Wednesday, 28 June 2023

Memfafifui Kandinsky

Composition X (1939) by Wassily Kandinsky
“seorang pelukis, yang tak menemukan kepuasan dalam seni representatif, betapapun artistiknya, dalam kerinduannya untuk mengekspresikan kehidupan batinnya, pasti iri dengan kemudahan musik, seni yang paling non-materi saat ini, dalam mencapai tujuan ini. sehingga pada akhirnya, ia secara alami berusaha menerapkan metode musik pada seninya sendiri. & hasilnya, timbul keinginan modern untuk menghadirkan ritme dalam lukisan, apa-apa yang matematis, sebuah konstruksi abstrak, nada-nada warna yang berulang, untuk mengatur warna dalam gerakan.”
—Kandinsky, Concerning the Spiritual in Art (1912)
aku tak mau berbohong. ada alasan ideologis mengapa aku menggilai karya-karya Kandinsky. tapi tak sekadar bersimpati pada gerakan Bolshevisme berbau Marxis-Leninis. percayalah... aku tak sekomunis itu, sayangku. sederhananya, jika Mang Ucok Homicide dalam lagunya Puritan (God Blessed Fascist) menyatakan “fasis yang baik adalah fasis yang mati”—aku beranggapan bahwa fasis yang buruk adalah fasis yang “nyeni”... & Wassily Kandinsky secara gagah-berani menantang Fasisme dengan/dalam karya seni. lukisannya yang berjudul The Blue Rider (basa Toni Kross: Der Blaue Reiter) bahkan dijadikan semacam bendera pemberontakan atas Entartete Kunst (label Partai Nazi pada jenis seni yang tak mereka setujui—dalam upaya mengontrol seni di bawah kendali mereka) pada masa Hitler yang tangan besi. 

tak berhenti sampai di situ, bersama Franz Marc, judul lukisannya itu pun dipilih sebagai nama sebuah gerakan seni pada tahun 1911-an—yang berisi seniman-seniman avant-garde (termasuk Paul Klee) yang tinggal di Munich. kebangkitan Fasisme di awal abad ke-20, faktanya, memang berdampak besar pada lanskap artistik. seperti yang telah disinggung sedikit di atas, rezim fasis berhasrat mengontrol visual hingga tataran estetik & menggunakannya sebagai alat propaganda ideologi nasionalistik. konsekuensi logisnya, seniman yang tak sejalan dengan narasi fasis (misalnya, Kandinsky, yang kelak dijuluki Bapak Seni Abstrak) ya disikat dong bestie xixixixi. dengan kata lain, seni abstrak ibarat bunga teratai yang menyebul di atas lumpur pengekangan.

dalam bukunya, yang terbit pada tahun 1912—Concerning the Spiritual in Art—ia menulis bahwa seni seharusnya tak hanya representasional, tetapi juga harus berusaha untuk mengekspresikan spiritualitas & kedalaman emosi manusia melalui penerimaan atas apa-apa yang abstrak, seperti halnya musik. ia melanjutkan, “warna secara langsung memengaruhi jiwa. warna adalah tuts, mata adalah palu, jiwa adalah piano dengan banyak senar. seniman adalah tangan yang memainkan, menekan kunci secara sengaja, demi menimbulkan getaran dalam jiwa”. Kandinsky bahkan menciptakan sepuluh lukisan yang dinamai Composition (yang paling terkenal nomor VIII) yang mengeksplorasi hubungan antara seni lukis & musik. penggunaan warna yang berani dalam banyak lukisannya, secara interpretatif, pun berusaha membangkitkan perasaan batin ketimbang memvisualkan objek yang dapat dikenali (wicis, figuratif/imitatif). karya-karyanya yang cenderung non-figuratif/non-representatif menantang konvensi artistik tradisional & mencoba membuka kemungkinan ekspresi-ekspresi artistik yang baru.

barangkali itulah mengapa, ketika aku melihat lukisan-lukisan Kandinsky rasanya seperti ada burung elang yang lepas dari sangkar kepalaku. lukisan Transverse Line, misalnya, sesekali mengingatkanku pada tujuan seni menurut Camus. dalam bukunya pada tahun 1944—Resistance, Rebellion, and Death—bokapnya Sisifus menulis bahwa tujuan seni adalah untuk meningkatkan dosis kebebasan. ledakan-ledakan kebebasan pada lukisan-lukisan abstrak, pada gilirannya, juga mengingatkanku pada kredo Deidara (salah satu tokoh dalam serial Naruto): seni adalah ledakan! (yang dikutipnya langsung dari seniman abstrak asal Jepun, Tarō Okamoto). 

kembali pada Fasisme, sejujurnya, (ini curhat) aku masih tak mengerti mengapa dalam serial La Casa de Papel para perampok Banco de España itu secara teatrikal menyanyikan Bella Ciao yang notabene merupakan anthem perlawanan para Mondina (pekerja perempuan di Italia abad 19 akhir hingga awal abad 20-an yang melawan Nazisme & Fasisme) sambil memakai topeng Salvador Dalí (yang jelas-jelas terobsesi dengan dua ideologi problematik itu). sangat tunggu kiris, alias teu ngarti... how can standar ganda kitu anying. lupakan. terserah Álex Pina sang penulis cerita, sih.

meskipun demikian, secara luas, aku tetap menyukai Surealisme... misalnya lukisan-lukisan karya René Magritte (The Lovers, Golconda, La Clairvoyance), Frida Kahlo (Viva la Vida, Watermelons), Kay Sage (Le Passage, The Fourteen Daggers, Journey to Go), Raymond Douillete (La Musique des Sphères, L'Âme du Musicien), Pablo Picasso (Les Demoiselles d’Avignon, Guernica, The Old Guitarist; eh, dia Surealis gak sih?), hingga Hieronymus Bosch (Ascent of the Blessed, The Garden of Earthly Delights) yang lebih cocok digolongkan sebagai seniman Proto-Surealisme. sebab, kurasa, Surealisme bukan hanya sekadar aliran seni, tetapi juga sebuah perspektif. & seperti banyak surealis yang dipengaruhi psikoanalisis-nya Freud, aku percaya bahwa “pikiran rasional” merepresi kekuatan imajinasi & potensi kebaruan. maka, pada titik tertentu, aku cenderung berhasrat mendobrak apa-apa yang tabu serta mengolok-olok gambaran-gambaran ideal nan usang.

oh ya, Surealisme juga konon mereperesentasikan posisi politik: antara Trotskyis, komunis, atau anarkis. maka mesti diakui & digarisbawahi bahwa sepanjang sejarah, seni hampir selalu menjalin hubungan gelap dengan iklim politik & corak sosial di ruang-waktu ia dilahirkan. katakanlah... seni Renaissance yang seperti berusaha “menggali akar kembali”... menangkap pengalaman individu & serta keindahan dari misteri alam (yang bisa dibilang merupakan ekspresi politis dari tradisi Yunani-Romawi klasik)—selain karena memang zaman itu diwarnai oleh penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan & cukup banyak mitos-mitos berhasil didemistifikasi. atau Neo-Impresionisme yang sangat terkait dengan ide-ide politik, terutama Anarkisme. atau Romantisisme yang muncul sebagai respons kekecewaan terhadap nilai-nilai Pencerahan & “kemapanan” setelah Revolusi Prancis tahun 1789.

atau... Bauhaus, sekolah desain revolusioner yang didirikan di Jerman pada sekitar tahun 1919. gerakan yang dipelopori Walter Gropius ini memainkan peran penting dalam membentuk lintasan seni & corak desain modern. & voilà, Bauhaus berhasil menciptakan bahasa visual baru yang selaras dengan dunia industri. & Kandinsky bergabung dengan Bauhaus pada tahun 1922, membawa keahliannya dalam teori warna & ke institusi inovatif ini. sebelum nyemplung ke Bauhaus, Kandinsky sudah dikenal dengan idealismenya. ia bahkan tak sangsi mengungkapkan bahwa ke-fetish-an para pelukis figuratif terhadap bentuk telah menghisap habis sisi liar imajinasi & lukisan beralih menjadi sekadar teori tentang sudut pandang.

di sisi lain, seni tak pernah gagal membuatku geleng kepala. ada banyak mengapa. aku tekskan tiga dulu saja. mengapa lukisan-lukisan ekspresionisme abstrak-nya Pollock yang lebih terlihat seperti muntahan kucing dengan mulut berisi cat akrilik ketimbang karya seni—& lukisan-lukisan Rothko yang lebih terlihat seperti buku pantone di toko matrial-matrial dekat rumahku—selalu laku terjual mahal? atau mengapa ada orang sinting yang dengan senang hati membeli tahi kalengan sebanyak 30 gram seharga US$ 242 ribu dari seseorang bernama Piero Manzoni? terlepas dari apapun alasannya otakku yang tumpul ini tetap tak bisa menerimanya.

selain berhubungan dengan politik, kupikir... bahwa aliran seni lukis tertentu berhubungan dengan aliran musik tertentu. album The Strokes terbaru, The New Abnormal (2020) yang sampul albumnya menggunakan karya JM Basquiat - Bird on Money yang dilukis pada tahun 1981. Julian Casablancas & Basquiat barangkali memiliki semacam spirit yang sama, atau perspektif yang sama, atau kekesalan yang sama, dalam bagaimana memandang “kekolotan”. & hal ini tercerminkan dengan gamblang di lagu yang berjudul The Adults Are Talking. silakan dengarkan & resapi liriknya.

mungkin sekian. mesti ditutup sebelum ngalor-ngidul tak karuan. mari kita tutup dengan kuots.

