Paper
ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
Setelah
dilakukannya analisis mendalam tentang Buddhisme dan filsafat Friedrich
Nietzsche, kesamaan subtil muncul dalam pemahaman mereka tentang konsep
penguasaan diri (Self-Overcoming). Secara garis besar, Nietzsche dan
Buddhisme menegaskan dua hal: pertama, kehidupan manusia dicirikan oleh
penderitaan; dan kedua, gagasan tentang 'diri' adalah konstruksi belaka.
Melalui analisis yang lebih dalam tentang gagasan 'penguasaan diri' yang ada
pada Buddhisme dan filsafat Nietzschean, paper ini mengungkap kesepakatan
filosofis di antara keduanya, seraya memberikan kritik atas misinterpretasi
Nietzsche terkait Buddhisme sebagai nihilisme-pasif.
Peneliti
juga mengklarifikasi disparitas (perbedaan) antara filsafat Buddhis awal dan
Buddhisme seperti yang ditafsirkan oleh Nietzsche; yang sangat dipengaruhi oleh
kekuatan kolonial dan minimnya eksposur para intelektual Eropa terhadap
Filsafat Timur. Peneliti mengeksplorasi kesalahpahaman Nietzsche—dan penolakan
yang diakibatkannya—terhadap agama Buddha sebagai bentuk “nihilisme-pasif” dan
nirvāna/nirwana sebagai praktik untuk menyangkal realitas. Terlepas dari distingsi mereka, peneliti
menyimpulkan bahwa filsafat eksistensial Nietzsche secara ironis dekat dengan
Buddha, sebab formulasi mereka untuk kehidupan yang bermakna membutuhkan konsep
penguasaan diri.
Mentor
awal Nietzsche, Schopenhauer, adalah pengagum berat Buddhisme awal, Nietzsche
hampir tidak berdiri sendiri dalam kesalahpahamannya tentang Buddhisme sebagai
agama yang bercorak nihilistik. Dengan ajaran utama Buddhisme seputar konsep
ketiadaan-diri (moksa/pengahapusan diri melalui praktik meditasi) dan
noneksistensi, dapat dimengerti mengapa Eropa abad ke-19 memegang konsepsi
Buddhisme yang dominan negatif. Lebih penting lagi, bagaimanapun, kritik
Nietzsche terhadap Buddhisme mengungkapkan kesalahtafsirannya dan kekurangannya
sendiri pada saat itu; terutama karena pemahaman Eropa yang terbatas—dan
kolonial (dan begitu kental dengan orientalisme)—tentang filsafat Timur.
Penting untuk dicatat bahwa filsafat Timur mulai muncul di Barat pada awal abad
ke-19. Makna yang sebenarnya dari ideologi Timur—seperti Buddhisme—sering
hilang dalam terjemahan, dan akibatnya, Buddhisme sering disalahartikan melalui
sumber-sumber dari tangan kedua.
Meskipun
demikian, Nietzsche adalah salah satu pelopor Barat pertama yang mengeksplorasi
agama Buddha. Bukunya, On the Genealogy of Morals (1887),
mengkategorikan Buddhisme awal, secara fundamental, mengingkari kehidupan—yang
bertujuan pada kekosongan/ketiadaan, dan berdiri bertentangan dengan eksistensi
manusia (Nietzsche, 1994, 61). Dalam The Will to Power (1901), Buddhisme
digambarkan selaku nihilistik-pasif dengan tujuan 'bertindak' sebagai penenang
sementara bagi mereka yang menderita (1968, 18). Menurut para ahli,
kesalahpahaman Nietzsche terkait dengan pandangan umum agama Buddha pada
masanya, dan penggambaran semacam itu lebih merupakan cerminan dari apa yang
terjadi di Eropa—runtuhnya nilai-nilai tradisional yang mapan, ancaman ateisme,
dan 'kematian Tuhan'—ketimbang deskripsi
yang akurat tentang Buddhisme (Van Der Braak, 2010, 6).
