Sunday, 30 July 2023

Dionysus Mencari Bacchus

Self-Portrait as Bacchus (1593) by Caravaggio

bukan. tulisan ini bukan ulasan tentang buku puisi Norman EP soal seksualitas, identitas, & keimanan yang keren itu. begini, aku punya kawan (yang telah kuanggap sebagai mentor kehidu-fun). sebut saja, Pengampunan. ia seorang dosen sastra di universitas sensor. meskipun kami secara geografis dipisahkan oleh Selat Sunda, hampir setiap hari kami whatsapp-an. & hampir setiap pekan, kami saling memfoto botol-botol alkohol lantas dengan lekas memberi reminder agar jangan lupa mereguk mabuk.

aku lupa sejak kapan persisnya kami bertindak macam cogil yang kabur dari RSJ seperti itu. yang jelas, ketika kami sedang dalam keadaan hangover, kami bisa menceracaui apa saja & menjadi siapa saja. sastrawan, filsuf, seniman, antropolog, agamawan, sosiolog, aktor teater, musisi, komposer, hingga terapis dengan analisis Freudian. kebebasan seperti inilah... yang terkadang membuatku berpikir bahwa sober begitu memuakkan. jangan lupa mabuk! begitulah kami saling merutuk.

itu cerita pertama. ini cerita kedua. tiga hari lalu, aku mengirim pap sebotol anggur merah (yang gold) & mengirimkan beberapa drunk text kepada Sifarryla Gautama. tak berselang lama, doski mengatakan begini: how dare u pamer mabski & membiarkan saya sober menghadapi this fuckin existence. malam kemarin, Sifarryla Gautama melakukan hal yang sama. & aku pun mengatakan hal yang sama. sejak saat itu, aku percaya hukum karma.

kawan-kawanku, yang rumahnya hanya berjarak kira-kira seratus meter dari rumahku, pun sama saja. kunamai mereka dengan nama samaran: Gio & Rama. kedua manusia pantek ini, seringkali mengajakku mabuk. kami bahkan punya prinsip, kami tidak akan pulang ke rumah masing-masing sebelum kepala kami pening & putaran gelas sloki telah habis-kering. ketika sedang hangover, kami pun bisa membincangkan apa saja secara random: misalnya... dimulai dari bagaimana cara membuat nasi goreng yang enak, apakah Beethoven yang tuli pernah pergi ke dokter THT, kapan Kapitalisme rungkad, rivalitas Persib vs Persija, bagaimana cara menjadi tukang bubur yang bisa naik haji, mengapa Muse menggelar konser di Malaysia, kapan Nabi Isa turun, seberapa akurat teori-teori fisika dalam film Interstellar, siapa yang cocok jadi menteri pendidikan, apa alasan ideologis Hitler menginvasi Polandia, hingga tato seperti apa yang paling kecil kemungkinannya untuk disesali.

di titik itulah, aku sedikit merasa lingkunganku diisi oleh para pemabuk. jelmaan dewa Dionysus & Bacchus. sedikit fafifuwasweswos, keduanya sebenarnya merujuk pada figur yang sama. mula-mula bangsa Yunani Kuno (konon, di Mycenan) menamainya Dionysus. lalu eksistensinya membentuk praktik-praktik teologis di seluruh Mediterania hingga awal Kekristenan. kelak, bangsa Romawi yang suka nyontek menyebutnya Bacchus. ini tak mengherankan, sebab hampir sembilan puluh persen mitologi Romawi ctrl + c > ctrl + v dari mitologi Yunani. & sebagaimana orang-orang Yunani memandang Dionysus, orang-orang Romawi menganggap Bacchus sebagai dewa anggur, kebebasan, kemabukan, ekstasi suci, & kebahagiaan. 

dalam satu literatur, bangsa Romawi mengasosiasikan Bacchus dengan pesta besar & ia sering divisualkan dalam keadaan tipsy sambil memegang segelas wine. Bacchus bahkan mengilhami kultus Romawi—Bacchanalia—serangkaian festival yang diringi musik-musik klasik, wine, & kesenangan-kesenangan hedonistik lainnya. kira-kira sejak tahun 200 SM budaya ini digelar & dari sinilah kata 'Bacchanalian' lahir untuk menggambarkan pesta yang secara khusus merujuk mabuk-mabukan. secara kultural, Dionysus/Bacchus menjembatani kemanusiaan & yang-ilahi melalui wine (baca: mabski). dalam pengertian paganistik seperti itu, Dionysus merepresentasikan misteri & paradoks. dengan kata lain, wine adalah minuman yang paradoksal: nikmat plus dengan khasiat obat, tetapi juga memabukkan & membikin hilang kendali. ajaib, kan?

secara kesejarahan, para sejarawan Yunani menulis banyak variasi berbeda-beda tentang kisah Dionysus. versi populernya, ia adalah putra Zeus. lucunya, beberapa kawanku merupakan penjudi handal. mereka bermain Gates of Olympus, gim slot yang tokohnya adalah Zeus. apakah ini artinya, secara interpretatif, kemabukan adalah anak perjudian? tapi aku tidak mau & tidak sudi bermain judi. bagiku, hidup sudah terlampau seperti judi yang takkan bisa manusia menangi. aku tak mau kalah lebih telak lagi. aku sudah kalah secara esensi, tak mau lagi kalah secara ekonomi. aku, bahkan, lebih percaya metode ruqyah (yang jelas-jelas tidak saintifik) mampu menyembuhkan seorang yang mengidap skizofrenia—ketimbang harus percaya bahwa berjudi membikin hidup jadi lebih baik. kalau jadi jauh lebih menarik, mungkin iya. tapi apa-apa yang nampak terlalu menarik nyatanya mengandung bahaya yang sama sekali tak asik. bukannya aku takut bahaya, aku cuma terlampau lelah hidup dalam marabahaya. ada jurang perbedaan yang cukup menganga antara takut & lelah.

sesekali aku bertanya-tanya... apa aku, Sifarryla Gautama, Pengampunan, Gio, Rama, & yang tak mungkin kusebutkan satu per satu itu lelah, ya? atau yang lebih parah, apa jangan-jangan semua yang berkepala & punya kesadaran itu lelah, ya? jika iya, apakah 'lelah' merupakan alasan terkuat seseorang untuk mengonsumsi alkohol? jika iya, misalkan ada enam juta pemabuk, dengan asumsi yang sama, maka ada enam juta manusia lelah. apapun alasannya, kupikir, para pemabuk disatukan oleh sebuah kata: eskapistik. lari dari realitas yang larinya lebih kencang dari cahaya.

barangkali hanya dengan mabuk, kita bisa menjadi apa saja & siapa saja. hanya dengan mabuk kita bisa mengurangi intensitas kesadaran yang memusingkan. hanya dengan mabuk kita bisa mengutuk. hanya dengan mabuk kita bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan. hanya dengan mabuk kita bisa menertawakan kegagalan, keletihan, kesedihan, kemurungan, kemalangan, kebiruan, kehidupan, kematian. hanya dengan mabuk kita bisa mencintai tragedi & memahami bagaimana air mata bekerja. hanya dengan mabuk kita bisa percaya bahwa segalanya tidak lebih buruk dari yang dikira. hanya dengan mabuk aku menemukan fragmen diriku yang purba. yang tak terkalahkan. yang membara. yang tak terkatakan. hanya dengan mabuk, Dionysus pada telapak tanganku menemukan Bacchus pada pundakmu.

jangan lupa mabuk! begitulah kami merutuk.

“tuhan di kayu salib adalah kutukan atas kehidupan, sebuah rambu untuk mencari penebusan dari kehidupan; Dionysus yang dipotong berkeping-keping adalah janji kehidupan: ia akan selamanya terlahir kembali & bangkit lagi dari kehancuran.”