“karya seni sejati lahir dari 'seniman': ciptaan yang misterius, penuh teka-teki, & mistis. yang melepaskan diri dari senimannya, memperoleh kehidupan otonom, menjadi kepribadian, subjek independen, dijiwai dengan nafas spiritual, subjek hidup dari keberadaan yang nyata.”
Kandinsky

Wednesday, 7 June 2023

Peter Wessel Zapffe: Antinatalisme dan Eksistensialisme-Evolusionis?


Semacam Muqadimah

Pada tahun 1872, seorang yang mendalami filologi sekaligus kritikus budaya yang lebih dikenal sebagai filsuf, Nietzsche, menelurkan buku The Birth of Tragedy—tentang tegangan dua impuls artistik yang menubuh dalam Tragedi Yunani: Apollonian dan Dionysian. Yang menarik adalah bahwa dia merisalahkan mitos kuno tentang Raja Midas—pergi ke hutan untuk mencari “Silenus yang Bijak”, kawan baiknya Dionysus (kelak masyarakat Romawi menyebutnya Bacchus) yang merupakan dewa anggur—demi menjawab pertanyaannya perihal “apa yang terbaik dan paling diinginkan manusia?”.

Setelah bertahun-tahun berlalu, sang raja akhirnya berhasil menemukan Silenus si paling tipsy—dan sembari tertawa terbahak-bahak, dia berkata: “O, ras fana yang celaka… mengapa kau memaksaku untuk memberi tahumu apa yang sebaiknya tak kau dengar? Apa yang terbaik dari semuanya benar-benar di luar jangkauanmu: tak dilahirkan, tak mengada, tak menjadi apa-apa. Tapi yang terbaik kedua bagimu adalah—mati dengan segera”. Nietzsche menilai bahwa orang-orang Yunani merasakan kengerian-eksistensial dari “Kebijaksanaan Silenus”—dan oleh karenanya, mereka berbondong-bondong membangun kerja-kerja kesenian, kesusastraan, serta konsep dewa-dewi Olympian dari Chronos sampai Afrodit (dan boleh jadi termasuk pula zodiak-zodiak dari Aries hingga Pisces) sebagai semacam kamuflase pertama dan terakhir untuk menyembunyikan kebenaran pahit ini—demi memperkecil peluang kemungkinan memiliki pandangan dunia yang pesimistis, dipenuhi banalitas, dan diliputi nihilitas seperti desas-desus Silenus.

“Tidur itu baik, kematian lebih baik; tapi tentu saja, hal terbaik adalah tak pernah dilahirkan sama sekali.” —Heine, Complete Poetical Works of Heinrich Heine (2016)

Terlepas dari konotasi positif-negatifnya, gagasan ketakberadaan, ketaklahiran, serta antinatalistik—merentang dari tendensi Vibhava-taṇhā à la Buddhisme Theravada, ide-ide Schopenhauerian, larik terakhir puisi berjudul Morphine milik Heine di atas, aforisme-aforisme Cioran, lirik Bohemian Rhapsody-nya Queen, buku L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste karangan de Giraud, gagasan-gagasan Benatar, kutipan Sophocles yang disadur Gie, hingga perspektif menarik dari filsuf Nordik yang sayangnya kurang terkenal: Peter Wessel Zapffe.

Dalam perbandingan yang kasar, orang-orang lebih besar kemungkinannya untuk menyebut Halland ketimbang Zapffe ketika ditanya siapa contoh manusia asal Norwegia. Ada beberapa alasan mengapa pengacara dan penjelajah Antartika ini masih begitu asing di telinga kita (yang bukan Anglophone atau Francophone, bukan pula bangsa Skandinavian). Salah satunya, adalah fakta budug, karya-karya Zapffe sedikit sekali (bahkan beberapa belum ada) yang diterjemahkan dari bahasa aslinya. Karya yang pertama kali melambungkan namanya—disertasi doktoralnya yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1941—yang telah dicetak berkali-kali dalam beragam edisi—“Om det tragiske”, setebal lebih dari 600 halaman—hingga detik ini, sejauh riset penulis, belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia) dan masih dalam tahap penggarapan. Esai-esainya, kabar baiknya, tertanggal 30 Januari 2023, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan telah tersedia di laman OpenAirPhilosophy. 

Antinatalisme Zapffe

Bayangkan sebuah pasar malam yang sedang kebakaran, barangkali begitulah kira-kira gambaran dunia menurut Zapffe. Maka, tak mengejutkan bila dia pernah menulis sesuatu berbau antinatalis bahwa “melahirkan anak ke dunia ini seperti membawa kayu bakar ke rumah yang terbakar”. Kalimat ini menggemakan ajakan untuk menyudahi prokreasi—menghentikan upaya untuk memproduksi anak (dengan pendekatan moralis). Sesuatu yang, tentu saja berlawan dengan perintah-perintah pronatalis dalam Ajaran Samawi untuk berkembang biak atau beranak-pinak demi “melanjutkan kerajaan Allah di bumi”—yang telah idée fixe dan harga mati. 


Tapi Zapffe tetap pada pendiriannya dengan tak memiliki anak sepanjang hidupnya. Dia menyoal dan mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan bahwa sebuah koin receh saja—sebelum kita sedekahkan kepada pengemis—kita periksa dan pertimbangkan dengan teliti, dengan berbagai kalkulasi ekonomi—tapi mengapa seorang anak, kita “lemparkan” ke dalam kebrutalan kosmik tanpa sangsi? Bukankah pengandaiannya ini terdengar cukup membagongkan?


Untuk lebih memahami mengapa Zapffe memiliki pemikiran yang “madesu” dan “melakoli”, bijaknya kita menyelami diagnosis-diagnosisnya berikut ini.


Paradoks Biologis 


“Manusia adalah binatang yang tragis. Bukan karena tubuhnya yang kecil, tapi karena dia terlalu diberkahi. Manusia memiliki kerinduan dan tuntutan spiritual yang tak dapat dipenuhi oleh kenyataan. Kita memiliki harapan akan dunia yang adil dan bermoral. Manusia membutuhkan makna di dunia yang nirmakna.” —Zapffe, The Last Messiah (2013)

Pada 2013, salah satu esainyayang berjudul “Den sidste Messiasyang telah mengudara sejak 1933—baru dialihbahasakan oleh Tangenes ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Last Messiah” dan tersedia dalam edisi Kindle-nya. Satu tahun berselang, terjemahan ini terbit di majalah Philosophy Now - Issue 45. Melalui esainya ini, Zapffe menelurkan gagasan-gagasan kefilsafatannya (yang nampak terlalu pesimis ketimbang realistis) tentang manusia dan hal-hal eksistensial yang melingkupinya. Jika mesti diklasifikasikan, maka dia bisa digolongkan sebagai seorang nihilis dan pada titik tertentu sebagai eksistensialis. Tapi, akan terlalu sembrono apabila kita melabelinya hanya sekadar seseorang yang membawa “wabah eksistensialisme”—sebab secara spesifik, dia menggabungkan kecenderungan filsafat yang bersemi di Paris pasca-perang-dunia-kedua itu dengan paradigma darwinian-evolusionis. Mungkin kita sebaiknya tak melabelinya apapun selain “anak gunung” atau “si paling mapala”.

