mungkin, karena realitas manusia semakin dipenuhi keputusasaan, kolaps serta kacau ketika dan setelah pandemi. Kita terlalu lelah dengan berita kematian dan membutuhkan pegangan, semacam struktur yang rigid dan panduan untuk mencintai kesederhanaan (meskipun hidup sederhana itu banyak pikiran). Akan tetapi, dengan tak bermaksud untuk mengadvokasi hedonisme sama sekali—kutipan Epictetus di atas adalah opium yang menyesatkan. Mengapa demikian? 


Sebab kutipan di atas adalah kutipan yang hanya baik bagi seorang budak macam Epictetus di dalam konteks realitasnya, tetapi merupakan kutipan yang luar biasa buruk dan berbahaya bagi manusia, atau tepatnya, bagi para budak korporat yang secara tak sadar telah dieksplotasi para pemilik alat produksi. Ada kecurigaan mendasar yang rasional bahwa Stoikisme adalah agenda para kapitalis untuk menihilkan kemungkinan-kemungkinan pembangkangan para pekerja di bawah gurita kapitalisme. Sebab, Stoikisme seperti meniadakan eksistensi, kehendak bebas, dan otentisitas personal setiap manusia. Dengan kata lain, Stoikisme memungkinkan kepatuhan, kepasrahan, ketaatan bagi kaum pekerja yang tentu disenangi para eksploitator.


Bagaimana dengan prinsip utama Stoa tentang hidup sesuai dengan alam? Nyatanya, ada kemungkinan besar bahwa alam tak memiliki harmoni atau keteraturan. Ada pula kebolehjadian bahwa hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang antipodal. Satu-satunya yang menyatukan manusia dengan alam hanyalah konsep-konsep metafisik serta mitos-mitos sakral yang mirip seperti pemikiran para filsuf pra-Socrates dan slogan Panteisme Spinoza—deus sive natura; yang secara dogmatis dan percaya diri, meleburkan eksistensi dan sifat-sifat salbiyah Tuhan yang niscaya mahabaik dengan Alam yang mahaabsurd, mahaenigmatik, mahasporadis.


Jika memang manusia dengan alam memiliki hubungan yang “baik”, mungkin tak ada pandemi. Atau jika hubungan makhluk lain seperti dinosaurus dengan alam itu “baik”, maka mungkin 66 juta tahun lalu tak ada gempuran asteroid yang jatuh ke bumi dan menjadi hujan meteor lantas dengan lekas membuat makhluk-makhluk gigan tersebut punah. Pada akhirnya, kembali pada Stoikisme, Seneca pun memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Mungkin trauma, mungkin juga benar-benar lelah karena terus menerus bersabar ketika menjadi penasihat Kaisar Nero yang secara sinting membakar kota Roma.


Referensi:

MA, Moch Aldy. 2022. “Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme”. Zona Nalar;

Seneca. 2005. On the Shortness of Life. Penguin Books;

Aurelius, Marcus. 2006. Meditations. Penguin Books;

Epictetus. 1995. The Discourses. Everyman;

Manson, Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Harper;

Holiday, Ryan. 2016. The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living. Portfolio;

Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras. Penerbit Buku Kompas;

Dyson, Stephen L. “THE PORTRAIT OF SENECA IN TACITUS.” Arethusa, vol. 3, no. 1, 1970, pp. 71–83. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/26306995. Accessed 20 Oct. 2022;