—Nietzsche

Thursday, 27 July 2023

Membaca Que Será, Será

 

Que sera sera (2022) by Chantal Proulx

When I was just a little girlI asked my mother, what will I beWill I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me
Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be
Frasa qué será, será (apa yang akan terjadi, terjadilah)—yang cukup terdengar stoik dan berbau deterministik sekaligus fatalistik ini—mencapai kepopulerannya setelah dinyanyikan Josephine Conway McKenna (diperankan Doris Day) dalam film Alfred Hitchcock berjudul The Man Who Knew Too Much (1956). Lagu yang ditulis Jay Livingston dan Ray Evans ini pada dasarnya menyiratkan kekhawatiran seorang anak terhadap masa depannya. Akan tetapi, saya pikir, manusia dewasa pun turut merasakannya. Sebab, ketakpastian melekat erat dalam diri kita dan tak mengenal usia. Dengan kata lain, kalau boleh pesimistis, ketakpastian adalah sesuatu yang barangkali kekal. Oleh karenanya, ketika saya yang tua bangka ini meresapi lirik demi lirik lagu tersebut, saya merasai ada semacam ke-relate-an yang tak terhindarkan.

Saya menilai, manusia adalah budak kepastian. Semenjak zaman Neanderthal berburu mammoth dengan tombak berujung batu atau sejak seorang bocah akamsi Mesopotamia bermain dengan kecipak air di sungai Efrat dan Tigris, kita memiliki semacam kerinduan puitis akan kepastian (dan keajegan) dalam kehidupan. Hal tersebut terepresentasikan secara gamblang (khususnya, pascarevolusi agrikultur) dalam penciptaan konsep-konsep ideal: masyarakat, hukum, perbankan, tata bahasa, negara, agama, dan sebagainya. Filosofi subtil yang ditawarkan Qué Será, Será adalah mengafirmasi ketakpastian, bahwa ketakmenentuan merupakan sesuatu yang tak terelakkan—dan masa depan tak dapat ditebak-diprediksi, sehingga seseorang mesti menerima-merangkul apa pun yang terjadi. 

Takdir, sebagai konsep metafisik yang arkaik, yang tiada habisnya dinarasikan, menekankan bahwa “hasil” dan “peristiwa” dalam hidup kita telah ditentukan sebelumnya (predestinated) dan berada di luar koridor kendali kita. Lauhulmahfuz dalam Islam, Akashic Records dalam Teosofi, Niyati dalam Buddhisme hanyalah salah tiga contoh konsep yang mendedahkan bagaimana takdir menurut hard determinism bekerja. Ketiganya secara langsung menantang ide-ide kehendak bebas (yang cenderung dikandung banyak -isme filsafat Barat, katakanlah eksistensialisme) dan menegaskan bahwa ada kekuatan yang lebih mahakuasa, yang membentuk pengalaman kita. Qué será, será besar kemungkinan berangkat dari premis dasar ini, dan mendorong individu untuk melepaskan nafsu atau keinginan terbesar manusia: kendali mutlak atas hidup mereka.

When I grew up and fell in loveI asked my sweetheart what lies ahead?Will we have rainbows day after day?Here's what my sweetheart said

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be

Lebih lanjut, secara interpretatif, frasa qué será, será seakan mengajak kita untuk mencari penghiburan dalam penerimaan total akan apa yang ditakdirkan. Menariknya, merangkul takdir memungkinkan kita untuk terbiasa beradaptasi dengan keadaan yang tak terduga, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan kekuatan tak terkalahkan dalam kemampuan kita untuk mengatasi setiap badai masalah yang (mungkin) tak berkesudahan. Qué será, será juga memberi pelajaran berharga dalam upaya mendaki puncak kebahagiaan. Dengan kata lain, frasa ini mendorong individu untuk menemukan kepuasan pada saat ini, momen ini, ketimbang terobsesi dengan “hasil” di masa yang akan datang.

Dengan menganut gagasan bahwa kita tak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, kita mengalihkan fokus dari keadaan eksternal pada pemenuhan internal. Pergeseran perspektif ini membebaskan kita dari pengejaran validasi eksternal yang terus-menerus dan memungkinkan kita menemukan kegembiraan dalam kesenangan hidup yang sederhana serta apa adanya.

Pada gilirannya, Qué será, será seakan mengajak kita untuk memikirkan apa yang bisa dan apa yang tak bisa (iya, seperti salah satu judul lagu Rumahsakit). Apa yang tak bisa… Kau raih walau kau t’lah berupaya… Itu hanya tanda… Kau tak membutuhkannya… Apa yang tak bisa… Kau miliki meski kau t’lah temui… Itu hanya tanda… Kau lebih baik tanpanya.

Qué será, será bertopang pada asumsi bahwa, jangan-jangan, kendala ada pada kendali. Artinya, ini adalah soal mengetahui mana yang di dalam kendali, mana yang di luar kendali. Penerimaan total akan takdir ini barangkali akan sedikit mengingatkan kita pada frasa amor fati yang juga merupakan salah satu kredo stoikisme—seakan dengan cara musikal melengkapi puzzle yang ditawarkan -isme tersebut dalam konsep dikotomi kendali. Dengan demikian, ketimbang terus-menerus berjuang untuk mengubah yang tak bisa diubah—yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang tak perlu—lebih baik kita mengakui ketakberdayaan manusia sebagai spesies insignifikan nan super mungil dan hampir nihil dalam alam semesta yang terus mengembang ini.

Meskipun filosofi qué será, será menyajikan perspektif yang cukup meyakinkan—ia tak hadir tanpa kritik. Para kritikus, khususnya dari para penganut kehendak bebas, berpendapat bahwa kehendak bebas itu nyata adanya—sehingga menerima takdir secara total dapat menyebabkan kepasifan, kestagnanan, menghambat kemajuan, bahkan mempunyai tendensi dekadensi. Namun, para determinis yang mengamini qué será, será berpendapat bahwa merangkul takdir tak berarti meninggalkan pilihan-pilihan pribadi yang dapat diambil, melainkan mengakui batas-batas kendali dan menemukan kedamaian dalam pemahaman itu.

Meskipun belum ada yang mengetahui secara pasti kapan polemik soal kehendak bebas bermula, aliran pemikiran yang dari lahir dari diskursus ini—determinisme, libertarianisme, dan kompatibilisme—telah terbentuk selama lebih dari 2000 tahun. Secara kesejarahan,  Islam memiliki semacam perdebatan yang hampir sama: antara kaum Qadariyah (yang mengamini kehendak bebas) dan Jabariyah (yang deterministik). Perdebatan yang terkini, sependek pengetahuan saya, adalah ketika Sam Harris dalam bukunya, Free Will (2012), mengawinkan neurosains dan psikologi, lalu secara gagah berani mencetuskan bahwa kehendak bebas pada dasarnya adalah konsep yang cacat dan tak koheren. Kehendak bebas baginya tak lebih dari sekadar ilusi yang dikonstruksikan sedemikian meyakinkan sehingga banyak dari kita akan menganggap jika ketiadaan konsep abstrak ini akan menyebabkan mimpi buruk berupa nihilisme dan keputusasaan total.

Now I have children of my ownThey ask their mother, what will I beWill I be handsome? Will I be rich?I tell them tenderly

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will beQué será, será

Pada titik tertentu, Doris Day seakan merayu kita untuk merenungkan kembali perihal kehendak bebas dan kemampuan kita untuk menemukan kepuasan batin di tengah ketakpastian hidup yang mahadingin. Saya kira, menerapkan filosofi q será, será dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan kita untuk menavigasi pasang surut “harapan” dengan lebih elegan. Plus, menemukan pelipur lara dalam pengetahuan bahwa apapun yang akan terjadi, akan terjadi. Dengan atau tanpa persetujuan kita sama sekali.

Friday, 21 July 2023

Mata o Mata...