Fakta menariknya, Zapffe merupakan intelektual Norwegia pertama yang mengembangbiakkan kritik filosofis dengan kacamata ekologis; khususnya, relasi antara manusia dengan lingkungan. Sebelum pembahasan dilanjutkan, penting untuk digarisbawahi bahwa secara biologi-taksonomi, manusia digolongkan sebagai kingdom animalia, ordo primata, famili hominidae, genus homo, spesies homo sapiens. Singkatnya, secara naturalistik manusia adalah hewan. الانسان حيوان ناطق (Al-Insanu Hayawanun Nathiq); hewan yang berpikir—dalam terma Al-Ghazali yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan Socrates—khususnya. Terlepas dari perdebatan tentang sifat alami manusia, antara Hobbes versus Rousseau, daya pikir hewan berakal ini sepanjang waktu bertumbuh-berkembang sedemikian rupa. Masalahnya, menurut Zapffe, evolusi memungkinkan sistem kognitif kita menjadi terlalu “canggih”—daya dobrak dari pikiran dan kecerdasan manusia ini—memantik fitur-fitur kecemasan bahkan memperbesar kekuatan dari ketakutan yang khas manusia. 

Dalam bagian kedua Den sidste Messias, dia menggambarkan kondisi manusia sebagai “... paradoks biologis, sesuatu yang dibenci, sebuah absurditas, sebuah keberlebihan dari sifat bencana”. Dengan kata lain, biang kerok penyebab paradoks biologis adalah surplus akal-pikiran ini—menjadi bumerang bagi diri kita sendiri—seperti mitos tentang Prometheus yang mencuri api pengetahuan dari Zeus kemudian “terbakar-tersiksa oleh api yang dicurinya sendiri”. Selain itu, kondisi ini membikin eksistensi kita condong dinegasi, karena kita menjadi benci akan keberadaan kita sendiri. Absurditas yang dicetuskan Zapffe juga sekilas selaras dengan dengan gaung kerandoman dalam novel-novel Dostoevsky (The Idiot, The Brothers Karamazov), Kafka (The Metamorphosis, The Castle), Kundera (The Joke, The Unbearable Lightness of Being), hingga Camus (The Stranger, The Plague); serta dalam karya fenomenalnya, Le Mythe de Sisyphe, yang mengisahkan mitos Raja Sisifus—dikutuk secara absurd untuk mendorong batu di gunung kekekalan. Sedangkan, keberlebihan kemampuan manusia bisa mewujud efek kupu-kupu yang memicu ribuan BM (banyak mau). Dapat kita interpretasi, pertama-tama, dengan memahami bahwa hidup-kehidupan telah sedemikian bervariasi serta kompleks dan “keinginan” manusia pun berbanding lurus dengannya. Nafsu keinginan ini, dalam Buddhisme, dianggap sebagai akar dari penderitaan manusia, namun nafsu ini memiliki fungsi biologis dan evolusioner yang krusial—sebagai penyulut kemajuan-penemuan dalam peradaban. Tanpa nafsu keinginan, semua akan serba mandek dan stagnan.

Zapffe melanjutkan: “... suatu spesies telah dipersenjatai terlalu berat—oleh semangat yang dibuat tanpa mahakuasa, tetapi sama-sama merupakan ancaman bagi kenyamanannya sendiri. Senjatanya seperti pedang tanpa gagang atau pelat, bilah bermata dua yang membelah segalanya; tetapi dia yang akan memegangnya harus memegang pedangnya dan mengarahkan satu ujungnya ke arah dirinya sendiri”. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya, “senjata” yang manusia miliki saat ini mengakibatkannya ngeri akan kehidupan itu sendiri; lebih-lebih terhadap keberadaannya sendiri. Lebih lanjut, Zapffe menggambarkan bahwa manusia memiliki semacam “mata-yang-baru” dan melihat bahwa dirinya “datang ke alam semesta sebagai tamu tak diundang dan telah kehilangan haknya untuk tinggal karena telah membeli buah pengetahuan dengan segenap kepolosan-kedamaian jiwanya”. Harga bagi senjata luar biasa berat ini adalah kepekaat kuat akan penderitaan miliaran manusia lain serta makhluk hidup lain di planet ini—dan tak menutup kemungkinan, termasuk juga kehidupan-kehidupan makhluk ekstraterestrial di galaksi lain—di alam semesta yang secara konstan mengembang ini.

Lebih jauh, ikan marlin, kapibara, penguin, cacing besar alaska memiliki apa-apa yang mereka butuhkan untuk sekadar bertahan hidup dan “hidup di masa kini”, sedangkan manusia punya kecenderungan besar untuk mencari sesuatu yang mungkin tak mereka butuhkan dan berhasrat “melampaui” yang-kini—kembali ke yang-lalu atau menuju ke yang-nanti. Cioran memiliki istilah teknis untuk kondisi problematis ini: jatuh-ke-dalam-waktu. Hewan-hewan selain manusia tak ada yang dipusingkan dengan masalah-masalah fisika kuantum, eksistensi AI dalam ekosistem seni, celah impunitas dalam hukum, tekanan hidup di zaman mahabeli, dan seterusnya. Diskursus ini, pada gilirannya, mengarah pada anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit—seperti yang telah dituangkan oleh de Unamuno dalam Tragic Sense of Life (2017): semua makhluk hidup memiliki ketakutan yang naluriah, namun hanya manusia yang memiliki kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan (akibat dari analisis otak terlalu canggihnya, Zapffe menambahkan). Dalam keadaan sehat dan berbahagia, manusia, bahkan memiliki kemungkinan untuk membayangkan rasa sakit dan hari kematiannya. Argumentasi ini seperti berangkat dari Kitab Dhammapada, Yamaka Vagga, syair pertama dan kedua, yang menekankan bahwa “pikiran adalah pelopor sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”.

Pada dasarnya, bagi Zapffe, kesadaran kita selalu “meluap-luap” dan kita cenderung berpikir terlalu banyak. Konsekuensi logisnya, imajinasi kita semakin terasa semakin nyata. Garis demarkasi antara apa yang-nyata dan yang-imaji menjadi bias. Seneca dari zaman bahela, dalam On the Shortness of Life (2017), telah menyinggung ini bahwa “kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas”. Akan tetapi, Zapffe mencurigai tak hanya manusia yang menderita karena evolusi berlebihan ini. Dalam salah satu bagian liris dari The Last Messiah, dia menulis:


“Jadi diperkirakan, misalnya, rusa tertentu (Megaloceros giganteus, sejenis Rusa Irlandia) pada zaman paleontologis mati karena mereka memiliki tanduk yang terlalu berat. Mutasi harus dianggap buta, mereka bekerja, seperti dilontarkan, tanpa ada kontak kepentingan dengan lingkungannya. Dalam keadaan depresi, pikiran dapat dilihat dalam citraan tanduk seperti itu, dengan segala kemegahannya yang luar biasa menindih pemiliknya ke tanah.”


Surplus-Kesadaran


Meskipun manusia tak punah seperti Rusa Irlandia, tetapi surplus-kesadaran ini membuat kita vis-à-vis dengan bahaya dari “kepanikan kosmik” yang tak henti-henti. Pada puncak tertentu, seseorang yang tak mampu lagi menanggungnya akan bertendensi dan mempunyai intensi bunuh diri. Zapffe memandang bahwa kebarbaran dunia modern bertopang pada kesalahpahaman tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karenanya, ketika fenomena bunuh diri terjadi, yang selalu dipersoalkan adalah perihal kuantitas-kualitas spiritualitas yang sedikit-rendah. Sederhananya, diterima secara umum persepsi bahwa orang-orang membunuh dirinya karena kurangnya iman—bukan karena dunia yang secara fundamental tak mampu memenuhi dahaga purbakala manusia akan sosok mahatransendental-mahakuasa.


Cioran, dalam The Trouble with Being Born (2013), secara tersirat menyebut surplus-kesadaran ini sebagai “kerajaan kesadaran yang supremasinya tak tertahankan”. Tak mengherankan, Cioran dan Zapffe membaca Nietzsche, sedikit banyak tepapar tesis-tesisnya dan dengan demikian keduanya memiliki fokus filosofis yang mirip-mirip dan bernuansa Dionysian; tendensi eskapisme dengan kemabukan seperti yang telah disinggung di awal. Baudelaire, penyair surealis Prancis, secara puitik dan cantik melalui medium puisi menggambarkannya begini:


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk. Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk. Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Empat Peta Mekanisme-Pertahanan

Hampir dalam keseluruhan karya-karyanya, Sartre mensyiarkan beban-beban pilihan-keputusan sebagai konsekuensi kita akan kesadaran terhadap kehendak bebas. Kundera, dalam The Unbearable Lightness of Being (2009), pun demikian—secara implisit mendedahkan beban-beban (dari surplus-kesadaran dalam istilah Zapffe) yang berdiri pada refleksi akan waktu, akan hidup yang hanya sekali ini. Tapi filsuf berkacamata ini, secara autentik, memetakan empat mekanisme-pertahanan manusia untuk “mengurangi” intensitas kesadarannya: 


Pertama, Isolasi—teknik paling ekstrem dengan penolakan sewenang-wenang untuk mengeliminasi pikiran-perasaan yang pahit dan “mengganggu”. Mengisolasi diri di alam liar macam Christopher McCandless yang menolak membaca ide-ide hitam Shakespeare dalam Tragedi Hamlet atau Macbeth. Tak memikirkan sesuatu yang mengerikan tentang kehidupan, singkatnya.