Maka,
Nietzsche memahami Buddhisme awal sebagai bentuk "nihilisme-pasif";
indikasi dari "penurunan kekuatan roh" (1901, 22). Dia
membandingkannya dengan nihilisme-aktif—'kekuatan roh yang meningkat'—yang
mendorong penghancuran kesadaran semua kepercayaan yang sebelumnya memiliki
makna. Bagi Nietzsche, nihilis-pasif menyerah pada keputusasaannya dan menggali
secara membabi buta ke dalam mentalitas kawanan (herd-mentality),
sementara nihilis-aktif menghadapi realitas-keberadaan dan penderitaan manusia.
Tetap
saja, penilaian Nietzsche tentang Buddhisme benar-benar kompleks. Dalam salah
satu buku catatannya ia menulis: “Aku bisa menjadi Buddha Eropa meskipun
terus terang aku akan menjadi antipodal dari Buddha India …” (Panaïoti,
2013, 2). Deskripsi Nietzsche tentang dirinya sebagai tipe
"Anti-Buddha" menggambarkan perbedaan yang ia buat sebelumnya
mengenai nihilisme pasif dan aktif. Sepanjang tulisan dan ajarannya, ia
mengingat nihilisme sebagai wabah yang merasuki budaya Eropa; kebencian
terhadap kehidupan dan penolakan terhadap tindakan. Ketika membahas pertemuan
Sang Buddha dengan orang sakit, orang tua, dan orang mati, Nietzsche menulis
dalam Thus Spake Zarathustra (1883-1885):
“Ada
orang-orang pengonsumsi jiwa: mereka hampir tidak dilahirkan ketika mereka
mulai mati dan merindukan doktrin-doktrin kelesuan dan penolakan. Mereka ingin
mati, dan kita harus menyambut keinginan mereka. Mari kita waspada ketika
membangunkan orang mati dan mengganggu peti mati hidup ini! Mereka bertemu
dengan orang sakit atau orang tua atau mayat dan segera mereka berkata, “Hidup
ini disangkal”. Tapi hanya mereka sendiri yang disangkal, dan mata mereka, yang
hanya melihat satu wajah eksistensi ini.”
Nietzsche
dengan cepat menolak Buddhisme Eropa sebagai filsafat yang menegasikan
kehidupan dan cenderung pesimistis. Salah satu mentor awalnya, Schopenhauer,
telah sangat mengenal filsafat Timur dibandingkan dengan rekan-rekan Baratnya
itu. Ketakutan Nietzsche, bagaimanapun, adalah bahwa kebangkitan filsafat
pesimis akan menghasilkan kemenangan bagi kepasifan dan melahirkan dekadensi di
Eropa; mengarahkan manusia menjauh dari dunia dan menuntun mereka menuju
kekosongan/ketiadaan. Juga, selama era inilah Nietzsche menarik kembali narasi
'kematian Tuhan' dan runtuhnya sistem nilai tradisional Eropa.
Dalam
banyak hal, Nietzsche memandang Buddha sebagai seorang tabib yang meresepkan
obat untuk kondisi dasar penderitaan manusia. Baik filsafat Nietzschean maupun
Buddhis, keduanya sama-sama bergulat dengan gagasan nihilisme, sembari menolak
gagasan tentang kebenaran yang diwahyukan. Proyek utama Nietzsche adalah
mengungkapkan kesalahan dalam Kekristenan, dan menolak gagasan 'moralitas' itu
sendiri. Baginya, moralitas adalah wabah terbesar; membatasi manusia dari pelampauan
ke versi tertinggi dari diri mereka sendiri, dan dengan demikian bertentangan
dengan aktualisasi diri. Dalam hal ini, Nietzsche memandang Buddhisme lebih
superior (unggul) daripada Kristen, dan melangkah lebih jauh untuk
membandingkan keduanya secara langsung dalam The Anarchist (1968).