Eyes (2022) by Malsart

“mata adalah jendela jiwa.” —anonymous

bagiku, mata adalah indra paling puitis & artistik yang dimiliki manusia. bahkan dengan mata kita bisa tahu mana yang puitis & mana yang tidak, mana yang artistik & mana yang tidak... mana yang cantik & mana yang tidak. tak terhitung pula berapa banyak peribahasa tentang mata dari setiap budaya & bahasa yang menyertainya. berkat mata pulalah aku bisa mengamini dalam hati salah satu istilah arkaik: cantik itu relatif tapi jelek itu mutlak.

di sisi lain, aku sedikit bersepakat dengan Eco dalam buku The History of Beauty: setiap budaya selalu membawa serta konsep Kecantikannya sendiri dengan gagasan Kejelekannya sendiri, meskipun—dalam konteks penemuan arkeologis—sulit untuk memastikan apakah hal yang digambarkan itu benar-benar dianggap jelek atau tidak.

setidaknya dari Eco kita bisa belajar bahwa standar kecantikan setiap peradaban & zaman begitu berbeda-beda. meskipun pada akhirnya, aku tetap tak bisa memahami standar kecantikan asia (khususnya, Indonesia) yang irasional, yang dimungkinkan oleh industri kosmetik pencerah wajah (baca: kapitalisme lanjut ngang ngeng ngong).

lupakan soal skincare, yang kusuka dari mata adalah karenanya aku bisa membaca (iya, tanpa indera penglihatan pun aku tetap bisa membaca, tapi aku benci huruf braille yang emboss... yang digunakan tunanetra untuk membaca), & dengan membaca aku jadi sedikit tahu bahwa mata telah menjadi subjek interpretasi yang diperdebatkan sejak zaman Nuh merusak alam demi membikin bahtera. secara kesejarahan, banyak dokter & filsuf kuno percaya pada gagasan “mata aktif”. Plato, misalnya, pada abad ke-4 SM memfafifuwasweswoskan bahwa cahaya memancar dari mata—menangkap objek dengan sinarnya. murid Aristoteles, Theophrastus, bahkan dengan gaya penyair membacotkan bahwa mata memiliki “api di dalamnya”. dengan membacot demikian, dia seakan ngajak gelut gurunya, karena Aristoteles barangkali adalah orang pertama yang menegaskan ketidakmasukakalan dalam proses melihat yang disebabkan sesuatu yang keluar dari mata—sebaliknya, Mang Aris berargumen bahwa akan lebih logis kalau mata menerima sinar ketimbang mengarahkannya ke luar.

yang jelas, kompleksitas mata yang membagongkan telah memicu perdebatan yang tiada habisnya. yang sama alotnya seperti para fisikawan ketika berdebat soal apakah cahaya (yang Einstein sebut sebagai photon) itu partikel ataukah gelombang. tapi kompleksitas itulah, yang menurutku membuat mata begitu menakjubkan. seperti sidik jari, setiap iris kita memiliki pola & lipatan yang unik—yang khusus dimiliki setiap manusia. artinya jika ada 8 miliar manusia, maka ada 8 miliar pola & lipatan iris mata. keren, kan? sedikit intermezzo, nebula helix yang
berjarak sekitar 650 juta tahun cahaya dari bumi berbentuk seperti mata.

ok, lanjut. ini mungkin akan terdengar cukup sinting, tapi kukira aku punya semacam fetish pada mata. mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku mengagumi simbol iluminati, mata horus dalam mitologi Mesir kuno, evil eye (iya, yang warna biru itu), hingga lukisan-lukisan Malsart. saking terobsesinya aku dengan mata, aku sampai membeli cincin mata di syopi xixixi.

berangkat dari obsesi anehku terhadap mata pula aku bertanya-tanya & mencari tahu. mula-mula aku penasaran, siapa yang pertama memahami bagaimana mata bekerja? kemudian aku menemukan seseorang bernama Kepler sebagai jawabannya. seingatku, secara umum ia bahkan dianggap sebagai bapak optik modern. anjenk-nya, diperlukan waktu sekitar 541 juta tahun sejak mata biologis pertama terbentuk agar aku bisa bilang, “oh begitu ya, banh... cara kerja mata kita”.(dengan gaya seperti aku sedang ngeledekin Sifarryla Gautama :p).

lebih lanjut, sedikit ngueng-ngueng, para ilmuwan berpendapat bahwa versi paling awal dari mata terbentuk pada organisme uniselular, yang memiliki sesuatu yang disebut 'eyespot'. katanya, eyespot ini terdiri dari bercak protein fotoreseptor yang peka terhadap cahaya—yang paling banter hanya bisa menentukan gelap atau terang. kemudian beberapa hewan berevolusi... mengembangkan mata bulat yang dapat memfokuskan cahaya menjadi gambar. konon, hewan paling awal yang hidup lebih dari 600 juta tahun yang lalu dianggap sebagai makhluk tanpa mata. menyoal evolusi mata... dalam magnum opusnya, The Origin of Species, Darwin sampai menulis bahwa gagasan tentang seleksi alam yang menghasilkan mata “tampaknya, terus terang kuakui, sangat tak masuk akal”. sebentuk kekesalan juragan evolusi atas evolusi mata yang memusingkan.

sejujurnya, aku masih tak bisa membayangkan bentuk hewan yang secara morfologis tak punya mata atau bagaimana rasanya menjadi dirinya. gabut bangsat gak punya mata. di titik ini, aku jadi teringat salah satu scene dalam film I Origins (2014)—yang baru 3 hari lalu kutonton—ketika sang tokoh utama, Dr. Ian Gray, begitu berambisi merekayasa genetik cacing agar kelak mempunyai mata. barangkali Ian lupa, selalu ada harga yang mesti dibayar oleh setiap hewan (termasuk, manusia) dari setiap evolusi yang terjadi pada dirinya. kira-kira begitulah yang kucerna dari buku Evolusi karya Ernst Mayr. paus, misalnya, mungkin kangen hidup di darat, memiliki kaki empat, & terlampau bosan memakan plankton yang tak kasat mata.

oh ya, aku baru ingat—soal mata, aku memegang teguh prinsip bahwa mata mesti diganti mata (sebuah asas usang yang telah menggema dari hukum Babilonia, alkitabiah, Romawi, hingga Islam kuno) bahwa seseorang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama oleh pihak yang dirugikan, atau menurut interpretasi yang lebih halus korban harus menerima ganti rugi yang setimpal.

mengapa demikian? sebab aku takut tak ada pengadilan-afterlife. (lebih parah lagi, tak ada afterlife). aku tak sudi, aku tak rela jika ada seorang brengsek hidup nyaman karena dimaafkan. seorang brengsek mesti diadili di bumi. lupakan Gandhi, mata mesti dibayar mata—for the sake of justice, biarlah dunia buta! aku sudah terlampau muak dengan para hakim tolol yang memvonis rendah seorang bajingan tanpa melihat matanya yang nirpenyesalan.

mari kita tutup ceracau ndak jelas ini dengan kuots monumental dari Tony Montana alias Al Pacino dalam film Scarface (1983): the eyes, Chico... they never lie.