Kedua, Penjangkaran—semacam pemusatan kesadaran pada apa-apa yang metafisik, pada suatu nilai atau cita-cita kolektif: tuhan, agama-agama, negara, masyarakat, moralitas, takdir, humanisme, dan sebagainya. Pada titik yang paling personal, mirip seperti Leap of Faith atau Lompatan Iman Kierkedian. Bertaklid pada monastisisme islam dan menjadi salik yang “zuhud”, misalnya.


Ketiga, Distraksi—upaya pengalihan perhatian, mendistraksi surplus-kesadaran, dengan stimulus-stimulus eksternal: menenggak alkohol, mengisap mariyuana (jenis indica atau sativa), mengonsumsi tramadol, bermain Pou, bermain tic-tac-toe, minum coklat panas, bermain permainan papan, dan seterusnya.


Terakhir, Sublimasi—pendek kata, daya upaya untuk mengonversi surplus-kesadaran menjadi sesuatu yang produktif, kreatif, dan bernilai seni. Lebih jauh, penderitaan-penderitaan karena surplus-kesadaran ditransformasikan menjadi citraan-citraan yang dramatis, herois, liris—atau bahkan komikal (seperti Joker yang mampu ngakak selepas-lepasnya di puncak keputusasaannya).


Banyak manusia menggunakan tiga mekanisme-pertahanan di atas—dan yang terakhir, Sublimasi, merupakan yang paling langka. Mengapa? Ada kebolehjadian tinggi bahwa Sublimasi ibarat “panasea yang terlalu sulit untuk ditelan”. Bisa dibilang, mengubah derita jadi karya, luarbiasa susahnya—sebab dibutuhkan lebih banyak “kegilaan” ketimbang “kewarasan” untuk melakukannya. Hanya ada sedikit manusia yang cukup “gila” untuk mengonversi rasa sedih yang tak pernah sudah atau pengalaman traumatisnya menjadi sesuatu yang puitis dan estetis. Dalam bahasa Seneca yang Stoik: “tak ada orang jenius-hebat yang pernah ada tanpa sentuhan kegilaan”. Tulisan-tulisan Goethe sampai Zapffe, lukisan-lukisan van Gogh sampai Picasso, musik-musik Wagner sampai Chopin, barangkali dapat dijadikan sebagai beberapa contoh dari mekanisme-pertahanan berbasis Sublimasi. 


Eksistensialisme-Evolusionis Zapffe


Berangkat dari perspektif kosmik dan penderitaan kolektif yang bersarang dalam surplus-kesadaran manusia, Zapffe menambah warna baru dalam literatur Eksistensialisme—dan seperti melengkapi pandangan Frankl dalam Man’s Search for Meaning (2013) tentang apa yang dia sebut sebagai Logoterapi serta visinya bahwa makna atau sesuatu yang berguna dapat ditemukan dalam pertarungan-pergulatan kita dengan penderitaan.


Di titik ini, penulis ingin sedikit merevisi petuah Walpole yang juga digemakan ulang oleh Fitzgerald dalam magnum opusnya The Great Gatsby (2005): “hidup adalah komedi bagi mereka yang berpikir, tragedi bagi mereka yang merasakan, dan tragikomedi bagi mereka yang berpikir untuk merasakan pikiran-pikirannya”.


Belajar atau tak belajar, pada akhirnya, kita akan menyesali keduanya. Mari kita tutup mekanisme-pertahanan Sublimasi berbentuk teks ini dengan Kitab Pengkhotbah, Ecclesiastes 1:18, tepatnya: “karena dengan banyak hikmat datang banyak derita; semakin banyak pengetahuan, semakin banyak kesedihan mendalam karenanya”. Semoga semua yang membaca berbahagia. Semoga kita tak berakhir seperti tokoh Don Quixote dalam kepala Cervantes, yang jadi gila karena iqra.

“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (2004).

*****

Referensi

Zapffe, Peter Wessel (translator: Gisle Tangenes). 2013. The Last Messiah. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 2003. The Birth of Tragedy. Penguin Classics;

Heine, Heinrich. 2016. Complete Poetical Works of Heinrich Heine. Kindle Editon: Delphi Classics;

De Unamuno, Miguel. 2017. Tragic Sense of Life. Kindle Edition;

Cioran, Emil. 2013. The Trouble with Being Born. Kindle Edition;

Seneca. 2017. On the Shortness of Life. Kindle Edition;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Kundera, Milan. 2009. The Unbearable Lightness of Being. Harper Perennial;

Frankl, Viktor. 2013. Man’s Search for Meaning. Kindle Edition: Ebury Digital;

Fitzgerald, Scott. 2005. The Great Gatsby. Kindle Editions: Scribner;

Kierkegaard, Søren. 2004. The Sickness Unto Death. Kindle Editions: Penguin.

Monday, 29 May 2023

Keluarga, Keluar-ga, Ke-luar-ga?

Congress (2003) by Mehretu

“Keluarga adalah rumah bagi kesintingan-kesintingan.”
—Debré, Love Me Tender (2020)

tak banyak yang bisa & mau “kukeluarkan” tentang ‘keluarga’. meskipun hampir setiap hari—ada dua makhluk berkaki dua & berbadan tegap yang telah kuanggap sebagai kawan dekatku—bertandang ke kamarku, menyesap kopi, mengembuskan asap rokok mereka ke angkasa, & dengan intonasi rendah menceritakan bagaimana rumitnya konflik keluarga mereka; konflik yang, kupikir jauh lebih kompleks dari apa yang ada dalam Fathers and Sons karangan Turgenev atau Anna Karenina-nya Tolstoy atau Letter to My Father-nya Kafka atau To the Lighthouse-nya Virginia atau The Sound and the Fury-nya Faulkner.

atau kata ‘keluarga’ di kepala seorang rumah-rusak pendengar setia lagu-lagu Blink-182 era DeLonge, misalnya Stay Together for The Kids dengan liriknya yang ikonik: their anger hurts my ears ... been running strong for seven years... rather than fix the problems... they never solve them, it makes no sense at all.

barangkali itulah mengapa ada anggapan klasik bahwa harta paling berharga adalah keluarga. secara personal, aku brutally setuju. karena memang, sepasang manusia yang bercocok tanam, melahirkan-membesarkan kita, & kelak kita panggil dengan ayah & ibu inilah yang paling menentukan roller coaster-nya hidup kita. apa yang kita makan di pagi hari, apa yang kita pikirkan sebelum tidur, apa yang kita kendarai, di mana kita mengemban pendidikan, kapan kita mengerti tentang pentingnya mengatur keuangan, siapa yang biasanya dapat kita temui, mengapa kita bekerja, bagaimana kita menyusun mimpi—tentu saja ditentukan oleh apa-apa yang “terdapat” & “inheren” dalam keluarga kita.

apakah kita akan menjadi seorang optimis ataukah pesimis ketika dewasa, ialah salah satu contoh besarnya. aku, bahkan berani bertaruh bahwa persoalan bagaimana kita melihat dunia, lebih ditentukan oleh siapa/bagaimana keluarga kita ketimbang buku-buku, lagu-lagu, & lukisan-lukisan yang kita konsumsi sepanjang usia. buku-buku sastra telah banyak menarasikan secara artistik & terkadang barbar bagaimana rasanya terlahir di keluarga yang (silakan masukkan kata-kata kasar).

menyoal karya sastra, aku masih ingat... pada suatu siang yang random, mentor persastraanku pernah mengatakan bahwa dialog dalam satu-satunya cerpenku tentang keluarga nampak tak natural, tak logis, bahkan aneh. responku hanya tertawa. faktanya, aku memang tak bisa membangun suasana atau percakapan yang logis antara seorang anak & orang tuanya. tolong jangan tanya mengapa. aku memohon, dengan sangat.

sekali lagi, aku tak mau menulis banyak. pada akhirnya, menyoal kedua kawan dekatku, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan dengan sabar curhatan-curhatan mereka itu sambil menepuk-nepuk bahunya. & secara klandestin, menarik napas panjang setelah mereka pulang. aku pun sesekali, jika tak bisa lagi kutelan sendirian, menceritakan kondisiku pada mereka: aku memisalkan keluargaku sebagai pesawat boeing 737, & aku sebagai tumbuhan (katakanlah, pakis-pakisan) yang hanya ingin berfotosintesis dengan damai tapi mesti merasakan tertimpa burung besi berkecepatan kira-kira 539 knot itu.

keluarga
keluar-ga
ke-luar ga?

ayok. kalo gak ke luar
nanti keluar airmata.