Dari
perbandingannya, ia menyimpulkan bahwa agama Buddha jauh lebih “realistis”
daripada agama Kristen—sesuai dengan pemahaman agama Buddha tentang penderitaan
dan ‘resep’ Buddha untuk memberantasnya. Selain itu, Buddhisme menghilangkan
konsep Tuhan yang monoteistik, dan dilanjutkan sebagai agama positivistik.
Nietzsche melukiskan gambaran yang jauh lebih positif tentang agama Buddha di
kalangan Anarkis, namun, banyak akademisi percaya ini hanya karena perbandingan
yang dia buat dengan agama Kristen—agama yang dia benci dan sering digambarkan
sebagai "agama yang merosot" yang didirikan di atas "kebencian
terhadap segala sesuatu yang mapan dan dominan” (Elman, 1983, 689).
Secara
paradoks, Nietzsche menggunakan gagasan "nihilisme-aktif" sebagai
alat dalam proyeknya sendiri melawan nihilisme Barat. Filsafatnya berpendapat
bahwa penguasaan diri atas nihilisme sangat penting untuk menjadi versi “sejati”
dari diri kita sendiri. Selanjutnya, dalam The Will to Power, Nietzsche
menggambarkan dirinya sebagai “nihilis Eropa yang sempurna”, yang telah hidup
melalui “keseluruhan nihilisme, sampai akhir, meninggalkannya, di luar dirinya”
(Nietzsche, 1968, 3). Dalam pandangan ini, kemampuan untuk mengalahkan “nausea
hebat” dari kekosongan/ketiadaan memungkinkan Nietzsche hadir sebagai pemenang.
Nietzsche
bertujuan untuk mengatasi nihilisme dengan menegaskan kehidupan, dengan
merangkul eksistensi tanpa syarat. Baginya, hidup bukan untuk disangkal,
melainkan diciptakan melalui sistem nilai-nilai pribadi, dan dibangun di atas
landasan pemahaman bahwa tidak ada makna yang diwariskan di alam semesta ini.
Nishianti menggambarkan proses ini sebagai “menyekarati kematian hebat di
jurang nihilitas dan hidup kembali” (1983, 233). Dengan demikian,
nihilisme-aktif menjadi tahap transisi, bukan tujuan itu sendiri. Ini adalah
jurang yang harus kita turuni, “malam tergelap sebelum fajar” (Nietzsche, 1968,
12).
Melalui
tahap-tahap empiristik di dalam nihilisme-aktif—seorang individu berjuang untuk
mencapai kedudukan makhluk-ideal yang lebih tinggi, Übersmench. Dia
menegaskan bahwa hidup dengan 'moralitas mulia' seseorang dicirikan dengan
eksistensi yang kuat, penuh semangat, bebas dan menyenangkan, secara bawaan
diperintah oleh “kehendak untuk mengalahkan, dan kehendak untuk memerintah”
(1968, 16). Dari karya-karyanya, tampak jelas bahwa Nietzsche membenci orang
lemah dan rendah hati yang berusaha melarikan diri dari kenyataan hidup ini.
Ironisnya,
Buddhisme bertujuan untuk melepaskan diri dari roda samsara (siklus
hidup dan mati) alih-alih menegaskan revolusi abadinya. Bagi Nietzsche, dia
menafsirkan ini sebagai pelepasan negatif dari dunia karma dalam samsara. Namun,
pembebasan nirvāna/nirwana, sebagaimana dipahami oleh agama Buddha,
adalah penghapusan ego dan kemelekatan pada hasrat duniawi. Gagasan bahwa
seseorang dapat melarikan diri dari keadaan hidup, yang digambarkan oleh
Nietzsche dalam rekurensi abadi/perulangan abadi (eternal return/eternal
recurrence), adalah angan-angan yang menyesatkan bagi Nietzsche pada saat
itu; sering digambarkan sebagai “the fable song of madness” (1968, 12).