Thursday, 6 July 2023

Yang Enak dari Menjadi Anak-anak


“Paruh pertama kehidupan adalah belajar menjadi dewasa—dan paruh kedua adalah belajar menjadi anak-anak.”
—Pablo Picasso
Bagi saya, masa kanak-kanak adalah masa yang paling enak. Masa di mana saya merasa memiliki kebebasan mutlak macam Le Petite Prince-nya de Saint-Exupéry atau tokoh Sophie Amundsen-nya Gaarder—bebas untuk mengeksplorasi ini itu, belajar-bertanya hal-hal acak, dan mampu menikmati setiap inci bentangan waktu dengan seutuhnya-sepenuhnya—tanpa tanggung jawab atau kekhawatiran khas manusia dewasa yang barangkali sebesar sepeda Nabi Adam. Hiperbolis, memang. Tapi bukankah manusia dewasa selalu punya kecenderungan untuk menggunakan majas hiperbola dalam hampir setiap satuan bahasa yang keluar dari mulutnya?
Dalam hati mungil saya, ada semacam hasrat untuk kembali menjadi anak-anak yang "tabula rasa". Alasan ini mungkin akan terdengar cukup Homo Ludens à la Huizinga, tetapi Kebebasan untuk Bermain, boleh jadi memanglah kesenangan-kebahagiaan paling signifikan sebagai seorang manusia. Saya berani bertaruh telinga kiri saya dipotong pakai pisau cukur seperti van Gogh jika memang ada manusia yang dengan senang hati benar-benar mau dilahirkan untuk bekerja sepanjang usia.
Asumsi saya adalah bahwa tak ada manusia yang benar-benar ingin bekerja. Saya bahkan lebih percaya ada seekor gajah Afrika bisa masuk ke dalam kulkas satu pintu ketimbang ada seorang manusia yang lebih kepingin bekerja ketimbang bermain dengan bebas macam bocah TK.
Saya, tentu saja, masih memiliki “sedikit” Kebebasan untuk Bermain—tetapi rasanya tak lagi sama ketika saya dipaksa memahami bahwa hidup di, dalam istilah Sagan yang fisikawan, titik biru pucat ini, memerlukan kertas dengan nominal tertentu (untuk membeli keperluan tertentu)—yang dijadikan konvensi—sebagai alat tukar dalam upaya memenuhi sandang, pangan, papan—dan saya mesti mencari kertas yang bernilai karena mitos kolektif itu secara mandiri; tanpa bantuan siapa-siapa.
Saya harus menelan pil pahit bahwa untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan paling rendah dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, saya mesti "menjual" waktu dan energi saya yang berharga. Pada gilirannya, saya sampai di kesadaran bahwa mau-tidak mau atau suka-tidak suka saya mesti bekerja.
Ketidakseruan itu bertambah parah ketika saya menyadari bahwa di masa dewasa semuanya serba terasa macam Sisifus berdasi di dalam rangkaian gerbong KRL dari Stasiun Bogor menuju Padang Mahsyar (Baca: Manggarai) yang secara visual monokrom, nirkejutan, bernada minor, dan redundan.
I was happy in the haze of a drunken hour. But heaven knows I'm miserable now. I was looking for a job, and then I found a job. And heaven knows I'm miserable now. Begitulah, kira-kira, yang saya rasakan kalau dalam bahasa The Smiths. Pada titik tertentu, saya terkadang berpikir bahwa setiap manusia dewasa yang bekerja, atau yang lebih parah, manusia yang terpaksa bekerja demi menjadi tulang punggung keluarga—mesti sesekali healing ke pantai-pantai di Bali kemudian menutup laptopnya lalu "membuka meja" dan memesan bir paling dingin.
Masalah utamanya, ketika Kebutuhan untuk Bekerja datang, maka Kebebasan untuk Bermain perlahan-lahan hilang—ini konsekuensi logisnya. Anjing, memang. Meski saya tak pernah yakin bahwa ‘anjing’ merupakan kata paling tepat untuk menjelaskan bagaimana rasanya menjadi manusia dewasa. Babi!, dengan tanda seru yang secara psikologis tak seru, barangkali. Di masa dewasa, saya seperti kehilangan waktu bermain yang memungkinkan kreativitas, daya imajinatif, dan seakan tak berdaya mengeliminasi kerepetitifan yang membosankan.
Faktanya, masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi kepolosan dan keajaiban. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang alami tentang dunia, dan mereka melihat segala sesuatu dengan perasaan takjub. Dunia adalah tempat magis bagi mereka, penuh misteri dan petualangan yang menunggu untuk dijelajahi-dieksplorasi.
Kepolosan dan keajaiban ini memberikan rasa gembira dan optimisme yang unik. Selain itu, sejujurnya saya rindu akan rasa takut. Saya kangen masa-masa di mana saya mengalami mimpi buruk kemudian Ibu saya dengan santai memeluk serta mempuk-puk kepala saya. Kini, saya tak lagi gentar dengan mimpi-mimpi semacam itu, pada titik tertentu, bagi saya jauh hidup lebih ngeri dari mimpi buruk.
Dulu, saya mengenal kata sifat ‘horor’ dari Ibu; yang mengisahkan tentang potensi seorang anak diculik Wewe Gombel bila pulang sewaktu matahari telah terbenam. Sekarang, tak ada lagi kata ‘horor' di kamus kepala saya. Dengan gagah berani, saya mengutip pemikiran pria asing yang berkumis baplang lalu mengatakan dalam hati bahwa Tuhan telah mati ketika pulang bekerja pas dini hari dan mesti melewati pekuburan sunyi.
Tak ada lagi hal yang saya takuti. Tak setan, tak pula Tuhan. Bagi saya, hal semacam ini tak membanggakan atau menyenangkan sama sekali. Tak ada yang keren pula dari mengetahui-mengamini argumen seseorang bernama Philipp Mainländer: karena Tuhan mahatahu dan bosan tak tahan dengan keabadian kemudian Ia bunuh diri lantas terciptalah kehidupan; alias alam semesta adalah bangkai Tuhan. Gagasan nihilisme kosmik semacam ini, bahkan terlalu ngeri untuk dibayangkan pada suatu senin pagi yang cerah.
Yang enak dari menjadi anak-anak, pun adalah adanya semacam Kebebasan untuk Mengekspresikan Diri. Anak-anak cenderung tidak bisa dan tidak mau dipagari oleh norma atau harapan sosial-kultural. Mereka hampir selalu bisa mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Baik melalui seni lukis, musik, atau tarian—anak-anak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitasnya dan mengekspresikan diri dengan caranya sendiri.
Lain halnya dengan manusia dewasa, yang mesti bekerja dalam kontinuitas waktu, memiliki integritas, menjaga profesionalitas, dan sufiks -tas lain yang membuatku merasa seperti Kafka yang sedang sakit kepala. Dengan kata lain, menjadi dewasa itu melelahkan, memusingkan, memualkan, memuakkan, membosankan—singkatnya, membagongkan.
Itu secara personal. Secara sosial, saya ingin mengatakan persetan pada teori Modal Kultural-nya Bourdieu, saya kira, masa kanak-kanak merupakan masa di mana seseorang merasakan persahabatan yang tulus, murni, dan apa adanya. Tanpa intrik, tanpa gimik. Anak-anak tak berkawan karena Modal Kultural. Mereka berkawan sesederhana karena ingin berkawan saja. Mereka tak pernah peduli siapa manusia yang mereka ajak bermain bola—yang gawangnya ditandai sandal jepit—pada suatu sore yang damai di sebuah lapangan bola alakadarnya. Mereka juga tak pernah peduli apakah bermain dengan boneka itu saintifik atau tidak.
Masa kanak-kanak, saya rasa, juga merupakan masa di mana seseorang dapat menikmati hal-hal sederhana dalam hidup. Anak-anak menemukan kegembiraan dalam hal-hal yang nampak kecil, seperti bermain di taman, mengendarai sepeda, atau memakan makanan kesukaannya. Kesenangan sederhana masa kanak-kanak memberikan rasa puas dan bahagia yang autentik, yang tidak dapat ditemukan manusia dewasa dalam harta benda yang bisa dibelinya.
Saya bertanya pada diri sendiri: ”Bukankah lebih seru rasanya untuk bermain petak umpet dengan kawan tongkrongan, mengadu lari untuk menentukan siapa Usain Bolt di antara saya dan kawan ngaji saya, atau bersama-sama minum es cekek lalu berpura-pura mabuk— ketimbang bermain petak umpet dengan makna hidup yang kian redup, mengadu lari dengan ketahanan stamina saya sendiri di atas treadmill, dan dicekek deadline kerjaan kemudian mabuk benaran plus sendirian di kos-kosan?”
Oh, simple thing, where have you gone?
I'm gettin' old, and I need something to rely on
So, tell me when you're gonna let me in
I'm gettin' tired, and I need somewhere to begin
Pada akhirnya, yang paling banter saya lakukan hanyalah bermain-main dengan cat akrilik, bahasa, alat musik, dan kesadaran.

Monday, 3 July 2023

Translasi Puisi-Puisi Qabbānī


Aku Menaklukkan Dunia dengan Kata-kata

Aku menaklukkan dunia
dengan kata-kata, taklukkan
bahasa ibu, sintaksis,
kata kerja, kata benda.

Aku menghapus muasal
dari segala perihal
dan dengan bahasa baru
yang mempunyai bebunyi air
pesan-pesan api
aku menyalakan masa depan
dan menghentikan
waktu di matamu
dan meruntuhkan sekat
yang menjauh-pisahkan
waktu dari apa yang-kini.

-

Bahasa

Ketika seorang lelaki jatuh cinta
Mungkinkah terucap kata-kata purba?
Mestikah seorang perempuan
Menghendaki kekasihnya
Berbaring dengan
Linguis dan ahli bahasa?

Tak ada yang kubahasakan
Pada perempuan tercinta
Kecuali memasukkan
Kata sifat cinta ke dalam koper
dan melarikan diri dari semua bahasa.

-

Ketika Aku Mencintaimu

Ketika aku mencintaimu, bahasa
baru merekah, kota-kota baru,
dan negeri-negeri baru terjelajahi.
Waktu bernafas bagai anak anjing,
Biji gandum tumbuh di setiap halaman buku,
Burung-burung terbang dengan sepasang lebah madu dari kerling matamu
Rombongan kafilah membawa ramuan-ramuan India, datang dari sepasang payudaramu
Buah mangga berjatuhan, hutan-hutan menyimpan unggunan api
Dan berbunyilah drum orang-orang Nubi.