Saturday, 27 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Hemingway


Tahanan

Beberapa datang dengan rantai
ketaksesalan tapi kelelahan.
Terlalu lelah tapi tersandung keadaan.

Berpikir dan membenci telah selesai
Berpikir dan berkelahi telah selesai
Mundur dan berharap telah selesai.

Penyembuhan hasilkan perang
yang panjang, yang lancarkan
kematian.

-

Untuk Orang Baik yang Mati

Mereka mengisap kita;
Raja dan negara,
Tuhan yang Mahakuasa
Dan sisanya.
Patriotisme,
Demokrasi,
Kehormatan—
Kata dan frasa,
mengolok-olok
atau membunuh kita.

-

Pada Akhirnya

Dia coba muntahkan kebenaran;
Dengan mulut yang kering,
pada mulanya, Dia menitikkan
air liur dan meneteskan air liur
pada akhirnya; Kebenaran
mengucurkan rahangnya.

-

Yang Dipinta Usia

Usia meminta agar kita bernyanyi
dan memotong lidah kita.
Usia menuntut kita mengalir
dan memalu penutup tangki.
Usia memaksa kita menari
dan jejalkan kita ke dalam celana besi.

Dan pada akhirnya usia menyerahkan
jenis omong kosong yang pernah dipintanya.

-
Montparnasse

Tak pernah ada kasus bunuh diri pada usia muda
di antara orang-orang yang-tak-dikenal—
tak ada percobaan bunuh diri yang menggores sukses.
Seorang pemuda Tionghoa yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(mereka terus meletakkan surat-surat
di kotak surat pemuda malang itu)
Seorang pemuda Norwegia yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(tak ada yang tahu ke mana pemuda Norwegia
yang-tak-dikenal lainnya pergi)
Mereka menemukan sebuah tubuh terbujur pasi
di tempat tidur dan telah menjemput kematian.
(bagi seorang concierge hotel mewah itu adalah
masalah yang hampir tak tertahankan).

Minyak manis, putih telur, mustard dan air,
busa sabun, dan pompa perut menyelamatkan
orang-orang yang-dikenal. Setiap sore, orang-orang
yang-dikenal dapat ditemukan di kafe-kafe.

*****

Ernest Hemingway adalah seorang novelis dan cerpenis Amerika yang dianugerahi Nobel Sastra pada tahun 1954. Gaya prosanya yang ringkas dan terang memberikan pengaruh kuat pada sastra Amerika dan Inggris pada abad ke-20. Sebelum fokus sebagai prosais, di masa muda, Hemingway tekun menulis puisi.

Sumber literatur:
Ernest Hemingway, My Poetic Side:
https://mypoeticside.com/poets/ernest-hemingway-poems

Thursday, 25 May 2023

Apakah Kecerdasan adalah Kutukan?

“Sebab, dengan banyak hikmat, ada banyak kesusahan, dan dia yang memperbanyak pengetahuan memperbanyak kesengsaraan.” — Eccelesiastes 1:18

Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang figur pendidikan dan psikolog, mempopulerkan teori kecerdasan ganda dalam bukunya⁠, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences⁠. Gardner secara praktis memperluas definisi kecerdasan dan menguraikan beberapa jenis kompetensi intelektual yang berbeda-beda. Ada sembilan tipe kecerdasan: naturalis, musikal, logis-matematis, eksistensial, interpersonal, kinestetik, linguistik, intrapersonal, spasial.

Akan tetapi, terlepas dari teori kecerdasan ganda ini dan pertanyaan fundamental tentang "apa itu cerdas?", meskipun saya bukanlah orang yang tergolong cerdas dalam standar mana-apa-pun, saya menaruh hipotesis bernada kecurigaan-sinis di hati bahwa jangan-jangan kecerdasan adalah kutukan. Seperti Prometheus yang menjadi "tersiksa" karena telah mencuri api pengetahuan dari para dewa di Gunung Olympus dalam mitologi Yunani.

Kecerdasan, yang sering kali dipandang sebagai kata sifat yang dicita-citakan, memiliki sisi gelap yang jarang dibayangkan, jarang diperbincangkan, jarang dibahasakan. Saya menilai, sesuatu yang secara sosial-kultural dikultuskan oleh hampir semua peradaban-kebudayaan ini (secara negatif) berpotensi besar untuk memengaruhi kesehatan mental, selera humor, relasi secara horizontal-vertikal, dan bagaimana dunia ide (dalam konteks Plato) tampak secara keseluruhan bagi pengidapnya. Lebih jauh dari itu, daya intelektualitas tinggi menyebabkan pemikiran berlebihan dan analisis tak berujung pangkal; yang berpuncak pada peningkatan dosis kecemasan dan kelelahan mental.

Seorang esais-cum-eksistensialis, Peter Wessel Zapffe, dalam esai yang melambungkan namanya, The Last Messiah, menamai kondisi paradoksal ini dengan sebutan “surplus kesadaran”. Pendek kata, kecerdasan memperkuat eksistensi kesadaran, sesuatu yang paling nyata yang membedakan manusia dengan hewan-hewan. Sialnya, harga yang mesti dibayar manusia untuk merengkuh kesadaran adalah keputusasaan.

Kadar kesadaran berlebih berbanding lurus dengan peningkatan kepekaan yang memungkinkan eskalasi keputusasaan. Dalam The Sickness Unto Death, Kierkegaard, sang filsuf-melankolis, menulis, "Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat—semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”

Seorang individu yang cerdas sering kali merenungkan apa-apa yang ada, yang tidak ada, mungkin ada, mungkin tidak ada, tidak mungkin ada, maupun yang tidak mungkin tidak ada. Sayangnya, meraba kemungkinan dari keberadaan bisa membuat pengidap kecerdasan kewalahan. Neuron dalam kepalanya akan condong mencari-melihat pola dari hampir segala sesuatu yang sekilas tampak tidak berhubungan sama sekali. Ia akan terus-menerus mencatat hal-hal yang menarik, hal-hal yang perlu dipelajari, hal-hal yang perlu diperbaiki-diimprovisasi, dan cara-cara untuk terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hal ini tak jarang menyebabkan stres berat dan kegagalan untuk sekadar benar-benar beristirahat.

Dari pengamatan personal dan bacaan-bacaan, saya pun menemukan asumsi bahwa seorang yang cerdas bertendensi untuk "memiliki masalah" dengan "otoritas" atau "status quo" dan nilai-nilai kolektif. Entah negara tempatnya bernaung, agama-kepercayaan yang diyakini mayoritas orang, atasannya di kantor, dan sebagainya. Sebab, ia—sependek yang saya lihat—punya hasrat besar untuk bermain-main dengan apa-apa yang telah dianggap mapan. Hal ini akan menjadi masalah bila dilakukan di waktu dan tempat yang salah.

“Seseorang yang berpikir sepanjang waktu tak memiliki apapun untuk dipikirkan kecuali pikiran. Maka, dia kehilangan kontak dengan kenyataan dan hidup di dunia khayalan.” — Alan Watts

Surplus pikiran pun menimbulkan rasa keterpisahan dari dunia eksternal—semacam alienasi intelektual. Kecerdasan juga membuat pengidapnya terlihat kikuk, aneh, bahkan tampak tolol secara sosial. Bukankah kesenjangan intelektual dan kesulitan menemukan individu yang berpikiran sama mengandung konsekuensi logis, yaitu keterasingan sosial? Individu ini, tak peduli apakah dia tipikal introver atau ekstrover, niscaya berjuang setengah mampus untuk sekadar terhubung secara mendalam dengan orang lain—yang pada gilirannya, ia akan mengalami kesepian akut dan kehilangan sense of belonging.