Kutipan
dari catatan pribadinya mengungkapkan bahwa keberadaan manusia, sebagaimana
adanya, “tanpa makna atau tujuan, namun tidak terhindarkan berulang tanpa
akhir dalam kekosongan/ketiadaan” adalah bentuk paling ekstrem dari
nihilisme (55). Agar interpretasi Nietzsche dapat dipertahankan, Buddha harus
mengkhotbahkan samsara yang berulang secara abadi. Tidak hanya itu, Buddha juga
mesti mengkhotbahkan tiadanya kemungkinan untuk membebaskan diri dari samsara,
atau tercapainya Pencerahan. Secara juskstaposisi, jalan tengah—Madhyama-pratipadā—yang
ditemukan oleh Sang Buddha adalah kematian ego, dan akhir dari siklus
kelahiran; pengerahan kehendak nihilisme menuju kebebasan dari samsara. Setelah
pembuktian lebih lanjut, tampaknya para Buddhis justru mendukung kebalikan dari
nihilisme kosong—yang ditakuti Nietzsche dan bertujuan untuk melenyapkan Eropa.
Seseorang
juga dapat beralih ke empat kebenaran mulia Buddhisme (Pali: cattāri
ariyasaccāni) ketika menganalisis kritik awal Nietzsche terhadap Buddhisme.
Yang pertama, Duhkha, menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan.
Kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa
toleransi (Nishitani, 1983, 169). Yang kedua, Samudaya, menghubungkan
penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan.
Kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan
jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Melepaskan diri dari
keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan dari siklus kematian,
yang pada akhirnya mengarah ke nirvanā/nirwana. Kebenaran mulia terakhir, lebih
lanjut, menegaskan gagasan ini dengan mengilustrasikan Jalan Utama Berunsur
Delapan (Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ). Sebagai
bagian dari jalan beruas delapan, Sammä-väyäma, atau “daya-upaya benar”
menganjurkan kehendak yang kuat, sejajar dengan konsep kehendak untuk
berkuasa dari Nietzsche. Kehendak energik ini bertujuan untuk meringankan
salah satu dari semua keinginan, yang mengarah pada penderitaan. Jelas, agama
Buddha menganjurkan tindakan positif yang disengaja, daripada mengejar
kepasifan yang awalnya diyakini Nietzsche.
Lebih
jauh, analisis terhadap Buddhisme Theravāda mengungkapkan bahwa
tujuan utama Buddhisme adalah transformasi radikal diri melalui tindakan. Arahat/Arahat
(istilah untuk seorang yang telah terbebas belenggu Taṇhā, dengan jalan
mencapai penerangan sempurna—seseorang yang mengerti dan memahami tentang Anicca
dan Anatta yang telah memutus Tali Kelahiran-kembali), bentuk tertinggi
manusia, tidak mengumpulkan karma menurut Buddhisme Theravadā, karena ia
telah melampaui siklus kelahiran-kembali. Bebas dari ego, dan gagasan diri yang
dibuat-buat, Arahat bebas dari samsara.
Target
kritik Nietzsche adalah gagasan nihilisme-pasif dan bentuk negasi eksistensial
yang total. Mirip dengan nihilisme-pasif, metafisik ekstrem dari diskontinuitas
mutlak dan kekosongan/ketiadaan, Ucchedavad, dilarang oleh Sang Buddha.
Sang Buddha juga menolak gagasan Vibhava-taṇhā, yang merupakan keinginan
manusia akan ketidakberadaan. Ini juga bisa berarti keinginan untuk tidak mengada,
dan penolakan total terhadap penderitaan yang tidak menyenangkan dari kehidupan
saat ini atau masa depan. Ajaran Buddha ini menekankan sudut pandang negatif
Buddhisme pada negasi kehidupan itu sendiri, dan penekanannya pada kehendak
yang penuh semangat.