Ketika aku mencintaimu, payudaramu berguncang menahan malu,
Berubah menjadi guruh dan petir,
jadi pedang, jadi badai pasir.
Ketika aku mencintaimu, kota-kota Arab bangkit dan berdemonstrasi
terhadap zaman represi,
penguasa-penguasa jahat,
dan hukum-hukum adat
yang pilih kasih.
Dan aku, ketika aku mencintaimu
Berlari melawan kebobrokan
Melawan raja lautan,
Melawan institusionalisasi gurun pasir.
Dan aku akan terus mencintaimu sampai tiba banjir dunia
Aku akan terus mencintaimu sampai tiba banjir dunia.

-

Cahaya Lebih Penting dari Lentera

Cahaya lebih penting dari lentera,
Puisi lebih penting dari buku catatan,
Dan ciuman lebih penting dari bibir.
Surat-suratku untukmu
Lebih agung dan lebih penting dari kita berdua.
Di sanalah satu-satunya guratan
Di mana orang-orang akan menemukan Kecantikanmu
Dan kegilaanku.
-

Perbandingan Cinta

Aku tak serupa dengan kekasih-kekasihmu yang lain, perempuanku
Bila yang lain memberimu awan
Kuberikan kau hujan
Bila yang lain memberimu lentera,
Akan kuberi kau rembulan
Bila yang lain memberimu ranting
Akan kuberi kau pohonan
Dan bila yang lain memberimu sebuah kapal
Akan kupersembahkan kau sebuah perjalanan.

*****

Nizār Qabbānī adalah salah satu penyair Arab modern terbesar, bahkan dijuluki Raja Penyair Arab.

Sumber literatur:
Modern Arabic Poetry: An Anthology with English Verse Translations, 1950, Arthur J. Arberry

Wednesday, 28 June 2023

Memfafifui Kandinsky

Composition X (1939) by Wassily Kandinsky
“seorang pelukis, yang tak menemukan kepuasan dalam seni representatif, betapapun artistiknya, dalam kerinduannya untuk mengekspresikan kehidupan batinnya, pasti iri dengan kemudahan musik, seni yang paling non-materi saat ini, dalam mencapai tujuan ini. sehingga pada akhirnya, ia secara alami berusaha menerapkan metode musik pada seninya sendiri. & hasilnya, timbul keinginan modern untuk menghadirkan ritme dalam lukisan, apa-apa yang matematis, sebuah konstruksi abstrak, nada-nada warna yang berulang, untuk mengatur warna dalam gerakan.”
—Kandinsky, Concerning the Spiritual in Art (1912)
aku tak mau berbohong. ada alasan ideologis mengapa aku menggilai karya-karya Kandinsky. tapi tak sekadar bersimpati pada gerakan Bolshevisme berbau Marxis-Leninis. percayalah... aku tak sekomunis itu, sayangku. sederhananya, jika Mang Ucok Homicide dalam lagunya Puritan (God Blessed Fascist) menyatakan “fasis yang baik adalah fasis yang mati”—aku beranggapan bahwa fasis yang buruk adalah fasis yang “nyeni”... & Wassily Kandinsky secara gagah-berani menantang Fasisme dengan/dalam karya seni. lukisannya yang berjudul The Blue Rider (basa Toni Kross: Der Blaue Reiter) bahkan dijadikan semacam bendera pemberontakan atas Entartete Kunst (label Partai Nazi pada jenis seni yang tak mereka setujui—dalam upaya mengontrol seni di bawah kendali mereka) pada masa Hitler yang tangan besi. 

tak berhenti sampai di situ, bersama Franz Marc, judul lukisannya itu pun dipilih sebagai nama sebuah gerakan seni pada tahun 1911-an—yang berisi seniman-seniman avant-garde (termasuk Paul Klee) yang tinggal di Munich. kebangkitan Fasisme di awal abad ke-20, faktanya, memang berdampak besar pada lanskap artistik. seperti yang telah disinggung sedikit di atas, rezim fasis berhasrat mengontrol visual hingga tataran estetik & menggunakannya sebagai alat propaganda ideologi nasionalistik. konsekuensi logisnya, seniman yang tak sejalan dengan narasi fasis (misalnya, Kandinsky, yang kelak dijuluki Bapak Seni Abstrak) ya disikat dong bestie xixixixi. dengan kata lain, seni abstrak ibarat bunga teratai yang menyebul di atas lumpur pengekangan.

dalam bukunya, yang terbit pada tahun 1912—Concerning the Spiritual in Art—ia menulis bahwa seni seharusnya tak hanya representasional, tetapi juga harus berusaha untuk mengekspresikan spiritualitas & kedalaman emosi manusia melalui penerimaan atas apa-apa yang abstrak, seperti halnya musik. ia melanjutkan, “warna secara langsung memengaruhi jiwa. warna adalah tuts, mata adalah palu, jiwa adalah piano dengan banyak senar. seniman adalah tangan yang memainkan, menekan kunci secara sengaja, demi menimbulkan getaran dalam jiwa”. Kandinsky bahkan menciptakan sepuluh lukisan yang dinamai Composition (yang paling terkenal nomor VIII) yang mengeksplorasi hubungan antara seni lukis & musik. penggunaan warna yang berani dalam banyak lukisannya, secara interpretatif, pun berusaha membangkitkan perasaan batin ketimbang memvisualkan objek yang dapat dikenali (wicis, figuratif/imitatif). karya-karyanya yang cenderung non-figuratif/non-representatif menantang konvensi artistik tradisional & mencoba membuka kemungkinan ekspresi-ekspresi artistik yang baru.

barangkali itulah mengapa, ketika aku melihat lukisan-lukisan Kandinsky rasanya seperti ada burung elang yang lepas dari sangkar kepalaku. lukisan Transverse Line, misalnya, sesekali mengingatkanku pada tujuan seni menurut Camus, dalam bukunya pada tahun 1944—Resistance, Rebellion, and Death—adalah untuk meningkatkan dosis kebebasan. ledakan-ledakan kebebasan pada lukisan-lukisan abstrak, pada gilirannya, juga mengingatkanku pada kredo Deidara (salah satu tokoh dalam serial Naruto): seni adalah ledakan! (yang dikutipnya langsung dari seniman abstrak asal Jepun, Tarō Okamoto). 

kembali pada Fasisme, sejujurnya, (ini curhat) aku masih tak mengerti mengapa dalam serial La Casa de Papel para perampok Banco de España itu secara teatrikal menyanyikan Bella Ciao yang notabene merupakan anthem perlawanan para Mondina (pekerja perempuan di Italia abad 19 akhir hingga awal abad 20-an yang melawan Nazisme & Fasisme) sambil memakai topeng Salvador Dalí (yang jelas-jelas terobsesi dengan dua ideologi problematik itu). sangat tunggu kiris, alias teu ngarti... how can standar ganda kitu anying. lupakan. terserah Álex Pina sang penulis cerita, sih.

meskipun demikian, secara luas, aku tetap menyukai Surealisme... misalnya lukisan-lukisan karya René Magritte (The Lovers, Golconda, La Clairvoyance), Frida Kahlo (Viva la Vida, Watermelons), Kay Sage (Le Passage, The Fourteen Daggers, Journey to Go), Raymond Douillete (La Musique des Sphères, L'Âme du Musicien), Pablo Picasso (Les Demoiselles d’Avignon, Guernica, The Old Guitarist; eh, dia Surealis gak sih?), hingga Hieronymus Bosch (Ascent of the Blessed, The Garden of Earthly Delights) yang lebih cocok digolongkan sebagai seniman Proto-Surealisme. sebab, kurasa, Surealisme bukan hanya sekadar aliran seni, tetapi juga sebuah perspektif. & seperti banyak surealis yang dipengaruhi psikoanalisis-nya Freud, aku percaya bahwa “pikiran rasional” merepresi kekuatan imajinasi & potensi kebaruan. maka, pada titik tertentu, aku cenderung berhasrat mendobrak apa-apa yang tabu serta mengolok-olok gambaran-gambaran ideal nan usang.