Psikoanalis terkenal, Carl Jung, benar sekali lagi bahwa "jika seorang individu tahu lebih banyak dari yang individu lainnya, dia menjadi kesepian". Dengan demikian, perbedaan "frekuensi" antara seseorang yang cerdas dengan yang tak cerdas dalam obrolan pun memperparah rasa kesepian-keterasingan ini. Meskipun sepertinya hampir semua individu membutuhkan obrolan ringan, tetapi terlalu banyak obrolan ringan biasanya membuat seseorang yang cerdas mengalami kebosanan-kegabutan dan, pada gilirannya, membuatnya menjadi makhluk soliter penghuni kamar yang mengeksilkan diri dari lingkungan sosial.

Kecerdasan pun membawa serta standar-standar tinggi, harapan-harapan langit, dan cenderung membikin pengidapnya perfeksionis. Kecerdasan, bagaimanapun positifnya, adalah rahim yang melahirkan ekspektasi tinggi kepada/dari diri sendiri dan masyarakat, yang disimtomkan oleh stres kronis dan sindrom impostor. Sindrom impostor, pendek kata, adalah ketidakpuasan terhadap prestasi atau pencapaian yang diraih, secara konstan merasa kurang, dan merasa sebagai seorang penipu. Dalam bahasa Nietzsche yang filsuf-moralis, menipu diri sendiri merupakan dosa terbesar seorang manusia. Di pojokan sana, Dostoevsky sang novelis gigan pun besar kemungkinan mengamini kalimat puitis ini.

Dengan demikian, ada semacam pil pahit yang mesti ditelan oleh orang-orang cerdas nan perfeksionis bahwa dunia-kehidupan tidaklah sesempurna yang mampu mereka konstruksikan dalam pikiran-perasaannya. Akan selalu ada disparitas antara dunia ideal dengan realitas; demarkasi nyata antara gairah purba dalam diri untuk mencapai apa-apa yang sublim dengan apa-apa yang mampu ditawarkan kenyataan. Camus dan Beckett, duet maut absurdis, mendedahkan bahwa inilah mengapa hidup ini absurd dan, sialnya, manusia tak bisa lari dari absurditasnya.

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa ada banyak jalan menuju Roma, begitu pula jalan kecerdasan menuju kesengsaraan. Jika buku merupakan infrastruktur pembaca, pintu menuju pengetahuan, dan pengetahuan mengurangi kemungkinan kebahagiaan, maka berbahagialah mereka yang tak pernah membaca apa-apa sepanjang hayat dikandung badan.

Walau bagaimanapun, kecerdasan harus dirayakan-disyukuri-dicintai. Sebab, kecerdasan adalah sesuatu yang menggerakkan roda-roda peradaban menuju masa depan yang lebih asyik, menarik, dan mungkin baik. Dengan penerimaan semacam ini—mengakui serta sadar bahwa ada sisi gelap dari kecerdasan dan memilih untuk mencintainya—timbul pengharapan subtil bahwa semoga masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.

Monday, 22 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Almadhoun



Perempuan

Kau;
yang menjejaki
anggur sampai jadi wine
dengan telanjang kaki
semenjak sejarah bermula
yang terkunci di Sabuk Suci
di Eropa
yang dibakar sampai mati
di Abad Pertengahan
yang menulis novel
di bawah nama samaran lelaki
hanya agar bisa dipublikasikan
yang memanen teh
di Sri Langka
yang membangun ulang
Berlin pascaperang
yang menumbuhkan kapas
di Mesir
yang melumuri tubuhnya
dengan kotoran
demi hindari pemerkosaan
tentara Prancis yang bengis
di Algeria
perempuan perawan
di Kuba
yang melinting cerutu
di atas paha mereka
bagian gerilyawan Black Diamond
di Liberia
penari samba
di Brasil
perempuan yang wajahnya
dihancurkan
racun asam
di Afghanistan...

Ibuku…
Maafkan aku.

-

Kami

Kami, yang berserakan dalam potongan-potongan, yang dagingnya terbang di udara seperti tetesan hujan, menawarkan permintaan maaf kami yang mendalam kepada semua orang di dunia yang beradab ini, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, karena kami secara tak sengaja muncul di rumah-damai mereka tanpa meminta izin.

Kami mohon maaf karena telah memasukkan bagian tubuh kami yang tercerai-berai ke dalam ingatan mereka yang seputih salju, karena kami telah menodai citra manusia yang normal dan utuh di mata mereka, karena kami memiliki ketidaksopanan untuk melompat tiba-tiba ke buletin berita dan halaman-halaman majalah, internet dan pers, bertelanjang, dengan darah dan sisa-sisa hangusnya tubuh kami.

Kami meminta maaf kepada semua orang yang tak memiliki keberanian untuk melihat langsung luka-luka kami, karena takut mereka akan terlalu merasa ngeri, dan kepada mereka yang tak dapat menyelesaikan makan malam mereka setelah mereka secara tak terduga melihat gambar-gambar segar kami di televisi.

Kami mohon maaf atas penderitaan yang kami sebabkan kepada semua orang yang melihat kami seperti itu, apa adanya tanpa hiasan, tanpa ada upaya yang dilakukan untuk menyatukan kami kembali atau menyatukan kembali jenazah kami sebelum kami muncul di layar mereka.

Kami juga meminta maaf kepada tentara Israel yang harus bersusah payah untuk menekan tombol tembak di pesawat dan tank mereka untuk meledakkan kami, dan kami meminta maaf atas betapa mengerikannya penampilan kami setelah mereka mengarahkan peluru dan bom mereka langsung ke kepala kami yang lunak, dan untuk waktu-waktu yang kini akan mereka habiskan di klinik psikiatri, mencoba menjadi manusia lagi, seperti sebelum kami berubah menjadi bagian-bagian tubuh menjijikkan yang mengejar mereka setiap kali mereka mencoba untuk tertidur lelap.

Kami adalah apa yang telah kalian lihat di layar dan di media, dan jika kalian berusaha menyatukan potongan-potongan itu, seperti puzzle, kalian akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang kami, sangat jelas sampai kalian merasa tak akan bisa melakukan apa-apa lagi.

-

Pembantaian

Pembantaian adalah metafora mati yang memakan teman-temanku, memakan mereka tanpa garam. Mereka adalah penyair dan telah menjadi Reporters With Borders; mereka sudah lelah dan sekarang mereka bahkan jauh lebih lelah. 'Mereka menyeberangi jembatan saat fajar menyingsing hari' dan mati tanpa jangkauan telepon sama sekali. Aku melihat mereka melalui kacamata malam dan mengikuti panas tubuh mereka dalam kegelapan; di sanalah mereka, melarikan diri darinya bahkan ketika mereka berlari ke arahnya, menyerah pada pijatan besar ini. Pembantaian adalah ibu mereka yang sebenarnya, sedang genosida tak lebih dari sebuah puisi klasik yang ditulis oleh para intelektual pensiunan jenderal. Genosida tak pantas untuk teman-temanku, karena ini adalah tindakan kolektif yang terorganisir dan tindakan kolektif yang terorganisir mengingatkan mereka pada Sayap Kiri yang mengecewakan mereka.

Pembantaian bangun pagi, memandikan teman-temanku dengan air dingin dan darah, mencuci pakaian dalam mereka dan membuatkan roti dan teh, lalu mengajari mereka sedikit tentang berburu. Pembantaian lebih berbelas kasih kepada teman-temanku ketimbang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pembantaian membuka pintu bagi mereka ketika pintu lain ditutup, dan memanggil mereka dengan nama-nama mereka ketika laporan berita hanya mencari angka-angka. Pembantaian adalah satu-satunya yang memberi mereka suaka terlepas dari latar belakang mereka; keadaan ekonomi mereka tak mengganggu Pembantaian, Pembantaian juga tak peduli apakah mereka intelektual atau penyair, Pembantaian melihat hal-hal dari sudut pandang yang netral; Pembantaian memiliki ciri-ciri kematian yang sama dengan mereka, nama yang sama dengan istri janda mereka, seperti mereka melalui pedesaan dan pinggiran kota dan muncul tiba-tiba seperti mereka dalam berita utama. Pembantaian menyerupai teman-temanku, tetapi selalu datang sebelum teman-temanku di desa-desa yang jauh dan sekolah-sekolah anak.

Pembantaian adalah metafora mati yang keluar dari televisi dan memakan teman-temanku tanpa sedikit pun garam.