Secara
ironis, formulasi Nietzsche untuk penguasaan diri menarik banyak kesamaan
dengan Buddhis secara filosofis. Buddhisme menganjurkan transendensi melampaui
kondisi masyarakat, maya, dan menciptakan jalan individu untuk diri
sendiri. “Jalan” ini mencerminkan jalan beruas delapan yang terkenal;
mencerminkan kesadaran dan kasih sayang yang lebih besar. Hampir empat puluh
lima tahun setelah pencerahan Buddha, beliau menghabiskan hidupnya menyebarkan
kebijaksanaan dengan belas kasih dan cinta untuk orang lain di sekitarnya—yang
menunjukkan pentingnya ajaran Buddha ini.
Terakhir,
gagasan tentang makhluk yang sempurna dan paling ideal, seperti yang disajikan
oleh Nietzsche dan Buddhisme memiliki kesamaan yang tidak kentara. Keduanya
menegaskan pentingnya kehendak individu, dan menolak gagasan tentang moralitas
yang sejati. Dalam agama Buddha, Arahat adalah seseorang yang telah melampaui
samsara. Ada ayat dari Mūlapariyāya Sutta, di mana Sang Buddha membahas
akar penyebab penderitaan dan bagaimana mencapai pencerahan dari penderitaan. Beliau
memberi tahu murid-muridnya apa sebenarnya seorang Arahat, atau manusia ideal
itu:
Seorang
bhikkhu yang layak, tanpa fermentasi mental—yang telah mencapai penyelesaian,
merampungkan tugas, meletakkan beban, memperoleh tujuan yang benar,
menghancurkan belenggu untuk mengada, dan dilepaskan melalui pengetahuan yang
benar—secara langsung mengenal bumi sebagai bumi. Ia secara langsung mengenal
bumi sebagai bumi, tidak memikirkan hal-hal tentang bumi, tidak memikirkan
hal-hal di bumi, tidak memikirkan hal-hal yang keluar dari bumi, tidak berpikir
bahwa bumi adalah 'milikku', tidak menyenangi bumi. Mengapa demikian? Sebab ia
telah memahaminya, aku berkata kepadamu. (Tanissaro, 1998)
Bagian
ini menggambarkan bahwa bhikkhu itu adalah orang yang layak, yang telah
membebaskan dirinya dari belenggu penderitaan yang menjebak seseorang dalam
lingkaran kelahiran. Arahat harus mencapai pencerahan dengan mengada ‘tanpa
fermentasi mental’—selalu terbebas dari pikiran, apa pun itu—dan melihat dunia
sebagaimana adanya, tanpa distorsi dari keinginan dan penderitaan.
Bagi
Nietzsche, Übersmench, atau 'overman', menciptakan nilai-nilainya
sendiri dari kebebasannya. Istilah overman/superman mengacu pada jenis
manusia yang lebih agung/mulia dari manusia biasa. Namun, bagi übersmench
tujuan akhir bukan hanya mengatasi penderitaan, melainkan mengatasi kondisi
pasif dan melampauai kemediokeran manusia biasa. Ini kontras dengan Arahat,
yang menghindari fermentasi mental sebagai cara untuk mengatasi ikatan
penderitaan. Arahat juga terbebas dari perasaan diri ketika mencapai
pembebasan. Bagi Nietzsche, dengan melampaui-menuju übersmench, diri
dirangkul/ditegaskan ketimbang ditolak. Gagasan tentang diri diciptakan kembali
dalam diri overman, karena kualitas mendasar yang menentukan dari overman
adalah menciptakan nilai-nilainya sendiri. Namun, ini tampaknya bertentangan
dengan apa yang ditegaskan Nietzsche dalam karya-karyanya selanjutnya.
Dalam
bagian kunci dari On the Genealogy of Morality (1887)—Nietzsche berseru:
Tidak
ada 'keberadaan' di balik tindakan, memengaruhi, mengada: 'seseorang yang
bertindak' hanyalah fiksi yang ditambahkan ke perbuatan—tindakan adalah
segalanya ... seluruh ilmu pengetahuan kita masih berada di bawah pengaruh bahasa
yang menyesatkan dan tidak membuang makhluk fiktif yang kecil itu, 'subjek'.
Melalui
pembacaan Nietzsche ini, mungkin ditemukan banyak kesamaan dengan agama Buddha.