oh ya, Surealisme juga konon mereperesentasikan posisi politik: antara Trotskyis, komunis, atau anarkis. maka mesti diakui & digarisbawahi bahwa sepanjang sejarah, seni hampir selalu menjalin hubungan gelap dengan iklim politik & corak sosial di ruang-waktu ia dilahirkan. katakanlah... seni Renaissance yang seperti berusaha “menggali akar kembali”... menangkap pengalaman individu & serta keindahan dari misteri alam (yang bisa dibilang merupakan ekspresi politis dari tradisi Yunani-Romawi klasik)—selain karena memang zaman itu diwarnai oleh penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan & cukup banyak mitos-mitos berhasil didemistifikasi. atau Neo-Impresionisme yang sangat terkait dengan ide-ide politik, terutama Anarkisme. atau Romantisisme yang muncul sebagai respons kekecewaan terhadap nilai-nilai Pencerahan & “kemapanan” setelah Revolusi Prancis tahun 1789.

atau... Bauhaus, sekolah desain revolusioner yang didirikan di Jerman pada sekitar tahun 1919. gerakan yang dipelopori Walter Gropius ini memainkan peran penting dalam membentuk lintasan seni & corak desain modern. & voilà, Bauhaus berhasil menciptakan bahasa visual baru yang selaras dengan dunia industri. & Kandinsky bergabung dengan Bauhaus pada tahun 1922, membawa keahliannya dalam teori warna & ke institusi inovatif ini. sebelum nyemplung ke Bauhaus, Kandinsky sudah dikenal dengan idealismenya. ia bahkan tak sangsi mengungkapkan bahwa ke-fetish-an para pelukis figuratif terhadap bentuk telah menghisap habis sisi liar imajinasi & lukisan beralih menjadi sekadar teori tentang sudut pandang.

di sisi lain, seni tak pernah gagal membuatku geleng kepala. ada banyak mengapa. aku tekskan tiga dulu saja. mengapa lukisan-lukisan ekspresionisme abstrak-nya Pollock yang lebih terlihat seperti muntahan kucing dengan mulut berisi cat akrilik ketimbang karya seni—& lukisan-lukisan Rothko yang lebih terlihat seperti buku pantone di toko matrial-matrial dekat rumahku—selalu laku terjual mahal? atau mengapa ada orang sinting yang dengan senang hati membeli tahi kalengan sebanyak 30 gram seharga US$ 242 ribu dari seseorang bernama Piero Manzoni? terlepas dari apapun alasannya otakku yang tumpul ini tetap tak bisa menerimanya.

selain berhubungan dengan politik, kupikir... bahwa aliran seni lukis tertentu berhubungan dengan aliran musik tertentu. album The Strokes terbaru, The New Abnormal (2020) yang sampul albumnya menggunakan karya JM Basquiat - Bird on Money yang dilukis pada tahun 1981. Julian Casablancas & Basquiat barangkali memiliki semacam spirit yang sama, atau perspektif yang sama, atau kekesalan yang sama, dalam bagaimana memandang “kekolotan”. & hal ini tercerminkan dengan gamblang di lagu yang berjudul The Adults Are Talking. silakan dengarkan & resapi liriknya.

mungkin sekian. mesti ditutup sebelum ngalor-ngidul tak karuan. mari kita tutup dengan kuots.

“karya seni sejati lahir dari 'seniman': ciptaan yang misterius, penuh teka-teki, & mistis. yang melepaskan diri dari senimannya, memperoleh kehidupan otonom, menjadi kepribadian, subjek independen, dijiwai dengan nafas spiritual, subjek hidup dari keberadaan yang nyata.”
Kandinsky

Wednesday, 7 June 2023

Peter Wessel Zapffe: Antinatalisme dan Eksistensialisme-Evolusionis?


Semacam Muqadimah

Pada tahun 1872, seorang yang mendalami filologi sekaligus kritikus budaya yang lebih dikenal sebagai filsuf, Nietzsche, menelurkan buku The Birth of Tragedy—tentang tegangan dua impuls artistik yang menubuh dalam Tragedi Yunani: Apollonian dan Dionysian. Yang menarik adalah bahwa dia merisalahkan mitos kuno tentang Raja Midas—pergi ke hutan untuk mencari “Silenus yang Bijak”, kawan baiknya Dionysus (kelak masyarakat Romawi menyebutnya Bacchus) yang merupakan dewa anggur—demi menjawab pertanyaannya perihal “apa yang terbaik dan paling diinginkan manusia?”.

Setelah bertahun-tahun berlalu, sang raja akhirnya berhasil menemukan Silenus si paling tipsy—dan sembari tertawa terbahak-bahak, dia berkata: “O, ras fana yang celaka… mengapa kau memaksaku untuk memberi tahumu apa yang sebaiknya tak kau dengar? Apa yang terbaik dari semuanya benar-benar di luar jangkauanmu: tak dilahirkan, tak mengada, tak menjadi apa-apa. Tapi yang terbaik kedua bagimu adalah—mati dengan segera”. Nietzsche menilai bahwa orang-orang Yunani merasakan kengerian-eksistensial dari “Kebijaksanaan Silenus”—dan oleh karenanya, mereka berbondong-bondong membangun kerja-kerja kesenian, kesusastraan, serta konsep dewa-dewi Olympian dari Chronos sampai Afrodit (dan boleh jadi termasuk pula zodiak-zodiak dari Aries hingga Pisces) sebagai semacam kamuflase pertama dan terakhir untuk menyembunyikan kebenaran pahit ini—demi memperkecil peluang kemungkinan memiliki pandangan dunia yang pesimistis, dipenuhi banalitas, dan diliputi nihilitas seperti desas-desus Silenus.

“Tidur itu baik, kematian lebih baik; tapi tentu saja, hal terbaik adalah tak pernah dilahirkan sama sekali.” —Heine, Complete Poetical Works of Heinrich Heine (2016)

Terlepas dari konotasi positif-negatifnya, gagasan ketakberadaan, ketaklahiran, serta antinatalistik—merentang dari tendensi Vibhava-taṇhā à la Buddhisme Theravada, ide-ide Schopenhauerian, larik terakhir puisi berjudul Morphine milik Heine di atas, aforisme-aforisme Cioran, lirik Bohemian Rhapsody-nya Queen, buku L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste karangan de Giraud, gagasan-gagasan Benatar, kutipan Sophocles yang disadur Gie, hingga perspektif menarik dari filsuf Nordik yang sayangnya kurang terkenal: Peter Wessel Zapffe.

Dalam perbandingan yang kasar, orang-orang lebih besar kemungkinannya untuk menyebut Halland ketimbang Zapffe ketika ditanya siapa contoh manusia asal Norwegia. Ada beberapa alasan mengapa pengacara dan penjelajah Antartika ini masih begitu asing di telinga kita (yang bukan Anglophone atau Francophone, bukan pula bangsa Skandinavian). Salah satunya, adalah fakta budug, karya-karya Zapffe sedikit sekali (bahkan beberapa belum ada) yang diterjemahkan dari bahasa aslinya. Karya yang pertama kali melambungkan namanya—disertasi doktoralnya yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1941—yang telah dicetak berkali-kali dalam beragam edisi—“Om det tragiske”, setebal lebih dari 600 halaman—hingga detik ini, sejauh riset penulis, belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia) dan masih dalam tahap penggarapan. Esai-esainya, kabar baiknya, tertanggal 30 Januari 2023, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan telah tersedia di laman OpenAirPhilosophy. 

Antinatalisme Zapffe

Bayangkan sebuah pasar malam yang sedang kebakaran, barangkali begitulah kira-kira gambaran dunia menurut Zapffe. Maka, tak mengejutkan bila dia pernah menulis sesuatu berbau antinatalis bahwa “melahirkan anak ke dunia ini seperti membawa kayu bakar ke rumah yang terbakar”. Kalimat ini menggemakan ajakan untuk menyudahi prokreasi—menghentikan upaya untuk memproduksi anak (dengan pendekatan moralis). Sesuatu yang, tentu saja berlawan dengan perintah-perintah pronatalis dalam Ajaran Samawi untuk berkembang biak atau beranak-pinak demi “melanjutkan kerajaan Allah di bumi”—yang telah idée fixe dan harga mati. 