-

Untuk Damaskus

Ini membunuhku, musim panas ini
yang merembes
melalui retakan Damaskus, aku merangkak seperti karat
di pintu penjara yang berubah
menjadi sebuah museum ini. Ini aku, yang duduk
takut dan malu di kafe pada hari-hari ketika uang
begitu langka, dan tertawa sekeras-kerasnya
pada hari-hari ketika kantongku terisi paripurna. Damaskus
adalah rumahku yang retak, dan
Kasyon adalah apa yang kuratapi. Aku sebarkan
di malam hari seperti klakson mobil
dan gerobak kacang yang besar, aku dikenal
orang asing dan turis. Aku tak memiliki pagar, setiap
kebahagiaan yang telah mengkhianati wajahku
kembali meminta maaf dari tawaku. Aku
adalah campuran aneh yang berkuasa
di langit orang miskin dan pakaian
di jendela di depan toko. Tubuhku adalah
ladang gandum yang terbakar, lidahku mencaci
seperti sepatu. Petugas polisi, guru,
dan pria misterius itu menatapku, maka aku
dengan sedih tertawa, dan mereka
dengan riangnya menangis. Damaskus
adalah milikku, dan aku tak akan
mengizinkan siapa pun
untuk membagi tempat tidurku, selain
kepada mereka yang jahat
dan para pelacur. Aku adalah tangga
yang menurun
ke lubang yang didirikan tinggi, dan
jejak pencuri di atas pasir. Tubuhku
adalah hotel bagi mereka yang pergi.
Kata-kataku adalah Injil kecil
yang hilang oleh para nabi, maka mereka
yang sesat mengadopsi.
Karena itu aku akan
membuang remah-remahnya
pada burung kawat berduri, dan aku akan
mengebiri kejayaan pada aspal. Inilah yang
mereka ajarkan kepada kami
di sekolah umum, maka
mereka melepaskan kami seperti kelinci
untuk mengunyah rumput dari penyerahan.
Aku berkata kepadamu bahwa aku tak akan
izinkan siapa pun menyelinap masuk
dan melihat Damaskus sebagai
seorang perempuan
yang mandi sendiri, payudara
kecilnya terbuka dengan malu, aku tak akan membiarkanmu ...
masuk.

-

Ode untuk Kedukaan

Kami mencintaimu, Eropa, kau benua tua. Aku tak tahu mengapa mereka menyebutmu tua pedahal kau masihlah muda dibandingkan dengan Mesir dan Mesopotamia.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membayar pajak-pajakmu seperti yang dilakukan orang kulit putih, dan tahan dengan suasana hatimu yang berubah-ubah, yang menyerupai cuacamu, dan kekurangan vitamin D yang serius, yang disebabkan gelapnya musim dinginmu. Kami mencintaimu dan sedih dengan kenyataan bahwa kami tak akan pernah terbiasa dengan kegelapan suram di musim dinginmu yang begitu panjang, karena inilah teman-teman Eropa kami, maksudku penduduk aslimu yang lahir di Utaramu yang dingin dari seorang ibu dan ayah Arya, menderita depresi seperti kami dan kekurangan vitamin D, karena, menurut teori evolusi, mereka juga adalah Homo Sapiens, yang berasal dari Afrika. Penghuni aslimu yang sebenarnya, maksudku Neanderthal yang berevolusi selama zaman es hingga mereka dapat menahan rasa dinginmu itu, sekarang telah punah.

Kami mencintaimu, Eropa, dan kami tak menyangkal bahwa kami datang kepadamu dari negara-negara dunia ketiga yang terbelakang, begitu, kau menyebutnya. Aku sendiri berasal dari Damaskus dan mengalami banyak klise, stereotip, dan prasangka dari penulis-penulis dan penyair-penyairmu. Terlepas dari kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai seorang feminis, aku menjadi bosan dan muak dengan pertanyaan dangkal yang terus-menerus dilontarkan tentang situasi perempuan di Timur Tengah. Aku mengakui sepenuhnya bahwa perempuan di Suriah mendapat hak untuk memilih pada tahun 1949, tetapi di Swiss, pusat uang-uangmu dan uang dari kediktatoran kami dan rekening bank rahasia mereka, perempuan mendapat hak untuk memilih pada tahun 1971, dan tentu saja itu tak ada di semua kanton di Swiss: kanton Appenzell Innerrhoden hanya memberikan hak suara penuh kepada perempuan pada tahun 1991, ya Tuhan!

Kami mencintaimu, Eropa. Kami menyukai kebebasan yang kau berikan kepada kami ketika kami jatuh ke pelukanmu, dan kami berpura-pura tak memerhatikan rasisme yang coba kau sembunyikan di bawah karpet saat kau membersihkan ruang tamu.

Kami mencintaimu, Eropa, nyonya kolonialisme masa lalu, pembantai penduduk asli, pengisap darah orang-orang dari India sampai Kongo, dari Brazil hingga Selandia Baru.

Nyonya Penyelidik, pembakar perempuan dengan alasan bahwa mereka adalah penyihir, nyonya pedagang budak yang mengangkut orang kulit hitam ke dunia baru, pencipta politik apartheid di Afrika Selatan, pendiri fasisme dan Nazisme, penemu solusi terakhir untuk membinasakan orang Yahudi, solusi terakhir yang menyebabkanku terlahir sebagai pengungsi kamp Yarmouk di Damaskus karena kau memiliki keberanian untuk menyerahkan negaraku Palestina sebagai pembayaran, kompensasi, dan solusi untuk Holocaust yang dilakukan oleh penduduk kulit putihmu, yang percaya pada kemurnian ras Arya.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membawa paspor-mu yang membukakan seribu pintu bagi kami, semudah peluru-mu merobek daging jutaan orang Algeria yang ingin menikmati kebebasan yang dielu-elukan Revolusi Prancis-mu.

Kami mencintaimu, Eropa. Kami mencintai seni-mu dan membenci sejarah kolonialisme-mu, mencintai teater-mu dan membenci kamp konsentrasi-mu, mencintai musik-mu dan membenci suara bom-mu, mencintai filsafat-mu dan membenci Martin Heidegger-mu, mencintai sastra-mu dan membenci orientalisme-mu, mencintai puisi-mu dan membenci Ezra Pound-mu, mencintai kebebasan berekspresi dalam batas-batas-mu sendiri dan membenci Islamofobia-mu, mencintai peradaban maju-mu, sekulerisme-mu, hukum-mu yang adil dan hak asasi manusia di wilayah-mu sendiri, dan membenci rasisme-mu, standar ganda-mu, pandangan arogan-mu, dan sejarah berdarah-mu.

Ambil Nazisme dan beri kami Immanuel Kant
Ambil Blackshirts dan beri kami anggur Italia
Ambil genosida di Algeria dan beri kami Baudelaire
Ambil Leopold the Second dan beri kami René Magritte
Ambil Adolf Hitler dan beri kami Hannah Arendt
Ambil Franco dan beri kami Cervantes
Ambil barang-barangmu dan biarkan kami mengambil apa-apa yang milik kami itu.

*****

Ghayath Almadhoun adalah seorang penyair Palestina yang lahir di Damaskus pada tahun 1979 dan berimigrasi ke Swedia pada tahun 2008. Saat ini, ia tinggal di antara Berlin dan Stockholm.

Sumber literatur:
Ghayath Almadhoun, Poetry in English:
https://www.ghayathalmadhoun.com/

Wednesday, 17 May 2023

Homo Homini Hadeuh


Semenjak zaman bahela hingga kiwari, kita, “manusia”, secara nature, menyandang beragam julukan. Katakanlah, frasa Homo faber suae quisque fortunae (setiap manusia adalah pembuat-pencipta takdirnya sendiri)—yang pertama kali dicetuskan oleh negarawan dan penulis Republik Romawi, Appius Claudius Caecus—dilekatkan kepada makhluk bipedal bernama manusia.

Di kemudian hari, frasa ini digaungkan kembali dengan “sedikit” kurasi-modifikasi oleh filsuf-cum-sosiolog, Karl Marx: Homo Faber (manusia sebagai makhluk yang-bekerja/sebagai pekerja; makhluk yang produktif serta konstruktif)—Hannah Arendt dan Max Scheler memperluas terma Marxis ini dengan menegaskan bahwa “manusia adalah makhluk yang mengendalikan alam melalui alat-alat yang diciptakannya”.

Dalam semesta sastra, seorang pengarang asal Swiss, Max Frisch, menerbitkan novel dengan judul sama: “Homo Faber”. Secara jukstaposisi, Johan Huizinga, sejarawan Belanda menelurkan buku “Homo Ludens”—tentang sifat manusia yang secara natural senang “bermain-main” (bukan bekerja) khususnya dalam budaya.

“Seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa kita sama sekali tak masuk akal seperti abad ke-18, dengan pemujaan terhadap nalar dan optimismenya yang naif, dan terhadap pikiran-pikiran kita; karenanya mode modern cenderung menyebut spesies kita sebagai Homo Faber: Manusia sang Maker. Tetapi faber mungkin tak begitu meragukan seperti sapiens, sebagai nama khusus manusia, yang bahkan kurang tepat, mengingat banyak hewan pun dapat menjadi Maker. Namun, ada fungsi ketiga yang berlaku dalam kehidupan manusia dan hewan, dan sama pentingnya dengan penalaran dan peciptaan, yaitu bermain. Tampak bagiku bahwa di sebelah Homo Faber, dan mungkin pada tingkat yang sama dengan Homo Sapiens, Homo Ludens: Manusia sang Player, layak mendapat tempat dalam nomenklatur kita.”

—Huizinga, Homo Ludens (2014)

Homo Faber dan Homo Ludens merepresentasikan dua konsep filosofis yang antipodal: yang pertama mengacu pada manusia yang menggunakan rasionalitasnya untuk menghasilkan-memproduksi objek-benda buatan dan dengan demikian mengendalikan dunia eksternal (alam); yang kedua menekankan betapa pentingnya peran atau esensi dari “bermain/permainan” dalam kehidupan manusia—serta berfokus pada waktu luang dan hiburan.

Selain dua istilah di atas, barangkali telah diketahui secara umum bahwa Bapak Taksonomi Modern sekaligus Bapak Ekologi Modern, Carolus Linnaeus, mengemukakan istilah Homo Sapiens sebagai penanda “manusia modern” pada wilayah ilmu Biologi. ‘Homo’ dan ‘Sapiens’ adalah kata dalam bahasa Latin yang secara literal artinya “manusia” dan “bijak”; manusia adalah spesies yang-bijak, singkatnya.
Terlepas dari segala kontroversi di belakangnya, istilah ini semakin menemukan kepopulerannya setelah Yuval Noah Harari menetaskan buku berjudul “Sapiens: A Brief History of Humankind” yang merisalahkan tentang tiga revolusi besar: Kognitif, Agrikultur, Sains—serta implikasinya terhadap peradaban. Beberapa tahun berselang, Harari menerbitkan “Homo Deus: A History of Tomorrow” yang mengeksplorasi berbagai dampak perkembangan teknologi (termasuk kecerdasan buatan) pada masyarakat dan beragam kemungkinan canggih di milenium-milenium mendatang.

Lebih lanjut, Harari secara naif percaya bahwa kemampuan yang dimiliki manusia memungkinkannya setara dengan Deus (bahasa Latin: Tuhan), dengan demikian ia menggagas Homo Deus (manusia sebagai “Tuhan yang berjalan” atau makhluk yang signifikan) dan praktis menambah panjang model-konsepsi manusia.

Selain empat arketipe-manusia yang telah disebutkan di atas, masih banyak 'homo-homo' lain, misalnya: Homo Economicus (manusia sebagai makhluk ekonomi) yang dicetuskan Adam Smith dalam The Wealth of Nations; Homo Politicus (manusia sebagai makhluk yang berpolitik) yang dikemukakan Aristoteles; Homo Sociologicus (manusia sebagai makhluk sosiologis/yang memiliki kapasitas untuk berperan secara sosial dan bermasyarakat) yang ditekskan Ralf Dahdendorf; Homo Narrans (manusia sebagai makhluk yang bercerita/yang mampu menarasikan sesuatu) yang dipaparkan Kurt Ranke; Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) yang diperkenalkan Plautus; Homo Homini Socius (manusia sebagai makhluk sosial/yang mampu berkawan dengan sesamanya) yang ditulis Seneca.

Homo Homini Hadeuh

Yang unik dan menarik dari manusia, pun luput orang-orang sadari, adalah fakta bahwa manusia barangkali merupakan satu-satunya hewan yang mempunyai kemampuan untuk mengeluh. Atau, dalam bahasa lebih yang teologis dan metafisik, adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberikan anugerah: kehendak untuk mengeluh.

Semut rangrang yang terinjak, ikan lele yang menunggu dimasak, burung camar yang ditembak, sampai kerbau yang dipakai untuk membajak—besar kemungkinannya tak memiliki kemampuan luar biasa yang secara autentik dimiliki manusia ini. Kehendak untuk mengeluh, meskipun Tuhan boleh jadi tak menyukainya, tetapi tetap Tuhan berikan kepada kita (dalam bentuk pilihan)—sebagai manifestasi cinta tingkat tinggi, antara pencipta kepada ciptaannya.

“Mengeluh adalah angin kencang yang membawa kita ke surga, terkadang aku berpikir; keluhan-keluhan itu secara tak sadar bernapas dengan keletihan “di sini”, dan merindukan “di sana”.”

—Broughton, Cometh Up as a Flower (2018)

Bayangkan apabila Tuhan tak menganugerahkan-menghadiahkan kehendak yang mampu menjadi semacam painkiller (obat berjenis analgesik yang berfungsi utuk meredakan nyeri) bagi kesusahan-penderitaan manusia ini, maka tak terbayang seberat apalagi beban-beban yang mesti kita pikul. Mengapa? Sebab terkadang, bahkan seringkali, hidup berjalan piawai menyebalkannya dan kita dirundung masalah-masalah secara konstan (di samping anggapan bahwa hidup adalah masalah itu sendiri).
Anehnya, kita selalu saja secara positif menemukan alasan-alasan baru untuk mengeluh dan secara paradoksal menemukan kepuasan-kenikmatan di dalamnya. Dengan demikian, manusia masa kini dibentuk oleh 5W dan 1H: waduh, waduh, waduh, waduh, waduh, hadeuh.

Akan tetapi, kehendak untuk mengeluh, alias obat yang bisa dibilang manjur ini, tentu memiliki beberapa efek samping tak mengenakkan seperti dianggap lemah oleh kawan kita yang Homo Ferrum (manusia besi/makhluk yang kuat sekali). Tipikal manusia yang, ajaibnya tak pernah menggunakan kehendak untuk mengeluh seumur hidupnya—meskipun didera “hujan problema” yang bertubi-tubi.
Negatifnya, selain itu, terlalu banyak atau terlampau sering berkehendak untuk mengeluh, secara tak langsung membikin citra kita buruk/jelek—sebagai manusia yang kurang bersyukur—yang, di titik tertentu, seperti tak pernah bisa mengapresiasi sesuatu.

Terlepas dari positif-negatif tersebut, tuntutan zaman dan persoalan-persoalan masa kini yang semakin ruwet-keruh tak terjernihkan, pada gilirannya, melahirkan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang lumayan lucu. Salah satunya, tendensi kehendak untuk mengeluh yang berkelindan pada ruang-ruang digital, khususnya Twitter. Terhitung semenjak 24 Agustus 2022, “Komunitas Marah-Marah” kian ramai—sampai-sampai memiliki lebih dari 111.000 member yang berkehendak untuk mengeluh sepanjang sinyal dikandung paket internetan. Kira-kira beginilah deskripsi komunitasnya:

“WADAH BUAT MARAH BUKAN TEMPAT CAPER APALAGI TANYA JAWAB. KALO MAU CAPER MAEN TINDER AJA, KALO MAU TANYA JAWAB MAEN KUIS AJA.”

Marah-marah merupakan sebentuk ekspresi puncak dari mengeluh yang lazim juga disebut dengan berkeluh-kesah. Artinya, meningkatnya kecenderungan ini pada orang-orang sedikit banyak dapat menjelaskan beberapa hal serta memproduksi banyak pertanyaan-pertanyaan besar.
Apa bahan dasar atau sesuatu yang menggerakkan kehendak untuk mengeluh? Selain di Twitter, di mana biasanya seseorang berkehendak untuk mengeluh? Mengapa mereka berkehendak untuk mengeluh? Hingga, seberapa ampuh dampak dari kehendak untuk mengeluh terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi?

Pada akhirnya, tak akan ada jawaban pasti dan final untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekilas nampak sinting ini. Tetapi, julukan Homo Homini Hadeuh: makhluk yang (mampu) mengeluh—mesti ditambahkan ke dalam kamus besar model manusia. Entahlah, barangkali manusia justru Homo Homini Homina-Homina, makhluk membingungkan yang selamanya akan menjadi rahasia tak terungkap kata. Atau, meminjam bahasa Rumi, barangkali manusia hanyalah kata kecil-mungil yang terselip di antara aib dan gaib.

Jangan lupa mengeluh dan misuh-misuh.

“Manusia adalah misteri—yang perlu diungkap, dan jika seumur hidup kau mencoba mengungkapnya, jangan katakan bahwa kau telah membuang-buang waktumu. Aku mempelajari misteri itu sebab aku ingin menjadi manusia.”

—Dostoevsky, The Brothers Karamazov (2002)