Diri dalam filosofi Buddhis hanyalah serangkaian komponen mental dan
fisik yang mewujud dalam bentuk seorang manusia. Ini dikenal sebagai lima
'kelompok' bentuk, perasaan, pembentukan mental, persepsi, dan kesadaran. Diri
adalah fungsi dari kelima kelompok unsur kehidupan ini yang saling bekerja
bersama. Sementara Nietzsche menegaskan diri melalui penguasaan diri
sendiri, ia juga menegaskan tidak ada 'keberadaan' melainkan tindakan yang
dilakukan dari subjek. Melalui analisis antara Buddhisme dan gagasan Nietzsche
tentang diri dalam konsep menguasai diri sendiri, kesamaan subtil ini muncul.
Sebagai
kesimpulan, paper ini menunjukkan misinterpretasi Nietzsche tentang gagasan
nihilisme-pasif yang ada dalam filsafat Buddhis. Lebih jauh lagi, peneliti
menawarkan penjelasan tentang kehadiran konsep menguasai diri sendiri dalam
kedua filosofi, dan di mana bidang kesepakatan itu muncul ke permukaan. Melalui
keterlibatan langsung dengan penderitaan seorang manusia, Buddhisme bertujuan
untuk menghilangkan penyebab dan kondisi penderitaan dengan melepaskan diri
dari keinginan-keinginan yang wajib dipenuhi, dan hasrat keabadian di dunia
yang tidak kekal, sementara, atau singkatnya fana.
Dengan
cara yang sama, Nietzsche, memperingatkan bahaya terutama mencari kebahagiaan
dan kesenangan/kenikmatan duniawi, sambil menolak bentuk eskapisitas ekstrem
lainnya: nihilitas-pasif. Melalui interpretasi inilah kesamaan subtil
itu muncul. Paper ini juga membuka jalan baru untuk kemajuan penelitian,
seperti perbedaan dalam Buddhisme dan gagasan metafisik Nietzsche tentang reinkarnasi/kelahiran-kembali.
Berangkat dari diskursus yang telah disajikan, Nietzsche mungkin telah
menemukan wilayah kesepakatan dengan agama Buddha—jika ia telah menafsirkan
dengan benar gagasan tentang nihilisme-aktif, ketimbang menolaknya sebagai ayat
lain dalam 'fable song of madness’.
*****
Daftar
Pustaka:
Elman,
Benjamin A. 1983. “Nietzsche and Buddhism.” Journal of the History of Ideas 44,
no. 4 : 671-686.
Hongladarom,
Soraj. 2011. The overman and the arahant: Models of human perfection in
Nietzsche and Buddhism. Asian Philosophy. no.1:53-69.
Lincourt,
Jared. 2010. “If Nietzsche Only Knew.” Stance: An International Undergraduate
Philosophy Journal. 3:62-68.
Nietzsche,
Friedrich Wilhelm, Keith Ansell-Pearson, and Carol Diethe. 1994. On the
Genealogy of Morality. New York: Cambridge University Press.
Nietzsche,
Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann, and R. J. Hollingdale. 1968. The Will to
Power. New York: Vintage Books.
Nietzsche,
Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann. 1963. The Anarchist. New York: Vintage
Books.
Nishitani,
Keiji. 1983. Religion and nothingness. Univ of California Press.
Panaïoti,
Antoine. 2013. Nietzsche and Buddhist philosophy. Cambridge University Press.
Thanissaro,
Bhikkhu. 1998. Mulapariyya Sutta: The Root Sequence. New York: Vintage Books.
Thomas,
Richard Hinton. 1983. Nietzsche in German politics and society, 1890-1918.
Manchester University Press.
Van
der Braak, André. 2011. Nietzsche and Zen: Self-overcoming without a self.
Lexington Books.
Sumber
Literatur:
Nihilism
and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and Buddhism – The University of
British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2020/08/06/nihilism-and-self-overcoming-interpreting-nietzsche-and-buddhism/