Tapi Zapffe tetap pada pendiriannya dengan tak memiliki anak sepanjang hidupnya. Dia menyoal dan mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan bahwa sebuah koin receh saja—sebelum kita sedekahkan kepada pengemis—kita periksa dan pertimbangkan dengan teliti, dengan berbagai kalkulasi ekonomi—tapi mengapa seorang anak, kita “lemparkan” ke dalam kebrutalan kosmik tanpa sangsi? Bukankah pengandaiannya ini terdengar cukup membagongkan?


Untuk lebih memahami mengapa Zapffe memiliki pemikiran yang “madesu” dan “melakoli”, bijaknya kita menyelami diagnosis-diagnosisnya berikut ini.


Paradoks Biologis 


“Manusia adalah binatang yang tragis. Bukan karena tubuhnya yang kecil, tapi karena dia terlalu diberkahi. Manusia memiliki kerinduan dan tuntutan spiritual yang tak dapat dipenuhi oleh kenyataan. Kita memiliki harapan akan dunia yang adil dan bermoral. Manusia membutuhkan makna di dunia yang nirmakna.” —Zapffe, The Last Messiah (2013)

Pada 2013, salah satu esainyayang berjudul “Den sidste Messiasyang telah mengudara sejak 1933—baru dialihbahasakan oleh Tangenes ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Last Messiah” dan tersedia dalam edisi Kindle-nya. Satu tahun berselang, terjemahan ini terbit di majalah Philosophy Now - Issue 45. Melalui esainya ini, Zapffe menelurkan gagasan-gagasan kefilsafatannya (yang nampak terlalu pesimis ketimbang realistis) tentang manusia dan hal-hal eksistensial yang melingkupinya. Jika mesti diklasifikasikan, maka dia bisa digolongkan sebagai seorang nihilis dan pada titik tertentu sebagai eksistensialis. Tapi, akan terlalu sembrono apabila kita melabelinya hanya sekadar seseorang yang membawa “wabah eksistensialisme”—sebab secara spesifik, dia menggabungkan kecenderungan filsafat yang bersemi di Paris pasca-perang-dunia-kedua itu dengan paradigma darwinian-evolusionis. Mungkin kita sebaiknya tak melabelinya apapun selain “anak gunung” atau “si paling mapala”.

Fakta menariknya, Zapffe merupakan intelektual Norwegia pertama yang mengembangbiakkan kritik filosofis dengan kacamata ekologis; khususnya, relasi antara manusia dengan lingkungan. Sebelum pembahasan dilanjutkan, penting untuk digarisbawahi bahwa secara biologi-taksonomi, manusia digolongkan sebagai kingdom animalia, ordo primata, famili hominidae, genus homo, spesies homo sapiens. Singkatnya, secara naturalistik manusia adalah hewan. الانسان حيوان ناطق (Al-Insanu Hayawanun Nathiq); hewan yang berpikir—dalam terma Al-Ghazali yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan Socrates—khususnya. Terlepas dari perdebatan tentang sifat alami manusia, antara Hobbes versus Rousseau, daya pikir hewan berakal ini sepanjang waktu bertumbuh-berkembang sedemikian rupa. Masalahnya, menurut Zapffe, evolusi memungkinkan sistem kognitif kita menjadi terlalu “canggih”—daya dobrak dari pikiran dan kecerdasan manusia ini—memantik fitur-fitur kecemasan bahkan memperbesar kekuatan dari ketakutan yang khas manusia. 

Dalam bagian kedua Den sidste Messias, dia menggambarkan kondisi manusia sebagai “... paradoks biologis, sesuatu yang dibenci, sebuah absurditas, sebuah keberlebihan dari sifat bencana”. Dengan kata lain, biang kerok penyebab paradoks biologis adalah surplus akal-pikiran ini—menjadi bumerang bagi diri kita sendiri—seperti mitos tentang Prometheus yang mencuri api pengetahuan dari Zeus kemudian “terbakar-tersiksa oleh api yang dicurinya sendiri”. Selain itu, kondisi ini membikin eksistensi kita condong dinegasi, karena kita menjadi benci akan keberadaan kita sendiri. Absurditas yang dicetuskan Zapffe juga sekilas selaras dengan dengan gaung kerandoman dalam novel-novel Dostoevsky (The Idiot, The Brothers Karamazov), Kafka (The Metamorphosis, The Castle), Kundera (The Joke, The Unbearable Lightness of Being), hingga Camus (The Stranger, The Plague); serta dalam karya fenomenalnya, Le Mythe de Sisyphe, yang mengisahkan mitos Raja Sisifus—dikutuk secara absurd untuk mendorong batu di gunung kekekalan. Sedangkan, keberlebihan kemampuan manusia bisa mewujud efek kupu-kupu yang memicu ribuan BM (banyak mau). Dapat kita interpretasi, pertama-tama, dengan memahami bahwa hidup-kehidupan telah sedemikian bervariasi serta kompleks dan “keinginan” manusia pun berbanding lurus dengannya. Nafsu keinginan ini, dalam Buddhisme, dianggap sebagai akar dari penderitaan manusia, namun nafsu ini memiliki fungsi biologis dan evolusioner yang krusial—sebagai penyulut kemajuan-penemuan dalam peradaban. Tanpa nafsu keinginan, semua akan serba mandek dan stagnan.

Zapffe melanjutkan: “... suatu spesies telah dipersenjatai terlalu berat—oleh semangat yang dibuat tanpa mahakuasa, tetapi sama-sama merupakan ancaman bagi kenyamanannya sendiri. Senjatanya seperti pedang tanpa gagang atau pelat, bilah bermata dua yang membelah segalanya; tetapi dia yang akan memegangnya harus memegang pedangnya dan mengarahkan satu ujungnya ke arah dirinya sendiri”. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya, “senjata” yang manusia miliki saat ini mengakibatkannya ngeri akan kehidupan itu sendiri; lebih-lebih terhadap keberadaannya sendiri. Lebih lanjut, Zapffe menggambarkan bahwa manusia memiliki semacam “mata-yang-baru” dan melihat bahwa dirinya “datang ke alam semesta sebagai tamu tak diundang dan telah kehilangan haknya untuk tinggal karena telah membeli buah pengetahuan dengan segenap kepolosan-kedamaian jiwanya”. Harga bagi senjata luar biasa berat ini adalah kepekaat kuat akan penderitaan miliaran manusia lain serta makhluk hidup lain di planet ini—dan tak menutup kemungkinan, termasuk juga kehidupan-kehidupan makhluk ekstraterestrial di galaksi lain—di alam semesta yang secara konstan mengembang ini.

Lebih jauh, ikan marlin, kapibara, penguin, cacing besar alaska memiliki apa-apa yang mereka butuhkan untuk sekadar bertahan hidup dan “hidup di masa kini”, sedangkan manusia punya kecenderungan besar untuk mencari sesuatu yang mungkin tak mereka butuhkan dan berhasrat “melampaui” yang-kini—kembali ke yang-lalu atau menuju ke yang-nanti. Cioran memiliki istilah teknis untuk kondisi problematis ini: jatuh-ke-dalam-waktu. Hewan-hewan selain manusia tak ada yang dipusingkan dengan masalah-masalah fisika kuantum, eksistensi AI dalam ekosistem seni, celah impunitas dalam hukum, tekanan hidup di zaman mahabeli, dan seterusnya. Diskursus ini, pada gilirannya, mengarah pada anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit—seperti yang telah dituangkan oleh de Unamuno dalam Tragic Sense of Life (2017): semua makhluk hidup memiliki ketakutan yang naluriah, namun hanya manusia yang memiliki kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan (akibat dari analisis otak terlalu canggihnya, Zapffe menambahkan). Dalam keadaan sehat dan berbahagia, manusia, bahkan memiliki kemungkinan untuk membayangkan rasa sakit dan hari kematiannya. Argumentasi ini seperti berangkat dari Kitab Dhammapada, Yamaka Vagga, syair pertama dan kedua, yang menekankan bahwa “pikiran adalah pelopor sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”.

Pada dasarnya, bagi Zapffe, kesadaran kita selalu “meluap-luap” dan kita cenderung berpikir terlalu banyak. Konsekuensi logisnya, imajinasi kita semakin terasa semakin nyata. Garis demarkasi antara apa yang-nyata dan yang-imaji menjadi bias. Seneca dari zaman bahela, dalam On the Shortness of Life (2017), telah menyinggung ini bahwa “kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas”. Akan tetapi, Zapffe mencurigai tak hanya manusia yang menderita karena evolusi berlebihan ini. Dalam salah satu bagian liris dari The Last Messiah, dia menulis:


“Jadi diperkirakan, misalnya, rusa tertentu (Megaloceros giganteus, sejenis Rusa Irlandia) pada zaman paleontologis mati karena mereka memiliki tanduk yang terlalu berat. Mutasi harus dianggap buta, mereka bekerja, seperti dilontarkan, tanpa ada kontak kepentingan dengan lingkungannya. Dalam keadaan depresi, pikiran dapat dilihat dalam citraan tanduk seperti itu, dengan segala kemegahannya yang luar biasa menindih pemiliknya ke tanah.”


Surplus-Kesadaran


Meskipun manusia tak punah seperti Rusa Irlandia, tetapi surplus-kesadaran ini membuat kita vis-à-vis dengan bahaya dari “kepanikan kosmik” yang tak henti-henti. Pada puncak tertentu, seseorang yang tak mampu lagi menanggungnya akan bertendensi dan mempunyai intensi bunuh diri. Zapffe memandang bahwa kebarbaran dunia modern bertopang pada kesalahpahaman tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karenanya, ketika fenomena bunuh diri terjadi, yang selalu dipersoalkan adalah perihal kuantitas-kualitas spiritualitas yang sedikit-rendah. Sederhananya, diterima secara umum persepsi bahwa orang-orang membunuh dirinya karena kurangnya iman—bukan karena dunia yang secara fundamental tak mampu memenuhi dahaga purbakala manusia akan sosok mahatransendental-mahakuasa.


Cioran, dalam The Trouble with Being Born (2013), secara tersirat menyebut surplus-kesadaran ini sebagai “kerajaan kesadaran yang supremasinya tak tertahankan”. Tak mengherankan, Cioran dan Zapffe membaca Nietzsche, sedikit banyak tepapar tesis-tesisnya dan dengan demikian keduanya memiliki fokus filosofis yang mirip-mirip dan bernuansa Dionysian; tendensi eskapisme dengan kemabukan seperti yang telah disinggung di awal. Baudelaire, penyair surealis Prancis, secara puitik dan cantik melalui medium puisi menggambarkannya begini:


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk. Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk. Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Empat Peta Mekanisme-Pertahanan

Hampir dalam keseluruhan karya-karyanya, Sartre mensyiarkan beban-beban pilihan-keputusan sebagai konsekuensi kita akan kesadaran terhadap kehendak bebas. Kundera, dalam The Unbearable Lightness of Being (2009), pun demikian—secara implisit mendedahkan beban-beban (dari surplus-kesadaran dalam istilah Zapffe) yang berdiri pada refleksi akan waktu, akan hidup yang hanya sekali ini. Tapi filsuf berkacamata ini, secara autentik, memetakan empat mekanisme-pertahanan manusia untuk “mengurangi” intensitas kesadarannya: 


Pertama, Isolasi—teknik paling ekstrem dengan penolakan sewenang-wenang untuk mengeliminasi pikiran-perasaan yang pahit dan “mengganggu”. Mengisolasi diri di alam liar macam Christopher McCandless yang menolak membaca ide-ide hitam Shakespeare dalam Tragedi Hamlet atau Macbeth. Tak memikirkan sesuatu yang mengerikan tentang kehidupan, singkatnya.


Kedua, Penjangkaran—semacam pemusatan kesadaran pada apa-apa yang metafisik, pada suatu nilai atau cita-cita kolektif: tuhan, agama-agama, negara, masyarakat, moralitas, takdir, humanisme, dan sebagainya. Pada titik yang paling personal, mirip seperti Leap of Faith atau Lompatan Iman Kierkedian. Bertaklid pada monastisisme islam dan menjadi salik yang “zuhud”, misalnya.


Ketiga, Distraksi—upaya pengalihan perhatian, mendistraksi surplus-kesadaran, dengan stimulus-stimulus eksternal: menenggak alkohol, mengisap mariyuana (jenis indica atau sativa), mengonsumsi tramadol, bermain Pou, bermain tic-tac-toe, minum coklat panas, bermain permainan papan, dan seterusnya.


Terakhir, Sublimasi—pendek kata, daya upaya untuk mengonversi surplus-kesadaran menjadi sesuatu yang produktif, kreatif, dan bernilai seni. Lebih jauh, penderitaan-penderitaan karena surplus-kesadaran ditransformasikan menjadi citraan-citraan yang dramatis, herois, liris—atau bahkan komikal (seperti Joker yang mampu ngakak selepas-lepasnya di puncak keputusasaannya).


Banyak manusia menggunakan tiga mekanisme-pertahanan di atas—dan yang terakhir, Sublimasi, merupakan yang paling langka. Mengapa? Ada kebolehjadian tinggi bahwa Sublimasi ibarat “panasea yang terlalu sulit untuk ditelan”. Bisa dibilang, mengubah derita jadi karya, luarbiasa susahnya—sebab dibutuhkan lebih banyak “kegilaan” ketimbang “kewarasan” untuk melakukannya. Hanya ada sedikit manusia yang cukup “gila” untuk mengonversi rasa sedih yang tak pernah sudah atau pengalaman traumatisnya menjadi sesuatu yang puitis dan estetis. Dalam bahasa Seneca yang Stoik: “tak ada orang jenius-hebat yang pernah ada tanpa sentuhan kegilaan”. Tulisan-tulisan Goethe sampai Zapffe, lukisan-lukisan van Gogh sampai Picasso, musik-musik Wagner sampai Chopin, barangkali dapat dijadikan sebagai beberapa contoh dari mekanisme-pertahanan berbasis Sublimasi. 


Eksistensialisme-Evolusionis Zapffe


Berangkat dari perspektif kosmik dan penderitaan kolektif yang bersarang dalam surplus-kesadaran manusia, Zapffe menambah warna baru dalam literatur Eksistensialisme—dan seperti melengkapi pandangan Frankl dalam Man’s Search for Meaning (2013) tentang apa yang dia sebut sebagai Logoterapi serta visinya bahwa makna atau sesuatu yang berguna dapat ditemukan dalam pertarungan-pergulatan kita dengan penderitaan.


Di titik ini, penulis ingin sedikit merevisi petuah Walpole yang juga digemakan ulang oleh Fitzgerald dalam magnum opusnya The Great Gatsby (2005): “hidup adalah komedi bagi mereka yang berpikir, tragedi bagi mereka yang merasakan, dan tragikomedi bagi mereka yang berpikir untuk merasakan pikiran-pikirannya”.


Belajar atau tak belajar, pada akhirnya, kita akan menyesali keduanya. Mari kita tutup mekanisme-pertahanan Sublimasi berbentuk teks ini dengan Kitab Pengkhotbah, Ecclesiastes 1:18, tepatnya: “karena dengan banyak hikmat datang banyak derita; semakin banyak pengetahuan, semakin banyak kesedihan mendalam karenanya”. Semoga semua yang membaca berbahagia. Semoga kita tak berakhir seperti tokoh Don Quixote dalam kepala Cervantes, yang jadi gila karena iqra.

“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (2004).

*****

Referensi

Zapffe, Peter Wessel (translator: Gisle Tangenes). 2013. The Last Messiah. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 2003. The Birth of Tragedy. Penguin Classics;

Heine, Heinrich. 2016. Complete Poetical Works of Heinrich Heine. Kindle Editon: Delphi Classics;

De Unamuno, Miguel. 2017. Tragic Sense of Life. Kindle Edition;

Cioran, Emil. 2013. The Trouble with Being Born. Kindle Edition;

Seneca. 2017. On the Shortness of Life. Kindle Edition;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Kundera, Milan. 2009. The Unbearable Lightness of Being. Harper Perennial;

Frankl, Viktor. 2013. Man’s Search for Meaning. Kindle Edition: Ebury Digital;

Fitzgerald, Scott. 2005. The Great Gatsby. Kindle Editions: Scribner;

Kierkegaard, Søren. 2004. The Sickness Unto Death. Kindle Editions: Penguin.